Bahasa dan Gender: Ketertimpangan dalam Pemakaian Bahasa Indonesia di
Masyarakat
Oleh : Salma Dhiya Ulhaq
Dalam lingkungan kemsyarakatan, penutur bahasa tidak hanya
dipakai oleh orang yang mempunyai kriteria yang sama, penutur bahasa bisa dari
golongan apa saja. Kedudukan sosiolinguistik menempatkan bahasa dalam hubungan
dengan pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat sehingga dapat
memandang bahasa sebagai alat komunikasi.
Sosiolinguistik berperan dalam menjelaskan kemampuan seseorang
menggunakan aturanaturan berbahasa dengan tepat menyesuaikan situasi-situasi
yang bermacam-macam (Rokhman, 2002). Perbedaan kata didasarkan atas jenis
kelamin penutur, bahasa dan gender begitu berkaitan dalam masyarakat sehingga
keduanya mempunyai keterkaitan yang erat.
Gender merupakan faktor yang berpengaruh terhadap variasi
bahasa meskipun sampai saat ini studi bahasa pada umumnya membiarkan perbedaan
jender dalam pemakaian bahasa. Gender juga sebagai pembeda fungsi peran sosial
yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan
perempuan di masyarakat.
Hubungan gender dengan proses keyakinan adalah dengan cara
apa seharusnya lakilaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.
dapat melihat kenyataan bahwa gaya bicara dan karakteristik pilihan pembicaraan
sangat dipengaruhi jenis kelamin. Tidak jarang, dalam pemakaian bahasa
sehari-hari terjadi bias antara laki-laki dan perempuan.
Bias gender ini terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan, yang dimaksud ketidakadilan dalam konteks ini yakni apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Baik laki-laki maupun perempuan bisa terkena imbas dari adanya bias gender.
Bahasa Indonesia pada dasarnya tidak terdapat pembagian
bahasa berdasarkan kategori jenis kelamin atau gender. Berebeda dengan bahasa
negara lainnya yang beberapa diantaranya menggunakan kategori gender dalam
pemakaiannya. Badudu (1984:48) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Indonesia tidak
ada bentuk gramatika untuk menyatakan atau membedakan benda-benda atau jenis
laki-laki dan perempuan.
Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu
sosiolinguistik, dapat dilihat. Pada praktek nyatanya yang ada dalam
masyarakat, biasanya perempuan lebih terkesan menggunakan kosa kata yang
berbeda dibanding laki-laki. Dalam kehidupan masyarakat, tak jarang masih
adanya bias atau ketimpangan gender yang juga sebagai ungkapan dalam wujud nama
penanda status keluarga atau perkawinan.
Sejak lahir, manusia sudah dikotak-kotakkan atau diklasifikasikan
ke dalam gender: laki-laki dan perempuan. Untuk mengekalkan keberadaan
keluarga, di beberapa suku dan kelompok sosial lainnya, sudah menjadi kebiasaan
mencantumkan nama ayah di belakang nama anak, bukan nama ibu. Jika masyarakat
tidak mengenal adat tersebut, ketika dewasa nama yang dipilih adalah nama ayah dan
bukan nama ibu.
Beberapa kata dapat merekam adanya stereotipe dan
sifat-sifat tertentu yang mengasosiasikan laki-laki atau perempuan. Stereotipe
yang berkembang di masyarakat mengatakan bahwa fisik perempuan lebih lemah
daripada laki-laki. Stereotip yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
mengatakan bahwa perempuan secara fisik lebih lemah daripada laki-laki.
Wanita biasanya diberi predikat pasif, lemah, lemah lembut, sabar, setia, mengalah, emosional, bahkan irasional. Begitu juga dengan cara berbahasa mereka dalam kesehariannya, pada perbendaharaan kata sosiolinguistik, secara umum, pembahasan tentang perbedaan penggunaan bahasa antara perempuan dan laki-laki ditumpukan pada konteks jaringan sosial dan maksud pembicara.
Maksud dari pembicara sangat ditentukan oleh konteks, yakni
dari waktu, tempat, peristiwa, kelas, etnik, agama, lingkungan sosial, ekonomi,
politik, proses, keadaan, dan mitra tutur. Maksud pembicara tersebut bisa
disimak dari kosakata yang dipilihnya. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, kalimat yang berbunyi “Saya mau
mengawini dia.” atau “Saya akan menceraikan dia.” dapat bisa langsung diketahui
siapa yang dimaksud subjek “saya” dan “dia”. ”Saya” dalam kalimat itu pasti
laki-laki dan ”dia” perempuan. Penentuan referen “saya” seorang laki-laki dan
“dia” itu perempuan karena dalam jaringan sosial masyarakat kita, yang dapat
dilekatkan dengan kata “mengawini” dan “menceraikan” adalah laki-laki, sedangkan
perempuan hanya dapat “dikawini” dan “diceraikan”.
Ketika melihat konteks struktur bahasa, kalimat “Tuti
mengawini Yusuf” atau “Yusuf dicerai Tuti” tidak salah, sepanjang ada fungsi
gramatikal subjek (S), predikat (P), dan objek (O). Tetapi, bahasa bukan hanya
masalah intrinsik struktur bahasa, melainkan juga masalah ektrinsik-konteks
budaya.
Kalimat, “Ratih diceraikan Hendi,” perempuan sebagai subjek
jika dibandingkan dengan kalimat, “Hendi mengawini Ratih,” dianggap memenuhi
kaidah struktur kalimat dan konteks sosial budaya, kata ‘diceraikan’ dan
‘dikawini’ dengan ‘mengawini’ dan ‘menceraikan’ walaupun tanpa tahu subjeknya
pun sudah dapat ditebak siapa objek dan subjeknya.
Selama budaya di Indonesia masih ada sistem patriarki yang sangat kental, perempuan mustahil untuk mendapat orang yang dianggap ”mengawini” dan ”menceraikan” kedua kata tersebut terdengar lebih cocok pada laki-laki seolah menunjukkan posisi mereka dalam realita sosial.
Terdengar memiliki power dan tidak berada dipihak yang
lemah. Selain itu, adanya penentuan kategori dalam jenis kelamin, contoh
sederhananya dari penggunaan sufiks [-wan], [-man], dan fonem /a/ untuk
maskulin; serta sufiks [–wati], dan fonem /i/ untuk feminin (Parera, 1994:32).
Sampai sejauh ini kita meyakini setiap kata yang berakhiran [–wan] atau [-man]
yang menandai bentuk maskulin untuk laki-laki, pasti memiliki pasangan
femininnya untuk perempuan.
Contohnya, antara lain:
wartawan >< wartawati, seniman >< seniwati, peragawan ><
peragawati. Tetapi, kenyataannya ada beberapa kata yang tidak memiliki pasangan
femininnya, seperti: budiman, pahlawan, bahasawan, bangsawan, hartawan,
ilmuwan, sejarahwan, cendekiawan, budayawan, dan sebagainya. Kenyataan tersebut
dapat dijadikan sebagai bukti akan adanya bias gender terkait dengan
maskulinitas dan feminitas dalam bahasa Indonesia.
Sebagai contohnya, penamaan profesi polisi merupakan
penamaan yang bersifat general dan netral, sedangkan bagi perempuan yang
menjadi polisi maka ada panggilan khusus yakni polisi wanita (polwan). Hal tersebut
menjadi bermasalah karena nama profesi yang dikotak-kotakkan ini merupakan bentuk
dari pengistilahan bias gender yang linear dengan penyebutan berdasarkan
sufikssufiks yang menempel pada kata dasarnya.
Dalam pandangan umum bahwa perempuan dan laki-laki memilki
perbedaan dalam menggunakan bahasa karena dari segi seks mereka berbed. Para
ahli bahasa juga sepakat bahwa perbedaan ciri-ciri bahasa yang digunakan antara
laki-laki dan perempuan dapat diamati dan dibedakan. Diyakini bahwa itu tidak
dapat dihindari dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Bahasa Indonesia memiliki perbedaan kosa kata yang biasanya digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi bahasa mereka tetap sama, tetapi dalam penggunaan bahasa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang berbeda.
Masalah bahasa dan komunikasi lebih penting bagi perempuan
daripada laki-laki karena pada umumnya, perempuan lebih sering berbicara
daripada laki-laki. Misalnya, dalam penggunaan kata warna, ada kosa kata
feminin yang tidak disukai oleh laki-laki, seperti: ungu muda, merah jambu, dan
magenta.
Bisa dikatakan, jika dibandingkan, perempuan lebih menguasai
banyak kosakata dalam penggunaan bahasa dalam sehari-hari daripada laki-laki
dalam menamai sebuah objek. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan sering
menggunakan banyak kata sifat, seperti kata menggemaskan, menawan, cantik; kata
yang jarang laki-laki gunakan.
Menggunakan lebih banyak kata sifat untuk menggambarkan
sesuatu dan perasaan, hal tersebut dapat membuktikan bahwa wanita lebih peka
terhadap lingkungan dan cenderung mengekspresikan emosinya. Perempuan cenderung
fokus pada fungsi afektif ketika sedang berinteraksi daripada laki-laki.
Afektif yang dimaksud di sini yaitu yang berkaitan dengan sikap dan nilai ranah
afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan
nilai.
Biasanya, dalam sebuah interaksi, perempuan lebih banyak
mengumpulkan fungsi afektif yang meliputi perasaan, minat, sikap, emosi, dan
nilai daripada laki-laki. Perempuan juga lebih terampil secara verbal daripada
laki-laki, tujuan laki-laki dalam menggunakan bahasa cenderung untuk menyelesaikan
sesuatu, sedangkan perempuan cenderung untuk menjalin hubungan dengan orang
lain. Laki-laki lebih banyak berbicara tentang hal-hal dan fakta, sedangkan
perempuan lebih banyak berbicara tentang orang, hubungan, dan perasaan.
Perbedaaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Masalah bahasa dan komunikasi lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki karena pada umumnya, perempuan lebih sering berbicara daripada laki-laki. Perempuan lebih terampil secara verbal dibandingkan dengan laki-laki.
Perempuan lebih cenderung menggunakan linguistic device yang
menekankan solidaritas daripada yang dilakukan laki-laki. Sebagian perempuan
dalam berinteraksi terutama saat memberi saran ke temannya yang sesama
perempuan, menyampaikan arti yang berbeda dari arti yang asli. Biasanya memakai
metafora untuk menyampaikan maksudnya, hal yang mungkin jarang dilakukan
laki-laki. Linguistic device ini beberapa diantaranya ada simile, hiperbola,
metafora dan lain-lain.
Dalam bahasa Indonesia, tidak terdapat tidak terdapat
pembagian bahasa berdasarkan kategori jenis kelamin atau gender, berbeda dengan
bahasa negara lainnya yang beberapa diantaranya menggunakan kategori gender
dalam pemakaiannya. Gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
variasi bahasa, meskipun sampai saat ini pembelajaran bahasa secara umum
memungkinkan adanya perbedaan gender dalam penggunaan bahasa.
Gender juga sebagai pembeda fungsi peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan
di masyarakat. Tidak jarang, dalam pemakaian bahasa sehari-hari terjadi bias
antara laki-laki dan perempuan. Bias gender ini terjadi apabila salah satu
pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan, yang dimaksud ketidakadilan dalam
konteks ini yakni apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi,
dan kedudukannya. Kejadian bias tersebut bisa saja terjadi baik kepada
laki-laki maupun perempuan.
Fakta bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan tidak setara dalam budaya kita juga memiliki nilai paralel dalam bahasa. Bahasa merekam asumsi-asumsi yang diyakini oleh masyarakatnya mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki atau perempuan berperilaku. Jika bahasa merupakan seperangkat konvensi yang mampu merefleksikan hubungan–hubungan sosial dan budaya di masyarakat, maka bias gender dalam bahasa memperlihatkan adanya budaya Indonesia yang lebih berpihak pada laki-laki dari pada perempuan, budaya yang menyudutkan perempuan dan menganggap perempuan sebagai manusia lemah dan tidak berdaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminah. Jalil, Abdul. 2018. “Gender Dalam Perspektif Budaya
dan Bahasa.” dalam Jurnal
Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 11 No. 2. Sulawesi Selatan: Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI)
DDI Pangkep.
Budiwati, Tri Risna. 2011. “Representasi Wacana Gender dalam
Ungkapan Berbahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris: Analisis Wacana Kritis.” dalam
Jurnal Kawistara Vol. 1, No.
3. Yogjakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
Harimansyah, Ganjar. Perempuan dan Bahasanya: Cermin
Pengaruh Jenis Kelamin dalam
Faktor Pilihan Berbahasa dan Mitos di Sekitarnya.
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/328
diakses pada 31 Oktober 2021.
Ismail, Asri. 2018. Menyelami Kuasa dan Bahasa Perempuan.
https://news.detik.com/kolom/d-3880048/menyelami-kuasa-dan-bahasa-perempuan
diakses
pada 31 Oktober 2021
Jaeni, Muhammad. 2009. “Bahasa dan Ketimpangan Gender.”
dalam Jurnal Muwazah Vol.
1, No. 2. Pekalongan: STAIN Pekalongan.
6
Jalal, Moch. “Fenomena Bias Gender dalam Pemakaian Bahasa
Indonesia.” dalam Jurnal
Sastra Indonesia. Surabaya: Universitas Airlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.