Jumat, 03 April 2020

#Jumat_Cerbung - Perjalanan Mengenalmu oleh Sherrly Oktaviani - Sastra Indonesia Org






Perjalanan Mengenalmu
Oleh: Sherrly Oktaviani


Prolog: Kenangan
Tujuh tahun berlalu setelah kami pindah dari rumah itu. Rumah dengan bentuk sederhana, sangat sederhana. Hanya mempunyai lantai dasar dan ruangan yang bentuknya tidak beraturan, bahkan kamarku dibentuk dari lorong penyambung ruang utama dan tengah, padahal di depan sudah ada gang selebar dua orang sebagai penghubung. Ya, benar-benar tidak beraturan. Di belakang ada sembilan tangga yang terbuat dari kayu menuju ruangan kecil membentuk segi empat tempat untuk berjemur.
Cat telur asin pudar yang hampir putih itu warna rumah kami. Ada dua pintu masuk, atau lebih tepatnya ada dua rumah yang disambung di jalur dapur. Satu rumah besar dihuni olehku, nenek, kakek, dan tiga keluarga lain yang notabenenya ada anak-anak nenek. Rumah satunya khusus untuk bibi pertama dan keluarganya. Kalau digambarkan dengan jelas dan gamblang sepertinya susah divisualisasikan.
Aku melewati gang itu, berdiri tepat di depan rumah itu dulu berada, menyimpan kenangan di mana yang menyakitkan lebih banyak daripada menyenangkan. Namun, tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Bangunan itu kini sudah menjadi lapangan badminton yang terbuka, tidak ada lagi bentuk yang tak beraturan karena sekarang bentuknya hanya satu.
Tepat di sudut sana, dipojokkan lapangan, sebuah wastafel warna ungu dan kamar mandi yang telah ditumbuhi rerumputan liar mengingatkanku. Menohok dada ini dengan kuat, aku pernah mengendap-endap ke dapur bibi untuk mencari makanan. Padahal nenek selalu memberi tahu 'tak akan ada apa-apa di sana', tetapi betapa bodohnya aku tetap mencari sesuatu di dapur nista itu.
Aku masih terpaku di tempat, mengingat satu dua kenangan lama yang telah terkubur dalam. Allah ... di kamar itu aku mengabaikan-Mu dan malah tertidur. Berpura-pura melakukan kewajiban sebagai seorang hamba, salat tepat waktu, patuh pada nenek dan kakek, tetapi kenyataannya? Kamar yang telah rata itu menjadi saksi bisu kebohonganku, kesombonganku, dan kejijikanku.
"Di mana?" Suara nenek di telepon terdengar bergemuruh.
"Di angkot, Ma," jawabku seakan tak terjadi apa pun.
"Udah malem juga, dari mana aja?" tanyanya menginterogasi. Begitulah nenek, meski usiaku sudah lebih dari 20 tahun, khawatirnya tak pernah berhenti.
"Sebentar lagi juga pulang ...," timpalku, " Sherly lagi di angkot, sebentar lagi nyampe."
Tanpa menunggu jawaban aku langsung memutus teleponnya karena memang benar sebentar lagi sampai. Terlalu lama bernostalgia begini jadinya, larut dalam kesedihan yang dalam.
"Assalamu'alaikum ...." Salamku setelah membuka pintu. Hanya ada kakek dan nenek yang sedang menonton TV. Mereka menjawab serempak.
"Timana atuh, Neneng, teh,? (dari mana aja, Neng?)" ejek kakek saat aku akan ke kamar.
"Hehe, maen heula, biasa ..., (Main dulu, biasa)" jawabku sekenanya. Langsung masuk ke kamar lalu pergi ke kamar mandi, bersih-bersih.
Menunaikan salat isya lalu mengaji, melantunkan satu atau dua halaman dan membaca artinya untuk sedikit menenangkan. Hatiku masih bergemuruh mengingat kejadian lampau. Dulu semua keluarga berkumpul dalam satu ruangan, meski terkadang egois dari masing-masing orang menjadi benteng tak terhingga untuk dicapai yang lain. Namun, kebahagiaan itu seakan terenggut oleh sesuatu atau bahkan seseorang. Kini, di rumah ini hanya ada nenek, kakak, juga bibi anak bungsunya nenek, selebihnya yang lain hanya datang saat menitipkan anak mereka. Tentu saja, begitu simpelnya otakku mengartikan.
Ayat-ayat Al-Quran begitu mujarab. Perlahan gundahku terhempas, seakan semuanya dipaksa tumpah dan menjadi plong.
Suara telepon mengganggu acara bercengkeramaku dengan gusti Allah.
"Teh ...." Suara itu lirih, seperti menahan tangis atau lebih tepatnya memang tengah menangis.
"Naon? (Apa?)" tanyaku biasa. Tak mau bertele-tele karena aku tahu akan apa yang selanjutnya dibicarakan.
"Mang Mista meninggal ...," ujarnya memberitahuku. Aku suuzan pada ibuku sendiri. Ya, pemilik suara lembut dan sedikit cempreng itu milik ibu yang melahirkanku, tetapi tak mau mengurusku.

Sukabumi, 3 April 2020


Biodata:

Sherrly Oktaviani lahir di Cimahi, 11 Oktober 1999. Tak tahu kapan pertama kali menyukai rangkaian aksara menjadi makna. Pastinya, pena tipis yang diayunkan sekarang sudah banyak mencoret kertas kosong.
IG : shervia_11
FB : Sherrly OktavianiBottom of Form






Baca juga:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.