Sabtu, 19 September 2020

Kiat Asyik Menulis Nonfiksi oleh Maulida Ayu

 



Notula Sharing Kak Maulida Ayu

“Kiat Asyik Menulis Nonfiksi dan Tips Tembus Penerbit Mayor”

Sastra Indonesia Org bersama Tim Master Your Pain

 

Tanggal                   : Sabtu, 15 Agustus 2020

Waktu                    : 20.00—22.00 WIB

Tempat                   : WAG Sastra Indonesia Org

Jumlah Peserta         : 140

 

Penyelenggara:

 

Sastra Indonesia Org

Founder SIO: Anisa AE

Ketua SIO dan Moderator: Anjar Lembayung

Narahubung: Sherrly

Notulis: Fajriy

 

Tim Master Your Pain

Kak Aisyah

 

Pemateri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sharing

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Halo, selamat malam, teman-teman semua. Pertama-tama terima kasih kepada Sastra Indonesia Org yang telah memberikan kesempatan buat saya sharing di sini untuk ngomongin soal “Kiat Asik dalam Menulis Nonfiksi. Nah, kebetulan buku saya yang baru saja rilis Agustus ini genrenya nonfiksi, tapi kategori self improvement (pengembangan diri) karena kan nonfiksi itu banyak ya tipe-tipenya.

Gimana sih caranya biar bisa tembus penerbit mayor? Dan gimana sih cara biar kita bisa ngerasa asik dalam menulis buku nonfiksi? Nah, buat aku, yang pertama adalah kita harus mengetahui dulu apa sih yang termasuk ke dalam persiapan kita untuk memulai menulis. Kita harus mengetahui dulu apa yang termasuk ke dalam persiapan kita untuk memulai menulis. Aku meramunya menjadi rumus 5M: menemukan motivasi menulis, menentukan kategori fiksi atau nonfiksi, mencari keunggulan tulisan, melakukan riset pasar, dan melakukan benchmarking.

M yang pertama, menemukan motivasi untuk menulis. Jadi, menemukan motivasi ini sebetulnya erat kaitanya dengan bagaimana kita bisa ngerasa asik dalam menulis. Sebelum menemukan motivasi besar, menemukan why (alasan) dalam menulis, kita enggak akan enjoy ketika nulis. Jadi, ini memang salah satu cara untuk bisa terus bangkit dan gak gampang nyerah. Misalkan biasanya kita dalam nulis itu mengalami ide stuck. Kalau kita punya motivasi untuk menulis, kita akan tetap merasa “Ya udah, kalau gagal coba lagi. Ya udah, kalau jatuh bangkit lagi” kayak kata bang Saykoji.

M yang kedua adalah menentukan kategori, fiksi atau nonfiksi. Kaitannya adalah kita harus tahu dulu perbedaan fiksi dan nonfiksi. Perbedaannya ada dari penggunaan gaya bahasa, majas, diksi, alur, juga perbedaan metode riset. M yang ketiga, mencari keunggulan tulisan. Jadi, kita harus tahu dulu keunggulan tulisan kita. Yang terakhir adalah melakukan benchmarking. Intinya adalah kalau mau nulis, kita harus banyak baca. Apa lagi nonfiksi harus banyak-banyak riset karena akan ada daftar pustaka. Karena bukan fiksi, ya, bukan imajinatif.

Setelah kita tahu apa aja persiapan yang harus kita lakuin sebelum memulai tulisan kita, yang kedua adalah gimana sih caranya biar kita bisa dapat ide? Gimana sih biar kita bisa berproses untuk mendapatkan ide tulisan yang kita pengen tulis? Jadi, kalau kata Sherlock Holmes, dia bilang kalau “ide atau apapun itu bukannya nggak kelihatan tapi kita yang nggak perhatian.” (You see, but you do not observe—Arthur Conan Doyle). Jadi, kita yang nggak observasi, kurang peka gitu. Caranya simpel banget, aku sebutnya pdca yaitu pikirkan, dengarkan, carikan, dan abadikan.

Karena di sini nonfiksi, kita bahas khusus ke buku self improvement. Pengalamanku awal banget nulis buku “Master Your Pain”, yang pertama aku lakukan ketika membentuk sebuah ide-ide yang berkeliaran di kepala adalah dengan terlebih dahulu membaca buku-buku self improvement. Jadi, aku harus tahu dulu apa sih yang orang cari dari sebuah buku self improvement?

Nah, setelah aku sadar kalau ternyata banyak orang yang ngerasa, yang masih mikir Ih, kenapa sih saya harus baca buku self improvement? Kan, itu cara pandang orang lain. Dari situ saya tahu harus nulis buku yang bisa menjelaskan bahwa buku self improvement adalah sebuah pisau analisis atau kacamata yang kita gunakan dalam memandang sebuah masalah atau sesuatu dalam hidup kita kita.

Kalau kayak gitu, kita tahu nih kalau setiap buku self improvement pasti punya nilai-nilai dominan yang penulisnya percaya, misalnya bukunya Mark Manson yang “Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat” (The Subtle Art of Not Giving A F*ck) atau buku “Berani Tidak Disukai”, ya, itu nilai dominan yang dipegang sama penulisnya atau seni minimalis, itu nilai-nilai yang yang dipercaya sama penulisnya.

Ketika nulis buku “Master Your Pain” itu, aku lagi ngobrol sama temen. Oh iya, kita kan kalau lagi sakit hati harus tetap kuat nih, harus tetap mengubah itu jadi kekuatan. Jadi turn the pain into power. Di situ tuh aku dapat ide. Kenapa nggak coba aku tulis?

Jadi, pertama, kita bisa coba tanyakan pada diri kita “nilai dominan apa sih yang kita percaya?” Atau bisa juga kita nanya-nanya ke diri sendiri “kejadian apa ya yang sampai saat ini kita pasti ingat?” Yang paling penting, ketika kita udah dapetin ide-ide itu, pecahan-pecahan itu, kita harus tahu juga “pesan apa sih yang kita pengen sampaikan ke orang?”

Setelah kita dapat ide, jangan lupa ada catatan yang penting banget, rekam dalam bentuk suara; catat dalam bentuk kerangka atau mind map; atau bisa juga kita selalu siapin HP kita untuk buka notes.

Kucoba bahas untuk yang “abadikan” atau yang kita sebut sebagai “ikatlah ilmu dengan tulisan.” Catat atau tulis ide-ide yang kita dapat sebelumnya dalam bentuk kerangka atau outline. Pengalamanku ketika dapat ide, langsung kutulis dalam daftar isi. Jujur, ini ngebantu banget karena kita kan nggak pernah tahu kapan kita dapat writer's block atau kapan kita pengen stop nulis tiba-tiba. Mungkin mood kita lagi jelek atau gimana. Tapi, ketika udah nulis kerangka, ketika kita pengen lanjut lagi, ya alhamdulillah ide kita enggak benar-benar hilang karena udah ada poin-poin penting yang sempat kita catat. Mungkin memang ada beberapa yang diganti, tapi masih bisa aku lanjutin. Misalkan gak bisa daftar isi karena banyak banget, belum dapet nih ide sebanyak itu, nggak papa. Mungkin bisa coba tulis dari contoh kasus atau percakapan yang kita pengen masukin dalam buku. Kerangka bisa juga dalam bentuk poin-poin. Nah, ketika kita tahu cara melakukan persiapan sebelum menulis dan dapat ide dari mana, perlahan, kita akan bisa dapetin feel yang membuat kita ngerasa asik dalam menulis nonfiksi.

Gimana sih proses biar bisa terbit ke Penerbit Mayor? Ini emang sesuatu banget. Sebenarnya, aku lolos di penerbit mayor tuh unik. Kalau ditanya “kenapa sih pengen Gramed?” Ya, mungkin Gramedia itu adalah impian semua orang. Karena Gramed tuh penerbit Mayor yang katakanlah salah satu terbesar di Indonesia.

Sebetulnya aku punya impian untuk diterbitkan di situ, tapi nggak kepikiran banget untuk Gramedia Pustaka Utama langsung. Memang ketika menyasar Gramedia Pustaka utama, aku udah coba riset, “apa sih yang kira-kira sesuai sama kebutuhanku dan kebutuhan penerbit tersebut?” Jadi, saran pertama adalah kita harus menemukan penerbit yang sesuai dengan kebutuhan. Misalkan kita pengen nerbitin buku self improvement, tapi kita ngirimin ke penerbit yang dia cuma mau nerima atau mayoritas naskah yang dia terima itu adalah naskah anak, ya nggak masuk, otomatis ada kemungkinan ditolak.

Kedua, pastikan mengirimkan naskah yang terbaik. Kenapa? Karena aku dapat tips langsung dari editorku yang beliau itu 16 tahun kerja di Gramedia, beliau editor senior gitu, banyak banget pengalamannya. Beliau cerita kalau sebetulnya editor paling males kalau ngeliat naskah yang banyak typo. Karena itu kan kayak kita enggak serius dinilainya. Jadi, udah pasti disingkirin tuh sama editor. Nah, makanya kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengirimkan naskah yang terbaik, setidaknya minimal versi kita.

Apa aja sih yang termasuk kategori naskah terbaik? Sebetulnya, setiap naskah pasti punya keunggulan sendiri, dong. Tapi, kita juga harus tahu keunggulan naskah kita. Kita bisa ngirimin sinopsis naskah singkat, padat, dan jelas. Karena ada beberapa penerbit yang agak kesal ketika penulis itu malah ngirimin sinopsis naskah yang mirip spoiler.

Misalnya aku nulis “Master Your Pain”, aku ngasih tahu isinya kayak gini isinya adalah cara kita mengolah rasa sakit, caranya ya, ikutin detalinya. Nggak bisa gitu. Di sinopsis itu kita harus ngasih tahu semua jawaban yang ada di naskah kita, tetapi dengan singkat, dan jelas. Kemudian, kalau bisa format naskahnya rapi sesuai dengan persyaratan. Setiap penerbit pasti udah ada persyaratannya sendiri di website mereka.

Yang paling penting, sebisa mungkin kasih judul yang unik dan menarik. Kenapa? Karena itu salah satu hal utama, bukan hal utama, hal pertama yang bakalan dilihat sama penerbit. Kata editorku, yang masuk ke Gramedia itu satu hari bisa ratusan sampai ribuan. Pasti naskah kita nyempil di situ, kan? Biar bisa kelihatan, naskah kita itu judulnya harus yang unik dan menarik.

Pembahasan yang terakhir adalah soal selling point. Sesuatu yang sangat krusial ketika kita pengen tembus penerbit-penerbit yang luar biasa, seleksinya ketat banget adalah kita harus tahu “apa sih keunggulan naskah kita?” Jadi, sebetulnya selling point di setiap penerbit itu beda-beda karena setiap penerbit punya standardisasinya masing-masing.

Menurut pengalamanku, ada tiga hal yang mereka cari. Pertama, naskah yang idenya bener-bener sama dengan ide yang ada di pasar, misalnya sekarang kita lagi ngomongin covid-19. Tulisan-tulisan tentang covid-19 ada di mana-mana dan menjadi salah satu tulisan yang sudah viral di lapangan, menjadi sebuah tren. Ketika kita pengen mendapatkan keunggulan naskah dari sesuatu yang terjadi di lapangan, sudah sering dibicarakan, itu nggak papa. Karena ini apa yang kita sebut sebagai repetition atau pengulangan yang dilakukan untuk bisa menyasar orang-orang yang memang mencari itu. Kenapa? Karena Emang itulah yang ada di lapangan, itulah yang ada di pasar, itulah target pasar kita.

Kedua, kita juga bisa mencari keunggulan naskah kita di bagian yang membuatnya sama tapi beda. Misalnya, mungkin ini overrated menurut orang-orang, tapi menurutku bisa jadi contoh. Bukunya Mark Manson kan viral banget yang oranye jadi best seller. Sebenernya pembahasan dia kan nggak jauh beda, dia ngomongin “gimana sih biar kita bodo amat?” Tapi, dia merangkumnya menjadi sesuatu yang beda. Udah banyak yang ngomongin “gimana caranya biar kita nggak terlalu pusing sama kata-kata orang?” “Gimana caranya biar kita nggak terlalu mempedulikan hal-hal yang nggak penting?”

Ketiga, apa yang membuatnya berbeda benar-benar berbeda. Jadi, dia nggak lagi dibicarakan, dia biasa aja, standar aja. Tapi, dia beda. Ini yang kuambil ketika nulis “Master Your Pain.”

Jadi, di penerbit Gramedia itu keunggulan naskah tergabung dalam sinopsis. Setelah nulis sinopsis, kita ngasih tahu keunggulan naskah kita. Di situ aku tulis pendek aja, nggak terlalu banyak, satu paragraf waktu itu. Aku bacain:

“Buku self improvement biasanya menyajikan kata-kata motivasi yang terdengar sangat baik dan indah,” kaya nyemangatin gitu-gitu kan, yang biasa kita denger. “Namun, fakta yang terjadi di lapangan,” aku riset juga kalau “orang-orang sebetulnya udah mulai agak nggak tertarik dengan kisah pengembangan diri yang biasa aja. Maka, buku ini hadir dengan konsep yang anti mainstream, yakni Master Your Pain.” Jadi, pain gitu, ngapain? Kenapa sih itu sakit kok malah dijadiin kekuatan?

Itu yang aku jadikan sebagai selling point. Sesuatu yang menurutku akan membuat penerbit penasaran. “Kok bisa sih kebalik banget gitu konsepnya?” Jujur, waktu itu sebetulnya aku udah sempet nanya sama editorku “kenapa sih Pak, kok tertarik sama naskah saya?” Terus beliau cerita, simpel banget. Jadi, pertama dia bilang kalau pada saat itu dia lagi kesel. Orang pasti punya, dong, tahap di mana dia kesel. Dia kerja kan, nyari, ngubek-ngubek naskah di email yang nauzubillah banyak kata dia, terus, dia nemu judulku yang “Master Your Pain.” Aku udah garisbawahin, bikin judul yang menarik. Dia bilang, “Kayaknya seru nih, kebetulan saya lagi kesel.” Aku bilang, “Kan, nggak mungkin cuman dari judul?” “Betul, tapi kan, itu yang pertama kali dilihat.” Jadi, pas udah diklik, dibuka gitu isi naskahnya, pas dia baca, “Wah iya ya, naskah ini beda banget.”

Kalau pengalamanku, aku coba referensi dari beberapa tulisan yang memang ada di penerbit mayor dan jadi best seller, ada tiga poin yang mereka jadikan andalan dalam menulis untuk bisa menarik penerbit atau mungkin menarik pembaca: Apa yang membuatnya benar-benar sama? Apa yang membuatnya sama tapi berbeda? Apa yang membuatnya benar-benar berbeda?

Terima kasih.

 

 

 

 

 

Tanya Jawab

Penanya 1: SiMooza

Pertanyaan    : Biasanya Kakak riset langsung atau referensi bacaan?

Jawaban        : Saya waktu nulis buku MYP, melakukan dua-duanya. Ada yang saya riset lewat survei sederhana, ada yang tentunya saya diskusikan kepada beberapa orang. (diskusi ini termasuk riset juga) Sisanya, dari buku, jurnal, artikel jurnal, dan sumber kredibel lainnya.

 

Penanya 2: Farkhatul Ummi

Pertanyaan    : Bagaimana cara mengasah intuisi?

Jawaban        : Mengasah intuisi ini sebetulnya bisa dilatih dengan: Mendengarkan.

“Mendengarkan adalah proses menemukan jawaban.”

Caranya gimana?

1. Diskusi dengan teman atau kelompok

2. Minta orang-orang yang tidak suka membaca untuk baca naskah tersebut

3. Saling berbagi pengalaman

4. Mendengarkan diri sendiri

 

Penanya 3: Betty

Pertanyaan    : Apakah menulis nonfiksi, apalagi tentang self improvement, harus dari pengalaman sendiri? Sedangkan, kadang diri sendiri ngerasa nggak punya banyak pengalaman.

Jawaban        : Sebetulnya ketika kita menulis buku self-improvement, ada hal-hal yang kita pertanggungjawabkan. Misalnya, penulis memberikan nilai “Seni Minimalis” dalam bukunya, tapi faktanya dia boros dan gak menerapkannya, maka pasti pembaca akan meragukan kredibilitas, dong. Logikanya, apakah kita mau percaya pada orang pemabuk yang menulis buku “Jangan mabuk?”

Kalau dibilang gak banyak pengalaman, pasti ada. Kalau belum banyak, coba dibanyakin. Belajar terus, gali terus ilmu nya. Dan, peka sama nilai-nilai dominan dalam hidup kita.

 

Penanya 4: Anjar Lembayung

Pertanyaan    : Sebenarnya latar belakang penulis itu berpengaruh enggak sih sama pertimbangan editor Penerbit Gramedia untuk diterima atau tidak?

Jawaban        : Tergantung penerbitnya. Kalau Gramedia, sepertinya presentasenya kecil dalam melihat latar belakang penulis. Dilihat juga dari persyaratan pengiriman naskah, mereka hanya meminta biodata singkat penulis. Namun, ada beberapa penerbit mayor yang ternyata meminta penulis mengirimkan CV. Nah, itu dasar penilaian kita bahwa mungkin ada beberapa penerbit yang mempertimbangkan latar belakang penulis tersebut.

 

Penanya 5: Septi

Pertanyaan    : Gimana sih caranya mengetahui typo apa bukan?

Jawaban        : Caranya adalah bersahabat dengan kbbi hehe.

 

Penanya 6: Rere

Pertanyaan    : Punya nama pena itu menarik perhatian gak sih?

Jawaban        : Setahuku sih enggak hehe karena editor gak peduli nama penulisnya siapa hehe kecuali ya, penerbit yang melihat dari potensi pasar yang bisa didapatkan dari penulis tersebut. Misalnya, nama pena A udah terkenal di sosial media, karyanya diminati banyak orang, sudah punya konten-konten yang bagus. Nah, kemungkinan ketika penerbit lihat nama pena itu kirim naskah ke mereka, pasti akan dipertimbangkan. Tapi balik lagi, penerbit biasanya melihat substansi naskah hehe.

Penanya 7: Farhana

Pertanyaan    : Cari judul yang unik itu terinspirasi dari mana? Kadang suka enggak pede sama judul.

Jawaban        : 1. Liat target pasar dulu, mau menyasar kemana. 2. Tau dulu keunggulan naskah kita apa 3. Banyak-banyak membaca buku, jadi, bakal ketemu inspirasinya.

 

Penanya 8: Feby

Pertanyaan    : Kalau mengirim ke penerbit kan ada keunggulan dan sinopsis cerita. Nah, itu dijadikan satu file dengan naskah atau beda?

Jawaban        : Berbeda-beda setiap penerbit. Ada yang digabung sinopsis (misalnya dalam satu file tapi beda halaman), ada yang cuma ditaruh di body email, ada juga yang diupload dalam websitenya. FYI, sekarang, kirim naskah ke gramedia bisa di dps.gramedia.co.id

 

Penanya 9: Tu

Pertanyaan    : Untuk kirim naskah, ada template atau sesuai keinginan penulis? Kalau penerbit indie, kan, ada, kalau mayor ada apa tidak?

Jawaban        : Kalau penerbit mayor biasanya ada syarat-syarat standar aja. Misalnya font 12 spasi 1,5 font TNR, margin sekian. Dan minimum lembar naskah (misalnya 100 halaman maksimal 200 halaman). Untuk layout dll, kalau Gramedia nanti ada setternya yang urus itu hehe

 

Penanya 10: Upi

Pertanyaan    : Kaidah Kaizen QCC ya Kak. Sebetulnya saya ingin sekali menulis nonfiksi tentang perjuangan anak saya melewati emfisema beberapa tahun yang lalu. tetapi saya bingung menentukan pasarnya karena kejadian ini terjadi 1 banding 1000 kelahiran bayi

Jawaban        : Halo .... Wah, ini menarik banget, Mbak. Kalau soal pasar, sebetulnya tergantung merangkumnya. Bisa aja dimainkan di gaya bahasa, alur, dan diksi kata yang digunakan. Meskipun kasusnya langka, namun jika pesan yang disampaikan bisa dimengerti oleh anak-anak remaja/muda/dewasa, maka target pasarnya justru akan luas, Mbak. Semangatt!!

 

Demikian notula sharing kali ini. Terima kasih telah mengikuti acara kami. Semoga mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sampai jumpa di acara sharing berikutnya.

 

Salam Literasi,

Penyelenggara,

 

 

Sastra Indonesia Org bersama Tim Master Your Pain

Pengalaman Kontrak Novel Menjadi Film oleh Mia

 



Notula Sharing with Mia Chuz

“Pengalaman Kontrak Novel Jadi Film”

Sastra Indonesia Org

 

Penyelenggara

Komunitas Sastra Indonesia Org (SIO) yang disponsori oleh AE Publishing.

Founder SIO dan owner AE Publishing: Anisa AE    

Ketua SIO: Anjar Lembayung

Narahubung dan moderator: ImuniQ

Notulis: Fajriy

Tentang Pemateri

Data Diri

Nama              : Eria Chuzaimiah

Panggilan       : Mia

Nama Pena     : Mia Chuz

Tempat Lahir : Jakarta

Domisil           : Bekasi

Anak               : 3 putri

Pendidikan:

SMP Palembang tahun 1991

SMA Palembang tahun 1994

Universitas Andalas Jurusan Teknik Industri tahun 1997

Pekerjaan:

IRT

Kegiatan:

ü Mengajar di Rumah Tahfiz Anak dan Balita Rabithah

ü Menulis

Novel yang sudah diterbitkan:

1. Wedding Agreement terbit tahun 2018, diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama oleh Starvision tahun 2019. Sekarang tayang di VIU Indonesia.

Tahun 2019 terbit di Elex Media.

2. Rania (Lantunan Cinta di Sepertiga Malam) tahun 2019, kolaborasi bersama Ust. Nasrullah, penulis dan motivator Rahasia Magnet Rezeki

3. Dearest Mai, terbit bulan Oktober 2019 di penerbit Katadepan.

Motto:

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.

Sharing

Sharing materi melalui podcast dan tertulis berikut ini:

Assalamu’alaikum. Perkenalkan, saya Mia Chuz. Sore ini saya akan berbagi sedikit tentang bagaimana sebuah novel bisa diangkat ke layar lebar. Saya akan sharing berdasarkan pengalaman yang saya alami, dan juga dari beberapa penulis yang saya kenal, yang novelnya juga diangkat ke layar lebar. Sebelum masuk ke tips, saya akan mengajak teman-teman melihat dunia perfilman kita saat ini.

Ada yang suka nonton? Yang setiap pekan nonton bioskop, ada? Yang suka nonton di VIU? Atau nonton di Youtube, mungkin? Teman-teman tahu apa yang sedang tren saat ini di dunia perfilman? Nah, kalau teman-teman mau novelnya diangkat ke layar lebar, coba deh, menjadi pengamat. Genre apa yang sedang ramai diminati, tonton filmnya, pelajari jalan ceritanya, dan buat kisah serupa. Tidak semua film mainstream, sih. Ada juga film-film yang nggak ngikutin tren, malah jadi box office. Namun, biasanya PH cenderung mengikuti pola yang sama. Kalau sebuah film sudah ketahuan sukses, maka film sejenis akan dibuat lagi.

Sekarang banyak novel yang dijadikan film, karena memang banyak cerita bagus yang ditulis oleh penulis zaman sekarang. Asma Nadia, Raditya Dika, Risa Saraswati, Kang Abik, Tere Liye, Dee Lestari, Pidi Baiq, Ika Natassa, Ilana Tan, dan lainnya, mereka langganan novelnya dijadikan film. Baru-baru ini juga ada Luluk HF dengan Mariposa dan Glenn Anggara. Termasuk saya, he he, alhamdulillah novel saya diangkat ke layar lebar. Sudah pada nonton Wedding Agreement? Kalau belum, langsung nonton yang di VIU.

Coba lihat deretan penulis di atas. Mereka bukan anak baru kemarin alias bukan menulis setahun dua tahun, tapi sudah beberapa tahun, dan sudah menghasilkan banyaaaak novel juga. Artinya apa? Artinya, awalnya mereka konsisten menulis. Dan akhirnya ada yang tertarik mengangkat kisah di novelnya ke layar lebar. Jadi bukan baru menulis satu novel lalu berharap langsung difilmkan. Berharap, sih, boleh, tetapi jangan dijadikan tujuan akhir. Karena kalau tujuan kita menulis untuk difilmkan, terus … kalau enggak jadi film, apakah akan berhenti menulis?

Saya akan cerita sedikit, bagaimana novel saya bisa diangkat ke layar lebar. Wedding Agreement adalah novel pertama saya yang cetak. Namun, bukan cerita pertama yang saya tulis. Saya menulis di Wattpad sejak 2017. Sampai awal 2018, sudah 9 cerita yang saya tulis di Wattpad, dan Wedding Agreement adalah cerita saya yang ke-10. Cerita yang pertama kali saya tulis, Dearest Mai, sekarang sudah terbit dan tersedia di toko buku, itu asli hancur dan alay. He he.

Saya menulis modal nekat, karena enggak punya dasar kepenulisan. Enggak paham dialog tag. Enggak ngerti PUEBI. Enggak ngerti diksi yang bagus itu kayak gimana. Pokoknya, nulis aja dulu.

Dulu saya pakai akun samaran, karena malu, takut ketahuan teman-teman lain kalau saya menulis. Malu kalau tulisan saya enggak bagus. Akun WP saya viveramia. Namun, setelah menulis dan ada yang baca, saya jadi senang banget. Walau cuma satu dua yang baca dan komen. Makin lama makin banyak yang baca, membuat saya semakin rajin update cerita.

Saya sadar sepenuhnya kalau tulisan saya masih amburadul, maka dari itu saya belajar lagi. Iyes. Saya browsing, bagaimana menulis yang baik. Saya mencari mentor dan ikut kelas kepenulisan. Saya bergabung dengan komunitas menulis. Saya baca novel-novel penulis terkenal dan belajar menulis dari novel mereka. Saya terus belajar dan tulisan saya menjadi lebih baik. Semakin banyak yang membaca cerita saya. Sampai puncaknya ketika saya posting Wedding Agreement di Wattpad dan FB secara berkala. Banyak yang suka. Banyak yang baca. Banyak yang share.   

Sampai akhirnya ada penerbit yang meminang tulisan saya untuk diterbitkan. Waktu itu pertengahan 2018, akhirnya saya memutuskan untuk Self Publishing. Dari sana saya banyak belajar tentang duni penerbitan. Terus … bagaimana akhirnya bisa difilmkan?

Nah, begini ceritanya. Novel yang masih dalam bentuk pdf, saya berikan ke seseorang yang masih ada hubungan keluarga dengan suami saya. Dan … seseorang itu adalah sutradara. Pernah menonton Tetangga Masa Gitu dan OK JEK di Net TV? Nah, itu dia sutradaranya. Setelah dia baca, ternyata dia SUKA. Aku kasih capslock karena dia emang seSUKA itu sama novelnya. Sampai beberapa bulan kemudian dia ingin membuat film dari novel yang saya tulis. Dia menawarkan novel saya ke Starvision. Apakah langsung diterima? Tentu tidak, he he.

Saya tidak tahu bagaimana prosesnya, tetapi awal tahun 2019, sutradaranya menghubungi saya dan mengatakan kalau Starvision berminat untuk menfilmkan novel saya. MasyaAllah. Saya sama sekali enggak nyangka dan merasa semua mimpi. Kok bisa? Ternyata bisa, kalau Allah sudah berkehendak, apalagi hanya membuat film saya naik ke layar lebar. Semua mudah bagi Allah. Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Saya hanya menulis dan berusaha semaksimal mungkin membuat cerita yang menghibur dan manfaat. Hanya itu. Sama sekali enggak kepikiran kalau suatu saat akan diangkat ke layar lebar.

Jadi … kalau ditanya tipsnya apa supaya novel yang kita tulis bisa difilmkan, maka buat saya:

1.          Perbaiki niat dalam menulis

Teman-teman, menulis buat apa, sih? Coba deh, tanyakan kepada diri sendiri. Apakah sudah punya niat yang besar? Sangat besar sehingga membuat teman-teman tidak akan berhenti menulis walau lelah dan capek?

2.         Belajar

Jangan berhenti belajar. Jangan merasa sudah bisa menulis, lalu berhenti belajar. Terus belajar. Banyak membaca, ikut kelas pelatihan, kalau perlu nonton film. Belajar dari  mana saja. Belajar dari siapa saja.

3.          Bersungguh-sungguh

Kalau teman-teman serius dan sungguh-sungguh, maka seharusnya teman-teman konsisten dalam menulis. Sehari berapa ratus kata? Berapa ribu kata? Kalau masih angin-anginan dalam menulis, artinya tidak sungguh-sungguh.

4.         Nikmati Proses

Membuat piramid tidak bisa dalam waktu semalam. Membuat Taj Mahal saja butuh puluhan tahun. Tidak ada sesuatu yang instan. Nikmati setiap proses yang teman-teman jalani. Jangan berhenti di tengah jalan. Jangan berhenti sebelum tujuan tercapai.

5.          Tawakal

Serahkan semua rencana kita kepada Allah, yang menentukan takdir manusia. Saya yakin, Allah sudah menetapkan novel saya Wedding Agreement difilmkan, jauuuh sebelum saya lahir. Saya dan teman-teman hanya menjalani apa yang sudah Allah rencanakan. Yakin kalau itu takdir kita, pasti tidak akan melewati kita. Dan yakin, apa yang tidak menjadi takdir kita, tidak akan datang kepada kita.

Saya berharap kita semua mengisi dunia literasi dengan hal-hal baik. Mengajak kepada kebaikan. Karena apa yang kita tulis akan Allah minta pertanggungjawabannya. Jadilah penulis yang memberi manfaat untuk orang lain. Niatkan tulisan kita menjadi amal jariah dan menjadi wasilah bagi berubahnya orang lain menjadi lebih baik.

Satu hal yang saya pegang, nasihat dari Mbak Oki Setiana Dewi ketika beliau hadir di acara nobar film Wedding Agreement. Beliau mengutip perkataan Imam Malik, “Sesuatu yang niatnya ikhlas karena Allah, pasti akan langgeng.” Niat sangat penting, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Dan niat karena Allah-lah yang akan membuat sesuatu akan berketerusan. Mudah-mudahan yang sedikit ini manfaat.

Tanya Jawab

Rangkuman pertanyaan-pertanyaan berikut hanya yang belum ada jawabannya pada materi sharing ataupun pertanyaan yang diajukan lebih dulu.

Penanya 1: Cityalphy

Pertanyaan 1: Bagaimana cara mengiriman naskah agar difilmkan? Apakah harus punya kenalan sutradara?

Jawaban: Sebaiknya memang kenal dengan kru filmnya, Mbak. Jadi lebih mudah prosesnya. Tapi bukan jaminan juga. Karena naskah yang masuk banyak sekali. Sama seperti naskah yang masuk ke meja editor. Lebih baik fokus memberikan naskah yang terbaik. Nanti karya kita yang akan membuktikan apakah layak difilmkan atau tidak. Walau kenal dengan sutradara tapi cerita enggak bagus juga enggak akan membantu.

Pertanyaan 2: Apa ada forum atau agen tertentu yang menerima novel untuk difilmkan?

Jawaban: Saya kurang tahu, Mbak. Apakah maksudnya semacam broker gitu? Setahu saya ada, kok, pihak yang suka jalan-jalan ke Wattpad untuk mencari naskah potensial dan menawarkan ke PH. Apakah itu untuk film atau FTV.

Pertanyaan 3: Apakah novel yang diangkat ke layar lebar itu murni cerita dari penulis atau ada penambahan maupun pengurangan alur?

Jawaban: Untuk film adaptasi novel pasti beda dengan novelnya, Mbak. Karena banyak yang harus dipertimbangkan. Film kan bahasa visual. Durasi juga jadi kendala, enggak mungkin memasukkan semua isi novel. Harus dipilih-pilih konfliknya. Kemudian, untuk membuat film lebih hidup juga harus dimasukkan banyak unsur. WA, kan, enggak ada komedinya, tapi kan bosan, ya, kalau serius melulu, makanya dimasukkan unsur komedi.

Pertanyaan 4: Apakah Teh Mia ikut dalam pembuatan film? Dan apakah penulis boleh menjadi salah satu tokoh di film?

Jawaban: Boleh, Mbak, tergantung kesepakatan dengan sutradara dan PH-nya saja seperti apa.

Pertanyaan 5: Pendapatan kita dilihat dari larisnya film atau gimana?

Jawaban: Hanya dari beli ide cerita, Mbak, kalau film memenuhi target tertentu biasanya ada bonus. Tapi kita dapat banyak kesempatan dan pengalaman yang jauh dari materi. Terutama bisa kenal dengan orang-orang film itu berharga, yang penting kita dikenal dulu, Mbak. Kita juga dapat profit dari penjualan novel yang naik karena novel kita difilmkan.

Penanya 2: Ester

Pertanyaan 1: Apakah penerbit mau menerima naskah dengan tema mainstream?

Jawaban: Biasanya penerbit punya pasar sendiri-sendiri. Kalau Mbak lihat buku Republika berbeda dengan Coconut, mereka punya kecendurangan masing-masing. Bisa jadi cocok di satu penerbit, tapi enggak di penerbit lain. Tema mainstream atau tidak tetap ada pasaranya, Mbak. Pastikan saja naskah kita adalah naskah terbaik. Novel Wedding Agreement itu kan mainstream, ya, pernikahan dijodohkan sudah banyak, tapi kita bisa bikin beda dari yang lain saat eksekusinya, sehingga menarik pembaca.

Pertanyaan 2: Ketika menulis di Wattpad, lebih bagus update sehari sekali atau seminggu sekali?

Jawaban: Kalau sanggup 1 hari 1 tulisan itu lebih baik, Mbak. Kalau enggak sanggup, bisa 2 kali 1 pekan tapi konsisten.

Pertanyaan 3: Bagaimana cara promosi yang baik?

Jawaban: Kuatkan personal branding, Mbak. Pastikan orang lain mengenal Mbak sebagai penulis

Pertanyaan 4: Aktris/aktor yang main film WA siapa yang pilih?

Jawaban: Dari sutradara dan PH, Mbak. Aku enggak paham dunia artis jadi nggak bisa kasih saran, hehe.

Penanya 3: Eravoty

Pertanyaan: Adakah rekomendasi untuk orang yang bisa mereview naskah kita?

Jawaban: Maksudnya untuk testimoni ya, Mbak? Untuk pemain TMG itu sutradaranya yang minta, Mbak, karena sudah kenal sebelumnya. Saya kalau minta testimoni biasanya ke penulis yang sudah saya kenal sebelumnya. Juga biasanya enggak mepet waktu karena mereka punya kesibukan.

Penanya 4: Rafika N. H

Pertanyaan: Kalau viewers banyak, tapi vote sedikit, apa juga bisa (difilmkan)?

Jawaban: Semua mungkin, Mbak. Tapi tadi, berikan yang terbaik untuk naskah kita. Perbanyak referensi, baca novel yang diangkat menjadi film, perhatikan polanya seperti apa yang disukai oleh PH.

Penanya 4: Noona

Pertanyaan: Apakah penulis juga terjun dalam penulisan script? Sejauh mana penulis berperan?

Jawaban: Sebenarnya PH hanya membeli ide cerita penulis, beli lepas, bukan sistem royalti. Penulis boleh kasih saran, tetapi tetap PH yang menentukan. Saya minta sama sutradara sekaligus penulis skenario untuk ikut menulis skenario, alhamdulillah diizinkan ikut.

Penanya 5: Hamidah Lubis

Pertanyaan: Biasanya, novel yang difilmkan itu seperti apa? Apakah romance? Adakah syarat-syarat tertentu?

Jawaban: Semua genre punya peluang, Mbak. Kalau tema horor itu seperti Mbak Risa Saraswati. Komedi itu Ernest, Raditya Dika, dll. Religi itu Kang Abik, Asma Nadia. Keluarga ada NKCTHI. Perjuangan itu ada Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara. Jadi, pada dasarnya semua genre itu LAKU asalkan naskahnya keren.

Penanya 6: KhansaDyfka

Pertanyaan: Bagaimana dengan novel-novel kolaborasi? Yang baru terbit langsung direncanakan difilmkan, apakah ada kriterianya?

Jawaban: Biasanya naskah sebelum terbit sudah diberikan ke PH atau sutradara, kalau cocok bisa langsung naik layar lebar. Kriterianya tentu naskahnya harus keren, Mbak.

Penanya 7: El

Pertanyaan: Apa yang perlu disiapkan penulis untuk cerita yang akan difilmkan? Apa ada kendala?

Jawaban: Siapkan naskah terbaik dan menulis dengan hati. Kendala dalam menulis itu biasa, setiap penulis pasti punya kendala. Tapi kalau benar-benar cinta dengan tulisan yang kita buat, insyaAllah bisa dilewati dengan baik.

Penanya 8: Fieda

Pertanyaan: Sebaiknya naskah jual lepas atau royalti? Ada sarankah?

Jawaban: Kalau novel dijadikan film itu beli lepas Mbak, nggak ada sistem royalti.

Penanya 9: Diva

Pertanyaan: Bagaimana agar bisa konsisten ke satu karya sampai selesai? Kita cenderung membuat cerita baru daripada melanjutkan yang sudah ada.

Jawaban: Apakah ada jaminan cerita yang baru akan kita selesaikan? Atau malah ditinggalkan ketika mendapat ide baru lagi? Konsisten, Mbak. Selesaikan satu tulisan lalu pindah ke tulisan lain. Buat saya naskah yang baik itu adalah naskah yang SELESAI. Percuma cerita kita bagus tapi enggak selesai, mau dikirim ke penerbit juga enggak bisa :)

Pesan Terakhir

Kalau ingin cerita dijadikan film, pastikan ceritanya membawa kebaikan dan manfaat. Semua pasti akan Allah mintakan pertanggungjawabannya. Teman-teman di sini pasti ingin pembaca jadi lebih baik setelah membaca tulisannya.

 

Demikian notula sharing kali ini. Terima kasih telah mengikuti acara sampai selesai. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di acara sharing berikutnya.

 

Salam Literasi,

Penyelenggara

 

 

Sastra Indonesia Org bersama AE Publishing