Jumat, 17 April 2020

#Kamis_Cerpen - Berdamai dengan Duka oleh Fajriyani Erisafitri - Sastra Indonesia Org







Berdamai dengan Duka
Oleh: Fajriyani Erisafitri


Sebelum mobil jenazah itu menghilang dari pandangan, warga yang tadinya hening melepas kepergian seorang tetangga itu mulai saling bicara. Mereka masih tak percaya, seorang nenek yang hidup seorang diri dan selalu tampak sehat meski badannya sudah bungkuk itu telah meninggalkan mereka untuk selamanya.
Dua minggu yang lalu, nenek yang biasa disapa Mak Iyam itu mengambil jatah sembako bulanan di balai desa. Saat dilakukan pengecekan, ia termasuk satu dari sebelas orang dengan suhu tubuh di atas normal. Seorang di antara mereka memang sempat bekerja di luar pulau, tetapi sebelumnya sudah melakukan pemeriksaan di puskesmas dan melakukan karantina mandiri selama dua minggu. Demi keselamatan bersama, kesebelas orang tersebut diwajibkan melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing.
Mak Iyam yang sehari-hari bertugas membersihkan masjid awalnya menolak. Beberapa kali tetap nekat pergi ke masjid. Saat mendapati gerbang rumah Allah itu terkunci, ia duduk di depannya sambil menangis. Nenek itu tak benar-benar mengerti mengapa ia dilarang beribadah di sana, mengapa tak lagi diizinkan membersihkannya. Berpuluh tahun yang lalu, pada sebuah bencana longsor yang menimpa desa itu, suami dan anak-anaknya meninggal. Semenjak saat itu, beribadah dan membersihkan masjid menjadi hiburan baginya, yang perlahan menjadi bagian hidup yang tak bisa dipisahkan.
“Apakah Allah sudah tak menginginkan diriku lagi? Jika demikian, mengapa tak dicabut saja nyawaku?” ucap Mak Iyam.
Menjelang waktu Zuhur, seorang warga laki-laki yang tak pernah setuju dengan penutupan masjid pun menghampiri dan membuka gerbang dengan kunci yang entah dari mana didapatkan, dengan wajah berseri-seri, Mak Iyam segera masuk dan melakukan aktivitas hariannya untuk bersih-bersih. Muazin yang mendapati gerbang masjid telah terbuka, segera melapor pada kepala desa, yang kemudian memanggil para perwakilan warga, kiai dan seorang petugas kesehatan.
Di depan masjid tampak segerombolan laki-laki berkumpul. Menggunakan pengeras suara, laki-laki yang telah membuka gerbang masjid itu meneriakkan bahwa ibadah adalah hak setiap warga, penutupan masjid sama saja menutup pintu ibadah, pemberian jarak saf saat salat Jumat—satu-satunya salat yang masih dilaksanakan di masjid—sama saja dengan memberi jalan pada setan, yang kemudian disambut dengan teriakan membenarkan dari pendukungnya. Warga lain yang mendengar hal itu pun keluar dari rumah dan berkerumun di depan masjid. Beberapa juga terpancing dan bergabung melakukan protes.
Rombongan kepala desa pun sampai di masjid. Tanpa pengeras suara, kepala desa dengan lantang memberi peringatan kelompok yang melakukan protes tersebut. Awalnya mereka membantah dan melawan. Akan tetapi, dengan bantuan warga lainnya, mereka berhasil diringkus. Setelah salat Zuhur berjamaah, kelompok pemrotes itu pun diadili. Jika mengulangi perbuatannya, kepala desa berjanji akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Bersama dengan warga yang turut berjamaah, Mak Iyam siang itu mendapatkan penjelasan dan pengarahan cara beribadah dan beraktivitas sehari-hari dari Pak Kiai dan petugas kesehatan. Ketenangan pun kembali dirasakan.
Hingga tiga hari berikutnya, pada suatu pagi, seorang yang bertugas mengantarkan bantuan ke rumah Mak Iyam mendapati pintu rumah itu dikunci dan lampu terasnya masih menyala. Setelah petugas dari puskesmas datang, dipastikan wanita tua itu telah meninggal beberapa jam yang lalu. Pemakaman pun segera diurus.
Tak diketahui pasti penyebab kematian Mak Iyam, yang pasti, kematiannya menjadikan warga semakin disiplin melaksanakan anjuran pemerintah desa untuk menjaga kebersihan dan melakukan physical distancing. Penjagaan batas-batas desa pun diperketat.
Ketakutan warga berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Mak Iyam. Tak ada yang tahu bahwa sepulang dari masjid setelah kejadian protes itu, ada harapan yang muncul dari dalam dirinya. Siang itu, Pak Kiai menjelaskan tentang hadis yang menyatakan bahwa ketika terjadi wabah, apabila seorang hamba tetap tinggal di tempatnya, bersabar, percaya bahwa hanya atas kehendak Allah penyakit itu akan atau tak menjangkitinya, ia mendapatkan pahala seperti orang mati syahid. Mak Iyam mempercayai sepenuh hati, dibuangnya jauh-jauh segala pikiran buruk tentang Allah dan keinginan untuk tetap pergi ke masjid. Ia jadikan kehidupan di rumah dan memperbanyak beribadah sebagai hiburan, hingga nyawa terpisah dari jasad. Sungguh kematian yang manis.


Gresik, 16 April 2020


Biodata Penulis:



Penulis kelahiran 1994 yang hobi membaca buku sejarah dan spiritual Islam ini dilahirkan, dibesarkan, dan meraih gelar sarjananya di Gresik, “Kota Berhias Iman.” Penulis dapat dihubungi melalui Instagram: @fajriya___.



Baca juga:













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.