Berdamai dengan Duka
Oleh: Fajriyani Erisafitri
Sebelum
mobil jenazah itu menghilang dari pandangan, warga yang tadinya hening melepas
kepergian seorang tetangga itu mulai saling bicara. Mereka masih tak percaya,
seorang nenek yang hidup seorang diri dan selalu tampak sehat meski badannya
sudah bungkuk itu telah meninggalkan mereka untuk selamanya.
Dua
minggu yang lalu, nenek yang biasa disapa Mak Iyam itu mengambil jatah sembako
bulanan di balai desa. Saat dilakukan pengecekan, ia termasuk satu dari sebelas
orang dengan suhu tubuh di atas normal. Seorang di antara mereka memang sempat
bekerja di luar pulau, tetapi sebelumnya sudah melakukan pemeriksaan di
puskesmas dan melakukan karantina mandiri selama dua minggu. Demi keselamatan
bersama, kesebelas orang tersebut diwajibkan melakukan isolasi mandiri di rumah
masing-masing.
Mak
Iyam yang sehari-hari bertugas membersihkan masjid awalnya menolak. Beberapa
kali tetap nekat pergi ke masjid. Saat mendapati gerbang rumah Allah itu
terkunci, ia duduk di depannya sambil menangis. Nenek itu tak benar-benar mengerti
mengapa ia dilarang beribadah di sana, mengapa tak lagi diizinkan
membersihkannya. Berpuluh tahun yang lalu, pada sebuah bencana longsor yang
menimpa desa itu, suami dan anak-anaknya meninggal. Semenjak saat itu,
beribadah dan membersihkan masjid menjadi hiburan baginya, yang perlahan
menjadi bagian hidup yang tak bisa dipisahkan.
“Apakah
Allah sudah tak menginginkan diriku lagi? Jika demikian, mengapa tak dicabut
saja nyawaku?” ucap Mak Iyam.
Menjelang
waktu Zuhur, seorang warga laki-laki yang tak pernah setuju dengan penutupan
masjid pun menghampiri dan membuka gerbang dengan kunci yang entah dari mana
didapatkan, dengan wajah berseri-seri, Mak Iyam segera masuk dan melakukan
aktivitas hariannya untuk bersih-bersih. Muazin yang mendapati gerbang masjid
telah terbuka, segera melapor pada kepala desa, yang kemudian memanggil para
perwakilan warga, kiai dan seorang petugas kesehatan.
Di
depan masjid tampak segerombolan laki-laki berkumpul. Menggunakan pengeras
suara, laki-laki yang telah membuka gerbang masjid itu meneriakkan bahwa ibadah
adalah hak setiap warga, penutupan masjid sama saja menutup pintu ibadah,
pemberian jarak saf saat salat Jumat—satu-satunya salat yang masih dilaksanakan
di masjid—sama saja dengan memberi jalan pada setan, yang kemudian disambut dengan
teriakan membenarkan dari pendukungnya. Warga lain yang mendengar hal itu pun
keluar dari rumah dan berkerumun di depan masjid. Beberapa juga terpancing dan
bergabung melakukan protes.
Rombongan
kepala desa pun sampai di masjid. Tanpa pengeras suara, kepala desa dengan
lantang memberi peringatan kelompok yang melakukan protes tersebut. Awalnya
mereka membantah dan melawan. Akan tetapi, dengan bantuan warga lainnya, mereka
berhasil diringkus. Setelah salat Zuhur berjamaah, kelompok pemrotes itu pun
diadili. Jika mengulangi perbuatannya, kepala desa berjanji akan membawa kasus
ini ke jalur hukum. Bersama dengan warga yang turut berjamaah, Mak Iyam siang
itu mendapatkan penjelasan dan pengarahan cara beribadah dan beraktivitas
sehari-hari dari Pak Kiai dan petugas kesehatan. Ketenangan pun kembali
dirasakan.
Hingga
tiga hari berikutnya, pada suatu pagi, seorang yang bertugas mengantarkan
bantuan ke rumah Mak Iyam mendapati pintu rumah itu dikunci dan lampu terasnya
masih menyala. Setelah petugas dari puskesmas datang, dipastikan wanita tua itu
telah meninggal beberapa jam yang lalu. Pemakaman pun segera diurus.
Tak
diketahui pasti penyebab kematian Mak Iyam, yang pasti, kematiannya menjadikan
warga semakin disiplin melaksanakan anjuran pemerintah desa untuk menjaga
kebersihan dan melakukan physical
distancing. Penjagaan batas-batas desa pun diperketat.
Ketakutan
warga berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Mak Iyam. Tak ada yang tahu
bahwa sepulang dari masjid setelah kejadian protes itu, ada harapan yang muncul
dari dalam dirinya. Siang itu, Pak Kiai menjelaskan tentang hadis yang
menyatakan bahwa ketika terjadi wabah, apabila seorang hamba tetap tinggal di
tempatnya, bersabar, percaya bahwa hanya atas kehendak Allah penyakit itu akan
atau tak menjangkitinya, ia mendapatkan pahala seperti orang mati syahid. Mak
Iyam mempercayai sepenuh hati, dibuangnya jauh-jauh segala pikiran buruk
tentang Allah dan keinginan untuk tetap pergi ke masjid. Ia jadikan kehidupan
di rumah dan memperbanyak beribadah sebagai hiburan, hingga nyawa terpisah dari
jasad. Sungguh kematian yang manis.
Gresik, 16 April 2020
Biodata Penulis:
Penulis
kelahiran 1994 yang hobi membaca buku sejarah dan spiritual Islam ini
dilahirkan, dibesarkan, dan meraih gelar sarjananya di Gresik, “Kota Berhias
Iman.” Penulis dapat dihubungi melalui Instagram: @fajriya___.
Baca juga:
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Berdamai dengan Duka oleh Fajriyani Erisafitri - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.