Perkembangan teknologi digital telah membawa angin segar sekaligus tantangan baru bagi dunia sastra di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, bentuk-bentuk baru ekspresi sastra bermunculan di berbagai platform digital—dari cerpen Instagram, puisi TikTok, hingga novel bersambung di aplikasi seperti Wattpad, Storial, dan Cabaca.
Fenomena ini memunculkan generasi penulis dan pembaca baru yang tumbuh di tengah gawai dan jaringan internet. Mereka menulis dan membaca bukan lagi hanya di halaman kertas, tetapi di layar-layar kecil yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.
Digitalisasi sastra juga memberi ruang lebih luas bagi karya dari daerah dan komunitas minoritas untuk tampil. Karya yang sebelumnya mungkin terhambat distribusinya karena biaya cetak dan jaringan penerbitan kini bisa diunggah dan dibaca ribuan bahkan jutaan orang hanya dengan satu klik.
Namun, di balik peluang itu, muncul pula sejumlah pertanyaan: Bagaimana kualitas sastra digital? Apakah sastra digital bisa bertahan dalam jangka panjang, atau sekadar tren sesaat?
Pakar sastra dari berbagai kampus mulai menaruh perhatian serius. Banyak yang menilai, meskipun belum semua karya di ranah digital memenuhi standar sastra konvensional, tidak bisa diabaikan bahwa media digital melahirkan gaya baru dalam bercerita dan memperluas demokratisasi sastra.
Di sisi lain, penulis-penulis senior mulai merambah dunia digital, mencoba menjembatani dua generasi pembaca: yang tumbuh bersama aroma buku, dan yang tumbuh bersama notifikasi.
Perkembangan sastra digital di Indonesia kini sedang dalam fase penting. Ia bukan sekadar alternatif, tetapi bagian dari peta besar perkembangan budaya literasi masa kini. Yang kini dibutuhkan adalah pendampingan, kurasi, dan ruang diskusi yang aktif agar sastra digital bukan hanya populer, tapi juga bermutu dan berdaya tahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.