Bagaimanakah kesesuaian Novel ini dengan periodesasi sastra Indonesia modern?
Untuk kesesuaian novel memang agak sulit dengan sastra modern saat ini, karena dari novel beliau pemakaian bahasanya masih ejaan lama, lebih ke bahasa Melayu atau bahasa Indonesia lama. Banyak dari generasi sekarang sulit untuk memahaminya. Kecuali memang untuk orang-orang Sumatera atau para sastrawan yang sudah berkecimpung di dunia sastra lebih lama. Maksudnya di sini untuk dipahami pembaca dari pelajar misalnya. Karena semakin ke sini memang novelnya jarang diminati, mungkin ada beberapa. Namun, tidak banyak. Malah karya beliau lebih terkenal dan dipakai sampai sekarang di Malaysia dan Brunei Darussalam. Kenapa begitu? Kembali lagi masalah bahasa yang satu rumpun dengan negara tetangga. Jadi, mereka lebih mudah memahami karya beliau.
Sekalipun misalnya PUEBI diubah, malah itu juga ikut mengubah estetika dari tulisannya. Sastranya itu bisa hilang, istilahnya kayak jiwa dari novel itu sendiri hilang.
Selain sejarah dan budaya, kita belajar bagaimana mencintai yang benar. Mencintai yang tulus dan setia. Di zaman sekarang itu sudah jarang sekali bisa melihat cinta yang seperti ini dan memberikan pelajaran bahwa tidak semua keputusan orang tua atau keluarga itu yang terbaik buat kita. Karena, semua manusia berhak memilih hidup dan keinginannya. Tentu tentang hal yang baik. Seperti Hayati yang dipaksa menikah dengan Aziz yang memang asli suku Minang. Itu kalau dari budaya. Namun, pesan lainnya dia dipaksa menikah karena Aziz orang terpandang kaya raya, dan melupakan bagaimana attitude sikap dan sifat. Karena menikah itu tentang menyatukan dua sifat yang berbeda-beda, tentunya kita ingin punya pasangan yang baik dari sikap dan sifat. Mengenai kekayaan itu bisa dicari, asal pekerja keras dan bertanggung jawab.
Mengapa penulis mengambil latar budaya minang dalam novel ini? Apakah budaya minang memiliki kekhasan atau nilai-nilai luhur yang begitu mencolok bila dibandingkan dengan budaya lain?
Alasan pertama:
Karena beliau orang Minangkabau, tepatnya di Danau Maninjau Sumatera Barat. Banyak dari karya beliau itu diambil dari apa yang beliau lihat sehari-hari di sekitar lingkungan beliau tinggal.
Alasan kedua:
Kebudayaan Minang yang memang kompleks dan sangat kental, dan sedikit bertolak belakang dengan syariat dalam agama Islam. Karena menikah harus dengan orang Minang juga yang punya suku/ marga, gunanya supaya anak cucu keturunan merasakan harta warisan suku dari keturunan si ibu. Jadi, laki-laki di Minangkabau itu tidak punya harta warisan dan lain-lain. Sedangkan dalam agama pembagian harta warisan itu lebih besar kepada laki-laki.
Namun, konsep sebenarnya dari adat Minang itu, kenapa perempuan yang dapat harta warisan? Karena laki-laki bekerja atau bisa mencari uang. Sedangkan perempuan menjadi ibu rumah tangga.
Dalam syariat Islam juga tentang menikah itukan yang terpenting sama-sama beragama Islam. Jadi, bertolak belakang dengan sebuah pepatah Minang.
"Adat basandi Syara'. Syara' basandi kitabullah". Maksudnya di sini, adat berlandaskan kepada syariat Islam, syariat Islam berdasarkan kitab Al-Qur’an, karena di sana mayoritas beragama Islam.
Alasan ketiga:
Kenapa karya ini diangkat Buya Hamka sebagai bentuk protes ketidaksetujuan dari adat yang kurang cocok atau pas rasanya digunakan untuk menentukan pernikahan dan jodoh? Karena dampaknya tentu luar biasa. Seperti Hayati setelah menikah dengan Aziz, dia tidak merasa bahagia sama sekali.
By: Putri Muhaiminah Asy.syifa
Baca juga:
0 Response to "Materi - Bedah Buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck oleh Putri Muhaiminah Asy.syifa cucu Buya Hamka - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.