Jumat, 20 Maret 2020

Resensi Buku Paradoks Amir Hamzah oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org







Menelusuri Kisah Tragis Sang Aktivis   


Judul                           :  Paradoks Amir Hamzah    
Penulis/penyunting     :  Bagja Hidayat dkk (Tim Redaksi KPG)
Penerbit                       :  KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
                                       bekerja sama dengan Tempo Publishing  
Cetakan                       :  Pertama, April 2018  
Tebal                           :  xiii + 129 halaman
ISBN                           :  978-602-424-828-4
Peresensi                     :  Lenni Ika Wahyudiasti



Lelaki bersahaja ini konsisten mengamalkan amanat Kongres Pemuda II Oktober 1928 yang menasbihkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Ketika Belanda berusaha mengubur bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, ia bersama Ilik Sundari---kekasih yang tak direstui keluarganya---tetap berjuang mempopulerkan bahasa itu di masyarakat. Dialah Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru yang kala itu berani ‘tampil beda’ dengan menulis beragam puisi, prosa, dan sajak dalam bahasa Indonesia.  

Penyair berdarah biru ini terlibat gerakan politik sejak mengenyam pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) Solo, setingkat sekolah menengah atas, dan berlanjut saat sekolah hukum di Batavia. Di kedua daerah itu, ia sering turun ke desa-desa memberdayakan petani sembari terus menulis puisi dan prosa tentang nasionalisme di berbagai majalah dalam bahasa Belanda dan Melayu. Sebagai utusan Sumatranen Bond, Amir Hamzah pula yang mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda 1928.

Namun sayang, sejarah tak selalu berjalan linear dan tak melulu ditulis para pemenang. Amir Hamzah menjadi tumbal revolusi yang meledak di Sumatra Timur pada 1946, ketika Republik belum lagi berusia setahun. Ia terjepit di antara silsilah keturunan bangsawan dan gelombang keberpihakan kepada Indonesia … (hal. 1).


 
Siapa sesungguhnya Amir Hamzah? Benarkah ia antek Belanda?

Buku jilid pertama seri “Tokoh Seni dalam Pusaran Politik” yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo edisi Agustus 2017 ini berupaya  mendudukkan apa yang sebenarnya terjadi dalam revolusi sosial yang memporakporandakan  Kesultanan Langkat, Sumatra Timur dan mengapa Amir Hamzah yang saat itu menjabat sebagai Asisten Residen Langkat ikut dibunuh. Melalui narasi khas jurnalis yang lugas dan sarat makna, buku ini mencoba menampilkan sosok sang pujangga dan kehidupan singkatnya yang amat berwarna. Dibuka dengan kisah tragis akhir hidupnya di tangan eksekutor yang justru pernah bekerja di halaman istana sang mertua, sejarah kehidupan Ku Busu---panggilan Tengku Amir Hamzah di masa kecilnya---ini seolah menyadarkan pembaca bahwa menganganya kesenjangan kehidupan para penguasa dan rakyatnya mampu menggelapkan mata dan menepikan rasa kemanusiaan.

Di lubang itulah Amir dieksekusi, oleh Ijang Widjaja, guru silat Kesultanan Langkat, pengurus kebun yang amat disayangi Amir. Ijang menghabisi Amir dengan memenggal leher majikannya memakai katana. “Disembelih seperti ayam,” kata Tengku Nurzeihan, adik ipar Amir Hamzah, yang menyaksikan eksekusi itu … (hal. 4).

Kehidupan sastrawan Poejangga Baroe kelahiran 28 Februari 1911 yang menjadi menantu Sultan Mahmud, Raja Kesultanan Langkat, ini memang terlalu berwarna untuk dituliskan dalam sebuah edisi khusus yang terbatas: pelopor Sumpah Pemuda, aktivis pergerakan kemerdekaan, penyair yang menghidupkan kembali pantun bebas yang mempengaruhi perkembangan puisi Indonesia modern, pangeran yang kesepian, kisah cinta yang tak sampai, hingga keterlibatannya dalam organisasi rahasia Belanda. Semua terangkum lengkap dalam buku menarik yang ditulis melalui serangkaian investigasi dan diskusi dengan sejumlah narasumber tersebut. Membaca buku ini membuat kita kian mengenal siapa sebenarnya Amir Hamzah dan bagaimana tarian penanya membuat Sejarawan Nugroho Notosusanto menyebutnya sebagai “a drop of ink makes millions think”(hal. 106).

Pendek kata, buku yang bertutur tentang paradoks kehidupan pujangga yang dianugerahi gelar pahlawan di bidang bahasa dan sastra tahun 1975 ini terlalu berharga untuk ditepikan. Selain isinya menarik, narasinya pun amat rapi dan nyaris tak ada saltik. Kalaupun ada yang patut dikritisi dan dirasa mengganggu adalah keberadaan silsilah Kesultanan Langkat di halaman 73 yang tak sesuai dengan isi buku. Sebab, bagaimana bisa Tengku Tahura Alautiah---anak satu-satunya Amir Hamzah dan istrinya, Tengku Kamaliah---dalam silsilah tersebut justru diposisikan sebagai saudara kandung Sultan Mahmud, mertua sekaligus paman Amir Hamzah?







Biodata Peresensi

Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka literasi yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi yang digelar Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan 2017. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi  di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, atau email: lenniika@yahoo.co.id.





Baca juga:








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.