Pagi itu, seperti biasa, Maya duduk di bangku kayu di depan rumahnya, memandang ke arah jalanan yang sibuk. Ada yang berbeda. Angin yang seharusnya membawa kedamaian justru terasa seperti riak yang menampar wajahnya. Wajah yang tak lagi cerah seperti dulu. Wajah yang terbekas oleh waktu, luka, dan kehilangan.
Maya tak pernah menyangka akan kembali ke kota ini setelah bertahun-tahun pergi. Kota yang menyimpan kenangan pahit dan manis. Kota yang meninggalkan bekas luka di hatinya. Namun, saat telpon dari ibunya tiba beberapa minggu lalu, Maya tahu bahwa sudah saatnya untuk kembali. Ibunya jatuh sakit dan Maya, sebagai anak satu-satunya, tidak punya pilihan lain.
Hari ini, Maya melangkah kembali di jalan yang sama. Jalan yang dulu sering ia lewati bersama Rian. Mereka berdua sering berjalan berdampingan, mengobrol ringan, atau terkadang terdiam dalam kebersamaan yang penuh makna. Namun, hari ini, jalan itu terasa asing. Rian sudah tidak ada lagi. Kepergiannya meninggalkan celah yang tak bisa lagi diisi oleh siapa pun.
Maya mengingat bagaimana mereka berdua berjanji untuk saling menjaga satu sama lain. Rian adalah teman, sahabat, dan mungkin, lebih dari itu. Namun, janji yang terucap itu pun tak dapat bertahan lama. Rian pergi tanpa memberi penjelasan yang jelas, meninggalkan Maya dengan sejuta pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Maya menoleh ke arah rumah lamanya. Rumah yang kini kosong, hanya ada kenangan yang terpendam di dalamnya. Setiap sudut rumah ini seolah berbicara tentang masa lalu mereka. Meja makan yang dulu sering dipenuhi tawa, kursi di ruang tamu yang selalu menjadi tempat mereka berdua berdebat ringan, bahkan jendela yang tak pernah tertutup rapat, tempat mereka dulu saling berbagi cerita hingga larut malam.
“Kenapa kau pergi, Rian?” pikir Maya dalam hati. Suara hatinya penuh dengan penyesalan yang tak terucap. Hati Maya dipenuhi dengan rasa rindu yang mendalam. Ia merindukan tawa Rian, suara lembutnya, bahkan cara Rian selalu mengingatkan Maya agar tak terlalu keras pada dirinya sendiri.
Saat menatap langit yang cerah, Maya merasa seolah Rian ada di sana, melihatnya dari jauh. Seperti itu dulu, mereka sering berbicara tanpa kata-kata. Hanya lewat tatapan mata dan senyuman yang tidak pernah gagal membuat hati mereka merasa tenang.
Namun, di tengah perjalanan kembali ke rumah, Maya berhenti sejenak. Di tengah keramaian kota, di bawah langit yang cerah itu, ia melihat seorang perempuan sedang berdiri di depan toko bunga. Maya mengenalnya. Itu adalah Lita, sahabat lama yang dulu selalu bersama mereka. Lita, yang juga pernah merasakan kehilangan, namun memilih untuk terus melangkah maju.
Maya dan Lita bertatapan sejenak. Wajah mereka menunjukkan rasa terkejut, namun juga kenyamanan yang telah lama hilang. Lita tersenyum dengan penuh kehangatan, seperti dulu. Seperti saat mereka masih muda, saat Rian masih ada.
Maya mendekat, dan mereka berbicara dengan bahasa yang tak lagi membutuhkan banyak kata. Hanya dengan tatapan dan senyuman, mereka saling mengerti. Lita menyampaikan bahwa ia tahu Rian selalu membawa perasaan bersalah, meski tak pernah mengungkapkan itu pada Maya. Rian pergi, bukan karena tak ada cinta, tetapi karena takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan berpisah suatu hari nanti.
"Ada kalanya, Maya, kita harus pergi untuk belajar, untuk tumbuh, meski itu berarti harus melepaskan sesuatu yang kita sayangi," kata Lita dengan lembut.
Maya menatap Lita dalam-dalam, merasa ada sesuatu yang mulai mengisi kekosongan hatinya. Memang, kadang kita harus belajar melepaskan, meski hati kita merasa hancur. Rian mungkin telah pergi, namun kenangan itu akan selalu ada, seperti jejak yang tertinggal di hati.
Dengan sebuah napas dalam, Maya merasa sedikit lega. Mungkin, tak ada jawaban yang sempurna untuk semuanya, tapi setidaknya, ia belajar untuk menerima. Tak ada yang benar-benar hilang, selama kenangan itu masih ada.
Maya melangkah pergi, meninggalkan jejaknya di jalan yang dulu pernah dilalui bersama Rian, kali ini dengan hati yang lebih lapang.
0 Response to "Cerpen: Jejak di Hati yang Hilang"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.