Menelusuri Kisah Tragis Sang Aktivis
Judul : Paradoks Amir Hamzah
Penulis/penyunting : Bagja Hidayat dkk (Tim Redaksi KPG)
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
bekerja sama dengan
Tempo Publishing
Cetakan : Pertama, April 2018
Tebal : xiii + 129 halaman
ISBN : 978-602-424-828-4
Peresensi : Lenni Ika Wahyudiasti
Lelaki bersahaja ini konsisten mengamalkan
amanat Kongres Pemuda II Oktober 1928 yang menasbihkan bahasa Melayu sebagai
bahasa persatuan. Ketika Belanda berusaha mengubur bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, ia bersama Ilik Sundari---kekasih yang tak direstui keluarganya---tetap
berjuang mempopulerkan bahasa itu di masyarakat. Dialah Amir Hamzah, raja
penyair Pujangga Baru yang kala itu berani ‘tampil beda’ dengan menulis beragam
puisi, prosa, dan sajak dalam bahasa Indonesia.
Penyair berdarah biru ini terlibat gerakan
politik sejak mengenyam pendidikan di Algemene
Middelbare School (AMS) Solo, setingkat sekolah menengah atas, dan
berlanjut saat sekolah hukum di Batavia. Di kedua daerah itu, ia sering turun
ke desa-desa memberdayakan petani sembari terus menulis puisi dan prosa tentang
nasionalisme di berbagai majalah dalam bahasa Belanda dan Melayu. Sebagai
utusan Sumatranen Bond, Amir Hamzah
pula yang mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dalam Kongres
Pemuda 1928.
Namun sayang, sejarah tak selalu berjalan
linear dan tak melulu ditulis para pemenang. Amir Hamzah menjadi tumbal revolusi yang meledak di Sumatra Timur pada
1946, ketika Republik belum lagi berusia setahun. Ia terjepit di antara
silsilah keturunan bangsawan dan gelombang keberpihakan kepada Indonesia …
(hal. 1).
Siapa sesungguhnya Amir Hamzah? Benarkah ia
antek Belanda?
Buku jilid pertama seri “Tokoh Seni dalam
Pusaran Politik” yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan
Tempo edisi Agustus 2017 ini berupaya mendudukkan apa yang sebenarnya terjadi dalam
revolusi sosial yang memporakporandakan
Kesultanan Langkat, Sumatra Timur dan mengapa Amir Hamzah yang saat itu
menjabat sebagai Asisten Residen Langkat ikut dibunuh. Melalui narasi khas
jurnalis yang lugas dan sarat makna, buku ini mencoba menampilkan sosok sang
pujangga dan kehidupan singkatnya yang amat berwarna. Dibuka dengan kisah
tragis akhir hidupnya di tangan eksekutor yang justru pernah bekerja di halaman
istana sang mertua, sejarah kehidupan Ku Busu---panggilan Tengku Amir Hamzah di
masa kecilnya---ini seolah menyadarkan pembaca bahwa menganganya kesenjangan
kehidupan para penguasa dan rakyatnya mampu menggelapkan mata dan menepikan
rasa kemanusiaan.
Di
lubang itulah Amir dieksekusi, oleh Ijang Widjaja, guru silat Kesultanan
Langkat, pengurus kebun yang amat disayangi Amir. Ijang menghabisi Amir dengan
memenggal leher majikannya memakai katana. “Disembelih seperti ayam,” kata
Tengku Nurzeihan, adik ipar Amir Hamzah, yang menyaksikan eksekusi itu … (hal.
4).
Kehidupan sastrawan Poejangga Baroe kelahiran
28 Februari 1911 yang menjadi menantu Sultan Mahmud, Raja Kesultanan Langkat,
ini memang terlalu berwarna untuk dituliskan dalam sebuah edisi khusus yang
terbatas: pelopor Sumpah Pemuda, aktivis pergerakan kemerdekaan, penyair yang
menghidupkan kembali pantun bebas yang mempengaruhi perkembangan puisi
Indonesia modern, pangeran yang kesepian, kisah cinta yang tak sampai, hingga
keterlibatannya dalam organisasi rahasia Belanda. Semua terangkum lengkap dalam
buku menarik yang ditulis melalui serangkaian investigasi dan diskusi dengan sejumlah
narasumber tersebut. Membaca buku ini membuat kita kian mengenal siapa sebenarnya
Amir Hamzah dan bagaimana tarian penanya membuat Sejarawan Nugroho Notosusanto
menyebutnya sebagai “a drop of ink makes
millions think”(hal. 106).
Pendek kata, buku yang bertutur tentang paradoks
kehidupan pujangga yang dianugerahi gelar pahlawan di bidang bahasa dan sastra tahun
1975 ini terlalu berharga untuk ditepikan. Selain isinya menarik, narasinya pun
amat rapi dan nyaris tak ada saltik. Kalaupun ada yang patut dikritisi dan
dirasa mengganggu adalah keberadaan silsilah Kesultanan Langkat di halaman 73
yang tak sesuai dengan isi buku. Sebab, bagaimana bisa Tengku Tahura Alautiah---anak
satu-satunya Amir Hamzah dan istrinya, Tengku Kamaliah---dalam silsilah
tersebut justru diposisikan sebagai saudara kandung Sultan Mahmud, mertua
sekaligus paman Amir Hamzah?
Biodata Peresensi
Lenni Ika
Wahyudiasti, seorang ibu penyuka literasi yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah
tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi
yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di
antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi yang digelar Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua
tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif
dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan
2017. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta
Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah
berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan
energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis
novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram:
lenni.ika, atau email: lenniika@yahoo.co.id.
Baca juga:
0 Response to "Resensi Buku Paradoks Amir Hamzah oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.