12 Oktober
Bahkan aku diam pun tetap salah.
Mei menyeka darah di sudut bibirnya. Luka sobek di bibir dan lebam di pipinya sudah tidak bisa lagi dia tutupi, pada akhirnya apakah dia harus pergi ke luar dengan penampilan seperti ini?
Perlakuan abuse ayahnya semenjak 7 tahun lalu kini semakin menjadi-jadi. Tidak hanya menyalahkannya karena membuat istrinya yaitu ibunya meninggal, ayahnya juga dengan teganya memukulnya, sekecil apa pun kesalahan yang dia buat, ayahnya akan tetap menyiksanya.
Mei bangkit dari duduknya, darah dan bekas luka di tubuhnya sudah menutupi warna asli kulitnya.
“Mei.” Seorang wanita dari pintu kamarnya memanggil.
Meski tahu ayahnya melakukan abuse padanya, wanita itu, Mama tirinya hanya menutup mata. Dia memandang Mei dingin.
Mei merapikan rambutnya yang berantakan, “iya Bu.”
“Habis ini kamu jangan tidur, sudah hampir pagi, segera kamu mandi dan bantu ibu masak,” perintah ibu tirinya, sebelum Mei membalas ucapannya, ibu tirinya sudah pergi.
Mei menghela napas, dia melihat jam di dinding kamarnya, sudah jam 5. Semalam ayahnya marah padanya jam 01.35, berarti sudah lebih 3 jam dia di pukuli ayahnya.
Seluruh tubuhnya rasanya sangat sakit waktu dia bangun. Mei memaksakan tubuhnya untuk bangkit dan menyeret kakinya menuju kamar mandi. Dari pantulan air di bak mandi, Mei melihat wajahnya yang benar-benar babak belur.
Matanya memerah, tapi tidak ada lagi air mata yang bisa dia keluarkan. Air matanya kini sudah kering.
“Pfft....”
Sebagai gantinya Mei pun tertawa, awalnya hanya tertawa kecil namun semakin lama tawanya semakin keras.
Sungguh, tidak ada yang bisa dia lakukan pada hidupnya yang malang selain menertawakannya.
Jam 05.59.
Mei sudah selesai membantu ibu tirinya memasak. Setelah banyak bergerak waktu masak, tubuhnya sudah tidak sesakit tadi.
“Mei, sana kamu siap-siap buat sekolah, ibu mau membangunkan adik-adik mu,” ucap ibu sembari mencuci piring kotor di wastafel.
“Baik Bu.” Mei melepas celemek yang dia pakai, dan meninggalkan dapur menuju kamarnya.
Waktu dia keluar dari dapur, tidak sengaja dia berpapasan dengan ayahnya. Melihat tatapan dingin ayahnya, Mei pun tersenyum.
Sebelum ada kata yang bisa dia katakan, dengan dinginnya ayahnya melewatinya masuk ke dapur.
“Rin, aku hari ini akan berangkat pagi-pagi soalnya banyak kerjaan di kantor,” kata papa pada ibu tirinya.
Dulu sekali waktu mamanya masih ada, sesibuk apapun ayahnya di kantor, ayah tidak pernah berangkat lebih awal, bahkan ayahnya masih sempat untuk mengantarnya ke sekolah.
Rasanya Mei rindu dengan waktu itu, dia rindu dengan kehangatan papanya, dengan tawa Papanya yang kini sudah tidak lagi dia lihat.
Yang tersisa kini hanya kenangan, dan kenyataan bahwa semuanya sudah tidak lagi seperti dulu.
Memakai riasan bukanlah kebiasaan Mei, sebagai seorang perempuan dia tentu tahu bagaimana caranya bermake-up, hanya saja tidak seperti perempuan pada umunya, Mei memakai make up untuk menutupi lebam di pipinya. Meski rasanya perih waktu butiran bedak dan foundation mengenai lukanya, namun Mei harus bisa tahan, sayangnya luka sobek di bibirnya tidak bisa dia tutupi, setelah dirasa lebam di wajahnya sudah tertutupi dengan sempurna, Mei pun mengambil tasnya dan bersiap berangkat.
Sudah satu jam Mei bersiap-siap di kamarnya, dan makanan yang ada di meja makan kini sudah tidak ada.
“Bu, apa gak ada sisa makanan untukku?” tanyanya pada sang ibu yang mulai membereskan piring-piring kotor.
“Sudah habis, kamu nanti makan saja di sekolah, uang jajanmu masih ada kan?”
Mei pun menggeleng pelan.
“Ck!” decak ibu tirinya dan dengan kasar menaruh piring-piring kotor di atas wastafel.
Ibu tirinya mengambil dompet dari kamarnya, mengeluarkan uang selembar 50 an, dia melemparnya pada Mei.
Mei sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti ini dari ibu tirinya, padahal dulu ibu tirinya adalah teman baik ibunya dan juga sangatlah baik padanya. Dia mengambil uang itu yang terjatuh di lantai.
“Sudah sana berangkat,” kata ibu tirinya.
Mei memasukkan uang itu ke dalam saku seragamnya, dia menghampiri ibu tirinya untuk salaman sebelum berangkat, tapi ibu tirinya buru-buru menepisnya.
“Segera sana berangkat.” ucap ibu tirinya ketus.
Sebenarnya sejak kapan semuanya berubah begini, Mei sudah lelah, kadang ia selalu berpikir mungkin lebih baik dirinya menghilang saja. Dengan begitu, ayahnya tidak akan terus-terusan berdosa karena menyiksanya.
“Sudah berapa kali ku bilang, kamu jangan sekali-kali punya pikiran seperti itu, Mei.” Waktu Mei mengatakan apa yang dia pikirkan pada Aline sahabatnya, sahabatnya itu malah memarahinya.
“Tapi aku lelah Lin, untuk apa juga aku harus hidup.”
Aline memeluk sahabatnya, dia tahu penderitaan yang dialami Mei, dan sebagai temannya yang bisa dia lakukan hanya lah memberinya pelukan.
“Kamu itu kuat Mei, kamu sudah bertahan sampai sejauh ini, percayalah semua penderitaanmu akan berakhir. Lagipula mati bukan jalan keluarnya, iya kalau nanti masuknya ke surga kalau misalnya masuk neraka gimana?”
“Di sini pun sudah bagai neraka, Lin.”
Aline semakin mengeratkan pelukannya, “pokoknya gak boleh, kamu gak boleh punya pikiran seperti itu, masak kamu tega meninggalkan aku sih, Mei.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku sudah lelah.”
“Kamu bisa istirahat Mei, atau kamu bisa sementara waktu tinggal di rumahku untuk menenangkan pikiran dulu.”
Mei memikirkan perkataan Aline, ada dia di rumah atau tidak, keluarganya tidak akan peduli. Mungkin untuk sebentar saja dia ingin menenangkan pikiran dulu.
“Tapi aku tidak memaksa mu kalau....”
“Baiklah.” Mei memotong ucapan Aline, membuat Aline tersenyum senang.
Sebenarnya sudah sering Aline menyarankannya untuk menginap di rumahnya, tapi Mei selalu saja menolaknya.
“Nah gitu dong, orang tuaku pasti senang kalau kamu menginap” tiba-tiba perut Aline berbunyi, “lapar nih Mei, makan dulu yuk.”
Aline lalu mengajak Mei pergi ke kantin. Waktu mereka akan pergi, tiba-tiba Anaya, adik tiri Mei datang menemuinya.
“Ternyata kakak ada di sini?”
“Ada apa Nay, kamu mencariku?” Tanya Mei.
“Berikan uang dong kak, aku lagi butuh nih.”
“Bukannya kamu sudah di kasih uang sama ibu?”
“Itu kurang kak, kakak juga tadi pagi sudah di kasih uang kan sama ibu, sudah cepat berikan padaku.” Anaya sedikit memaksanya.
“Ehh woi, sebagai adik kamu harus sopan dong sama kakakmu, memang begitu cara meminta pada orang yang lebih tua,” emosi Aline waktu melihat Anaya bicara dengan ketus pada Mei.
“Ihh apaan sih, memang kamu siapa ngatur-ngatur orang?” ketus Anaya membalas Aline.
“Kamu ya....”
“Lin, sudah.” Mei menahan Aline agar tidak berdebat dengan adik tirinya itu.
“Nay, kan kemarin aku sudah memberikan uang padamu, masak suda habis sih?” padahal uang yang dia berikan cukup banyak.
“Ngapain sih kakak tanya, cepat berikan saja uangnya,” ketus Anaya tidak sabaran.
Mei menghela napasnya, meski dia dan Anaya tidak punya hubungan darah sebagai saudara, tapi Mei menyayanginya, dia tidak mau terlalu memanjakan Anaya dengan memberikan apa yang adiknya itu inginkan.
“Maaf ya Nay, tapi aku gak bisa memberikanmu uang, aku...aku juga memerlukan uang ini.”
“Jadi Kakak tidak mau ngasih?” Anaya terlihat marah padanya.
Mei yang tidak mau berurusan dengan Anaya mengajak Aline untuk segera pergi dari sana.
“Sebagai anak pungut, kakak seharusnya sadar diri, aku cuman minta uang yang ibuku kasih pada kakak, lagian aku tidak meminta banyak kok.”
Mei menghentikan langkahnya waktu mendengar ucapan Anaya.
“Kamu punya mulut di jaga dong, sendirinya cuman anak tiri ngatain Mei anak pungut,” emosi Aline pada Anaya.
Mei berjalan ke arah Anaya.
“Apa maksudmu Nay, aku anak pungut, dari mana kamu bisa beranggapan aku anak pungut?”
“Dari siapa? jelas dari ayah lah.” Anaya lalu menceritakan apa yang dia dengar waktu tidak sengaja menguping pembicaraan ayah dan ibunya, tentang Mei yang mereka kira bukanlah Mei asli.
Selama ini, Mei selalu bertanya-tanya, mengapa perlakuan ayahnya tiba-tiba berubah padanya. Ternyata karena orang tuanya mengira dia bukan Mei, lalu jika dia bukan Mei, dia lalu siapa?
“Tidak mungkin, aku adalah anak ayah.” Mei menggeleng-gelengkan kepalanya.
Anaya memutar bola matanya sambil bersidekap dada, “anak ayah apa? Anak ayah itu sudah mati waktu kebakaran, kakak itu cuman anak pungut.”
Kebakaran?
Hanya sekali Mei terjebak dalam kebakaran, dan itu waktu dia berumur 9 tahun yang artinya 8 tahun yang lalu, setahun sebelum mamanya meninggal karena kecelakaan.
“Mei, sudah. Gak usah pedulikan ucapannya, lebih sekarang kita pergi dari tempat ini,” ajak Aline memegang tangan Mei yang segera di tepis olehnya. “Mei...,Mei!”
Mei berlari meninggalkan tempat itu, tidak menghiraukan teriakan Aline yang memanggilnya.
Hari ini, tanggal 12 Oktober. Hari ulang tahunnya dan hari kematian mamanya. Mei sangat mengingat tanggal ini, selain karena kenangan menyakitkan itu juga terjadi pada tanggal ini, ayahnya akan memberinya kado yang juga menyakitkan, Mei memegang sudut bibirnya yang sobek. Setitik air mata terjatuh membasahi pipinya.
Ternyata air matanya tidak mengering seperti yang dia pikirkan.
Saat kebakaran waktu itu, Mei hampir saja mati. Tapi seorang anak perempuan yang ia tidak ingat siapa menolongnya dengan mempertaruhkan nyawanya, sebagai gantinya tidak hanya anak kecil itu saja yang mati tapi dia juga kehilangan kalung, hadiah ulang tahunnya yang ayahnya berikan pada saat itu.
Mei memegang lehernya, tepat saat kebakaran itu juga adalah hari ulang tahunnya.
Terlalu banyak tragedi di tanggal ini, apakah 12 Oktober adalah tanggal sial, atau kah kelahirannya yang sial. Jika begitu seharusnya dia tidak usah di lahirkan saja.
TPU Anyelir, tidak begitu jauh dari sekolahnya. Seperti yang dia duga, seorang pria mengenakan baju kantoran tengah bersimpuh di makam Mamanya.
Setiap hari kematian Mamanya, Ayahnya pasti akan datang ke makam ini. Mei biasanya hanya melihat Papanya dari kejauhan, tapi kali ini dia memberanikan dirinya untuk mendekat.
“Mira, maafkan aku. Aku sudah berbohong padamu, Putri kita, dia sudah meninggal waktu kebakaran itu terjadi, maafkan aku tidak memberitahumu, aku takut kamu akan sedih mengetahui fakta ini Mira, aku membiarkanmu merawat anak perempuan itu sebagai pengganti Mei, Putri kita. Tapi aku tidak menyangka karena anak itu kamu harus meninggal karena kecelakaan. Maafkan aku Mira, ini semua salahku.”
Mendengar pengakuan ayahnya di kuburan sang Mama, air mata Mei kembali mengalir. Sungguh, rasanya sakit mengetahui ayahnya sendiri mengiranya sebagai orang lain.
“Kalau...kalau ayah meragukanku sebagai anak ayah, kenapa ayah tidak melakukan tes DNA padaku?”
Ayah menoleh padanya waktu mendengarnya bicara.
“Aku Mei ayah, kenapa ayah menganggap aku sebagai orang lain?” waktu itu Mei melihat kalung yang menghitam di tangan ayahnya.
Itu adalah kalungnya, dia ingat betul dengan liontin bunga dengan permata merah di tengahnya.
“Kenapa kamu ada di sini?,” ucap Ayahnya yang begitu dingin padanya.
Mei bersimpuh di depan ayahnya, dia memegang tangan ayahnya dan lalu menatapnya, “lihat aku ayah, apa ayah tidak mengenaliku sebagai putrimu, padahal dulu ayah selalu ada untukku, ayah selalu menemaniku, membacakanku dongeng sebelum tidur, lalu...lalu ayah juga yang mengatarku ke sekolah, kenapa ayah tidak bisa mengenaliku sebagai putrimu?”
Meski sedikit, Mei dapat melihat reaksi terkejut ayahnya.
Kenapa ayahnya bisa tidak mengenalinya? Apakah karena wajahnya yang terkena luka bakar hingga harus melakukan operasi plastik waktu itu. Tapi, bukankah anak dan orang tua punya ikatan yang kuat, tapi kenapa ayahnya malah bersikap dingin padanya.
“Kamu bukan Mei,” ucap ayahnya pada akhirnya, “kamu bukan anakku, Mei ku, dia sudah mati waktu kecelakaan itu,” Ayah memalingkan wajahnya, matanya menggenang dengan air mata.
“Kalau Mei sudah mati lalu aku siapa? Meskipun Mei sudah mati kenapa ayah selama ini menyiksaku? Apa salahku? Apakah karena aku penyebab kematian Mama?” teriak Mei pada ayahnya.
“Jika aku memang benar Mei dan Mama mati karena ku, apa ayah juga akan menyiksaku juga, menyiksa anak ayah sendiri?”
Ayah tidak berkata apa-apa.
“Ayah, aku Mei. Aku masih ingat setiap malam ayah akan menceritakan aku dongeng sebelum tidur, aku juga ingat rahasia kita waktu ayah diam-diam memberiku permen waktu Mama melarangku untuk memakan banyak manisan, bahkan aku ingat, ketika kita liburan ke desa, aku tersesat dan ayah menemukanku sedang menunggu di gubuk tua dalam hutan, waktu itu, aku menangis di pelukan ayah dan ayah menenangkan ku dan berjanji akan memberikanku permen coklat, lalu apa ayah ingat apa yang ayah katakan dulu ‘Sudah, jangan menangis lagi, ayah sudah di sini, ayah akan melindungi tuan putri ayah,' apa ayah lupa dengan semua itu?”
Terlihat ayah yang terkejut waktu mendengar ucapan Mei, namun tidak lama ayah kembali memalingkan wajahnya.
“Ayah, lihat aku. Apa ayah masih meragukanku? Kalau begitu ayah tes DNA saja aku,” teriak Mei, dia melihat sekitarnya mencari sesuatu, waktu menemukan batu runcing dia mengambilnya dan menggores tangannya dengan batu itu hingga tangannya mengeluarkan darah, “ini ayah.” Mei menaruh darahnya di telapak tangan ayahnya, “ayah bisa menggunakan darah ini untuk tes DNA, kalau darah saja tidak cukup, ayah bisa menggunakan rambutku,” Mei mencabut rambutnya kasar yang dia taruh di tangan ayahnya, “apakah masih kurang, Mei bisa memberikan semua darah, rambut bahkan semua yang ada di tubuhku untuk ayah tes, agar ayah percaya aku adalah putri ayah. Selama ini aku mencoba bertahan dengan semua siksaan ayah, aku ingin ayah kembali menyayangiku, tapi kalau ayah meragukanku, aku rela jika harus mati untuk membuktikannya hanya agar ayah mengakuiku sebagai putri ayah.” Tatapan Mei begitu putus asa waktu melihat Ayahnya yang masih memalingkan wajah darinya.
“Ayah, tolong lihat aku. Tolong jangan menganggapku orang lain, aku adalah putrimu, ayah.” Mei menunduk di depan ayahnya sambil kembali memegang tangan ayahnya. Dia menangis sesenggukan di depan ayahnya yang hanya diam saja sejak tadi.
Ayahnya melepaskan tangannya dan pergi meninggalkannya di tempat itu.
“Ayah!” panggilnya, mengejar ayahnya.
“Ayah, tunggu aku.” Tapi ayahnya tidak juga berhenti, waktu keluar dari area pemakaman, waktu Mei menyeberangi jalan untuk mengejar ayahnya, tidak sengaja dia tertabrak mobil yang melaju dengan kecepatan penuh.
Bugh!
Suara tabrakan antara dia dan mobil itu begitu keras, waktu ayah menoleh dia sudah terpental sejauh dua meter dari tempatnya tertabrak. Darahnya dengan cepat membasahi jalanan, telinganya berdenging karena benturan keras yang dia alami dengan aspal jalan.
Dengan pandangan buram, dia melihat ayahnya berlari ke arahnya, dia tersenyum pada sang ayah yang menatapnya khawatir.
“A-ayah, lihat, darahku banyak yang keluar, ayah bisa melakukan tes DNA berkali-kali dengan semua darah ini, sampai ayah yakin kalau aku adalah putri....” Sebelum Mei menyelesaikan kata-katanya, pandangannya tiba-tiba menghitam dia kehilangan kesadarannya.
“Hai kamu Mei kan, kenalin aku Fey,” seorang anak kecil tersenyum cerah padanya, “wah kalungmu sangat cantik, boleh aku pinjam?”
Fey adalah anak kecil seumurannya yang dia temui di pesta kantor ayahnya. Kalung itu baru dia dapatkan pagi ini dari ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya.
Mei sebenarnya tidak mau meminjamkannya, tapi kata Mamanya dia harus baik pada temannya, jadi akhirnya dia pun meminjamkan kalung itu pada Fey.
“Tapi sebentar saja, ya?” kata Mei, Fey pun mengangguk.
Fey tampak senang memakai kalungnya, dia pun lalu mengajaknya bermain bersama. Mei sangat senang bisa bertemu dengan Fey, namun sayang pertemuan mereka begitu singkat, terjadi kebakaran di tempat itu, dia dan Mei terjebak di tengah kebakaran.
Alih-alih mengajaknya bersembunyi, Fey mengajaknya untuk mencari jalan keluar dari kebakaran itu.
“Jangan khawatir, kita pasti bisa keluar dari sini,” ucap Fey sambil tersenyum padanya.
Mei pun balas tersenyum, tidak menyadari jika di atasnya langit-langit runtuh dan hampir menimpanya, Fey yang melihat itu buru-buru menariknya menjauh dari reruntuhan itu yang naasnya malah dirinya yang tertimpa reruntuhan.
“Fey!” teriak Mei berusaha menyingkirkan reruntuhan dari atas tubuh Fey, tapi sayangnya dia tidak sekuat itu untuk mengangkat reruntuhan itu.
Fey pun juga tidak bergerak dan darahnya menggenang di kakinya. Mei menangis, merasa takut, dia jatuh terduduk di depan Fei. Api mulai membesar dan tidak sengaja mengenai bagian samping wajahnya.
“Argh!” teriak Mei kesakitan waktu api membakar wajahnya.
Dia terjatuh di samping Fey, dia menangis.
Saat itu, dia berharap untuk dapat selamat, dia berharap ada orang yang menolongnya. Jika saat itu dia mengetahui masa depan yang menantinya. Maka dia akan memilih lebih baik saat itu dia mati saja bersama Fey. Karena tidak ada gunanya dia hidup selain merasakan penderitaan yang membuatnya sangat sekali ingin mati.
Seharusnya yang mati adalah dia bukan Fey. Seharusnya dia mati saja.
Kenapa dia harus hidup.
Dia ingin mati.
Tidak, dia harus mati.
“Mei.” Sayup-sayup dia mendengar seseorang memanggilnya.
“Mei!” Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar.
“Mei, ayah mohon bangun nak, maafkan ayah, ayah terlalu bodoh tidak mengenalimu, maafkan ayah, tolong beri ayah kesempatan untuk membalas semua perlakuan ayah padamu, ayah mohon nak, tolong buka matamu, ayah minta maaf.” Menangis, ayah memeluk Mei yang dinyatakan sudah meninggal oleh dokter, dia tidak mau melepas Mei, dia tidak mau membiarkan Mei Putrinya mati.
“Maafkan ayah Mei, tolong jangan tinggalkan ayah.”
Istrinya di sampingnya juga menangis, Mei adalah putri sahabatnya, namun sekejam itu dia memperlakukan Mei selama ini. Dia menghapus air matanya dan dengan lembut memeluk suaminya.
“Mas, sudah mas, ikhlaskan Mei, dia sekarang sudah meninggal.”
“Tidak!” teriak suaminya menepisnya, “Mei belum mati, dia hanya masih marah padaku, mangkanya dia tidak mau membuka matanya.”
“Mas.” Air mata istrinya mengalir.
“Mei tidak akan pergi, dia tidak akan mati semudah itu, dia tidak....” suaminya tidak melanjutkan kalimatnya. Ia kembali menangis sesenggukan. “Tolong Mei, jangan tinggalkan ayah,” ucap ayahnya lirih, begitu putus asa. Dia memegang tangan Mei yang dingin.
Tiba-tiba air mata terjatuh dari mata Mei, dan jarinya tiba-tiba mulai bergerak.
“Mei.” Ayahnya yang merasakan pergerakan dari jarinya, bangkit kembali, dia mengelus rambut Mei.
Jari Mei kembali bergerak, dan tangannya yang tadinya dingin kini mulai kembali hangat.
“Do-dokter aku...aku akan panggil dokter,” kata istrinya yang melihat mata Mei bergerak. Dia meninggalkan suaminya dan Mei yang pelan-pelan membuka matanya.
“Terima kasih ya tuhan, terima kasih sudah mengembalikan Mei padaku, nak, Mei, ayah di sini, ayah minta maaf atas semua perlakuan ayah padamu Mei, ayah minta maaf.”
Ayah memeluk Mei yang baru saja membuka matanya.
Mei pun juga ikutan menangis.
“Fey.” Lirih Mei bersuara, ayah menatapnya.
“Mei?”
Mei lalu tersenyum, “waktu kebakaran itu, Fey yang mati menggantikan Mei, harusnya saat itu Mei yang mati, bukan dia.”
Buru-buru ayah menutup mulutnya, menggeleng, “jangan mengatakan itu Mei, jangan katakan, ayah tidak mau kehilangan kamu, ayah selama ini sudah salah sangka, ayah minta maaf. Tolong berikan ayah kesempatan untuk memperbaiki semua yang sudah ayah perbuat padamu.”
Mei tersenyum, “Ayah tidak harus meminta maaf, bukan salah ayah,” ucap Mei lirih, dia lalu menghela napas. “Mei juga mau berterima kasih, terima kasih sudah memberi Mei luka.” Mei tersenyum, “dengan begini, Mei bisa membalas kebaikan Fey dengan tidak bahagia di atas kematiannya.” Air mata Mei mengalir meski sudut mulutnya tersenyum, begitu pun dengan ayahnya yang juga menangis mendengar ucapannya.
Tidak ada yang bisa dia katakan, sudah banyak luka yang dia berikan pada putrinya selama ini.
“Maafkan ayah, Mei.”
Biodata Penulis
Nama Bara meski aslinya bukan laki-laki, memiliki nama asli yang dapat disingkat Rifani, kelahiran tahun 2002 yang bentar lagi umur 21, seorang mahasiswi yang bentar lagi akan lulus, menyukai dunia literasi tapi lebih suka dunia sendiri yaitu nolep sepanjang hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.