Keputusasaan
Diri
Oleh:
Sherrly Oktaviani
"Kenapa Via? Kenapa Mas harus nikah lagi?"
tanyanya padaku.
"Mas, Via gak bisa hamil. Via gak mau Mas Ody
gak punya keturunan. Toh, Mas Ody gak cinta, tak ada hati yang tersakiti di
sini. Via ikhlas," tuturku menutup pembicaraan malam itu. Kubaringkan
tubuh yang telah goyah ini.
Hatiku meringis mengatakan itu semua setelah tujuh
tahun terpendam. Mas Ody menikahiku karena ibu, ibu mertuaku. Tak tahu alasan
apa yang dimiliki saat itu sampai Mas Ody setuju. Aku mencintainya, tetapi aku
lebih tahu dia tak mencintaiku. Mengetahui ini, hati wanita mana yang tak
sakit? Aku yakin, malam ini pun tidurku tak lelap lagi.
"Ambil wudu dulu sana, istigfar!" titahnya,
setelah terdiam cukup lama.
Aku bangkit setelah menyeka air mata. Turun dari
ranjang hendak keluar kamar yang berarti melewatinya, dia mencekal tanganku,
lalu membalikkan badanku. Dipeluknya, aku terkejut.
Mas mencintaimu tanpa bisa Mas ungkapkan. Itu
perkataan hatiku, bukan kata-katanya.
"Mas minta maaf, Via," ucapnya seraya
mengusap kepalaku.
Tak mau berlama-lama, tanpa menjawab, aku melepaskan
pelukannya dan sedikit berlari ke kamar mandi. Sampai kapan kata-kata yang
terdengar hanya permintaan maaf, Mas? Sakit, hatiku kembali sakit.
Pukul 05.49, seperti biasanya setelah salat dan mengaji,
aku pergi keluar untuk sekadar lari-lari kecil. Karena perawakan gemuk lebih
dari 75 kg, dokter menyarankan hal ini—berlari kecil sekitar setengah jam
setiap pagi. Dirasa cukup, aku kembali ke rumah, tak lupa mampir ke warung Mak
Jenab, belanja sayuran.
Aku memasak dan mengurus rumah. Rio—adik ipar
sepertinya masih terlelap tidur. Mas Ody mengantar ibu ke rumah sakit untuk hemodialisa. Hampir lupa bahwa ini hari
Jumat.
"Sudah berapa tahun nikah sama Jody, Dik?"
tanya Mbak Nindy menghentikan kegiatanku, menoleh padanya yang entah sejak
kapan kakak ipar ada di sini. Aku masih terdiam memandanginya.
"Almarhum Bapak pernah bilang, sangat
menantikan cucu dari Jody," tuturnya, mengingatkanku pada ayah mertua.
Sembari memutar-mutar cincin pernikahan di jari manis dengan jempol. Aku
menghampirinya.
"Tolong, yakinkan Jody untuk menikah lagi. Mbak
wanita, memang berat, tapi bisa kuat untuk membahagiakan orang yang kita
cintai, kan," paparnya padaku yang masih membisu.
Sejenak aku mengambil napas, "Via gak tahu
harus meyakinkannya bagaimana. Via udah coba berulang kali, tapi tetap begitu
jawabannya."
"Coba sekali lagi, Vi," ucapnya memberi
keyakinan.
Mas Ody duduk di kursi kerjanya samping kanan tempat
tidur, mengerjakan tugas. Sesekali dia mengusap-usap pelipisnya seperti biasa.
"Mas ...." Aku memanggilnya sedikit lirih.
"Iya, Dik," jawabnya cepat. Memutarkan
kursinya, lalu menatapku.
"Masih banyak pekerjaannya? Via mau
ngobrol."
"Ah, kalau masih ngomongin yang semalam, Mas ogah.
Mas gak mau punya istri dua, perihal anak? Mas yakin emang Allah belum ngasih,"
tuturnya
"Via udah usia 30 tahun, Mas."
"Mas tahu, usia Mas juga udah gak muda, Vi. Tap
...." Bibirnya tertahan karena aku mengecupnya singkat.
"Via mau Mas nikah, punya anak dan bahagia. Via
juga mau ngerasain gendong bayi yang mirip Mas. Via bobok duluan,"
jelasku, meski jauh di lubuk hati seperti teriris, aku yakin akhirnya akan
indah jua.
Pakde Karto membawa seorang wanita muslimah. Ah,
menyejukkan mata siapa pun yang memandangnya. Gamis putih bersih yang
dikenakan, kontras dengan jilbab berwarna telur asin. Apa ini calon Mas Ody?
Senyumku mengembang, entah bahagia yang dibaluri kesedihan atau sedih yang
dibumbui kebahagiaan. Pastinya, aku akan tetap tersenyum begini.
Benar saja, dia maduku. Madu yang lebih muda, lebih
cantik, lebih indah, lebih, dan lebih. Tak kekurangan apa pun. Aku tersisih
atas ulahku sendiri.
Mas Ody bertindak adil pada kami, meski terkadang
aku penasaran dengan apa yang mereka lakukan. Kembali aku meneguhkan hati, mau
aku atau Aufianisa—maduku, kami tetap sama-sama harus membagi hati dan butuh
berember-ember energi keikhlasan.
Waktu berjalan cepat, aku sering lelah akhir-akhir
ini. Tekanan darah yang rendah, juga tanpa sadar berat badanku turun. Tak ayal
memeriksakan diri, malah ingin mencari udara segar, mencari pekerjaan.
Pertengkaran antara kami? Nyaris tak ada. Mungkin karena kami menghindari
hal-hal yang menjurus ketersinggungan atau memang tak pernah membahas apa pun.
"Vi," sapanya saat aku tengah menjemur
pakaian. Dia memelukku dari belakang.
"Mas capek," katanya lirih di belakangku.
Tanganku melepaskan pelukannya, menggidikkan bahu
dan kembali menjemur.
"Kau yang menginginkan Mas menikah, kau juga
yang menghindari Mas. Cukup main-mainnya, Cantik. Hump," gumamnya. Kembali
memelukku.
"Nanti Aufi liat."
"Mas memeluk istri pertama Mas."
"Via lagi jemur. Sana, istrimu lagi hamil muda,
pasti butuh sesuatu."
Buru-buru, berlari masuk rumah dengan membawa ember
kosong. Aku terpeleset, tepat di depan pintu kamar mandi. Ada sesuatu yang
sakit di sana, di bagian bawah perut, tak kuhiraukan. Seperti saat ini aku yang
bangkit dari segala keterpurukan, tak susah bagiku untuk bangun setelah jatuh.
"Mbak gak apa-apa?" tanya Aufi yang
memegang pundakku.
"Eh, gak apa-apa, Dik. Tadi gak hati-hati. Gak
apa-apa, kok." Senyumku padanya kemudian berdiri.
Sakit itu terasa sampai esok pagi. Untung saja hari
ini Mas Ody bersama Aufi. Jadi, tak ada yang tahu tentang ini. Setelah sarapan
aku meminta izin pada Mas Ody untuk keluar sebentar dengan alasan bertemu teman
di Karawaci, perumahan kompleks.
Aku mengunjungi puskesmas terdekat untuk periksa
ini, karena sakitnya yang semakin menjadi saat sarapan tadi. Cukup mengejutkan
hasil tesnya, terperangah saat mendengar pernyataan dari dokter. Bahagia
dibaluri kesakitan, kepedihan, kesedihan, dan yang paling inti adalah kecewa.
Aku kecewa pada diriku sendiri, yang tak sabar saat
ujian itu lama bertengger, tak bersyukur saat nikmat yang datang tak kuhargai,
marah saat kejadian tak terjadi sesuai keinginan. Dokter bilang usia
kandunganku 7 minggu, tetapi badan yang lemah dan jatuh kemarin membuat janinku
tak akan bertahan lama. Cara yang paling mudah adalah menggugurkannya, dikuret.
Ambruk, aku mengabaikan apa yang aku ingin. Allah,
aku terus saja suuzan dan tak percaya pada-Mu. Bukan Engkau yang tak memberi
jawaban dan kesempatan, tetapi aku yang memang berada pada keputusasaan. Siapa
yang menyakiti hati dan batinku? Bukan orang lain, tetapi diriku sendiri.
Perjalanan pulang aku melemah, seluruh tubuh rasanya
sakit. Kesakitan ini melebihi rasa sakit yang pernah aku rasakan di dunia. Tiba
di pekarangan rumah aku ambruk, samar-samar terdengar teriakan ibu dengan suara
khasnya, dan suara Mas Ody, keduanya terdengar semakin mendekat.
Terakhir kali aku ingat, Mas Ody merangkul,
menggoyangkan badanku, bertanya kenapa, dan menepuk pipi agar tak boleh menutup
mata. Masih terlihat jelas wajah itu menangis tersedu, matanya sayu. Kemudian
semuanya menjadi gelap.
"Perpisahan yang paling nyata dalam hidup
adalah kematian. Yang sementara sudah pasti ada yang sebenarnya. Perjalanan
hidup bukan tentang seberapa kita bahagia, tapi seberapa bisa kita membuat diri
kita tak menyesali setelah kematian itu tiba."
Mataku menyipit pada sesuatu yang bercahaya saat
membuka mata. Wajah suamiku yang pertama kali kulihat. Mata sayu, rambut yang
acak tak terurus. Tangannya menggenggam tanganku. Allah, Allah, Allah. Hatiku
bergumam.
"Mas ...." Aku menyentuh wajahnya. Dia
tersenyum tipis.
"Mas mencintaimu, Vi." Air matanya
mengalir bersama air mataku yang menetes. Aku puas mendengar itu. Senyumku
mengembang. Kembali mataku tertutup. Sayup aku mendengar laki-laki yang
kucintai menangis sejadinya.
Sukabumi, 5 Maret 2020
Biodata:
Sherrly Oktaviani lahir di Cimahi, 11 Oktober 1999.
Tak tahu kapan pertama kali menyukai rangkaian aksara menjadi makna. Pastinya,
pena tipis yang diayunkan sekarang sudah banyak mencoret kertas kosong.
IG : shervia_11
FB : Sherrly Oktaviani
Baca juga:
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Keputusasaan Diri oleh Sherrly Oktaviani - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.