Di ujung senja, Ana duduk di beranda rumah kayunya. Desa kecil itu mulai sunyi, hanya suara jangkrik dan gemerisik daun yang setia menemani. Di tangannya, ada buku harian tua yang penuh coretan rindu.
“Sejak kapan senja jadi sepilu ini?” gumamnya pelan, menatap langit jingga yang perlahan memudar.
Buku harian itu milik Ayahnya, seorang petani yang tak pernah lelah menanam harapan di ladang. Di tiap halaman, ada catatan tentang sawah, hujan, dan perjuangan hidup. Namun, di antara tulisan itu, Ana menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah puisi sederhana.
"Kepada tanah ini aku pulang,
Membawa mimpi yang tak pernah hilang.
Di setiap butir padi yang kupanen,
Ada doa untuk anakku, agar dia terbang."
Air mata Ana jatuh tanpa diminta. Ayahnya sudah tiada, tapi pesan itu terasa begitu nyata. Ia paham kini, mengapa Ayahnya selalu tersenyum meski tubuhnya letih. Semua yang dilakukan Ayah adalah untuknya, agar Ana bisa melangkah lebih jauh dari desanya, tapi tetap ingat akar tempatnya tumbuh.
Ana menutup buku itu perlahan. Senja berganti malam, tapi di hatinya ada cahaya. Ia berjanji, mimpi Ayahnya akan ia wujudkan, tanpa melupakan desa kecil yang selalu menjadi rumah.
Di Instagram, Ana mengunggah foto beranda senja dengan keterangan:
"Senja selalu punya cerita, tapi cerita kita tak akan pernah usai."
0 Response to "Sisa Senja di Beranda Desa"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.