Rabu, 29 September 2021

Rekomendasi Baca Buku "One-Sit Reads"

Sepanjang pandemi ini apa yang sudah kita lakukan, nih? Masih berdiam di rumah menjalani hidup sehari-hari dengan rasa bosan karena tak kunjung bisa jalan-jalan. Kalau seperti ini wajib mencoba hobi baru untuk menghabiskan waktu di rumah dengan kegiatan yang bermanfaat. Apalagi kegiatan dari rumah yang bisa membuat kita menjelajahi dunia, scroll media sosial? Hemm, tentunya tidak karena ini lebih bermanfaat. Membaca buku yang akan memperluas wawasan kita.

Dalam waktu dekat ini hasil studi berjudul “The World’s Most Literate Nations” menyebutkan, Indonesia berada di peringket ke-60 dari 61 negara. Faktanya minat baca di Indonesia sangat rendah, di sisi lain Indonesia berada di urutan kelima terbanyak kepemilikan gadget di dunia. Hal ini membuktikan masyarakat malas membaca, tetapi lebih aktif di sosial media. Memang di gadget lebih banyak informasi yang beredar, tetapi tak semuanya bisa dipercaya karena banyak dipenuhi oleh opini.

Seperti yang kita tahu buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah cara untuk membuka jendela tersebut. Tentunya, untuk mengetahui lebih banyak tentang dunia yang belum diketahui sebelumnya. Kegiatan ini bisa dilakukan oleh siapapun mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang-orang yang telah berusia lanjut.

Baca juga: Materi Review Book Sastra Indonesia Org

“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas.”_Mohammad hatta

Buku menjadi sumber berbagai informasi yang bisa memperluas wawasan kita tentang berbagai hal seperti ilmu pengetahuan, sosial, budaya, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya. Tak hanya itu, membaca bisa mengubah masa depan serta menambah kecerdasan akal dan pikiran. Tanpa disadari membaca memiliki banyak manfaat, tetapi sekarang buku sudah banyak diabaikan karena kesibukan. Kenyataannya karena sudah digantikan oleh media yang lebih praktis untuk mendapatkan informasi seperti internet, televisi, radio, dan lainnya.

Nah, karena pandemi di rumah saja kenapa tidak mencoba membaca? Dengan ini kita bisa menjelajahi dunia, mengisi waktu luang agar tak sia-sia. Namun, kebanyakan orang merasa bosan saat membaca buku yang tebal, sebelum membaca saja kadang sudah merasa malas. Callimachus, pustakawan Alexandria pernah berkata, “Buku yang tebal adalah sebuah kejahatan.” Maka, kita bisa memulai kegiatan membaca sedikit demi sedikit, selain itu untuk yang bekerja dari rumah bisa menggunakan sistem baca buku ini untuk refreshing.

Kalian pasti tidak asing dengan istilah “one-sit reads” atau membaca dengan sekali duduk yang berarti membaca buku yang bisa ditamatkan dengan cepat. Mungkin ada yang kesulitan mencari waktu luang yang cukup untuk membaca buku karena kesibukan atau yang baru mulai membiasakan diri dengan membaca. Tak perlu khawatir, berikut rekomendasi buku yang bisa dibaca dalam sekali duduk:

1. Para Bajingan yang Menyenangkan

Ya,, buku karangan Puthut EA yang hanya memiliki 178 halaman ini berukuran A5, terlebih ditulis dengan Bahasa yang ringan pastinya akan habis dibaca dengan sistem sekali duduk. Buku ini bercerita tentang sekawanan mahasiswa yang hobi main judi, mabuk-mabukan, tawuran, dan sesekali makan babi. Walau terkesan penuh dosa, tetapi saat membacanya kita akan lebih banyak merasakan komedi daripada ajakan berbuat maksiat. Kita akan diajak menertawai kehidupan mereka yang penuh dosa, tapi bar-bar dan konyol terutama cerita tokoh Bernama Bagor.

Baca juga: Resensi Buku Paradoks oleh Amir Hamzah

2. Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya

Buku karangan Dea Anugrah dengan 181 halaman dan berukuran kecil, 13 cm x 19 cm ini layak menjadi pilihan untuk membaca dengan sekali duduk saja. Isinya hanya sekumpulan esai renyah yang diceritakan dengan baik, Dea menuliskan cerita dengan Bahasa yang lugas tanpa mengurangi keindahan ceritanya.

Kita akan disuguhi kisah unik dalam buku ini, sesekali juga akan diajak merenung, melakukan refleksi tentang kehidupan serta dihibur dengan cerita-cerita unik. Setelah itu, kita akan merasakan cerita yang kelam danm menyebalkan untuk mengabaikan semua itu dan menikmati kehidupan yang kita miliki.

3. Seperti Roda Berputar

Buku karya Rusdi Mathari yang diterbitkan di Buku Mojok ini hanya berisi 11 tulisan yang dijadikan satu buku dengan tebal 80 halaman. Buku ini berisi catatan yang ditulis Rusdi selama berada di Rumah Sakit, ya beliau menderita kanker di bagian punggung. Selama di rumah sakit beliau hanya tiduran saja dan di atas ketidakberdayaannya itu menulis catatan menggunakan tablet pemberian temannya. Catatan selama di rumah sakit ini tak hanya berisi kesedihan atau ceracau tentang sakit dan kematian, tetapi juga berisi cerita-cerita lucu yang melintas di hadapan penulis.

4. Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih

Buku yang ditulis Agus Mulyadi ini membuat pembaca tertawa atau setidaknya tersenyum, seharusnya buku ini bercerita tentang kisah romantis. Sebab, buku ini merupakan catatan selama Agus menjalin kasih dengan Kalis yang kemudian dinikahinya. Namun, kisah romantic tipis-tipis itu pun ditutupi komedi karena Agus memang pandai merangkai tulisan yang lucu. Sejak bab pertama kita sudah disuguhi cerita lucu nan pilu.

Sekarang Agus bercerita tentang Kalis yang baru belajar naik sepeda motor, ini bermula saat Kalis hendak mengisi bahan bakar di SPBU. Saat mematikan mesin dan turun dari motor, Kalis memasukkan kunci ke lubang jok yang ada di sisi samping bagian belakang. Kalian bisa membaca buku ini untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.


Sabtu, 25 September 2021

5 Teman Menulis yang Membangkitkan Mood

 


Hai Sobat Literasi, setiap akan menulis kamu pasti membutuhkan teman yang menghapus kejenuhan dan kebosanan. Kegiatan menulis memang terkadang terasa bosan karena hanya duduk dan menulis di ruanganmu sendirian, karena pada dasarnya kegiatan menulis membutuhkan konsentrasi dan ketenangan. Seringkali untuk menyelesaikan beberapa lembar naskah kita terpaksa menulis, hingga merasa lelah atau membutuhkan refreshing dikarenakan pikiran selalu fokus pada laptop dan memaksakan diri untuk menulis atau mengetik.

Hal seperti ini yang justru merusak cerita, saat kita tidak bisa menulis dengan baik pastinya tulisan akan kemana-mana dan menjadi tak jelas. Apapun yang dipaksakan pasti hasilnya tidak baik, padahal ini bisa diatasi dengan menghilangkan rasa bosan dan jenuh itu sendiri. Ada hal yang bisa dijadikan teman menulis agar lebih santai dan bisa menangkap inspirasi serta menuangkannya ke dalam tulisan. Berikut 5 teman menulis yang bisa membangkitkan mood dan membuatmu lebih rileks dalam menulis:

Baca juga: Tips Membangkitkan Mood Menulis

1. Lagu

Nah, pastinya Sobat Literasi tidak jauh dengan lagu yang selalu didengarkan untuk menenangkan hati terlebih bisa menemani kegiatan menulis. Untuk penulis fiksi tak diragukan lagi untuk mendengarkan musik sambil mengetik karena ini bisa merangsang kita untuk lebih tekun dan kreatif. Saat mengetik, menulis, mencurahkan lagu ke dalam tulisan, sambil mendengarkan headseat ini sangat membantu. Sobat Literasi bisa menulis cerita romance dengan ditemani lagu selow dan romantis sesuai pilihan atau bisa juga sesuai selera. Mendengarkan musik bisa membuat kita meresapi setiap kata yang akan kita tulis, walau tidak semuanya ini menjadi cara ampuh untuk membuatmu menulis dengan baik dan senang.

2. Cemilan

Dengan adanya cemilan di samping laptop ini bisa menambah semangat menulis, karena tenaga kecil bisa menjadi Moodboster dalam menulis. Biasanya imajinasi pun akan terkumpul dan otak lebih cepat berpikir saat sudah makan, jadi ingat dengan sebuah pepatah. Pepatah mengatakan, "Jika perut kenyang hati pun senang, dan ide akan datang dengan riang". Eits, itu katanya MinVi dong. 

Tapi, jangan sampai keenakan karena cemilannya nagih, jadi terus makan sampai habis, sedangkan tulisan tak kunjung ditulis. Hemm, sebaiknya cemilan diletakkan di dekat laptop agar kita bisa menulis dan sesekali mengambil cemilan. Untuk sebagian penulis camilan menjadi teman yang hanya jadi selingan, perbanyak nulis kurangi ngemil, ya.

3. Tempat yang Nyaman

Nah, pastinya saat menulis membutuhkan tempat yang nyaman agar tidak merasa terganggu dan terus berpindah-pindah tempat apalagi sampai jemu. Tentunya, kita bisa membawa laptop ini ke tempat nyaman sambil menikmati suasana yang menenangkan dan sesuai. Pastinya tempat damai, tenangm, tentram sangat dibutuhkan saat menulis. Contohnya seperti kamar, balkon, tempat rahasiamu, atau taman  di rumah yang sepi, dan lain-lain.

Saat  menulis dengan teman pastinya tulisanmu tak banyak tertuang, tetapi tak menutup kemungkinan Sobat Literasi malah lancar saat menulis di tempat ramai. Namun, akan lebih baik jika menulis di tempat yang suasananya nyaman untuk sendiri saja karena ini akan membuatmu lebih fokus menulis. Sobat Literasi juga bisa mencari pemandangan mata untuk dijadikan obyek bahan menulis atau memanjakan mata dan menenangkan pikiran. Penulis pasti tahu apa yang harus dilakukan untuk mencari bahan tulisan.

Baca juga: 4 Metode Menggali Ide untuk Tulisan Menarik

4. Kopi

Secangkir kopi sejuta mimpi. Hemm, menulis ditemani secangkir kopi panas dengan asapnya yang menyebar aroma harum dan candu yang memikat hati bisa menenangkan dan menyejukkan hati, ini sama halnya dengan terapi. Kebanyakan penulis setia dengan secangkir kopi sebagai teman dalam menulis. Nah, bisa dicoba dengan membawanya ke tempat yang nyaman sambil melihat pemandangan hijau yang memanjakan mata. Tentunya, hal ini berpengaruh pada suasana hati dan akan menghasilkan tulisan yang apik.

5. Diary

Ya, jika Sobat Literasi memiliki buka harian yang menyimpan cerita kita ini bisa menjadi teman menulis yang bagus. Buku diary sendiri menjadi tempat kita mengungkapkan perasaan, tak khayal diary menjadi tempat curhat yang terbaik. Jika kalian ingin mencari bahan inspirasi bisa mencarinya di sana atau terlintas sesuatu di luar cerita ada baiknya ditulis dalam diary tersebut. Tak hanya itu, diary bisa dijadikan catatan untuk alur, setting, quotes, atau kerangka yang kalian inginkan. Sehingga mempermudah proses menulis di laptop nantinya.

Rabu, 22 September 2021

Yuk, Lipatdus Sambil Buat Puisi!

 


Hai Sobat Literasi, dengar-dengar semangat menulis sudah menurun, nih, karena kesibukan. Hemm, atau itu hanya alasan karena sudah bosan dengan sastra yang itu-itu saja, berat banget nulisnya harus menyelami kehidupan klasik kalau puisi belum lagi kalimatnya harus mengiris, menyayat, merobek, dan mengoyak-oyak hati. Nah, mantap gak tuh sulitnya mencari ide dan mengasah kepekaan? Padahal membuat puisi itu asyik dan bukan beban berat, lho.

Kita tidak perlu melalang buana untuk menjadi seperti penyair terkenal lainnya, ada bakat tersendiri yang perlu diasah. Nah, mengasah bakat ini perlu menarik semangat kalian agar ingin membuat puisi. Kenalan, yuk, sama satu puisi yang bisa dibuat sambil lipatdus. Lipatdus ini adalah salah satu jenis puisi yang termasuk dalam pengelompokkan puisi baru. Lho, namanya unik banget, yuk simak bagaimana puisinya!

PUISI LIPATDUS (5, 4, 3, 2, 1)

Lipatdus sendiri singkatan dari LIma, emPAt, Tiga, DUa, Satu. Puisi Lipatdus adalah salah satu jenis puisi baru yang memiliki format 5 kata, 4 kata, 3 kata, 2 kata, dan 1 kata. Format lipatdus memiliki keindahan bentuk yang terdiri dari sayap dan kerucut. Kekhasan puisi ini bisa dibaca terbalik dari baris bawah ke atas pada baitnya tanpa mengubah makna.

Baca juga: Materi Puisi Akrostik

Bentuk standar puisi lipatdus:

A    A    A    A    A

B    B    B    B

C    C    C

D    D

E

 

F

G     G

H     H     H  

I       I       I       I

J     J      J      J     J

Puisi Lipatdus terdiri minimal dua bait. Ketika seorang penulis merasa kurang cocok pada penggunaan salah satu format, maka bisa mengubah karyanya ke bentuk formasi lain sampai menemukan kecocokan dengan cara membalik formasi baris pada baitnya. Berdasar ketentuan estetika rasa, rima, runut, dan imaji sebuah puisi. Berikut penjelasan formatnya:

  • Larik kesatu terdiri dari lima kata
  • Larik kedua terdiri dari empat kata
  • Larik ketiga terdiri dari tiga kata
  • Larik keempat terdiri dari dua kata
  • Larik kelima terdiri hanya satu kata

Puisi Lipatdus ada 4 formasi bentuk.

1. LIPATDUS ASLI / ORIGINAL

Puisi lipatdus yang berpola; 5-4-3-2-1, 1-2-3-4-5, 5-4-3-2-1, dst yang menunjukkan jumlah kata setiap barisnya.

Baca juga: Tips Menulis Puisi agar Menjadi Indah

Dalam contoh:

1.     Judul: Gadis Penenun Hujan

Karya: Aurelia Jivi

Isi:

 

Gelisah menadah hujan tak meredah

Atma berdiri untuk melangkah

Diam-diam tersenyum merangkai kisah

Ilustrasi indah

Sejarah

 

Padma

Elok menghiasnya

Nestapa paras cantiknya

Elegi buatnya merah merona

Nabastala membentang awan kelabu mempesona

Untai ketenangan kalbu saat memejamkan mata

Nyanyian angin membawa retisalnya, hidupnya terasa hampa

 

Hening dalam riuhnya rintik semalam

Usai penantian setahun silam

Jelas perasaannya tenggelam

Akankah lebam?

Nalam

2. LIPATDUS BIAS 

Lipatdus yang polanya; 1-2-3-4-5, 5-4-3-2-1, 1-2-3-4-5, dst.

Bulan Purnama

Karya: Nabilatul Faiqoh

Purnama

Terang terasa

Memancarkan satu cahaya

Di antara bintang bersua

Betapa moleknya menghias satu nabastala

 

Bulatnya yang mampu membius diriku

Suasana kalut menyerap peluru

Tak kuasa diriku

Untuk menjemputmu

Meramu

 

Sunyi

Dalam refleksi

Mendekapmu untuk kembali

Tapi, tangan tak sampai

Ingin begitu menyentuhmu malam ini

3. LIPATDUS CEMARA

Dengan pola 1-2-3-4-5, 1-2-3-4-5, 1-2-3-4-5, dst.

Bulan Purnama

Karya: Nabilatul Faiqoh

 

Purnama

Terang terasa

Memancarkan satu cahaya

Di antara bintang bersua

Betapa moleknya menghias satu nabastala

 

Meramu

Untuk menjemputmu

Tak kuasa diriku

Suasana kalut menyerap peluru

Bulatnya yang mampu membius diriku

 

Sunyi

Dalam refleksi

Mendekapmu untuk kembali

Tapi, tangan tak sampai

Ingin begitu menyentuhmu malam ini

 

4. LIPATDUS TANGGA

Dengan pola 5-4-3-2-1, 5-4-3-2-1, 5-4-3-2-1, dst yang menunjukkan jumlah kata di setiap barisnya.

1.       Judul: Dendangan Menawan

Karya: Aurelia Jivi

Isi:

 

Remang-remang terlihat kau memangku gitarmu

Elok parasmu menyambut tamu

Visimu merayu temu

Asrar rasamu

Lagumu

 

Senyum tersemat saat lantunkan lagu

Indah menepis sepinya tunggu

Nyanyianmu menyisir rindu

Debar merdu

Asmaraku

 

Perlahan kau tersenyum penuh arti

Usai memikatku dengan bernyanyi

Tatapan penuh arti

Resti mendekati

Ambisi


Sabtu, 18 September 2021

4 Metode Menggali Ide untuk Tulisan Menarik

Hai Sobat Literasi, pasti sering mengalami kehabisan ide saat menulis tentunya ini menjadi penghambat kita dalam menyelesaikan cerita. Penulis pun ingin memiliki ide unik secara konsisten untuk menulis karya yang menarik. Hal ini sangat sulit untuk dilakukan, tetapi ada cara untuk merangsang ide dan menghindari kebuntuan dalam menulis. Hal sederhana yang memunculkan ide adalah kepekaan terhadap apa yang terjadi.

Kepekaan menjadi salah satu hal yang penting dalam menulis, karena memudahkan kita dalam mencari dan menciptakan inspirasi menulis. Selain itu, mengasah kepekaan membuat kita memahami lebih baik terhadap sekitar dan bisa dijadikan karya tulis. Tentunya ini, membantu kita melatih merangkai kata-kata secara alami dan menjadikan kita lebih sadar makna dari karya sastra yang ditulis maupun karya sastra orang lain. Mengasah kepekaan ini sendiri tidak gampang, tergantung si penulis. Namun, cara mudah mengasah kepekaan adalah sebagai berikut:

Baca juga: Konsisten Menulis dengan Menyusun Online

  1. Membaca berbagai jenis buku dengan lebih cepat, lebih sering, lebih banyak, dan berulang. Namun, beri jeda dalam membaca satu buku dan yang lainnya.
  2. Merenungkan yang terjadi di sekitar maupun dalam diri kita, termasuk yang dibaca maupun dialami.
  3. Konsisten menulis setiap hari tanpa perlu menunggu menjadi bentuk yang jelas itu jenis tulisan apa. Tuliskan saja apapun, anggap sebagai coret-coretan biasa tanpa mengambil pusing dengan kaidah, jumlah kata, dan karya apa. Setidaknya tulislah yang terjadi di hari itu, mau yang kita alami secara fisik atau rasakan dalamm batin termasuk pemikiran kita serta ide-ide yang muncul.
  4. Mengubah sikap menjadi lebih baik dan positif mulai dari kebiasaan bicara, tindakan, pikiran, perasaan, dan lainnya.

Berikut metode menggali ide dengan mengasah kepekaan agar tulisan menarik:

  • Mencari Inspirasi dari Cerita yang Sudah Ada
  1. Banyak-banyaklah membaca.
  2. Perhatikan peristiwa yang sedang hangat dengan membaca koran, majalah baru, atau situs web secara teratur.
  3. Tonton film atau TV.
  4. Dengarkan musik.
  5. Lakukan riset tentang sebuah subjek dan pelajari lebih jauh.
  • Memanfaatkan Pengalaman
  1. Catat pengalaman
  2. Mengamati orang lain
  3. Berkumpul bersama penulis lain
  • Mencari ide dengan bebas
  1. Memanfaatkan pengantar cerita untuk memulai cerita, kita bisa menemukannya dalam bentuk latihan di kelas-kelas menulis, di laporan berkala kelompok menulis, atau di internet.
  2. Gunakan asosiasi kata atau memilih sebuah kata dengan bebas, lalu memilih kata kedua yang masih berhubungan dengan kata pertama. 
  3. Bangun cerita dari elemen yang dipilih secara acak seperti nama seseorang atau sebuah tempat.
  4. Menulis sedang bercerita kepada orang lain.
  5. Kenali pembacamu
  6. Ingat tujuanmu menulis
  • Merancang Strategi Jeda
  1. Cobalah menulis dua karya yang berbeda agar tak berkutat dengan satu tulisan yang bisa membuatmu bosan.
  2. Beristirahatlah dari menulis selama beberapa lama agar bisa meluangkan waktu untuk yang lain. Setelah itu, Sobat Literasi bisa memikirkan ide atau mencari inspirasi dari segala hal.
  3. Berolahraga, setelah ini kita akan merasa siaga dan ide akan datang lebih mudah.
  4. Tidur siang, bisa memungkinkan kamu memimpikan ide cerita.

Rabu, 15 September 2021

Perbedaan Puisi, Prosa, Prosais, dan Senandika

 


Hai Sobat Literasi, pasti tidak asing dengan puisi, prosa, prosais, dan senandika. Kalian pasti tahu dong kalau karya ini memiliki keindahan bahasa yang sama, bahkan sama-sama ungkapan perasaan atau gagasan penulis. Seringkali sulit dibedakan antara empat karya tersebut, bahkan di situasi tertentu mereka tak memiliki perbedaan. Perlu kita tahu kalau keempat jenis karya sastra ini memiliki ciri khas sendiri, lho.

Puisi, seperti yang kita ketahui ini merupakan karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan terikat oleh irama, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi pun mengandung nilai konsep ajaran yang dianggap penting bagi kehidupan, ini tersirat dalam amanat yang disampaikan oleh penyairnya. Tentunya, bahasa pada puisi lebih sulit dipahami karena banyak kata dan tanda baca yang mendukung makna serta keindahan. Dalam puisi menggunakan bahasa yang kreatif, ekspresif, hingga memiliki sajak serta ritme agar memberikan irama yang unik. Puisi lebih bersifat kiasan. 


Lain halnya dengan prosa yang dalam karya sastra bisa disebut sebagai fiksi, teks, dan wacana naratif. Cerpen, cerbung, dan cerita mini merupakan contoh prosa. Terkait dengan itu pasti Sobat Literasi tahu kalau prosa memiliki unsur intrinsik seperti tema, alur, dan perwatakan. Prosa pun memiliki bahasa dan struktur yang biasa dan tidak terlalu bersifat ekspresif, sifat prosa pun pragmatis atau realistis. Prosa sendiri adalah gaya penulisan  biasa dalam sastra di mana penulisannya menggunakan kalimat tata bahasa yang membentuk paragraf, terkadang juga dialog.

Prosa dapat berupa fiksi atau non-fiksi, heroik, aliteratif, desa, polifonik, puisi prosa, dan lain-lain. Juga non-fiksi seperti biografi, otobiografi, memoar, esai, cerita pendek, dongeng, artikel, novel, blog, dan sebagainya menggunakan prosa untuk penulisan kreatif. Lalu, bagaimana jika perpaduan antara puisi dan prosa? Sobat Literasi pasti tak asing dengan prosais yang merupakan gabungan dari dua karya ini.


Prosais atau puisi prosa pada adalah puisi yang bersifat prosa, hemm penyebutannya yang tepat adalah puisi prosais. Menurut KBBI prosais berarti bersifat prosa, tentunya untuk puisi yang bersifat prosa kita menyebutnya puisi prosais. Dengan kata lain puisi prosais adalah prosa puitika yang ditulis dalam bentuk paragraf, puitika berarti memiliki sifat-sifat puitis. Nah, karena prosa sendiri adalah karangan bebas yang tidak terikat dengan aturan, jadi puisi prosais ini adalah puisi yang tidak terikat baris dalam sebuah paragraf. 

Namun, puisi prosais tetaplah mengandung ciri-ciri puisi seperti mengisahkan cerita secara padat, padu, dan indah, tetapi tetal menggunakan pilihan kata, larik, rima, dan ritme. Lalu, apa bedanya dengan senandika? Sobat Literasi pasti sudah tahu tentang senandika yang berarti wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, firasat, dan konflik batin. Penulisan senandika sendiri dalam bentuk paragraf dan memiliki pilihan kata yang indah. Senandika ini biasa disebut dengan curhat indah, tetapi tidak selalu padat dan padu karena merupakan ungkapan hati secara murni.


Sabtu, 11 September 2021

Cerpen-Saksi Mata oleh Rikard Diku

Saksi Mata

Cerpen Rikard Diku

Malam itu hujan turun lebat dan lolongan anjing merobek suara hujan yang jatuh di tanah juga atap-atap rumah warga. Tidak biasanya lolongan panjang anjing milik warga segaduh malam itu. Di sebelah selatan kampung, rumah kakek Tinus yang tinggal bersama anak dan cucu-cucunya mendadak riuh karena penyakit yang diderita kakek Tinus kembali kambuh. Selain karena sudah uzur usianya juga penyakit yang diderita oleh kakek Tinus belum pernah sembuh-sembuh. Sebagai Mosalaki Pu’u yang dihormati dan disegani di kampung ini, para warga sudah berusaha untuk mencari ramuan-ramuan mujarab di tengah hutan juga mencari dukun-dukun yang konon bisa menyembuhkan aneka penyakit hanya dengan membaca mantra atau menyemburkan cairan sirih pinang berwarna merah seperti darah yang sudah dimamah ke tubuh korban. Kakek Tinus sangat disegani karena kebaikannya juga ia sering membantu rakyat kecil dalam prahara hak ulayat tentang tanah. Kakek Tinus tahu persis seluk-beluk tanah warisan dan pada tangan siapa hak atas tanah menjadi milik warganya. Maklum, di kampung ini kadang persoalan tanah sangat riskan dan kadang sampai berdarah-darah baku bunuh merebut dan saling klaim tentang hak atas tanah. Kakek Tinus menjadi penengah dan kadang berujung damai untuk tiap-tiap persoalan. Maka sudah sepantasnya, sebagai warga yang baik mesti membantu Mosalaki pu’u agar bisa pulih kesehatannya.

Sudah tigabelas dukun yang diminta untuk menyembuhkan kakek Tinus dengan ritual-ritualnya yang aneh tetapi hasilnya sama saja, kakek Tinus masih menderita sakit dan kadang tubuhnya mengejang seperti orang kesurupan, oleh orang-orang di kampung ini tuan Tinus yang sudah tua disebut-sebut sedang menderita penyakit mati kambing. Entahlah aku sendiri tidak tahu persis mengapa warga menyebut penyakit mati kambinglah yang mendera tubuh Mosalaki yang paling berwibawa di kampung ini. Aku hanya tahu, kakek Tinus mempunyai jenggot yang memutih seperti jenggot kambing miliknya Opa Rinus.

“Cepat pergi panggil embu Lando di kebun…!” Moses anak tertua dari kakek Tinus menyuruh Herman adiknya untuk memanggil dukun paling berpengalaman di kampung tetangga untuk membantu kakek Tinus yang sedang sekarat dan kejang-kejang.

Baca juga: Cerpen "Dari Bunda" oleh Yoon

Tanpa ba-bi-bu-be-bo, Herman bersungut-sungut langsung melesat melawan hujan deras di malam gelap dengan obor di tangan dan daun pisang di atas kepala menuju kebun embu Lando. Dalam perjalanan ke kebun, di antara langit yang sunyi, Herman bisa melihat ada sebentuk cahaya berwarna merah sedang terbang menuju rumah kakek Tinus. Herman berhenti sebentar sambil menerka-nerka “jangan-jangan itu ata polo opo mera yang sering dikisahkan Bapak.” Herman membatin dengan perasaan cemas luarbiasa. Konon, di kampung ini ada banyak ata polo yang kadang malam-malam terbang bebas mencari korban. Ata polo yang terbang di malam hari kadang seperti pertanda akan ada kematian di antara warga di kampung ini. Tidak heran, warga di kampung ini kadang lebih takut ata polo ketimbang takut akan Tuhan. Kadang para dukun di kampung ini juga kewalahan saat membantu warga yang sakit atau yang sedang menghadapi sakratul maut sebab mantra-mantra yang keluar dari mulut mereka seperti kehabisan daya magis jika ada ata polo yang menangkis dan menangkal  dengan ilmu gaib atau jampi-jampi mereka. Herman jadi ingat pesan Bapak suatu malam sebelum kantuk menindih bola matanya “Nak, ata polo itu suka darah segar, darah anak-anak. Maka jangan lupa untuk berdoa sebelum tidur malam meminta Tuhan dan leluhur untuk jaga pada empat penjuru mata angin di rumah kita.”

Di pondok embu Lando, asap hitam mengepul menuju langit sedang selimut kabut masih membungkus area kebun. Dari luar pondok Herman mencium aroma mistis sambil mengada-ada “Mungkin embu sedang memberikan sesajian kepada leluhur atau barangkali sedang mengadakan ritual mengusir hujan.”

Pintu pondok dibuka dan tampak embu Lando yang ringkih sedang membakar pisang dan ubi hutan.

“Kenapa hujan-hujan begini datang kemari?”

Embuembu…tolong Bapak…penyakit Bapak kambuh lagi..tolong embu.” Herman dengan napas yang buru-buru memohon. Tanpa banyak tanya, embu Lando mengambi beberapa lembar daun sirih dan beberapa buah pinang kemudian mengisinya dalam bakul kecil juga mengambil sebotol air yang dicedok dari tempayan lalu mengisi semua barang-barang itu dalam tas kecil yang dianyamnya dari daun kelapa.

Menembus hujan dan pekat malam, embu dan Herman berjalan, sesekali berlari kecil menuju rumah kakek Tinus.

Sudah banyak warga yang memadati rumah kakek Tinus sedang langit masih menumpahkan hujan seperti anak panah. Suara binatang malam dan lolongan panjang anjing masih terdengar melawan suara angin yang mengibas dedaunan. Dingin menusuk-nusuk kulit. Semuanya hening tatkala embu Lando datang dan sebelum masuk rumah, embu Lando seperti membacakan mantra di depan pintu, bibirnya komat-kamit sedangkan yang lain melihatnya dengan tatapan amit-amit. Di atas ranjang, tubuh kakek Tinus kaku hanya desah napas yang masih memburu. Mula-mula, embu Lando memamah sirih pinang dan meniup-niup kepala kakek Tinus perlahan kemudian memberi minum dari air dalam botol yang diambilnya tadi dari tempayan. Sirih pinang yang sudah dikunyah dan berwarna merah seperti darah anak domba kemudian disemburkan ke punggung kakek Tinus. Tubuh kakek Tinus kejang-kejang sebelum ambruk dan jatuh lalu terdengar teriakan keras dari Herman yang basah karena hujan di luar rumah. “Ata polo…ata polo…sambil menunjuk ke langit!”. Semua warga yang ada dalam rumah keluar dan menengadah ke langit dengan perasaan kalut bercampur takut.

Malam itu juga jantung kakek Tinus berhenti berdetak. Sebelum penghabisan dan benar-benar mengatup mata untuk selamanya, kakek Tinus sempat berbisik kepada Moses untuk menjaga juga membagi secara adil tanah miliknya dan milik warga agar tidak terjadi percecokan serta memandatkan kepada Moses atau Rinus untuk mengganti posisinya sebagai Mosalaki. Herman dan warga menangis sejadi-jadinya. Malam itu, suara hujan dan suara tangis warga tumpah membasahi tanah.

Sepeninggal kakek Tinus, Moses dan Herman sebagai ahliwaris untuk tanah sebesar lima hektar mulai membagi sama rata. Moses memiliki lima orang anak yang semuanya sedang menempuh pendidikan sedang Herman memiliki delapan orang anak, yang sulung sudah berkeluarga sedang yang lain juga masih berada di jenjang pendidikan. Di atas tanah yang diberikan kakek Tinus sudah banyak ditumbuhi pohon kemiri, cengkih, kopi juga kakao. Tanah milik kakak beradik itu persis berdekatan dengan kebun Opa Rinus, hanya dibatasi dengan deretan gamal yang sudah tua dan beberapa sudah mati. Hampir tidak bisa membedakan mana tanah Opa Rinus juga tanah Herman dan Moses. Mula-mula semua menikmati hak atas tanahnya sedang Moses dengan lenggang mengganti ayahnya menjadi Mosalaki sebelum benar-benar muncul api perkara yang membara di dada Opa Rinus karena jatah tanah dan Mosalaki tidak dipercayakan kepadanya sebagai anak tiri dalam keluarga. Api permusuhan mulai mengepul ketika dendam yang dipendam Rinus sejak meninggalnya Bapak Tinus sudah setinggi gunung Wongge.

Siang itu matahari menikam kepala dengan ganas, Rinus beserta kedua anaknya sedang memetik kopi yang rimbun di kebun yang bersebelahan dengan Moses dan Herman. Entah kenapa tiba-tiba Rinus menyuruh anak-anaknya memetik kopi agak ke sebelah. Posisi mereka melewati batas wilayah. Sedang asik-asiknya memanen kopi, Moses datang dan menegur Rinus dan kedua anaknya. Tidak terima dengan teguran Moses, Rinus sempat beradu pendapat tentang pembatas yang katanya tidak adil.

“Ini masih wilayah kebun saya, pembatas ini merebut sebagian besar tanah saya.”

“Rinus, dari dulu sudah dibatas oleh Bapak dengan gamal dan itu adil. Kenapa dari dulu-dulu tidak ada persoalan sedang sekarang kau mulai mencari gara-gara.”

“Pokoknya ini masih wilayah saya! Tidak ada kompromi. Titik.”

Baca juga: Cara Mempublikasikan Tulisan di Media Massa

Perdebatan di kebun kopi siang itu diakhiri dengan saling ludah dan mengeluarkan umpatan-umpatan berupa makian dan sumpah serapah. Dada Rinus terbakar sebelum pulang karena Moses mengata-ngatainya sebagai anak tiri yang tanpa perasaan sebab sebenarnya mesti mendapat jatah tanah paling kecil atau paling tidak harus bersyukur sudah menggarap di lahan milik ahliwaris sejati, ia dan Herman adiknya.

Atas kata-kata yang menyinggung perasaannya, Rinus pulang ke rumah membawa dendam kesumat yang bernyala-nyala. Di kepalanya hilir mudik aneka rencana. Malam hari Rinus susah tidur, sudah dini hari tetapi mata Rinus masih membelalak sambil mengingat kata-kata dari Moses tadi siang. Jago berkokok menyapa pagi sedang Rinus susah lelap akibat dicekik gelisah. Maka tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya, pagi-pagi sekali Rinus bangun dan pergi ke rumah Herman untuk meminjam busur panah. Tanpa curiga dan banyak tanya, Herman mengamini permintaan Rinus.

Sore hari, Rinus sendirian pergi ke kebun untuk memetik kopi. Dari jauh, Rinus sudah bisa melihat punggung Moses yang sedang membuat pembatas tanah dengan menanam gamal yang berjejer mengikuti pembatas lama. Tanpa pikir panjang karena dendam di dada kian membara, Rinus mengambil busur dan mengarahakan tepat di dada Moses. Anak panah  melesat secepat angin dan tertancap di dada Moses. Seperti binatang buruan yang kena tombak, Moses rebah di tanah leluhurnya dan darah mengalir membasahi ibu bumi yang selama ini memberikan hidup pada keluarga dan anak-anaknya. Moses masih bernapas dan berusaha untuk mencabut anak panah yang tertancap di dada tetapi dengan sigap Rinus mencabut kelewang panjang dan tanpa ampun memenggal leher Moses sehingga badan dan kepala terpisah. Tidak terdengar suara tolong siang itu, tanah seperti menjerit pada kisah tragis. Hanya aku yang dari jauh menyaksikan semuanya dengan dada gemetar. Di sini cuma aku dan sepi selebihnya Tuhan bagai angin yang sedang menyibak kitab tua Genesis tentang kisah Kain dan Habel.

Kematian Moses yang tragis menggemparkan warga dan Rinus ditangkap Polisi. Ketika kejadiaan tragis itu, aku berlari sekencang-kencangnya untuk melapor pada kepala desa dan warga berbondong-bondong mencari Rinus dan menggebuknya, untung Herman sudah lebih dahulu ditahan Polisi karena ia sudah mengasah kelewang untuk balas dendam atas tumpahan darah kakaknya. Aku jadi ingat, malam sebelum kakek Tinus menghembuskan napas terakhir ia berpesan agar tanah dibagi adil kepada Moses, Herman dan Rinus. Waktu itu Rinus juga mendengar pesan terakhir dari kakek Tinus.

Berita tentang tanah yang bermasalah dan peristiwa tragis yang menimpa Moses sampai di istana negara, di tiap kota, televisi, koran, ruang kuliah juga di atas mimbar Gereja. Pagi ini aku sempat membaca koran dan ada berita bahwa pemerintah akan segera ke kampung kami untuk menyelesaikan prahara tanah milik Mosalaki Pu’u yang diklaim para pejabat sebagai tanah pemerintah karena tidak adanya bukti sah kepemilikan atas tanah dan pemerintah sudah siapkan alat berat untuk menggusur tanah juga tempat tinggal warga yang akan dijadikan lahan pembangunan pabrik semen. Sebagai saksi mata, pagi ini aku berada di ruang pengadialn meski di luar ruangan juga di jalan-jalan kota banyak warga dan mahasiswa berdemo agar pemerintah segera mengembalikan hak tanah milik warga.

Sampai aku selesai menulis cerita ini, darah Moses masih berteriak-teriak di telinga para pejabat yang merebut hak dan kepentingan rakyat di kampung kami.

 

Keterangan

kata yang ditulis miring berasal dari bahasa Ende-Lio, Flores-NTT:

Mosalaki Pu’u            : Kepala suku (tua adat)

Embu                           : Sapaan untuk Nenek

Ata polo opo mera      : Suanggi yang punya ekor (pantat) berwarna merah

(Rikard Diku, Mahasiswa STFK Ledalero. Lahir pada 7 Februari 1999. Sekarang tinggal di Wisma Rafael-Ledalero. Ia menyukai sastra, beberapa cerpen dan puisinya terisiar di beberapa Koran juga di media daring serta dibukukan dalam beberapa Antologi).

                                               

Rabu, 08 September 2021

Cerpen "Dari Bunda" oleh Yoon

 


Dari Bunda

Luka dan derita jiwa yang disimpannya hingga penghujung usia.

Oleh: Yoon

Putih. Putih dan putih. Warna itu mendominasi sebuah lorong yang dilalui seorang perempuan berjas putih yang sedang berjalan dengan langkah mantap nan elegan. Kedua kakinya dengan sigap membawa tubuh eloknya menuju sebuah ruangan di ujung. Jemari indahnya cekatan dalam membuka kenop pintu.

Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Ia menarik napas dalam sebelum memasuki ruangan itu. Nomor tiga dari kiri, ia langsung menghampiri mejanya.

“Hah,” desahnya sambil memasrahkan punggungnya pada kursi kesayangannya.

Ia memijit pelipisnya pelan. Hari ini sudah terlalu banyak hal yang ia alami. Operasi berderet mengantre membuatnya enggan walau hanya sekadar menyantap sepiring nasi.

Setelah lama di posisi itu, matanya terbuka. Buru-buru ditariknya laci sebelah kiri. Tangannya meraih sebuah kertas usang yang terlipat rapi. Lantas ia hadap kertas itu dan ia buka perlahan.

Surat. Ah tidak pantas dikatakan surat jika hanya berisi beberapa baris kalimat. Katakanlah, sebuah catatan. Catatan dari seseorang yang telah tiada di sisinya.

“Putriku, Jelita. Bunda senang kamu bisa sejauh ini. Maaf bunda pernah menentangmu dulu. Beberapa alasan tak bisa bunda ungkapkan. Tapi kamu akan tahu jika kamu mencari tahu. Rak F Nomor 79. Akan kamu ketahui alasan bunda berperilaku seperti ini.”

Ia berhenti sejenak. Memandang heran pada kertas di hadapannya. Alisnya terangkat satu.

“Udah? Gitu aja? Setelah pergi tanpa pesan, sekarang ngasih teka-teki gini? Dikira syuting film dora?” desisnya sebal. Ia letakkan kertas itu sembarang di meja. Helaan napasnya terdengar berat.

Ia kembali diam. Bukan diam dengan pikiran yang berserakan. Tapi ia sedang bernostalgia dengan kejadian delapan tahun lalu.

***

“Bunda, hari ini terakhir pendaftaran fakultas hukum. Bunda tanda tangan ya, aku mau langsung ngumpul formulirnya hari ini.”

Yang Jelita panggil bunda hanya diam. Matanya kosong. Ada aura kemarahan yang dirasakan Jelita.

“Bunda, waktunya semakin siang. Aku gak—“

“Jangan.”

Alis Jelita bertaut. Ia memandang bundanya aneh. Seumur hidup belum pernah sang bunda menolak keinginannya. Seaneh apapun keinginan itu.

“Kenapa bunda?” Bunda menggeleng.

“Kamu boleh minta apapun Jelita. Tapi tolong, jangan fakultas hukum. Kamu mau ambil akuntan, arsitek, kedokteran atau apa terserah. Tapi tolong jangan hukum.”

“Bunda, ada apa? Bunda tak pernah seperti ini sebelumnya.”

Sang ibu hanya menggeleng. Ia menatap sendu putrinya. “Maaf, Sayang.”

“Bunda tapi aku mau hukum.” Jelita masih bersikukuh.

“Tidak. Kamu tidak akan masuk ke sana. Kamu akan masuk kedokteran.”

Kedua mata Jelita membola. Apa-apaan ini? Keputusan macam apa itu?

“Bunda,” rengeknya.

“Lahir batin, hidup mati, bunda gak rela kamu masuk hukum, Jelita.” Ibunya mengucapkan keputusan final.

Jelita memandang bundanya kecewa. Air mata itu tak bisa ia sangkal kehadirannya. Langkahnya langsung meninggalkan sang bunda yang menatap penuh sesal pada sang putri.

*^*

Jelita memandang pintu di hadapannya dengan perasaan tak karuan. Seumurnya, ia belum pernah melalui pintu di hadapannya. Batas keras yang ditetapkan bundanya membuat ia tak mampu membantah. Dan  sekarang, berkat note kecil bundanya ia harus masuk ruangan itu.

Tadi sewaktu ia mengutarakan niatnya kepada sang bibi, respon positif di dapatkannya. Dan ia memiliki praduga jika sang bibi pun tahu apa yang telah disembunyikan bundanya berpuluh tahun ini.

Maka, jemari Jelita bergegas memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tangan kirinya refleks menutup mata saat cahaya dari dalam ruangan bertabrakan dengan netranya. Setelah beradaptasi, ia mulai melangkahkan kakinya.

Tiada kata terucap dari bibir indahnya. Decakan kagum tak mampu ia pendam. Ruangan itu benar-benar rapi dan elegan. Sebuah singgasana ala direktur tertata rapi di hadapannya. Alat tulis tertata rapi. Buku-buku berjejer rapi di rak masing-masing. Tangannya tak bisa tinggal diam. Ia menyentuh satu per satu demi terpuaskannya rasa kagum dari benaknya.

“Wah, bukan main rapinya. Pantas aku tak diizinkan menjelajahi ruang ini,” decaknya kagum.

Matanya berserobok dengan papan bertuliskan alphabet rak. Seketika ia ingat apa yang harus ia lakukan di sana. Heels lima centinya mengetuk lantai dengan irama konstan. Matanya nyalang mencari sebuah huruf yang ia anggap “kunci” dari segala kekangannya delapan tahun ini.

“F nomor 79,” gumamnya sembari membelai beberapa punggung buku yang berderet rapi di hadapannya.

Jemari telunjuk kanannya berhenti saat melihat huruf F besar di depannya. Dan ia heran saat tak mendapati petunjuk nomor satu pun di depannya.

Hidungnya mendengus keras. Lagi-lagi bundanya berteka-teki. Tidak cukupkah teka-teki akan pendidikannya selama ini? Masih haruskah catatan yang beliau tinggalkan itu ia pecahkan?

“79. Rak ini tinggi sekali. Ck. Bagaimana bisa aku mencari nomor itu?” Ia mendesah. Terdiam sejenak. Rak itu ia pandangi betul-betul. Tangannya memangku rahang indahnya. Ah, andai ia secerdas Aristoteles.

Matanya beralih pada rak E. Ia memandang dua rak itu bergantian. Dan didapatinya hal yang aneh. Lalu ia menatap rak yang lain. Lagi-lagi didapatinya hal yang sama.

“Semua rak rata-rata per baris 13 buku, lantas mengapa rak ini hanya 10 buku per baris?” Ia bergumam. Tangannya menelusur rak F dengan hati-hati.

“Apakah 7 itu baris dan 9 itu nomor buku di baris itu?” Tangannya cekatan membelai baris nomor 7 di depannya. Ia mendapat satu buku, ditariknya pelan buku itu.

Langkahnya beringsut mundur saat sebuah benda yang ia yakini surat kabar jatuh ke lantai. Buku yang ia raih, ia kembalikan ke tempatnya. Fokusnya sekarang hanya satu, kertas yang tergeletak lesu di karpet coklat itu.

Tangannya ragu meraih kertas itu. Tak urung jua ia meraihnya sebelum dibawa berdiri. Dibukanya perlahan kertas itu. Benar-benar sebuah surat kabar. Jelita memandangnya aneh. Untuk apa bundanya menyimpan surat kabar tahun 1990?

Matanya nyalang menelanjangi surat kabar usang itu. Tak lama ia membaca sebuah headline yang dengan jelas terpampang di sana.

Andrew John, Pengacara Terkenal Keluarga Kenney Divonis Hukum Mati

Setelah terungkap memiliki konspirasi dengan client-nya, pengacara terkenal Andrew John mendapat vonis hukum mati. Hal itu dikarenakan putusan saksi yang menyatakan jika sang pengacara memiliki dendam pribadi terhadap korban. Hukum

Jelita terpekur sesaat. Ada suatu hal yang membuat batinnya tercubit tiba-tiba. Nama itu tak asing. Tapi entah kenapa ia tak mampu menemukan jawaban. Lantas ia memilih melanjutkan acara membacanya.

Hukuman mati akan dilaksanakan setelah sebulan vonis dinyatakan. Hal itu sesuai permintaan Andrew sendiri yang ingin merayakan pesta ulang tahun putrinya yang pertama, Jelita John Kenney. Sang istri—

Bruk.

Luruh sudah tubuh Jelita. Matanya mengalirkan sungai kecil yang kemudian menjadi sangat besar. Hatinya sesak. Samar-samar ingatannya kembali pada 26 tahun lalu. Ia ingat betul seorang laki-laki memeluknya hangat, memberi sebuah Teddy Bear raksasa dan memberinya kecupan penuh. Kecupan yang ia rindukan setelah lamanya masa itu berlalu. Sekarang ia mengingatnya dengan jelas.

“Ayah,” isaknya pelan dengan dada yang sesak. Ia menatap perih pada sebuah bingkai foto yang bersender dengan bahagia di meja. Sepasang orang tua dengan putri cantik mereka di pangkuan sang ayah.

Tangis Jelita semakin kencang. Sekarang masuk akal penolakan bundanya delapan tahun lalu. Dan ia menyesal mengetahuinya setelah sekian lama. Setelah ia membiarkan kepergian bundanya tanpa rasa sesak sedikit pun di relung batinnya. Kini sesak itu berkumpul jadi satu. Membuatnya merasakan serangan jantung. Dan membuatnya kesulitan bernapas tanpa adanya rasa sesal.

“Bunda,” isaknya pelan.

*Finish*

Sabtu, 04 September 2021

Rumus Log Dalam Dunia Literasi

 


Rumus Log Dalam Dunia Literasi

Oleh : Septia

    Halo Sobat Literasi, kalian pasti tahu log atau logaritma jika disebut dalam matematika, ternyata ada juga di dunia literasi. Dunia literasi yang dimaksud adalah  kepenulisan cerita, entah cerpen, cerbung, cermin, bahkan novel sekalipun, membutuhkan rumus ini. Jangan pusing duluan, bisa jadi rumus log ini sudah sering kalian pakai tanpa kalian sadari. Anggap rumus ini sebagai bumbu cerita. Tanpa rumus ini, cerita akan terasa hambar. Baiklah sebelum lebih lama berbasa-basi, silahkan simak rumus berikut ini.

1. Prolog

Prolog, atau pembukaan cerita yang membangun konteks suatu naskah. Prolog bertujuan untuk memperkenalkan suasana di awal cerita yang bisa diisi dengan dialog atau kilas balik suatu peristiwa di dalam cerita.

2. Dialog

Seperti yang disebutkan tadi, prolog dapat diawali dengan dialog. Tetapi, dialog itu apa? Dialog adalah percakapan secara lisan atau tertulis antara dua orang atau lebih. Kalau berbicara sendiri namanya monolog.

Baca juga: Narasi Menarik dengan Teknik Show Don't Tell

Ada dua jenis dialog dalam kepenulisan. Dialog tag dan dialog aksi. Dialog tag adalah frasa yang mengikuti dialog untuk menjelaskan informasi pembicara. Contohnya seperti, ujarku, ucap Leni, kata orang itu. Lalu dialog aksi adalah percakapan yang diakhiri atau dilanjutkan dengan narasi berupa aksi. 

3. Monolog

Monolog, seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Monolog adalah percakapan  yang dilakukan oleh satu orang. Hal ini bukan berarti dianggap seperti orang gila. Monolog bisa berupa kata dalam hati atau ucapan menggerutu untuk diperuntukkan pada seseorang tanpa mengharapkan balasan.

4. Epilog

Rumus Log yang terakhir adalah epilog. Epilog atau penutup merupakan bagian akhir yang digunakan untuk menutup cerita. Tanpa adanya epilog, cerita akan mengambang, pembaca tidak akan tau kesimpulan, amanat, atau ending cerita. 

Baca juga: 7 Langkah Terbaik Menulis Cerpen untuk Penulis Pemula

Nah, itulah rumus log yang ada di dalam dunia literasi. Sama sekali tidak berhubungan dengan matematika, bukan? Tetapi tanpa adanya rumus-rumus tadi, cerita akan terasa hambar. Sama pentingnya dengan matematika, jika tidak ada matematika di dalam hidup, dunia akan terasa hambar, tidak ada hal yang menantang, eh?

Terima kasih telah membaca sampai akhir. Jangan lupa untuk mempraktekkannya supaya tidak terlupakan. Semangat menulis, salam literasi!