Rabu, 21 September 2022

Bahasa dan Gender: Ketertimpangan dalam Pemakaian Bahasa Indonesia di Masyarakat



 Bahasa dan Gender: Ketertimpangan dalam Pemakaian Bahasa Indonesia di

Masyarakat

Oleh : Salma Dhiya Ulhaq

Dalam lingkungan kemsyarakatan, penutur bahasa tidak hanya dipakai oleh orang yang mempunyai kriteria yang sama, penutur bahasa bisa dari golongan apa saja. Kedudukan sosiolinguistik menempatkan bahasa dalam hubungan dengan pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat sehingga dapat memandang bahasa sebagai alat komunikasi.

Sosiolinguistik berperan dalam menjelaskan kemampuan seseorang menggunakan aturanaturan berbahasa dengan tepat menyesuaikan situasi-situasi yang bermacam-macam (Rokhman, 2002). Perbedaan kata didasarkan atas jenis kelamin penutur, bahasa dan gender begitu berkaitan dalam masyarakat sehingga keduanya mempunyai keterkaitan yang erat.

Gender merupakan faktor yang berpengaruh terhadap variasi bahasa meskipun sampai saat ini studi bahasa pada umumnya membiarkan perbedaan jender dalam pemakaian bahasa. Gender juga sebagai pembeda fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan di masyarakat.

Hubungan gender dengan proses keyakinan adalah dengan cara apa seharusnya lakilaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. dapat melihat kenyataan bahwa gaya bicara dan karakteristik pilihan pembicaraan sangat dipengaruhi jenis kelamin. Tidak jarang, dalam pemakaian bahasa sehari-hari terjadi bias antara laki-laki dan perempuan.

Bias gender ini terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan, yang dimaksud ketidakadilan dalam konteks ini yakni apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Baik laki-laki maupun perempuan bisa terkena imbas dari adanya bias gender.


Bahasa Indonesia pada dasarnya tidak terdapat pembagian bahasa berdasarkan kategori jenis kelamin atau gender. Berebeda dengan bahasa negara lainnya yang beberapa diantaranya menggunakan kategori gender dalam pemakaiannya. Badudu (1984:48) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk gramatika untuk menyatakan atau membedakan benda-benda atau jenis laki-laki dan perempuan.

Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat. Pada praktek nyatanya yang ada dalam masyarakat, biasanya perempuan lebih terkesan menggunakan kosa kata yang berbeda dibanding laki-laki. Dalam kehidupan masyarakat, tak jarang masih adanya bias atau ketimpangan gender yang juga sebagai ungkapan dalam wujud nama penanda status keluarga atau perkawinan.

Sejak lahir, manusia sudah dikotak-kotakkan atau diklasifikasikan ke dalam gender: laki-laki dan perempuan. Untuk mengekalkan keberadaan keluarga, di beberapa suku dan kelompok sosial lainnya, sudah menjadi kebiasaan mencantumkan nama ayah di belakang nama anak, bukan nama ibu. Jika masyarakat tidak mengenal adat tersebut, ketika dewasa nama yang dipilih adalah nama ayah dan bukan nama ibu.

Beberapa kata dapat merekam adanya stereotipe dan sifat-sifat tertentu yang mengasosiasikan laki-laki atau perempuan. Stereotipe yang berkembang di masyarakat mengatakan bahwa fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Stereotip yang tumbuh dan berkembang di masyarakat mengatakan bahwa perempuan secara fisik lebih lemah daripada laki-laki.

Wanita biasanya diberi predikat pasif, lemah, lemah lembut, sabar, setia, mengalah, emosional, bahkan irasional. Begitu juga dengan cara berbahasa mereka dalam kesehariannya, pada perbendaharaan kata sosiolinguistik, secara umum, pembahasan tentang perbedaan penggunaan bahasa antara perempuan dan laki-laki ditumpukan pada konteks jaringan sosial dan maksud pembicara.

Maksud dari pembicara sangat ditentukan oleh konteks, yakni dari waktu, tempat, peristiwa, kelas, etnik, agama, lingkungan sosial, ekonomi, politik, proses, keadaan, dan mitra tutur. Maksud pembicara tersebut bisa disimak dari kosakata yang dipilihnya. Dalam bahasa

Indonesia, misalnya, kalimat yang berbunyi “Saya mau mengawini dia.” atau “Saya akan menceraikan dia.” dapat bisa langsung diketahui siapa yang dimaksud subjek “saya” dan “dia”. ”Saya” dalam kalimat itu pasti laki-laki dan ”dia” perempuan. Penentuan referen “saya” seorang laki-laki dan “dia” itu perempuan karena dalam jaringan sosial masyarakat kita, yang dapat dilekatkan dengan kata “mengawini” dan “menceraikan” adalah laki-laki, sedangkan perempuan hanya dapat “dikawini” dan “diceraikan”.

Ketika melihat konteks struktur bahasa, kalimat “Tuti mengawini Yusuf” atau “Yusuf dicerai Tuti” tidak salah, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat (P), dan objek (O). Tetapi, bahasa bukan hanya masalah intrinsik struktur bahasa, melainkan juga masalah ektrinsik-konteks budaya.

Kalimat, “Ratih diceraikan Hendi,” perempuan sebagai subjek jika dibandingkan dengan kalimat, “Hendi mengawini Ratih,” dianggap memenuhi kaidah struktur kalimat dan konteks sosial budaya, kata ‘diceraikan’ dan ‘dikawini’ dengan ‘mengawini’ dan ‘menceraikan’ walaupun tanpa tahu subjeknya pun sudah dapat ditebak siapa objek dan subjeknya.

Selama budaya di Indonesia masih ada sistem patriarki yang sangat kental, perempuan mustahil untuk mendapat orang yang dianggap ”mengawini” dan ”menceraikan” kedua kata tersebut terdengar lebih cocok pada laki-laki seolah menunjukkan posisi mereka dalam realita sosial.


Terdengar memiliki power dan tidak berada dipihak yang lemah. Selain itu, adanya penentuan kategori dalam jenis kelamin, contoh sederhananya dari penggunaan sufiks [-wan], [-man], dan fonem /a/ untuk maskulin; serta sufiks [–wati], dan fonem /i/ untuk feminin (Parera, 1994:32). Sampai sejauh ini kita meyakini setiap kata yang berakhiran [–wan] atau [-man] yang menandai bentuk maskulin untuk laki-laki, pasti memiliki pasangan femininnya untuk perempuan.

 Contohnya, antara lain: wartawan >< wartawati, seniman >< seniwati, peragawan >< peragawati. Tetapi, kenyataannya ada beberapa kata yang tidak memiliki pasangan femininnya, seperti: budiman, pahlawan, bahasawan, bangsawan, hartawan, ilmuwan, sejarahwan, cendekiawan, budayawan, dan sebagainya. Kenyataan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti akan adanya bias gender terkait dengan maskulinitas dan feminitas dalam bahasa Indonesia.

Sebagai contohnya, penamaan profesi polisi merupakan penamaan yang bersifat general dan netral, sedangkan bagi perempuan yang menjadi polisi maka ada panggilan khusus yakni polisi wanita (polwan). Hal tersebut menjadi bermasalah karena nama profesi yang dikotak-kotakkan ini merupakan bentuk dari pengistilahan bias gender yang linear dengan penyebutan berdasarkan sufikssufiks yang menempel pada kata dasarnya.

Dalam pandangan umum bahwa perempuan dan laki-laki memilki perbedaan dalam menggunakan bahasa karena dari segi seks mereka berbed. Para ahli bahasa juga sepakat bahwa perbedaan ciri-ciri bahasa yang digunakan antara laki-laki dan perempuan dapat diamati dan dibedakan. Diyakini bahwa itu tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

Bahasa Indonesia memiliki perbedaan kosa kata yang biasanya digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi bahasa mereka tetap sama, tetapi dalam penggunaan bahasa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang berbeda.

Masalah bahasa dan komunikasi lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki karena pada umumnya, perempuan lebih sering berbicara daripada laki-laki. Misalnya, dalam penggunaan kata warna, ada kosa kata feminin yang tidak disukai oleh laki-laki, seperti: ungu muda, merah jambu, dan magenta.

Bisa dikatakan, jika dibandingkan, perempuan lebih menguasai banyak kosakata dalam penggunaan bahasa dalam sehari-hari daripada laki-laki dalam menamai sebuah objek. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan sering menggunakan banyak kata sifat, seperti kata menggemaskan, menawan, cantik; kata yang jarang laki-laki gunakan.

Menggunakan lebih banyak kata sifat untuk menggambarkan sesuatu dan perasaan, hal tersebut dapat membuktikan bahwa wanita lebih peka terhadap lingkungan dan cenderung mengekspresikan emosinya. Perempuan cenderung fokus pada fungsi afektif ketika sedang berinteraksi daripada laki-laki. Afektif yang dimaksud di sini yaitu yang berkaitan dengan sikap dan nilai ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.

Biasanya, dalam sebuah interaksi, perempuan lebih banyak mengumpulkan fungsi afektif yang meliputi perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai daripada laki-laki. Perempuan juga lebih terampil secara verbal daripada laki-laki, tujuan laki-laki dalam menggunakan bahasa cenderung untuk menyelesaikan sesuatu, sedangkan perempuan cenderung untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Laki-laki lebih banyak berbicara tentang hal-hal dan fakta, sedangkan perempuan lebih banyak berbicara tentang orang, hubungan, dan perasaan.

Perbedaaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Masalah bahasa dan komunikasi lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki karena pada umumnya, perempuan lebih sering berbicara daripada laki-laki. Perempuan lebih terampil secara verbal dibandingkan dengan laki-laki.

Perempuan lebih cenderung menggunakan linguistic device yang menekankan solidaritas daripada yang dilakukan laki-laki. Sebagian perempuan dalam berinteraksi terutama saat memberi saran ke temannya yang sesama perempuan, menyampaikan arti yang berbeda dari arti yang asli. Biasanya memakai metafora untuk menyampaikan maksudnya, hal yang mungkin jarang dilakukan laki-laki. Linguistic device ini beberapa diantaranya ada simile, hiperbola, metafora dan lain-lain.

Dalam bahasa Indonesia, tidak terdapat tidak terdapat pembagian bahasa berdasarkan kategori jenis kelamin atau gender, berbeda dengan bahasa negara lainnya yang beberapa diantaranya menggunakan kategori gender dalam pemakaiannya. Gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi variasi bahasa, meskipun sampai saat ini pembelajaran bahasa secara umum memungkinkan adanya perbedaan gender dalam penggunaan bahasa.

Gender juga sebagai pembeda fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan di masyarakat. Tidak jarang, dalam pemakaian bahasa sehari-hari terjadi bias antara laki-laki dan perempuan. Bias gender ini terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan, yang dimaksud ketidakadilan dalam konteks ini yakni apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Kejadian bias tersebut bisa saja terjadi baik kepada laki-laki maupun perempuan.

Fakta bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan tidak setara dalam budaya kita juga memiliki nilai paralel dalam bahasa. Bahasa merekam asumsi-asumsi yang diyakini oleh masyarakatnya mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki atau perempuan berperilaku. Jika bahasa merupakan seperangkat konvensi yang mampu merefleksikan hubungan–hubungan sosial dan budaya di masyarakat, maka bias gender dalam bahasa memperlihatkan adanya budaya Indonesia yang lebih berpihak pada laki-laki dari pada perempuan, budaya yang menyudutkan perempuan dan menganggap perempuan sebagai manusia lemah dan tidak berdaya.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah. Jalil, Abdul. 2018. “Gender Dalam Perspektif Budaya dan Bahasa.” dalam Jurnal

Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 11 No. 2. Sulawesi Selatan: Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)

DDI Pangkep.

Budiwati, Tri Risna. 2011. “Representasi Wacana Gender dalam Ungkapan Berbahasa

Indonesia dan Bahasa Inggris: Analisis Wacana Kritis.” dalam Jurnal Kawistara Vol. 1, No.

3. Yogjakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

Harimansyah, Ganjar. Perempuan dan Bahasanya: Cermin Pengaruh Jenis Kelamin dalam

Faktor Pilihan Berbahasa dan Mitos di Sekitarnya.

https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/328 diakses pada 31 Oktober 2021.

Ismail, Asri. 2018. Menyelami Kuasa dan Bahasa Perempuan.

https://news.detik.com/kolom/d-3880048/menyelami-kuasa-dan-bahasa-perempuan diakses

pada 31 Oktober 2021

Jaeni, Muhammad. 2009. “Bahasa dan Ketimpangan Gender.” dalam Jurnal Muwazah Vol.

1, No. 2. Pekalongan: STAIN Pekalongan.

6

Jalal, Moch. “Fenomena Bias Gender dalam Pemakaian Bahasa Indonesia.” dalam Jurnal

Sastra Indonesia. Surabaya: Universitas Airlangga. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.