Sisi
Hati Shishi
Oleh:
Suryati, M.Pd
Siang terik,
panas hari ini luar biasa, serasa gosong di kulit. Shishi berlari kecil sambil
meringis. Tas kecil yang dibawanya ia pakai untuk menutupi kepala. Masih terasa
panas, tetapi paling tidak bisa sedikit melindungi kulit wajahnya yang tampak
kemerahan menahan hawa panas.
Shishi terus berjalan
sambil sesekali berlari-lari kecil di sepanjang trotoar Jalan Sudirman. Ia
melirik jam tangan yang melingkar manis di tangannya, pukul 13.30.
"Huuufhh,
pantaslah terik sekali, ini tengah hari bolong dan aku harus berkejaran dengan
waktu. 15 menit lagi aku harus sampai di PT. ABDI KARYA." Shishi bergumam
sendiri sambil terus berjalan.
"Tumben
juga nih angkot sama sekali gak ada yang lewat, apa tuh sopir pada demo?"
Kembali Shishi menggerutu.
Jarak beberapa
meter Shishi dapat melihat papan nama PT. ABDI KARYA. Shishi semakin
mempercepat langkahnya. Tampak beberapa mata pemuda melihat Shishi kagum. Wajahnya
yang cantik oriental, tinggi 160 sentimeter dan proporsional dengan balutan
baju kerja berwarna lembut dan jilbab senada menambah nilai plus penampilannya. Shishi hanya
tersenyum manis pada pemuda-pemuda itu sambil terus mempercepat langkahnya.
Tiba di pintu
kantor yang dituju, Shishi langsung menuju ke meja satpam. Tertulis "TAMU
HARAP LAPOR".
"Ada yang
bisa saya bantu, Mbak?" Pak Satpam menyamput Shishi dengan pandangan
kagum.
"Maaf,
Pak. Hari ini saya ada panggilan wawancara, ruangannya di sebelah mana,
ya?" tanya Shishi.
"Oh ya,
tunggu sebentar, Mbak," jawab Pak Satpam sambil memencet tombol panggilan
telepon.
"Selamat
siang, Pak Aryo. Ada yang mau bertemu Bapak untuk panggilan wawancara."
"Langsung suruh
ke atas, Pak? Baik Pak." Pak Satpam mengakhiri pembicaraan dan menutup
teleponnya.
"Mbak
diminta langsung naik ke ruangan Pak Aryo, di lantai tiga, nanti Mbak akan
diantar Mas Deden—OB di sini." Katanya sambil melambaikan tangan pada
seorang pemuda yang ia panggil Deden.
"Maaf, Mbak
siapa?” tanya Pak Satpam dengan sedikit ragu.
"Shishi, Pak.
Nama saya Shishi,” jawab Shishi.
"Mbak
Shishi silakan ikuti Mas Deden, ya!" perintah Pak Satpam.
"Iya,
terima kasih, Pak …."
"Umar Mbak,
nama saya Umar."
"Iya,
terima kasih, Pak Umar." Shishi berlalu sambil tersenyum manis.
Tiga kali pintu
diketuk oleh Deden.
"Iya,
masuk." Terdengar suara jawaban dari dalam ruangan.
Deden
membukakan pintu dan mempersiapkan Shishi masuk.
"Terima
kasih, Mas Deden." Shishi tersenyum dan masuk ruangan.
Deden hanya mengangguk tanda hormat.
"Silakan
duduk, Nona ….”
"Shishi,
Pak," jawab Shishi dengan hormat.
"Baiklah
Shishi kita mulai wawancaranya, ya." Suara lelaki yang disebut Pak Aryo
itu sangat berwibawa.
"Iya, Pak.
Saya siap."
Pak Aryo
mengajukan beberapa pertanyaan kepada Shishi dan Shishi menjawab semuanya
dengan baik.
Dalam hati Pak
Aryo mengakui bahwa selain cantik dan anggun, Shishi adalah gadis yang cerdas.
"Pantas
saja putraku memaksaku untuk menemukan gadis ini," gumamnya dalam hati.
"Baiklah,
Shishi. Kamu diterima sebagai sekretaris di perusahaan ini, selamat bergabung.
Bekerjalah dengan baik," ucap Pak Aryo mengagetkan Shishi.
"Benarkah,
Pak?" tanya Shishi kaget dan tidak percaya.
"Iya,
mulai hari ini juga kamu bisa bekerja. Selamat, ya," ujar pak Ayo sambil
manjabat tangan Shishi. Wajah Shishi sumringah,
senyumnya makin manis.
"Pa, bagaimana
Papa bisa temukan Shishi?” Seorang pemuda berlari menyambut Pak Aryo yang baru
saja sampai di depan pintu rumahnya.
"Haduuuh,
Byan. Tunggu Papa masuk dulu, dong. Baru saja sampai depan pintu sudah
diberondong pertanyaan begitu. Siapa sih Shishi itu? Sampai segitunya Papa
harus cari dan temukan dia?!”
"Papaku,
Sayang. Byan gak akan jawab kalau Papa belum jawab pertanyaan Byan."
"Heem ...,
baiklah." Pak Aryo akhirnya mengalah dan menjawab pertanyaan anaknya.
Byan adalah
anak semata wayang Pak Aryo—pengusaha terkenal di kota ini. Lima tahun Byan
tinggal di Amerika dan baru kembali setelah menyelesaikan kuliahnya.
"Baiklah,
Papa jawab, tetapi setelah itu kamu harus jelaskan ke Papa siapa gadis cantik
itu!" titah sang Papa.
"Cantik,
Pa? Sudah kuduga pasti dia jadi gadis yang cantik. Cantik dan anggun dengan
senyum yang teramat manis." Byan tiba-tiba menyela ucapan papanya.
"Iya, dia
cantik. Mau dilanjut gak nih jawaban Papa? Kalau tidak Papa mau istirahat,"
ujar Pak Aryo pura-pura merajuk untuk menggoda Byan.
"He-he,
iya lanjut deh, Pa." Byan tersenyum lebar, tampak wajahnya sangat bahagia.
Melihat ini Pak Aryo semakin penasaran siapa Shishi
itu.
"Papa
sudah bertemu dengan Shishi, dia gadis yang cantik dan cerdas juga mandiri.”
Pak Aryo melanjutkan ceritanya.
"Nah, sekarang
jelaskan ke Papa, kenapa kamu sampai memaksa Papa untuk menemukan dan menerima
dia di perusahaan kita?” tanya sang Papa.
"Ssstt ...
Papa jangan keras-keras bicaranya, nanti Mama dengar."
"Lho,
kenapa lagi ini kok Mama gak boleh dengar?” tanya Pak Aryo semakin penasaran.
Byan
menceritakan siapa Shishi kepada ayahnya.
"Ingat, ya
Pa. Jangan cerita dulu sama Mama. Byan belum yakin Mama akan suka sama Shishi,
karena masalah kita di kampung dulu." Byan mengakhiri ceritanya dan
meminta papanya berjanji.
"Oke, Papa
janji dan Papa akan dukung apa pun rencanamu. Tapi kamu juga harus janji, kamu
bakal meneruskan perusahaan Papa."
"Oke,
Papa. Deal," jawab Byan sambil
menjabat tangan papanya.
"Rancana
berjalan dimulai besok, ya, Pa. Ingat, besok Byan masuk kantor Papa, tapi bukan
sebagai anak Papa, melainkan sebagai OB. Deden sementara kasih cuti dulu."
"Iya-iya,"
sahut Pak Aryo sambil berjalan menuju kamarnya.
"Selamat
pagi, Non. Saya Yayan OB baru di sini."
Seorang pemuda
menyapa Shishi ketika baru saja duduk di meja kerjanya.
"Non, mau
minum apa?" tanya pemuda itu kembali.
"Eh, iya.
Maaf saya minta teh hangat saja. Mas ... siapa tadi?" tanya Shishi.
"Yayan,
Non. Non bisa panggil saya Yayan, ndak usah pakai Mas. Saya cuma OB di sini,"
jawab pemuda itu.
"Baiklah,
Yayan. Tolong buatka saya teh manis hangat, ya."
"Iya, Non,"
jawab pemuda yang bernama Yayan itu.
Beberapa menit
kemudian Yayan datang dengan secangkir teh manis yang kemudian diletakkan di
meja kerja Shishi.
"Terima
kasih, ya," ucap Shishi sambil sepintas melihat ke wajah Yayan. Pemuda itu
menundukkan kepalanya.
"Yan,
Deden ke mana kok kamu yang gantikan dia jadi OB?" tanya Shishi, mencoba
membuka pembicaraan dengan pemuda itu.
"Deden
cuti, Non. Pulang kampung merawat ibunya yang sakit. Ya sudah, Non. Saya
permisi ke belakang, takut bos marah kalau saya kelamaan di sini."
"Iya,
terima kasih tehnya, ya," ucap Shishi sambil tersenyum semanis biasanya.
Deg. Jantung
Yayan, yang tidak lain adalah Byan serasa langsung berhenti.
"Senyummu
masih semanis dulu, Shishi. Senyum yang gak sanggup aku lupakan sampai kini."
Byan mengucap dalam hati sambil berlalu. Ingin rasanya dia berlama-lama di
tempat itu sambil memandang wajah Shishi, tapi Byan pikir ini bukan saat yang
tepat, dan setiap hari Byan selalu menyediakan teh hangat untuk Shishi sambil
mencuri pandang melihat wajah dan senyum gadis pujaannya itu.
Sore itu di
trotoar Jalan Sudirman, tepat di depan kantor, Shishi sedang berdiri menunggu
taksi.
"Non,
belum dapat taksi?" tanya seorang pemuda menghampiri Shishi.
"Eh. Kamu,
Yan. Iya nih, gak biasanya taksi lama banget. Mana sudah mau hujan lagi,"
jawab Shishi.
"Iya, Non.
Mendung makin gelap, kalau Non di sini terus nanti kemalaman dan kehujanan. Non
mau saya antar pakai motor butut?" tanya Yayan, mencoba menawarkan niat
baiknya.
Sejenak Shishi
ragu, tetapi dia lihat mendung sudah makin gelap dan taksi juga belum datang.
"Baiklah."
Shishi akhirnya memilih menerima tawaran Yayan.
"Tapi ada
syaratnya."
"Syarat
apa, Non?" tanya Yayan ragu.
"Syaratnya
kamu panggil aku Shishi saja, gak pakai Non, kecuali di kantor," ujar
Shishi sambil tersenyum dan langsung naik di atas motor Yayan tanpa dia sempat
menjawab.
Sepanjang
perjalanan, mereka mengobrol akrab. Sungguh ini adalah hari yang membahagiakan
untuk Byan.
"Shishi,
ternyata kamu gak pernah berubah. Kamu tetap baik dan mau berteman dengan siapa
pun seperti dulu," ucap Byan dalam hati.
Pagi ini
seperti biasa, Yayan menyuguhkan teh hangat untuk Shishi di meja kerjanya.
"Non,
kenapa kelihatan sedih? Ada apa? Maaf kalau saya lancang bertanya." Yayan
mencoba membuka percakapan ketika dilihatnya Shishi tidak seperti biasanya,
senyum manis Shishi tidak ada.
"Aku sedih,
Yan. Aku gak tahu mesti berbuat apa dan bercerita kepada siapa," ungkap Shishi
mulai terisak.
Ingin rasanya
Byan memeluk dan mengusap air mata itu, tetapi ia tahan.
"Apa yang
membuatmu sedih? Kalau bisa aku akan membantu."
"Ayahku
minta aku pulang kampung, aku harus menikah dengan juragan di kampung itu, agar
ayahku yang sakit parah bisa membayar biaya rumah sakit. Aku bingung, Yan. Kalau
aku menolak, nyawa ayahku bisa gak tertolong. Tapi kalau aku terima, aku bakal
hidup sengsara dengan juragan tua yang banyak istrinya itu." Shishi sudah
tidak dapat lagi menahan tangisnya, ia makin terisak.
Yayan
meberanikan diri memegang tangan Shishi.
"Kalau
begitu pulanglah, agar ayahmu bisa tenang dan cepat sembuh."
"Apa! Jadi,
kamu mau aku menikah dengan bandot tua itu?!" sentak Shishi sambil melepas
tangannya dan langsung berdiri serta menatap Yayan dengan air mata yang semakin
deras.
"Bukan
begitu maksudku, Shi," ucap Yayan mencoba menenangkan Shishi.
"Lalu, apa
maksudmu?" tanya Shishi.
"Shishi,
percayalah padaku. Aku akan membantu menyelesaikan masalahmu dan kamu gak akan
menikah dengan juragan tua itu."
"Iya, tapi
dengan cara apa?" tanya Shishi masih saja terisak.
Byan semakin
ingin menenangkan gadis itu dengan memeluknya, tetapi ia mencoba untuk tidak
melakukannya.
"Shishi,
percaya padaku. Kamu pulanglah, tiga hari kemudian aku akan datang ke rumahmu
dan menyelesaikan semua masalahmu, dengan cara yang belum bisa aku jelaskan
saat ini, tapi sekali lagi percayalah padaku. Aku mohon."
"Baiklah,
Yan. Aku percaya padamu dan kalaupun kamu gak datang menolongku, aku akan
berkorban demi ayahku," ucap Shishi sambil mengusap air matanya.
Seminggu sudah
Shishi pulang kampung, tetapi Yayan tidak kunjung datang. Rumah Shishi mulai
ramai dengan acara persiapan lamaran juragan Broto.
Shishi menangis
sejadi-jadinya di dalam kamar. Ini adalah hal terburuk yang akan ia alami.
Sungguh Shishi tidak dapat membayangkan itu.
"Nak,
maafkan Ibu. Ibu gak bisa berbuat apa-apa. Ibu gak rela kamu menikah dengan
juragan Broto, tapi nyawa ayahmu juga harus diselamatkan. Ayahmu butuh biaya
besar untuk pengobatan di rumah sakit. Maafkan Ibu, Nak." Ibu menangis tidak
kalah pedih dengan Shishi. Betapa ia merasakan kepedihan yang dialami putrinya.
Tiba-Tiba
terdengar suara ramai di luar rumah, ada iring-iringan disertai suara musik.
Shishi dan ibunya kaget.
"Ibu,
bukankah besok acara lamarannya, kenapa juragan tua itu datang hari ini?"
tanya Shishi gusar dan kebingungan.
"Ibu juga
gak tahu, Nak. Biar ibu lihat dulu ke luar." Ibu langsung bergegas ke luar
kamar.
Shishi semakin
kalut. Ingin rasanya dia pergi, tetapi bayangan wajah ayahnya membuatnya
menahan diri, tangisnya semakin dalam.
"Nak."
Dengan perlahan sang ibu memegang pundak Shishi, yang sedang menangis sambil
tertelungkup.
"Shishi berhentilah
menangis, dan lihat Ibu, Ibu membawa kabar bahagia untukmu, ini saatnya kamu
tersenyum, kebahagiaanmu telah datang," ujar sang ibu lembut.
Mendengar itu
Shishi langsung membalikkan badannya.
"Apa yang
Ibu bilang? Ibu minta aku tersenyum menerima bandot tua itu?! Ibu bilang aku
akan bahagia. Bahagia yang seperti apa, Bu? Ibu tega sama Shishi." Shishi
menangis histeris sambil menjauhi ibunya, ia merasa hidupnya sudah hancur, dan
ibunya justru menginginkan itu.
"Shishi
benci ibu.”
"Shishi,
dengar Ibu dulu, Sayang. Yang datang melamarmu hari ini bukan juragan Broto."
Mendengar itu
Shishi langsung terdiam memandang ibunya.
"Lalu,
siapa, Bu? Ibu jangan coba-coba membohongi Shishi."
"Ibumu gak
berbohong. Bukan juragan tua itu yang melamarmu, tapi aku."
Tiba-tiba ada suara
yang menyahut tepat di depan pintu. Shishi terbelalak melihat siapa yang ada di
depan pintu kamarnya.
"Yayan … kamu?!”
tanya Shishi bingung dan kaget.
"Iya, Shi.
Maaf kalau aku baru datang hari ini, tapi ini belum terlambat, kan?” tanya
pemuda itu.
Di belakang
Yayan Shishi melihat Pak Aryo dan istrinya.
"Kenapa
ada Bapak dan Ibu Aryo di sini? Siapa sebenarnya kamu?" tanya Shishi
memandang tajam Yayan sambil terisak.
"Maafkan
aku kalau selama ini gak jujur padamu. Mereka adalah orang tuaku, mereka datang
untuk melamarmu."
"Iya, Nduk."
Ibu Shishi ikut berbicara untuk menjelaskan kepada anaknya, “kamu ingat teman
kecilmu yang selalu kamu ceritakan pada Ibu? Teman kecil yang selalu membuatmu
tersenyum, dia sekarang ada di depanmu, Nduk. Dia adalah teman kecil yang kamu
rindukan. Dia Byan, tetangga kita dulu.
"Byan. Kamu
Byan?” tanya Shishi berhenti terisak dan memandang tidak percaya pada pemuda di
depannya yang selama ini dia kenal dengan nama Yayan, seorang OB yang ternyata
adalah anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja, yang ternyata adalah teman
masa kecilnya, teman yang sudah membuatnya rindu sampai dewasa, teman yang
sudah mengisi sisi lain di hatinya
Ya. Sungguh
Shishi tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya.
Byan mendekat
dan memegang tangan Shishi.
"Shishi,
percayalah, ini aku Byanmu. Seseorang yang telah lama tinggal di sisi hatimu
seperti senyum manismu yang telah lama menghiasi sisi hatiku."
"Shishi,
maukah kamu menjadi istriku?" tanya Byan sambil berjongkok dan mencium
tangan Shishi.
Shishi tidak
mampu menahan haru dan bahagia, dia memeluk Byan dengan erat.
"Iya, aku
mau menjadi istrtimu."
Semua yang ada
di ruangan itu bertepuk tangan, tangis yang semula pecah berubah menjadi senyum
manis nan cerah. Pak Aryo tersenyum bahagia.
"Ternyata
inilah alasanmu meminta Papa menemukan gadis ini, Anakku. Gadis yang menjadi
kenangan manis masa kecilmu." Pak Aryo berucap lirih sambil memeluk anak
kesayangannya.
"Terima
kasih, Papa," ucap Byan dengan erat memeluk papanya.
Tulang
Bawang, 16 April 2020
Biodata:
Panggil aku
Mamih Suryati, emak-emak yang suka merangkai aksara menjadi cerita.
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.