Sabtu, 11 September 2021

Cerpen-Saksi Mata oleh Rikard Diku

Saksi Mata

Cerpen Rikard Diku

Malam itu hujan turun lebat dan lolongan anjing merobek suara hujan yang jatuh di tanah juga atap-atap rumah warga. Tidak biasanya lolongan panjang anjing milik warga segaduh malam itu. Di sebelah selatan kampung, rumah kakek Tinus yang tinggal bersama anak dan cucu-cucunya mendadak riuh karena penyakit yang diderita kakek Tinus kembali kambuh. Selain karena sudah uzur usianya juga penyakit yang diderita oleh kakek Tinus belum pernah sembuh-sembuh. Sebagai Mosalaki Pu’u yang dihormati dan disegani di kampung ini, para warga sudah berusaha untuk mencari ramuan-ramuan mujarab di tengah hutan juga mencari dukun-dukun yang konon bisa menyembuhkan aneka penyakit hanya dengan membaca mantra atau menyemburkan cairan sirih pinang berwarna merah seperti darah yang sudah dimamah ke tubuh korban. Kakek Tinus sangat disegani karena kebaikannya juga ia sering membantu rakyat kecil dalam prahara hak ulayat tentang tanah. Kakek Tinus tahu persis seluk-beluk tanah warisan dan pada tangan siapa hak atas tanah menjadi milik warganya. Maklum, di kampung ini kadang persoalan tanah sangat riskan dan kadang sampai berdarah-darah baku bunuh merebut dan saling klaim tentang hak atas tanah. Kakek Tinus menjadi penengah dan kadang berujung damai untuk tiap-tiap persoalan. Maka sudah sepantasnya, sebagai warga yang baik mesti membantu Mosalaki pu’u agar bisa pulih kesehatannya.

Sudah tigabelas dukun yang diminta untuk menyembuhkan kakek Tinus dengan ritual-ritualnya yang aneh tetapi hasilnya sama saja, kakek Tinus masih menderita sakit dan kadang tubuhnya mengejang seperti orang kesurupan, oleh orang-orang di kampung ini tuan Tinus yang sudah tua disebut-sebut sedang menderita penyakit mati kambing. Entahlah aku sendiri tidak tahu persis mengapa warga menyebut penyakit mati kambinglah yang mendera tubuh Mosalaki yang paling berwibawa di kampung ini. Aku hanya tahu, kakek Tinus mempunyai jenggot yang memutih seperti jenggot kambing miliknya Opa Rinus.

“Cepat pergi panggil embu Lando di kebun…!” Moses anak tertua dari kakek Tinus menyuruh Herman adiknya untuk memanggil dukun paling berpengalaman di kampung tetangga untuk membantu kakek Tinus yang sedang sekarat dan kejang-kejang.

Baca juga: Cerpen "Dari Bunda" oleh Yoon

Tanpa ba-bi-bu-be-bo, Herman bersungut-sungut langsung melesat melawan hujan deras di malam gelap dengan obor di tangan dan daun pisang di atas kepala menuju kebun embu Lando. Dalam perjalanan ke kebun, di antara langit yang sunyi, Herman bisa melihat ada sebentuk cahaya berwarna merah sedang terbang menuju rumah kakek Tinus. Herman berhenti sebentar sambil menerka-nerka “jangan-jangan itu ata polo opo mera yang sering dikisahkan Bapak.” Herman membatin dengan perasaan cemas luarbiasa. Konon, di kampung ini ada banyak ata polo yang kadang malam-malam terbang bebas mencari korban. Ata polo yang terbang di malam hari kadang seperti pertanda akan ada kematian di antara warga di kampung ini. Tidak heran, warga di kampung ini kadang lebih takut ata polo ketimbang takut akan Tuhan. Kadang para dukun di kampung ini juga kewalahan saat membantu warga yang sakit atau yang sedang menghadapi sakratul maut sebab mantra-mantra yang keluar dari mulut mereka seperti kehabisan daya magis jika ada ata polo yang menangkis dan menangkal  dengan ilmu gaib atau jampi-jampi mereka. Herman jadi ingat pesan Bapak suatu malam sebelum kantuk menindih bola matanya “Nak, ata polo itu suka darah segar, darah anak-anak. Maka jangan lupa untuk berdoa sebelum tidur malam meminta Tuhan dan leluhur untuk jaga pada empat penjuru mata angin di rumah kita.”

Di pondok embu Lando, asap hitam mengepul menuju langit sedang selimut kabut masih membungkus area kebun. Dari luar pondok Herman mencium aroma mistis sambil mengada-ada “Mungkin embu sedang memberikan sesajian kepada leluhur atau barangkali sedang mengadakan ritual mengusir hujan.”

Pintu pondok dibuka dan tampak embu Lando yang ringkih sedang membakar pisang dan ubi hutan.

“Kenapa hujan-hujan begini datang kemari?”

Embuembu…tolong Bapak…penyakit Bapak kambuh lagi..tolong embu.” Herman dengan napas yang buru-buru memohon. Tanpa banyak tanya, embu Lando mengambi beberapa lembar daun sirih dan beberapa buah pinang kemudian mengisinya dalam bakul kecil juga mengambil sebotol air yang dicedok dari tempayan lalu mengisi semua barang-barang itu dalam tas kecil yang dianyamnya dari daun kelapa.

Menembus hujan dan pekat malam, embu dan Herman berjalan, sesekali berlari kecil menuju rumah kakek Tinus.

Sudah banyak warga yang memadati rumah kakek Tinus sedang langit masih menumpahkan hujan seperti anak panah. Suara binatang malam dan lolongan panjang anjing masih terdengar melawan suara angin yang mengibas dedaunan. Dingin menusuk-nusuk kulit. Semuanya hening tatkala embu Lando datang dan sebelum masuk rumah, embu Lando seperti membacakan mantra di depan pintu, bibirnya komat-kamit sedangkan yang lain melihatnya dengan tatapan amit-amit. Di atas ranjang, tubuh kakek Tinus kaku hanya desah napas yang masih memburu. Mula-mula, embu Lando memamah sirih pinang dan meniup-niup kepala kakek Tinus perlahan kemudian memberi minum dari air dalam botol yang diambilnya tadi dari tempayan. Sirih pinang yang sudah dikunyah dan berwarna merah seperti darah anak domba kemudian disemburkan ke punggung kakek Tinus. Tubuh kakek Tinus kejang-kejang sebelum ambruk dan jatuh lalu terdengar teriakan keras dari Herman yang basah karena hujan di luar rumah. “Ata polo…ata polo…sambil menunjuk ke langit!”. Semua warga yang ada dalam rumah keluar dan menengadah ke langit dengan perasaan kalut bercampur takut.

Malam itu juga jantung kakek Tinus berhenti berdetak. Sebelum penghabisan dan benar-benar mengatup mata untuk selamanya, kakek Tinus sempat berbisik kepada Moses untuk menjaga juga membagi secara adil tanah miliknya dan milik warga agar tidak terjadi percecokan serta memandatkan kepada Moses atau Rinus untuk mengganti posisinya sebagai Mosalaki. Herman dan warga menangis sejadi-jadinya. Malam itu, suara hujan dan suara tangis warga tumpah membasahi tanah.

Sepeninggal kakek Tinus, Moses dan Herman sebagai ahliwaris untuk tanah sebesar lima hektar mulai membagi sama rata. Moses memiliki lima orang anak yang semuanya sedang menempuh pendidikan sedang Herman memiliki delapan orang anak, yang sulung sudah berkeluarga sedang yang lain juga masih berada di jenjang pendidikan. Di atas tanah yang diberikan kakek Tinus sudah banyak ditumbuhi pohon kemiri, cengkih, kopi juga kakao. Tanah milik kakak beradik itu persis berdekatan dengan kebun Opa Rinus, hanya dibatasi dengan deretan gamal yang sudah tua dan beberapa sudah mati. Hampir tidak bisa membedakan mana tanah Opa Rinus juga tanah Herman dan Moses. Mula-mula semua menikmati hak atas tanahnya sedang Moses dengan lenggang mengganti ayahnya menjadi Mosalaki sebelum benar-benar muncul api perkara yang membara di dada Opa Rinus karena jatah tanah dan Mosalaki tidak dipercayakan kepadanya sebagai anak tiri dalam keluarga. Api permusuhan mulai mengepul ketika dendam yang dipendam Rinus sejak meninggalnya Bapak Tinus sudah setinggi gunung Wongge.

Siang itu matahari menikam kepala dengan ganas, Rinus beserta kedua anaknya sedang memetik kopi yang rimbun di kebun yang bersebelahan dengan Moses dan Herman. Entah kenapa tiba-tiba Rinus menyuruh anak-anaknya memetik kopi agak ke sebelah. Posisi mereka melewati batas wilayah. Sedang asik-asiknya memanen kopi, Moses datang dan menegur Rinus dan kedua anaknya. Tidak terima dengan teguran Moses, Rinus sempat beradu pendapat tentang pembatas yang katanya tidak adil.

“Ini masih wilayah kebun saya, pembatas ini merebut sebagian besar tanah saya.”

“Rinus, dari dulu sudah dibatas oleh Bapak dengan gamal dan itu adil. Kenapa dari dulu-dulu tidak ada persoalan sedang sekarang kau mulai mencari gara-gara.”

“Pokoknya ini masih wilayah saya! Tidak ada kompromi. Titik.”

Baca juga: Cara Mempublikasikan Tulisan di Media Massa

Perdebatan di kebun kopi siang itu diakhiri dengan saling ludah dan mengeluarkan umpatan-umpatan berupa makian dan sumpah serapah. Dada Rinus terbakar sebelum pulang karena Moses mengata-ngatainya sebagai anak tiri yang tanpa perasaan sebab sebenarnya mesti mendapat jatah tanah paling kecil atau paling tidak harus bersyukur sudah menggarap di lahan milik ahliwaris sejati, ia dan Herman adiknya.

Atas kata-kata yang menyinggung perasaannya, Rinus pulang ke rumah membawa dendam kesumat yang bernyala-nyala. Di kepalanya hilir mudik aneka rencana. Malam hari Rinus susah tidur, sudah dini hari tetapi mata Rinus masih membelalak sambil mengingat kata-kata dari Moses tadi siang. Jago berkokok menyapa pagi sedang Rinus susah lelap akibat dicekik gelisah. Maka tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya, pagi-pagi sekali Rinus bangun dan pergi ke rumah Herman untuk meminjam busur panah. Tanpa curiga dan banyak tanya, Herman mengamini permintaan Rinus.

Sore hari, Rinus sendirian pergi ke kebun untuk memetik kopi. Dari jauh, Rinus sudah bisa melihat punggung Moses yang sedang membuat pembatas tanah dengan menanam gamal yang berjejer mengikuti pembatas lama. Tanpa pikir panjang karena dendam di dada kian membara, Rinus mengambil busur dan mengarahakan tepat di dada Moses. Anak panah  melesat secepat angin dan tertancap di dada Moses. Seperti binatang buruan yang kena tombak, Moses rebah di tanah leluhurnya dan darah mengalir membasahi ibu bumi yang selama ini memberikan hidup pada keluarga dan anak-anaknya. Moses masih bernapas dan berusaha untuk mencabut anak panah yang tertancap di dada tetapi dengan sigap Rinus mencabut kelewang panjang dan tanpa ampun memenggal leher Moses sehingga badan dan kepala terpisah. Tidak terdengar suara tolong siang itu, tanah seperti menjerit pada kisah tragis. Hanya aku yang dari jauh menyaksikan semuanya dengan dada gemetar. Di sini cuma aku dan sepi selebihnya Tuhan bagai angin yang sedang menyibak kitab tua Genesis tentang kisah Kain dan Habel.

Kematian Moses yang tragis menggemparkan warga dan Rinus ditangkap Polisi. Ketika kejadiaan tragis itu, aku berlari sekencang-kencangnya untuk melapor pada kepala desa dan warga berbondong-bondong mencari Rinus dan menggebuknya, untung Herman sudah lebih dahulu ditahan Polisi karena ia sudah mengasah kelewang untuk balas dendam atas tumpahan darah kakaknya. Aku jadi ingat, malam sebelum kakek Tinus menghembuskan napas terakhir ia berpesan agar tanah dibagi adil kepada Moses, Herman dan Rinus. Waktu itu Rinus juga mendengar pesan terakhir dari kakek Tinus.

Berita tentang tanah yang bermasalah dan peristiwa tragis yang menimpa Moses sampai di istana negara, di tiap kota, televisi, koran, ruang kuliah juga di atas mimbar Gereja. Pagi ini aku sempat membaca koran dan ada berita bahwa pemerintah akan segera ke kampung kami untuk menyelesaikan prahara tanah milik Mosalaki Pu’u yang diklaim para pejabat sebagai tanah pemerintah karena tidak adanya bukti sah kepemilikan atas tanah dan pemerintah sudah siapkan alat berat untuk menggusur tanah juga tempat tinggal warga yang akan dijadikan lahan pembangunan pabrik semen. Sebagai saksi mata, pagi ini aku berada di ruang pengadialn meski di luar ruangan juga di jalan-jalan kota banyak warga dan mahasiswa berdemo agar pemerintah segera mengembalikan hak tanah milik warga.

Sampai aku selesai menulis cerita ini, darah Moses masih berteriak-teriak di telinga para pejabat yang merebut hak dan kepentingan rakyat di kampung kami.

 

Keterangan

kata yang ditulis miring berasal dari bahasa Ende-Lio, Flores-NTT:

Mosalaki Pu’u            : Kepala suku (tua adat)

Embu                           : Sapaan untuk Nenek

Ata polo opo mera      : Suanggi yang punya ekor (pantat) berwarna merah

(Rikard Diku, Mahasiswa STFK Ledalero. Lahir pada 7 Februari 1999. Sekarang tinggal di Wisma Rafael-Ledalero. Ia menyukai sastra, beberapa cerpen dan puisinya terisiar di beberapa Koran juga di media daring serta dibukukan dalam beberapa Antologi).

                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.