Saksi Mata
Cerpen Rikard Diku
Malam itu hujan turun lebat dan
lolongan anjing merobek suara hujan yang jatuh di tanah juga atap-atap rumah
warga. Tidak biasanya lolongan panjang anjing milik warga segaduh malam itu. Di
sebelah selatan kampung, rumah kakek Tinus yang tinggal bersama anak dan
cucu-cucunya mendadak riuh karena penyakit yang diderita kakek Tinus kembali
kambuh. Selain karena sudah uzur usianya juga penyakit yang diderita oleh kakek
Tinus belum pernah sembuh-sembuh. Sebagai Mosalaki Pu’u yang dihormati dan disegani di
kampung ini, para warga sudah berusaha untuk mencari ramuan-ramuan mujarab di
tengah hutan juga mencari dukun-dukun yang konon bisa menyembuhkan aneka
penyakit hanya dengan membaca mantra atau menyemburkan cairan sirih pinang
berwarna merah seperti darah yang sudah dimamah ke tubuh korban. Kakek Tinus
sangat disegani karena kebaikannya juga ia sering membantu rakyat kecil dalam
prahara hak ulayat tentang tanah. Kakek Tinus tahu persis seluk-beluk tanah
warisan dan pada tangan siapa hak atas tanah menjadi milik warganya. Maklum, di
kampung ini kadang persoalan tanah sangat riskan dan kadang sampai
berdarah-darah baku bunuh merebut dan saling klaim tentang hak atas tanah.
Kakek Tinus menjadi penengah dan kadang berujung damai untuk tiap-tiap
persoalan. Maka sudah sepantasnya, sebagai warga yang baik mesti membantu Mosalaki
pu’u agar bisa pulih kesehatannya.
Sudah tigabelas dukun yang
diminta untuk menyembuhkan kakek Tinus dengan ritual-ritualnya yang aneh tetapi
hasilnya sama saja, kakek Tinus masih menderita sakit dan kadang tubuhnya mengejang
seperti orang kesurupan, oleh orang-orang di kampung ini tuan Tinus yang sudah
tua disebut-sebut sedang menderita penyakit mati kambing. Entahlah aku sendiri
tidak tahu persis mengapa warga menyebut penyakit mati kambinglah yang mendera
tubuh Mosalaki yang paling berwibawa di kampung
ini. Aku hanya tahu, kakek Tinus mempunyai jenggot yang memutih seperti jenggot
kambing miliknya Opa Rinus.
“Cepat pergi panggil embu
Lando di kebun…!” Moses anak
tertua dari kakek Tinus menyuruh Herman adiknya untuk memanggil dukun paling
berpengalaman di kampung tetangga untuk membantu kakek Tinus yang sedang
sekarat dan kejang-kejang.
Baca juga: Cerpen "Dari Bunda" oleh Yoon
Tanpa ba-bi-bu-be-bo, Herman bersungut-sungut
langsung melesat melawan hujan deras di malam gelap dengan obor di tangan dan
daun pisang di atas kepala menuju kebun embu Lando. Dalam perjalanan ke kebun,
di antara langit yang sunyi, Herman bisa melihat ada sebentuk cahaya berwarna
merah sedang terbang menuju rumah kakek Tinus. Herman berhenti sebentar sambil
menerka-nerka “jangan-jangan itu ata polo opo mera yang sering dikisahkan Bapak.”
Herman membatin dengan perasaan cemas luarbiasa. Konon, di kampung ini ada
banyak ata
polo yang kadang malam-malam terbang
bebas mencari korban. Ata polo yang terbang di malam hari kadang seperti pertanda
akan ada kematian di antara warga di kampung ini. Tidak heran, warga di kampung
ini kadang lebih takut ata polo ketimbang takut akan Tuhan. Kadang para dukun di
kampung ini juga kewalahan saat membantu warga yang sakit atau yang sedang
menghadapi sakratul maut sebab mantra-mantra yang keluar dari mulut mereka
seperti kehabisan daya magis jika ada ata polo yang menangkis dan menangkal dengan ilmu gaib atau jampi-jampi mereka.
Herman jadi ingat pesan Bapak suatu malam sebelum kantuk menindih bola matanya
“Nak, ata
polo itu suka darah segar, darah
anak-anak. Maka jangan lupa untuk berdoa sebelum tidur malam meminta Tuhan dan leluhur
untuk jaga pada empat penjuru mata angin di rumah kita.”
Di pondok embu Lando, asap hitam mengepul
menuju langit sedang selimut kabut masih membungkus area kebun. Dari luar
pondok Herman mencium aroma mistis sambil mengada-ada “Mungkin embu sedang memberikan sesajian
kepada leluhur atau barangkali sedang mengadakan ritual mengusir hujan.”
Pintu pondok dibuka dan tampak
embu Lando yang ringkih sedang membakar pisang dan ubi hutan.
“Kenapa hujan-hujan begini datang
kemari?”
“Embu…embu…tolong Bapak…penyakit Bapak
kambuh lagi..tolong embu.” Herman dengan napas yang buru-buru memohon.
Tanpa banyak tanya, embu Lando mengambi beberapa lembar daun sirih dan
beberapa buah pinang kemudian mengisinya dalam bakul kecil juga mengambil sebotol air yang
dicedok dari tempayan lalu mengisi semua barang-barang itu dalam tas
kecil yang dianyamnya dari daun kelapa.
Menembus hujan dan pekat malam, embu dan Herman berjalan, sesekali berlari
kecil menuju rumah kakek Tinus.
Sudah banyak warga yang memadati
rumah kakek Tinus sedang langit masih menumpahkan hujan seperti anak panah. Suara
binatang malam dan lolongan panjang anjing masih terdengar melawan suara angin
yang mengibas dedaunan. Dingin menusuk-nusuk kulit. Semuanya hening tatkala embu Lando datang dan sebelum masuk
rumah, embu Lando seperti membacakan mantra
di depan pintu, bibirnya komat-kamit sedangkan yang lain melihatnya dengan
tatapan amit-amit. Di atas ranjang, tubuh kakek Tinus kaku hanya desah napas
yang masih memburu. Mula-mula, embu Lando memamah sirih pinang dan meniup-niup kepala
kakek Tinus perlahan kemudian memberi minum dari air dalam botol yang
diambilnya tadi dari tempayan. Sirih pinang yang sudah dikunyah dan berwarna
merah seperti darah anak domba kemudian disemburkan ke punggung kakek Tinus.
Tubuh kakek Tinus kejang-kejang sebelum ambruk dan jatuh lalu terdengar
teriakan keras dari Herman yang basah karena hujan di luar rumah. “Ata
polo…ata polo…sambil
menunjuk ke langit!”. Semua warga yang ada dalam rumah keluar dan menengadah ke
langit dengan perasaan kalut bercampur takut.
Malam itu juga jantung kakek
Tinus berhenti berdetak. Sebelum penghabisan dan benar-benar mengatup mata
untuk selamanya, kakek Tinus sempat berbisik kepada Moses untuk menjaga juga membagi
secara adil tanah miliknya dan milik warga agar tidak terjadi percecokan serta
memandatkan kepada Moses atau Rinus untuk mengganti posisinya sebagai Mosalaki. Herman dan warga menangis
sejadi-jadinya. Malam itu, suara hujan dan suara tangis warga tumpah membasahi
tanah.
Sepeninggal kakek Tinus, Moses
dan Herman sebagai ahliwaris untuk tanah sebesar lima hektar mulai membagi sama
rata. Moses memiliki lima orang anak yang semuanya sedang menempuh pendidikan
sedang Herman memiliki delapan orang anak, yang sulung sudah berkeluarga sedang
yang lain juga masih berada di jenjang pendidikan. Di atas tanah yang diberikan
kakek Tinus sudah banyak ditumbuhi pohon kemiri, cengkih, kopi juga kakao.
Tanah milik kakak beradik itu persis berdekatan dengan kebun Opa Rinus, hanya
dibatasi dengan deretan gamal yang sudah tua dan beberapa sudah mati. Hampir tidak
bisa membedakan mana tanah Opa Rinus juga tanah Herman dan Moses. Mula-mula
semua menikmati hak atas tanahnya sedang Moses dengan lenggang mengganti
ayahnya menjadi Mosalaki sebelum benar-benar muncul api perkara yang
membara di dada Opa Rinus karena jatah tanah dan Mosalaki tidak dipercayakan kepadanya
sebagai anak tiri dalam keluarga. Api permusuhan mulai mengepul ketika dendam
yang dipendam Rinus sejak meninggalnya Bapak Tinus sudah setinggi gunung Wongge.
Siang itu matahari menikam kepala
dengan ganas, Rinus beserta kedua anaknya sedang memetik kopi yang rimbun di
kebun yang bersebelahan dengan Moses dan Herman. Entah kenapa tiba-tiba Rinus
menyuruh anak-anaknya memetik kopi agak ke sebelah. Posisi mereka melewati
batas wilayah. Sedang asik-asiknya memanen kopi, Moses datang dan menegur Rinus
dan kedua anaknya. Tidak terima dengan teguran Moses, Rinus sempat beradu
pendapat tentang pembatas yang katanya tidak adil.
“Ini masih wilayah kebun saya,
pembatas ini merebut sebagian besar tanah saya.”
“Rinus, dari dulu sudah dibatas
oleh Bapak dengan gamal dan itu adil. Kenapa dari dulu-dulu tidak ada persoalan
sedang sekarang kau mulai mencari gara-gara.”
“Pokoknya ini masih wilayah saya!
Tidak ada kompromi. Titik.”
Baca juga: Cara Mempublikasikan Tulisan di Media Massa
Perdebatan di kebun kopi siang
itu diakhiri dengan saling ludah dan mengeluarkan umpatan-umpatan berupa makian
dan sumpah serapah. Dada Rinus terbakar sebelum pulang karena Moses
mengata-ngatainya sebagai anak tiri yang tanpa perasaan sebab sebenarnya mesti
mendapat jatah tanah paling kecil atau paling tidak harus bersyukur sudah
menggarap di lahan milik ahliwaris sejati, ia dan Herman adiknya.
Atas kata-kata yang menyinggung
perasaannya, Rinus pulang ke rumah membawa dendam kesumat yang bernyala-nyala.
Di kepalanya hilir mudik aneka rencana. Malam hari Rinus susah tidur, sudah
dini hari tetapi mata Rinus masih membelalak sambil mengingat kata-kata dari
Moses tadi siang. Jago berkokok menyapa pagi sedang Rinus susah lelap akibat
dicekik gelisah. Maka tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya, pagi-pagi
sekali Rinus bangun dan pergi ke rumah Herman untuk meminjam busur panah. Tanpa
curiga dan banyak tanya, Herman mengamini permintaan Rinus.
Sore hari, Rinus sendirian pergi
ke kebun untuk memetik kopi. Dari jauh, Rinus sudah bisa melihat punggung Moses
yang sedang membuat pembatas tanah dengan menanam gamal yang berjejer mengikuti
pembatas lama. Tanpa pikir panjang karena dendam di dada kian membara, Rinus
mengambil busur dan mengarahakan tepat di dada Moses. Anak panah melesat secepat angin dan tertancap di dada Moses.
Seperti binatang buruan yang kena tombak, Moses rebah di tanah leluhurnya dan
darah mengalir membasahi ibu bumi yang selama ini memberikan hidup pada
keluarga dan anak-anaknya. Moses masih bernapas dan berusaha untuk mencabut anak
panah yang tertancap di dada tetapi dengan sigap Rinus mencabut kelewang
panjang dan tanpa ampun memenggal leher Moses sehingga badan dan kepala
terpisah. Tidak terdengar suara tolong siang itu, tanah seperti menjerit pada
kisah tragis. Hanya aku yang dari jauh menyaksikan semuanya dengan dada
gemetar. Di sini cuma aku dan sepi selebihnya Tuhan bagai angin yang sedang
menyibak kitab tua Genesis tentang kisah Kain dan Habel.
Kematian Moses yang tragis
menggemparkan warga dan Rinus ditangkap Polisi. Ketika kejadiaan tragis itu,
aku berlari sekencang-kencangnya untuk melapor pada kepala desa dan warga
berbondong-bondong mencari Rinus dan menggebuknya, untung Herman sudah lebih
dahulu ditahan Polisi karena ia sudah mengasah kelewang untuk balas dendam atas
tumpahan darah kakaknya. Aku jadi ingat, malam sebelum kakek Tinus
menghembuskan napas terakhir ia berpesan agar tanah dibagi adil kepada Moses,
Herman dan Rinus. Waktu itu Rinus juga mendengar pesan terakhir dari kakek
Tinus.
Berita tentang tanah yang
bermasalah dan peristiwa tragis yang menimpa Moses sampai di istana negara, di
tiap kota, televisi, koran, ruang kuliah juga di atas mimbar Gereja. Pagi ini
aku sempat membaca koran dan ada berita bahwa pemerintah akan segera ke kampung
kami untuk menyelesaikan prahara tanah milik Mosalaki Pu’u yang diklaim para pejabat
sebagai tanah pemerintah karena tidak adanya bukti sah kepemilikan atas tanah
dan pemerintah sudah siapkan alat berat untuk menggusur tanah juga tempat
tinggal warga yang akan dijadikan lahan pembangunan pabrik semen. Sebagai saksi
mata, pagi ini aku berada di ruang pengadialn meski di luar ruangan juga di jalan-jalan
kota banyak warga dan mahasiswa berdemo agar pemerintah segera mengembalikan
hak tanah milik warga.
Sampai aku selesai menulis cerita
ini, darah Moses masih berteriak-teriak di telinga para pejabat yang merebut
hak dan kepentingan rakyat di kampung kami.
Keterangan
kata yang ditulis miring berasal
dari bahasa Ende-Lio, Flores-NTT:
Mosalaki
Pu’u :
Kepala suku (tua adat)
Embu : Sapaan untuk Nenek
Ata
polo opo mera : Suanggi yang punya ekor
(pantat) berwarna merah
(Rikard Diku, Mahasiswa STFK
Ledalero. Lahir pada 7 Februari 1999. Sekarang tinggal di Wisma
Rafael-Ledalero. Ia menyukai sastra, beberapa cerpen dan puisinya terisiar di
beberapa Koran juga di media daring serta dibukukan dalam beberapa Antologi).
0 Response to "Cerpen-Saksi Mata oleh Rikard Diku"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.