Kolong Kasur
By: Olimpian
Di kolong kasur ada seribu mata yang memata-mataiku. Karena gabut, mereka kupandang balik sampai mereka grogi sendiri.
Namun, entah kenapa masih saja terdiam di sana, padahal badannya sudah gemetaran. Oh, iya. Ternyata aku lupa mematikan kipas angin yang sengaja kutaruh di bawah kolong untuk mengusir nyamuk.
Sebelum menekan tombol off, aku ingin memastikan apakah nyamuk-nyamuk sudah pergi. Mataku menelisik ke sekeliling. Terlihat puluhan nyamuk beterbangan keluar jendela dengan menitikkan air mata. Sepertinya mereka merasa terusir. Ah, biarlah. Justru ini bagus. Setidaknya badanku tidak bentol-bentol karena gigitannya.
Eh, tunggu. Aku mendengar mereka tertawa sekarang, seolah sedang bersukacita. Apa gerangan yang terjadi? Hmm.
Aku terdiam sejenak, lalu berjalan mendekati jendela dan membukanya. Setelah mengamati area sekitar, kutemukan ada sepasang pemuda-pemudi yang sedang duduk manis di bawah pohon beringin. Mereka terlihat saling bercengkrama sambil memandang ke langit, di mana sang rembulan terlihat begitu indah menyinari kegelapan malam.
Pendar cahaya rembulan cukup jelas memperlihatkan ekspresi dan tingkah sejoli yang entah sudah sejauh mana hubungannya. Gadis itu tersenyum malu-malu. Sepertinya si pemuda mulai menggoda dengan kata-kata manis.
Nyamuk-nyamuk tadi beterbangan di sekililing mereka, membuat kedua orang yang sedang memadu kasih itu berusaha mengusirnya. Rupanya para nyamuk tidak pantang menyerah untuk menggoda.
Ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi si gadis dan diketahui oleh sang pemuda di sebelahnya. Dengan reflek, sang pemuda bermaksud memukul nyamuk itu, tetapi nyamuk keburu terbang hingga akhirnya pipi si gadislah yang terkena sasaran. Si gadis tampak marah dan pergi meninggalkannya.
Nyamuk-nyamuk pun kembali terbang sambil tertawa, merasa jumawa. "Darah segar manusia yang sedang jatuh cinta lebih manis. Tidak seperti manusia di dalam kamar yang sedang meratapi nasibnya itu. Pahit, sepahit hidupnya," kata seekor nyamuk sambil menikmati makan malamnya, sesekali menoleh ke arahku dan tertawa.
"Hai, nyamuk sialan! Aku hanya bosan dengan rutinitas palsu. Maka dari itu, aku memilih untuk menikmati kesepian di dalam kamar. Mereka yang terlihat tengah bermesraan di bawah sinar rembulan itu belum tentu ada cinta di antara mereka. Bisa jadi hanyalah nafsu. Siapa yang tahu?" Aku menunjuk seekor nyamuk itu seraya mengacungkan jari tengah ke arahnya.
Akan tetapi, nyamuk tadi tak menghiraukan ucapanku, ia hanya sibuk menyantap makan malamnya.
"Ah, kenapa tak kutulis jadi cerita saja?" ucapku lalu segera membuka laptop pinjaman yang lupa kukembalikan. Kebiasaan lama, otakku sering lupa kalau pinjam sesuatu.
Nyamuk itu tertawa seolah tahu bahwa laptop yang hendak kubuka merupakan laptop pinjaman. Aku heran, mengapa nyamuk itu bisa berbicara kepadaku. Ini mimpi, atau aku yang mewarisi ilmu Nabi Sulaiman yang bisa mendengar bahasa binatang. Selain itu, aku juga bisa melihat mereka dengan jelas meskipun dalam jarak yang jauh dan gelap. Entahlah.
Aku mengatur posisi duduk senyaman mungkin. Ditemani segelas kopi pahit dan singkong bakar buatan Emak, jari-jemariku memainkan keyboard dengan leluasa. Mengetik satu per satu huruf. Merangkainya menjadi sebuah kalimat hingga paragraf.
Tak berapa lama lidah ini mulai terasa kecut. Aku pun meraih segelas kopi dan menyeruputnya.
Selepas menaruh gelas di tempat semula, tiba-tiba aku ingin mengunyah sesuatu. Segeralah kuambil singkong bakar di atas piring—tanpa menengok ke arah makanan tersebut.
Ada rasa yang berbeda ketika aku mengunyahnya. Pahit, ulet, kasar seperti ada pasir. Kukeluarkan kembali makanan yang telah berada di dalam mulut.
"Syetdah! Kenapa tinggal kulitnya?" Mataku beralih ke tempat piring berada. Ada makhluk tipis kerempeng yang tengah berdiri di samping. Tangannya menggenggam sesuatu berwarna putih. "Yaelah! Kamu lapar juga?"
Makhluk yang baru keluar dari kolong kasur itu mengangguk. Tak lama kemudian dia kembali ke tempatnya bersama para penghuni lain.
Sebongkah kotak berisi 335 wayang kulit itu membuatku terdiam. Aku teringat akan masa indah ketika berada di sudut malam. Di antara suara gamelan, gending dan tembang mengiringi waktuku. Memainkan lakon demi lakon sepenuh hati.
Kini, situasi mengembangkan budaya klasik semakin sulit. Semenjak terjadinya pandemi tiga tahun lalu para seniman ikut menjerit. Tidak ada lagi suara dan gerakan yang kumainkan seperti dulu.
"Wayang-wayangku, istirahatlah. Biarlah keprak dan cempala mendampingimu. Aku berharap kita bisa bangkit dan kembali lagi." Aku mengusap lembut sahabat terindahku. "Tenanglah. Aku akan menjemurmu setiap tiga minggu sekali. Merawatmu dengan sepenuh hati."
Aku melihat wajah-wajah sendu di dalam sana. Mereka menatapku pilu. "Wahai, Tuan Dalang. Terima kasih karena telah merawat kami yang hanya terbuat dari bahan kulit kerbau dan sapi. Kami tak akan melupakan kebaikanmu. Maafkan kami yang sering mengganggumu."
Mataku terasa memanas dan perih. Ada sesuatu yang terasa basah mengaliri pipi. Aku merabanya. Busyet! Ternyata aku bisa menangis juga. Segeralah aku mengusap dan membersihkannya sebelum ada orang lain yang melihat.
"Maafkan aku juga jika selama ini tidak bisa menjadi tuan yang baik untuk kalian. Sekarang tidurlah dengan tenang." Aku menutup kotak perkakas yang sudah menemaniku selama belasan tahun.
Selesai
0 Response to "Kolong Kasur, Cerita Kolaborasi Olimpian"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.