Cantika Oh Cantika
Penulis: Olimpian
"Cantika! Sudah selesai belum goreng ikannya? Ini sudah hampir siang. Kamu harus berangkat ke sekolah," ucap Bu Yuni yang baru memandikan anak keduanya.
"Sebentar, Bu, aku mau mancing dulu. Tadi ikannya pergi, bawa tas ransel besar sekali. Katanya enggak mau digoreng, maunya di-susyi. Kita enggak punya penggulung nasi, kan? Ya sudah, kubiarkan mereka merantau ke Negeri Matahari, siapa tahu ketemu Chef Hiro atau Bayashi."
"Oh, ya sudah. Kalau begitu, Ibu mundurin waktu dulu. Biar enggak telat sekolah, kira-kira butuh berapa lama?"
"Sejam cukup, Bu."
"Oke. Ibu mundurin sampai jam 5, ya. Cukup?"
"Insyaallah, Bu."
Begitu sang ibu mengucap mantera, matahari balik ke timur, langit gelap, ayam jago berteriak YUKRUKUKU! Hanya Cantika dan ibunya yang tahu, bahkan sang ayah pun tidak.
Ibu Cantika adalah dewi yang turun ke bumi karena jatuh cinta kepada Jaka La Tahzan, pemuda tampan pedagang barang antik. Mereka menikah dan dikaruniai anak-anak yang lucu.
"Ibu, Cantika pergi, ya!"
"Minimal Arapaima! Si Ani kemarin dapat arapaima di sungai, masa kamu enggak bisa!"
Cantika menunduk. Dia membawa alat pancingnya. Lagi-lagi dia dibandingkan dengan Riani, tetangganya yang anak gedongan itu. Jelas dia bisa mendapat arapaima, alat pancingnya saja 30 juta. Lah, aku cuma pakai bambu.
Beberapa waktu kemudian, Cantika yang lelah karena belum mendapatkan ikan pesanan ibunya merasa berputus asa. Dia pun menarik kailnya, tetapi terasa berat. Terus dan terus dia tarik, hingga akhirnya bisa naik ke permukaan. Alangkah terkejutnya Cantika ketika melihat sesuatu tersangkut di kailnya. Seekor kura-kura putih dengan enam helai kumis tebal memanjang.
"Waduh, makhluk apaan ini?" Cantika bergidik.
"Tolong lepaskan aku, Anak Manis. Aku akan membantu mewujudkan keinginanmu." Suara kura-kura putih yang mirip kakek tua itu semakin mengejutkan gadis belia yang masih menganga.
"A-apa benar, Kek?" Gadis berkepang dua itu terbata.
"Yoi!" Kakek kura-kura mengerak-gerakan kumisnya.
"Baiklah kalau begitu." Tanpa ragu Cantika pun melepaskan kura-kura tua dan meminta untuk dibantu mendapatkan ikan arapaima. Sang kura-kura mewujudkannya. Hanya dengan diam dan membaca doa, ikan-ikan beterbangan ke ember yang dibawa oleh Cantika.
Dalam sekejap, ember penuh dengan ikan arapaima. Sang kura-kura pun menghilang begitu saja. Cantika yang sudah bahagia memperoleh keinginannya, tidak mempermasalahkan kepergian Kakek Kura-Kura. Dia pun langsung pulang ke rumah dan menggoreng ikan-ikan itu.
"Hmm, baunya sedap sekali. Kamu dapat ikan apa hari ini?" tanya Bu Yuni saat masuk ke ruang dapur.
"Dapat ikan pesanan Ibu, dong!" jawab Cantika sambil memasukkan ikan yang ketiga di atas wajan.
"Nah gitu. Baru anak Ibu namanya. Setidaknya kamu tuh harus bisa seperti Ani, tetangga kita itu. Dia sudah cantik, pintar lagi."
Ani lagi. Ani lagi! Emang aku enggak pinter? Aku juga enggak cantik gitu? Meskipun hidungku mancung ke dalam, tapi kan aku anak dewi yang turun dari langit. Walaupun turunnya saat hujan, gerutu Cantika dalam hati.
"Ya sudah, Ibu mau lanjut urusin adikmu dulu. Kamu terusin masaknya." Bu Yuni menepuk pundak anaknya. Cantika hanya mengangguk.
Baru membalik satu ekor ikan, sang ibu memanggilnya lagi. Menanyakan apakah ikannya sudah matang karena si adik sudah lapar.
"Iya, hampir selesai, Bu!" jawab Cantika melanjutkan goreng ikannya.
Tiba-tiba apinya semakin mengecil lalu mati. "Eh kok apinya mati, apa gasnya habis?" Cantika mengangkat gas elpiji berwarna hijau. Benar saja, gasnya habis.
Terpaksa Cantika mengangkat ikan-ikan yang masih setengah matang ke piring. Kemudian dia menyiapkan sarapan di atas meja untuk ibu dan adiknya.
Setelah itu, Cantika dengan cekatan mencuci dan merapikan peralatan memasaknya. Begitu selesai, dia baru bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Ya, berangkat sekolah tanpa sarapan karena semua yang dimasaknya bukan untuk dirinya. Dia terbiasa berangkat ke sekolah dengan perut kosong.
Karena hampir terlambat, Cantika berlari ke hutan dan bersiul tiga kali. Tidak ada yang tahu Cantika punya kuda sembrani yang bisa mengantarnya ke mana-mana secepat kedip.
"Ahmad," Cantika mengelus leher kuda itu, "antarkan Cantika ke sekolah, ya."
"Ah siap, Ahmad Miksu siap melayani Anda." Kuda itu menjawab dengan cengiran kudanya.
Saat menaiki kuda sembrani itu, Cantika terlihat sedih. dia memang kerap meratapi nasib di atas kuda itu. Alasannya, kecepatan lari yang sekali kedip itu justru membuat waktu terasa melambat baginya. Seperti film The Flash yang pernah ditontonnya.
"Kenapa kamu sedih, Can?" tanya sang kuda tanpa berhenti berlari.
"Aku selalu dibanding-bandingkan."
"Oh, kayak lagunya Cak Nan, ya?"
"Referensimu tidak biasa ya, Kuda."
"Hmprffh!" Ahmad mendengus dengan dengus kudanya. Wajahnya terlihat bangga. "Tapi tenang saja, walaupun kamu jelek, degil, dan bau—"
"Ah, piso dapurnya kebawa. Kayaknya Ibu suka susyi kuda."
"W—walaupun kamu sering dibanding-bandingkan, Cantika tetap _numero uno in my heart_."
"Kiri! Kiri!" Tahu-tahu mereka sudah sampai. Ahmad berhenti di atap sekolah.
"Awas! Kaki kiri dulu!"
"Oke."
Setelah itu, Ahmad pun pergi ke pengkolan lampu merah. Ngetem.
"Ya ampun, aku lapar sekali," keluh Cantika sembari mengelus perutnya.
Sambil celingak-celinguk Cantika mengeluarkan buku dan penanya. Setelah duduk, dia menggambar sebuah roti. Sungguh ajaib, roti yang digambarnya berubah menjadi nyata.
Dengan perasaan senang Cantika memakan roti coklat kesukaannya. Dia yang asyik menikmati makanannya tanpa menyadari sepasang mata tengah memperhatikannya. Sepasang mata itu milik Arya, salah seorang teman Cantika yang memiliki kemampuan indigo. Arya melihat saat Cantika diantarkan oleh kuda sembrani yang tidak dapat dilihat oleh teman-temannya yang lain.
Dalam hati، Arya terus bertanya-tanya "apakah bisa naga terbang milikku berkawan dengan kuda sembrani milik Cantika?"
"Cantika, baru saja aku melihat kamu menggambar sebuah roti dan berubah menjadi nyata," sambar Adib.
Cantika mengangguk sembari memakan roti, tiba-tiba Adib merebut buku gambar dan pena milik Cantika.
"Hey, kembalikan!" teriak Cantika.
"Huus, diam kau! Aku hanya meminjam sebentar."
Setelah itu, tangan Adib menggambar sebuah uang, matanya berbinar-binar menunggu hasilnya. Tapi sayang, gambarnya tak berubah menjadi nyata, membuat Adib sangat marah, dibuanglah buku gambar tersebut. "Mengapa uang yang aku gambar tidak berubah menjadi nyata?" ucapnya kesal.
"Buku ini tidak berfungsi kalau bukan aku yang meminta," Bergegas Cantika mengambil buku gambar yang terjatuh. Uang yang tadi digambar oleh Adib kini disempurnakan oleh Cantika, maka jadilah gambar uang itu menjadi beberapa lembar uang yang berwarna merah.
"Roman-romannya ada yang mau pinjem seratus nih," ledek Arya.
"Diam kau Arya! Hehe. Cantika agar silaturahmi tidak putus, pinjam dulu seratus," ucap Adib cengengesan.
Saat proses serah terima selesai, seorang polisi datang dengan menunggang kuda lumping. Rambutnya gondrong, tapi sudah direbonding. Setiap kali dia bergerak, rambutnya yang panjang sebahu berkibar-kibar cantik sekali.
"Cantika, Anda saya tangkap karena terbukti mengedarkan uang palsu!"
"Tapi, Pak—" Cantika melihat _tagname_ di dada Pak Polisi, "Pak Bintang Orion, kami cuma main-main. Iya kan, Ad—" tapi Adib sudah lari _ngibing_ entah ke mana.
"Silakan ikut saya ke kantor polisi." Pak Bintang Orion, masih menunggangi kuda lumping, mendekati Cantika. Dia membawa borgol.
"Cantika! Raih tangan saya! Cepat!" Saat itulah Arya yang sudah duduk di punggung naga menyambar tangan Cantika. Mereka pun melesat ke angkasa.
Bintang Orion mendengus kesal. "Naga apaan? Efek CGI-nya keliatan banget. Kayak Indosiar." Dia pun duduk di bawah pohon trembesi, membuka bekal pemberian istrinya.
"Beling lagi, beling lagi," desahnya.
"Untungnya aku sudah biasa makan kayak gini, malah jadi makanan favorit!" gumam Bintang Orion sambil ngunyah tu beling.
***
"Pak! Pak Bintang Orion!" Terdengar keras sekali panggilan di telinga Bintang Orion. Satu lompatan langsung berdiri lengkap dengan kuda lumpingnya.
"Ah, bikin kaget saja. Lagi asyik mimpi indah ketemu bidadari surga!"
"Pak Bintang ngapain tiduran di sini? Kayak suami takut istri saja!"
"Itu tadi mau belajar ilmu gambarnya Cantika. Seperti sulap saja, gambarnya berubah jadi nyata. Kan enak tinggal gambar, dak usah ke sana kemari pake kuda ini!"
"Loh kok sama ya niatnya, Pak, dengan RE. Tapi kalau RE mau belajar gambar untuk membuat animasi 4 dimensi, kan keren!"
"Keren dengkulmu!" umpat Bintang Orion kesal. "Menghadapi Cantika dan Adib saja aku kewalahan. Ini malah mau kamu tambah dengan animasi empat dimensi, empat persegi, empat ... empat ... " Bintang Orion menggaruk-garuk keningnya sambil memikirkan kelanjutan ucapannya.
"Empat kali empat enam belas!" lanjut RE cepat.
Sementara itu, di langit—
Cantika memeluk Arya erat-erat. "Tak apa-apa, Cantik, meski terlihat seperti CGI, naga ini paten. Sudah punya SIT."
"Apa itu?"
"Surat Izin Terbang. Betul kan, Toni?"
"Enggih, Ndoro."
"Lo, bisa ngomong?"
"Bisa bersyair juga. Tunjukkan, Toni."
"Gitar kupetik, bas kubetot.
Kamulah gadis tercantik versi On the Spot."
"Luar biasa."
"Memukau nalar."
"Mengguncang iman."
"Sekarang kita di mana, Arya?"
"Di hatimu, Cantik."
"Ah, Kangmas bisa saja."
"Untukmu apa pun Kangmas bisa, Cantik."
Cantika memukul manja punggung Arya, tapi pukulannya terlalu kencang. Arya terjatuh.
"ARYAAAAAAAAAA!"
"CANTIKAAAAAAA!"
"GITAR KUPETIK BAS KUBETOT. KAMULAH GADIS CANT—"
"DIAM KAMU, TONI!"
Sementara itu di Bumi—
"Arya jatuh!" Bintang Orion menunjuk setitik cahaya di langit.
"Apa?"
"Soal 4D kita bicarakan nanti, sekarang saya mau kejar Arya dulu," Bintang Orion langsung menaiki kuda lumpingnya. Menstarternya dan menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Kuda itu melesat dengan kecepatan 1000 km/jam.
"Luar biasa!" desah RE.
"Luar biasa!" desah seorang tua di samping RE.
"Lo, Anda siapa?"
Pria tua berjanggut tebal itu tersenyum bijak. "Nama saya Gunung Agung Baskara Soerjo. Tapi panggil saja Gunung, atau Nunung."
"Maaf, Kek RE panggil Bas saja, ya. Kalau RE panggil Gunung, gak cocok deh, soalnya kakek kan dak tinggi! " Senyum jahil muncul di wajah imut RE. "Kalau RE panggil Nunung, transgender dong, Kek!" RE kelepasan tertawa
Pria tua di depan RE dengan tetap menampilkan wajah bijaknya tersenyum lebar "Terserah RE saja mau panggil apa. Tapi jangan pake embel-embel kakek, ya, ntar tuanya terlihat nyata."
"Kalau gitu, RE panggil Om Bas saja ya, supaya terdengar muda."
"Oki doki!"
"Maaf, Om Bas, RE mau nyusul Cantika yang lagi terbang bersama si naga perkasa."
"Emang RE bisa terbang juga, sayap saja tidak punya!" Si Om tertawa sambil memegang perutnya.
"Bisa dong, Om. Gini-gini RE punya mantra loh!"
"Mantra apa, RE, kalau boleh Om tahu."
"Mantra Ilahi, Om."
Beberapa saat kemudian tubuh RE sudah menghilang dari hadapan Om Bas
"Astaga! Saya pikir RE bercanda, ternyata benar juga tentang mantra Ilahinya. Luar biasa!"
Bug!
Terdengar benda jatuh di belakang Cantika.
"Astaga, suara apa itu!" Cantika lebih kaget lagi melihat RE tiba-tiba sudah duduk manis di punggung Toni.
"RE kok bisa ada di sini! RE pake apa?" Cantika menatap RE penasaran.
"Tenang Cantika, RE pake mantra Ilahi agar lebih aman dan terkendali. Kalau Cantika ada Ahmad dan Arya ada Toni, RE punya mantra Ilahi!"
"Nanti kita lanjutkan tentang mantra Ilahinya, sekarang bisa gak RE bawa saya dan Toni ke tempat jatuhnya Arya?"
"Itu mah gampleng Cantika! Pegang tanganku dan lehernya Toni."
RE kembali merapalkan mantra Ilahi, semuanya langsung lenyap
Saat membuka mata betapa kagetnya Cantika karena mereka sudah berada di sebuah keramaian.
Begitu pun Toni. Karena kagetnya, dia tiba-tiba melompat hingga membuat Cantika terpental ke pusat keramaian.
"Waaww!"
Semua berseru kagum ketika melihat Cantika dan Re mendarat sempurna di atas panggung.
"Tarik, Sis .... Semongko!" teriak seorang biduan yang langsung diikuti musik yang menggema.
Cantika dan Re kebingungan melihat orang yang sedang joget dengan serunya.
"Kepalang sudah di sini, kita ikutan joget sajalah," ajak Re di antara musik yang berisik.
"Tapi, bagaimana dengan Arya?" tanya Cantika khawatir.
"Alah, Arya kan sudah besar. Dia pasti bisa bangun sendiri. Sudah, ayo kita goyang. Aassiikk ..." RE menarik dan memutar-mutar Cantika berjoget suka-suka hingga menabrak ke mana-mana. Tapi akhirnya panggung itu roboh dan semua orang jatuh ke tanah.
***
Bu Yuni gelisah, hari ini genap tiga hari Cantika tak pulang-pulang. Sekolahnya malah sudah jadi padepokan dukun. Dia khawatir. Langit dipenuhi hewan-hewan ghaib kualitas CGI sehari jadi. Mungkin aku berlebihan menggunakan pengembali waktu. Dunia-dunia jadi bertabrakan. Mana fantasi mana nyata tak lagi jelas. Apalagi kekuatanku hilang entah ke mana.
Bu Yuni menyetop becak, lalu beranngkat ke Negeri Awan. Diketuknya pintu istana berbahan kayu Jepara. Seorang pengawal membukanya. Setelah tahu siapa yang datang, dia mengantar Bu Yuni menghadap Raja Langit.
Kepada Raja Langit Bu Yuni bertanya, bagaimana caranya mengatasi kekacauan ini? Tapi Raja Langit sama bingungnya. "Hanya beliau yang bisa mengatasi semua ini."
"Beliau?"
"Ya. Beliau. Lima ribu tahun lalu, beliau pernah mengobrak-abrik kerajaan langit, membuat kami kelimpungan. Sang Buddha lalu menghukum beliau di gunung Tapak Dewa selama ratusan tahun. Setelah masa hukumannya selesai, Buddha meminta beliau melindungi Biksu Tong yang hendak mengambil Kitab Suci di Barat. Sekarang beliau sudah jinak."
"Sun Go Kong?"
"Benar."
"Tapi bagaimana menghubunginya? Dia sudah di Nirwana, bukan?"
"Bentar." Dewa Langit mengambil ponsel di celananya.
"Halo, Go Kong? Hahaha, baik, baik. Gimana kabar? Oh, barusan, nih, makan bakso tetelan. Enak, lu mau? Patkai gimana? Hah, punya pacar? Siapa?—"
Bu Yuni gelisah. Sudah lima hari, Raja Langit dan Go Kong tak kunjung selesai bertelponan. Bu Yuni berguling-guling di lantai tiga hari lagi, tapi Raja Langit dan Go Kong masih halo-haloan. Saat sudah putus asa, datanglah seorang dewi mendekati Bu Yuni.
"Jika Anda menunggu Raja Langit berhenti menelpon Go Kong, bisa-bisa Anda harus bersabar selama 10 tahun," kata sang dewi dengan suara selembut beledu. "Saya Enacempluk. Saya sudah memperhatikan Anda dan Cantika selama bertahun-tahun. Dan saya yakin Cantika punya bakat yang berbahaya."
"Bakat? Bakat apa? Dia hanya gadis biasa."
"Gadis biasa? Dia lahir dari rahim pengendali waktu. Selama ini, dia mengira hanya bisa membuat gambar yang nyata, tapi kemampuannya tak sebatas itu—"
"Gambar nyata?"
"Anda tidak tahu? Semua yang digambarnya bisa berubah jadi nyata."
"Kenapa dia tak bilang?"
"Karena Anda tak bertanya. Memangnya dengan apa dia mendapatkan ikan-ikan itu? Mana ada anak pari atau hiu yang hidup di sungai?"
"Tapi arapaima Ani—"
"Arapaima memang ikan air tawar."
"Itu bakat yang berbahaya, tapi kata Anda, ada yang lebih berbahaya?" Bu Yuni mengurut keningnya. Tidak sabar.
"Ya, bakatnya tidak sebatas itu. Karena bakatnya yang langka, banyak yang mengincar Cantika, termasuk Arya sang peternak Naga, dan Eyang Nunung tukang tenung dari Utara. Juga polisi siluman lumping Bintang Orion, serta RE kakak kelasnya yang punya mantra Ilahi."
"Saya masih tidak mengerti."
"Cantika terlahir sebagai _Storyteller_."
Bu Yuni terkesiap. Itu bukan sesuatu yang siap didengarnya.
"Ya. Dia sanggup mewujudkan semua yang digambarnya."
Selesai
0 Response to "Cantika Oh Cantika, Cerita Sambung Olimpian"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.