Sastra bukan sekadar rangkaian kata. Ia adalah napas kehidupan yang menjelma dalam bait-bait, paragraf, dan dialog—membisikkan makna, memberi arah, dan membangkitkan harapan.
Sastra Indonesia dan dunia telah lama melahirkan kutipan-kutipan yang menginspirasi, melintasi ruang dan zaman. Dalam setiap kutipan, tersimpan refleksi tentang kehidupan, cinta, perjuangan, dan keabadian manusia dalam bahasa.
Salah satu kutipan terkenal datang dari Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Kalimat ini menjadi pengingat bahwa kata-kata memiliki daya simpan sejarah yang lebih kuat daripada ingatan.
Dari dunia Barat, Oscar Wilde pernah menulis, “We are all in the gutter, but some of us are looking at the stars.” Kutipan ini menyuarakan semangat harapan di tengah keterpurukan.
Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan ’45, dalam puisinya yang melegenda “Aku”, menulis dengan lantang: “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang.” Sebuah seruan eksistensial yang menggambarkan gejolak batin anak muda yang ingin merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara pribadi.
Di masa kini, kutipan-kutipan sastra terus berseliweran di media sosial, menjadi mantra harian bagi generasi muda. Kalimat dari Sapardi Djoko Damono seperti, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,” menjadi simbol keindahan cinta yang tak berlebihan, namun abadi.
Dalam gelombang informasi yang deras, kutipan sastra menjadi jangkar bagi banyak orang. Ia menenangkan, menyentuh, dan terkadang menyembuhkan.
Sastra bukan milik segelintir, tapi milik semua yang ingin merasa hidup lebih dalam. Karena sejatinya, satu kalimat bisa mengubah pandangan. Satu kutipan bisa menyalakan lentera harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.