Jumat, 17 April 2020

#Kamis_Cerpen - Sisi Hati Shishi oleh Suryati, M.Pd - Sastra Indonesia Org







Sisi Hati Shishi
Oleh: Suryati, M.Pd


Siang terik, panas hari ini luar biasa, serasa gosong di kulit. Shishi berlari kecil sambil meringis. Tas kecil yang dibawanya ia pakai untuk menutupi kepala. Masih terasa panas, tetapi paling tidak bisa sedikit melindungi kulit wajahnya yang tampak kemerahan menahan hawa panas.
Shishi terus berjalan sambil sesekali berlari-lari kecil di sepanjang trotoar Jalan Sudirman. Ia melirik jam tangan yang melingkar manis di tangannya, pukul 13.30.
"Huuufhh, pantaslah terik sekali, ini tengah hari bolong dan aku harus berkejaran dengan waktu. 15 menit lagi aku harus sampai di PT. ABDI KARYA." Shishi bergumam sendiri sambil terus berjalan.
"Tumben juga nih angkot sama sekali gak ada yang lewat, apa tuh sopir pada demo?" Kembali Shishi menggerutu.
Jarak beberapa meter Shishi dapat melihat papan nama PT. ABDI KARYA. Shishi semakin mempercepat langkahnya. Tampak beberapa mata pemuda melihat Shishi kagum. Wajahnya yang cantik oriental, tinggi 160 sentimeter dan proporsional dengan balutan baju kerja berwarna lembut dan jilbab senada menambah nilai plus penampilannya. Shishi hanya tersenyum manis pada pemuda-pemuda itu sambil terus mempercepat langkahnya.
Tiba di pintu kantor yang dituju, Shishi langsung menuju ke meja satpam. Tertulis "TAMU HARAP LAPOR".
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Pak Satpam menyamput Shishi dengan pandangan kagum.
"Maaf, Pak. Hari ini saya ada panggilan wawancara, ruangannya di sebelah mana, ya?" tanya Shishi.
"Oh ya, tunggu sebentar, Mbak," jawab Pak Satpam sambil memencet tombol panggilan telepon.
"Selamat siang, Pak Aryo. Ada yang mau bertemu Bapak untuk panggilan wawancara."
"Langsung suruh ke atas, Pak? Baik Pak." Pak Satpam mengakhiri pembicaraan dan menutup teleponnya.
"Mbak diminta langsung naik ke ruangan Pak Aryo, di lantai tiga, nanti Mbak akan diantar Mas Deden—OB di sini." Katanya sambil melambaikan tangan pada seorang pemuda yang ia panggil Deden.
"Maaf, Mbak siapa?” tanya Pak Satpam dengan sedikit ragu.
"Shishi, Pak. Nama saya Shishi,” jawab Shishi.
"Mbak Shishi silakan ikuti Mas Deden, ya!" perintah Pak Satpam.
"Iya, terima kasih, Pak …."
"Umar Mbak, nama saya Umar."
"Iya, terima kasih, Pak Umar." Shishi berlalu sambil tersenyum manis.
Tiga kali pintu diketuk oleh Deden.
"Iya, masuk." Terdengar suara jawaban dari dalam ruangan.
Deden membukakan pintu dan mempersiapkan Shishi masuk.
"Terima kasih, Mas Deden." Shishi tersenyum dan masuk ruangan.

Deden hanya mengangguk tanda hormat.

"Silakan duduk, Nona ….”
"Shishi, Pak," jawab Shishi dengan hormat.
"Baiklah Shishi kita mulai wawancaranya, ya." Suara lelaki yang disebut Pak Aryo itu sangat berwibawa.
"Iya, Pak. Saya siap."
Pak Aryo mengajukan beberapa pertanyaan kepada Shishi dan Shishi menjawab semuanya dengan baik.
Dalam hati Pak Aryo mengakui bahwa selain cantik dan anggun, Shishi adalah gadis yang cerdas.
"Pantas saja putraku memaksaku untuk menemukan gadis ini," gumamnya dalam hati.
"Baiklah, Shishi. Kamu diterima sebagai sekretaris di perusahaan ini, selamat bergabung. Bekerjalah dengan baik," ucap Pak Aryo mengagetkan Shishi.
"Benarkah, Pak?" tanya Shishi kaget dan tidak percaya.
"Iya, mulai hari ini juga kamu bisa bekerja. Selamat, ya," ujar pak Ayo sambil manjabat tangan Shishi. Wajah Shishi sumringah, senyumnya makin manis.
"Pa, bagaimana Papa bisa temukan Shishi?” Seorang pemuda berlari menyambut Pak Aryo yang baru saja sampai di depan pintu rumahnya.
"Haduuuh, Byan. Tunggu Papa masuk dulu, dong. Baru saja sampai depan pintu sudah diberondong pertanyaan begitu. Siapa sih Shishi itu? Sampai segitunya Papa harus cari dan temukan dia?!”
"Papaku, Sayang. Byan gak akan jawab kalau Papa belum jawab pertanyaan Byan."
"Heem ..., baiklah." Pak Aryo akhirnya mengalah dan menjawab pertanyaan anaknya.
Byan adalah anak semata wayang Pak Aryo—pengusaha terkenal di kota ini. Lima tahun Byan tinggal di Amerika dan baru kembali setelah menyelesaikan kuliahnya.
"Baiklah, Papa jawab, tetapi setelah itu kamu harus jelaskan ke Papa siapa gadis cantik itu!" titah sang Papa.
"Cantik, Pa? Sudah kuduga pasti dia jadi gadis yang cantik. Cantik dan anggun dengan senyum yang teramat manis." Byan tiba-tiba menyela ucapan papanya.
"Iya, dia cantik. Mau dilanjut gak nih jawaban Papa? Kalau tidak Papa mau istirahat," ujar Pak Aryo pura-pura merajuk untuk menggoda Byan.
"He-he, iya lanjut deh, Pa." Byan tersenyum lebar, tampak wajahnya sangat bahagia.

Melihat ini Pak Aryo semakin penasaran siapa Shishi itu.

"Papa sudah bertemu dengan Shishi, dia gadis yang cantik dan cerdas juga mandiri.” Pak Aryo melanjutkan ceritanya.
"Nah, sekarang jelaskan ke Papa, kenapa kamu sampai memaksa Papa untuk menemukan dan menerima dia di perusahaan kita?” tanya sang Papa.
"Ssstt ... Papa jangan keras-keras bicaranya, nanti Mama dengar."
"Lho, kenapa lagi ini kok Mama gak boleh dengar?” tanya Pak Aryo semakin penasaran.
Byan menceritakan siapa Shishi kepada ayahnya.
"Ingat, ya Pa. Jangan cerita dulu sama Mama. Byan belum yakin Mama akan suka sama Shishi, karena masalah kita di kampung dulu." Byan mengakhiri ceritanya dan meminta papanya berjanji.
"Oke, Papa janji dan Papa akan dukung apa pun rencanamu. Tapi kamu juga harus janji, kamu bakal meneruskan perusahaan Papa."
"Oke, Papa. Deal," jawab Byan sambil menjabat tangan papanya.
"Rancana berjalan dimulai besok, ya, Pa. Ingat, besok Byan masuk kantor Papa, tapi bukan sebagai anak Papa, melainkan sebagai OB. Deden sementara kasih cuti dulu."
"Iya-iya," sahut Pak Aryo sambil berjalan menuju kamarnya.
"Selamat pagi, Non. Saya Yayan OB baru di sini."
Seorang pemuda menyapa Shishi ketika baru saja duduk di meja kerjanya.
"Non, mau minum apa?" tanya pemuda itu kembali.
"Eh, iya. Maaf saya minta teh hangat saja. Mas ... siapa tadi?" tanya Shishi.
"Yayan, Non. Non bisa panggil saya Yayan, ndak usah pakai Mas. Saya cuma OB di sini," jawab pemuda itu.
"Baiklah, Yayan. Tolong buatka saya teh manis hangat, ya."
"Iya, Non," jawab pemuda yang bernama Yayan itu.
Beberapa menit kemudian Yayan datang dengan secangkir teh manis yang kemudian diletakkan di meja kerja Shishi.
"Terima kasih, ya," ucap Shishi sambil sepintas melihat ke wajah Yayan. Pemuda itu menundukkan kepalanya.
"Yan, Deden ke mana kok kamu yang gantikan dia jadi OB?" tanya Shishi, mencoba membuka pembicaraan dengan pemuda itu.
"Deden cuti, Non. Pulang kampung merawat ibunya yang sakit. Ya sudah, Non. Saya permisi ke belakang, takut bos marah kalau saya kelamaan di sini."
"Iya, terima kasih tehnya, ya," ucap Shishi sambil tersenyum semanis biasanya.
Deg. Jantung Yayan, yang tidak lain adalah Byan serasa langsung berhenti.
"Senyummu masih semanis dulu, Shishi. Senyum yang gak sanggup aku lupakan sampai kini." Byan mengucap dalam hati sambil berlalu. Ingin rasanya dia berlama-lama di tempat itu sambil memandang wajah Shishi, tapi Byan pikir ini bukan saat yang tepat, dan setiap hari Byan selalu menyediakan teh hangat untuk Shishi sambil mencuri pandang melihat wajah dan senyum gadis pujaannya itu.
Sore itu di trotoar Jalan Sudirman, tepat di depan kantor, Shishi sedang berdiri menunggu taksi.
"Non, belum dapat taksi?" tanya seorang pemuda menghampiri Shishi.
"Eh. Kamu, Yan. Iya nih, gak biasanya taksi lama banget. Mana sudah mau hujan lagi," jawab Shishi.
"Iya, Non. Mendung makin gelap, kalau Non di sini terus nanti kemalaman dan kehujanan. Non mau saya antar pakai motor butut?" tanya Yayan, mencoba menawarkan niat baiknya.
Sejenak Shishi ragu, tetapi dia lihat mendung sudah makin gelap dan taksi juga belum datang.
"Baiklah." Shishi akhirnya memilih menerima tawaran Yayan.
"Tapi ada syaratnya."
"Syarat apa, Non?" tanya Yayan ragu.
"Syaratnya kamu panggil aku Shishi saja, gak pakai Non, kecuali di kantor," ujar Shishi sambil tersenyum dan langsung naik di atas motor Yayan tanpa dia sempat menjawab.
Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol akrab. Sungguh ini adalah hari yang membahagiakan untuk Byan.
"Shishi, ternyata kamu gak pernah berubah. Kamu tetap baik dan mau berteman dengan siapa pun seperti dulu," ucap Byan dalam hati.
Pagi ini seperti biasa, Yayan menyuguhkan teh hangat untuk Shishi di meja kerjanya.
"Non, kenapa kelihatan sedih? Ada apa? Maaf kalau saya lancang bertanya." Yayan mencoba membuka percakapan ketika dilihatnya Shishi tidak seperti biasanya, senyum manis Shishi tidak ada.
"Aku sedih, Yan. Aku gak tahu mesti berbuat apa dan bercerita kepada siapa," ungkap Shishi mulai terisak.
Ingin rasanya Byan memeluk dan mengusap air mata itu, tetapi ia tahan.
"Apa yang membuatmu sedih? Kalau bisa aku akan membantu."
"Ayahku minta aku pulang kampung, aku harus menikah dengan juragan di kampung itu, agar ayahku yang sakit parah bisa membayar biaya rumah sakit. Aku bingung, Yan. Kalau aku menolak, nyawa ayahku bisa gak tertolong. Tapi kalau aku terima, aku bakal hidup sengsara dengan juragan tua yang banyak istrinya itu." Shishi sudah tidak dapat lagi menahan tangisnya, ia makin terisak.
Yayan meberanikan diri memegang tangan Shishi.
"Kalau begitu pulanglah, agar ayahmu bisa tenang dan cepat sembuh."
"Apa! Jadi, kamu mau aku menikah dengan bandot tua itu?!" sentak Shishi sambil melepas tangannya dan langsung berdiri serta menatap Yayan dengan air mata yang semakin deras.
"Bukan begitu maksudku, Shi," ucap Yayan mencoba menenangkan Shishi.
"Lalu, apa maksudmu?" tanya Shishi.
"Shishi, percayalah padaku. Aku akan membantu menyelesaikan masalahmu dan kamu gak akan menikah dengan juragan tua itu."
"Iya, tapi dengan cara apa?" tanya Shishi masih saja terisak.
Byan semakin ingin menenangkan gadis itu dengan memeluknya, tetapi ia mencoba untuk tidak melakukannya.
"Shishi, percaya padaku. Kamu pulanglah, tiga hari kemudian aku akan datang ke rumahmu dan menyelesaikan semua masalahmu, dengan cara yang belum bisa aku jelaskan saat ini, tapi sekali lagi percayalah padaku. Aku mohon."
"Baiklah, Yan. Aku percaya padamu dan kalaupun kamu gak datang menolongku, aku akan berkorban demi ayahku," ucap Shishi sambil mengusap air matanya.
Seminggu sudah Shishi pulang kampung, tetapi Yayan tidak kunjung datang. Rumah Shishi mulai ramai dengan acara persiapan lamaran juragan Broto.
Shishi menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Ini adalah hal terburuk yang akan ia alami. Sungguh Shishi tidak dapat membayangkan itu.
"Nak, maafkan Ibu. Ibu gak bisa berbuat apa-apa. Ibu gak rela kamu menikah dengan juragan Broto, tapi nyawa ayahmu juga harus diselamatkan. Ayahmu butuh biaya besar untuk pengobatan di rumah sakit. Maafkan Ibu, Nak." Ibu menangis tidak kalah pedih dengan Shishi. Betapa ia merasakan kepedihan yang dialami putrinya.
Tiba-Tiba terdengar suara ramai di luar rumah, ada iring-iringan disertai suara musik. Shishi dan ibunya kaget.
"Ibu, bukankah besok acara lamarannya, kenapa juragan tua itu datang hari ini?" tanya Shishi gusar dan kebingungan.
"Ibu juga gak tahu, Nak. Biar ibu lihat dulu ke luar." Ibu langsung bergegas ke luar kamar.
Shishi semakin kalut. Ingin rasanya dia pergi, tetapi bayangan wajah ayahnya membuatnya menahan diri, tangisnya semakin dalam.
"Nak." Dengan perlahan sang ibu memegang pundak Shishi, yang sedang menangis sambil tertelungkup.
"Shishi berhentilah menangis, dan lihat Ibu, Ibu membawa kabar bahagia untukmu, ini saatnya kamu tersenyum, kebahagiaanmu telah datang," ujar sang ibu lembut.
Mendengar itu Shishi langsung membalikkan badannya.
"Apa yang Ibu bilang? Ibu minta aku tersenyum menerima bandot tua itu?! Ibu bilang aku akan bahagia. Bahagia yang seperti apa, Bu? Ibu tega sama Shishi." Shishi menangis histeris sambil menjauhi ibunya, ia merasa hidupnya sudah hancur, dan ibunya justru menginginkan itu.
"Shishi benci ibu.”
"Shishi, dengar Ibu dulu, Sayang. Yang datang melamarmu hari ini bukan juragan Broto."
Mendengar itu Shishi langsung terdiam memandang ibunya.
"Lalu, siapa, Bu? Ibu jangan coba-coba membohongi Shishi."
"Ibumu gak berbohong. Bukan juragan tua itu yang melamarmu, tapi aku."
Tiba-tiba ada suara yang menyahut tepat di depan pintu. Shishi terbelalak melihat siapa yang ada di depan pintu kamarnya.
"Yayan … kamu?!” tanya Shishi bingung dan kaget.
"Iya, Shi. Maaf kalau aku baru datang hari ini, tapi ini belum terlambat, kan?” tanya pemuda itu.
Di belakang Yayan Shishi melihat Pak Aryo dan istrinya.
"Kenapa ada Bapak dan Ibu Aryo di sini? Siapa sebenarnya kamu?" tanya Shishi memandang tajam Yayan sambil terisak.
"Maafkan aku kalau selama ini gak jujur padamu. Mereka adalah orang tuaku, mereka datang untuk melamarmu."
"Iya, Nduk." Ibu Shishi ikut berbicara untuk menjelaskan kepada anaknya, “kamu ingat teman kecilmu yang selalu kamu ceritakan pada Ibu? Teman kecil yang selalu membuatmu tersenyum, dia sekarang ada di depanmu, Nduk. Dia adalah teman kecil yang kamu rindukan. Dia Byan, tetangga kita dulu.
"Byan. Kamu Byan?” tanya Shishi berhenti terisak dan memandang tidak percaya pada pemuda di depannya yang selama ini dia kenal dengan nama Yayan, seorang OB yang ternyata adalah anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja, yang ternyata adalah teman masa kecilnya, teman yang sudah membuatnya rindu sampai dewasa, teman yang sudah mengisi sisi lain di hatinya
Ya. Sungguh Shishi tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya.
Byan mendekat dan memegang tangan Shishi.
"Shishi, percayalah, ini aku Byanmu. Seseorang yang telah lama tinggal di sisi hatimu seperti senyum manismu yang telah lama menghiasi sisi hatiku."
"Shishi, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Byan sambil berjongkok dan mencium tangan Shishi.
Shishi tidak mampu menahan haru dan bahagia, dia memeluk Byan dengan erat.
"Iya, aku mau menjadi istrtimu."
Semua yang ada di ruangan itu bertepuk tangan, tangis yang semula pecah berubah menjadi senyum manis nan cerah. Pak Aryo tersenyum bahagia.
"Ternyata inilah alasanmu meminta Papa menemukan gadis ini, Anakku. Gadis yang menjadi kenangan manis masa kecilmu." Pak Aryo berucap lirih sambil memeluk anak kesayangannya.
"Terima kasih, Papa," ucap Byan dengan erat memeluk papanya.

Tulang Bawang, 16 April 2020

Biodata:

Panggil aku Mamih Suryati, emak-emak yang suka merangkai aksara menjadi cerita.





Baca juga:














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.