Wabah
Oleh: Mamih Suryati
Oleh: Mamih Suryati
Kasus positif virus corona di Indonesia melonjak
menjadi 893 kasus. Penambahan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dan Sulawesi
Selatan.
"Totalnya menjadi 893, jumlah pasien yang
sembuh dari Corona juga bertambah menjadi 35 orang. Sedangkan jumlah pasien
yang meninggal dunia bertambah menjadi 78 orang.
"Angka kematian ada penambahan 20 kasus.
Sehingga totalnya ada 78 orang," kata juru Achmad Yulianto, juru bicara
pemerintah terkait penanganan wabah Corona. Kamis (26/3/2020).
Tertegun aku membaca berita koran pagi itu.
"Ya Tuhan, wabah ini semakin meluas.'' Aku
berbicara sendiri tanpa sadar.
Kriiiiinggg .... Tiba-tiba telepon bordering.
"Ma, jangan keluar rumah, ya. Batasi kegiatan
apa pun di luar rumah yang tidak penting. Jaga anak-anak, keadaan semakin
genting." Suara suamiku di ujung telepon.
"Papa belum bisa pulang, pasien di rumah sakit
terus bertambah. Mama dan anak-anak baik-baiklah di rumah. Jaga kebersihan dan
selalu cuci tangan."
Kembali suamiku berbicara di ujung telepon, tampak
kekhawatiran dari suaranya.
"Iya, Pa. Mama jaga anak-anak. Papa juga jaga
diri, ya. Jangan lupa sempatkan istirahat. Terus semangat, ya Pa. Mama selalu
berdoa untuk keselamatan kita semua. Semoga wabah ini cepat berlalu."
Aku berusaha bicara setenang mungkin walau hatiku
dipenuhi kegelisahan dan kekhawatiran akan keselamatan sang suami.
Suamiku seorang dokter yang bertugas di sebuah rumah
sakit di Jakarta. Sementara aku dan anak-anak tinggal di kota kecil di Lampung.
Dalam keadaan begini ia menjadi pejuang garis depan menangani pasien yang
terinfeksi virus mematikan—Covid-19.
Membaca berita pagi ini, kecemasan semakin menyelimuti
hatiku. Di saat semua orang harus berdiam diri di rumah dan berkumpul dengan
keluarga, mengisolasi diri demi menjaga agar tidak tertular virus mematikan itu,
suamiku berjuang bertaruh nyawa demi menyelamatkan banyak orang dan harus jauh
dariku dan anak-anak.
"Aku harus ikhlas dan terus berdoa." Aku bergumam
dalam hati.
"Mamaaa. Ajari Dinda mengerjakan tugas sekolah."
Suara anakku memanggil dari kamarnya.
"Iya, Sayang. Mama datang."
"Ini, Ma. Tugasnya banyak, Dinda gak ngerti
soal nomor 10, susah. Ajari, ya. Mama kan guru," pintanya sembari merengek.
"Iya, sini Mama ajari."
"Ma, Dinda lebih suka belajar di sekolah deh
dari pada di rumah. Di sekolah kan bisa belajar sama Bu guru dan teman-teman.
Kenapa sih Ma, kok kita disuruh di rumah aja, gak boleh ke mana-mana. Dinda kan
bosan," protesnya.
"Dinda sayang, kita tidak boleh ke mana-mana
karena sedang ada wabah penyakit yang berbahaya. Kita harus menjaga kebersihan
dan menjaga jarak dengan orang lain, supaya tidak tertular," jelasku
mencoba.
"Semua keluarga harus tetap berada di dalam rumah
sampai keadaan aman."
"Tapi ,Ma ...." Dinda menyela, kemudian
diam.
"Kenapa, Nak?" tanyaku.
"Kalau semua keluarga harus di rumah, kenapa
Papa Dinda gak di rumah? Kan Dinda mau juga Papa di rumah seperti Papanya Fandi
dan Papanya Putri. Kenapa Papa Dinda gak ada? tanyanya polos, membuat aku
tercekat.
"Sayang, Papa kan seorang dokter. Dokter itu
harus menolong orang sakit. Di luar sana banyak sekali orang sakit yang harus
Papa tolong. Jadi, kita doakan Papa saja ya supaya sehat dan orang-orang yang
sakit diberi kesembuhan."
"Kalau orang yang sakit sudah sembuh, Papa
boleh pulang, ya, Ma?" tanya Dinda.
"Iya, Sayang. Sekarang Dinda bobok, ya. Jangan
lupa berdoa untuk Papa."
"Iya, Mama. Ya Allah, sembuhkan orang-orang yang
sakit agar Papaku bisa pulang. Dinda rindu Papa, aamiin." Doa tulus
meluncur dari bibir mungil anakku.
"Aamiin," sahutku.
Tak terasa air mataku menetes mendengar doa Dinda.
Aku bisa merasakan betapa ia merindukan papanya. Sudah dua bulan terakhir
semenjak wabah ini sampai ke Indonesia papanya belum pulang.
Aku berusaha memejamkan mata di samping Dinda, tetapi
terasa sulit. Aku ambil ponsel mencoba menghubungi suamiku.
"Assalamualaikum, Pa," pesanku pada WhatsApp.
"Wa’alaikumussalam, Ma. Mama kenapa belum
tidur? Ini sudah larut, lho," balasnya.
"Pa, Dinda kangen kamu. Tidak bisakah pulang
sebentar. Anak kita merengek ingin bertemu."
"Sabar, Ma. Kalau bisa pulang Papa pasti
pulang. Tapi Mama tahu kan keadaan sekarang seperti apa?" tanya Papa.
"Iya, Pa," balasku sambil mencoba menahan
bulir bening di sudut mata.
"Sudah, sekarang Mama tidur, ya. Mama harus sehat
untuk jaga Dinda dan Dimas. Jangan khawatir, Papa di sini baik-baik saja. I
love you."
"Love you too," balasku sambil menutup ponsel.
***
"Dinda, bangun sayang. Kita harus jemput Kak
Dimas pulang. Sekolah Kak Dimas juga diliburkan."
"Yeeeeey. Asyiiik, Dinda punya teman bermain."
Dinda langsung terbangun dengan girang. Dimas adalah
anak pertamaku. Dia bersekolah di pondok pesantren. Biasanya dia pulang saat
libur semester. Namun, dengan keadaan sekarang penyebaran wabah semakin meluas
semua sekolah diliburkan.
"Ayo, Mama. Kita berangkat."
Teriakan Dinda membuyarkan lamunanku.
Satu jam perjalanan. Sampailah aku dan Dinda di
pesantren.
"Itu Kak Dimas, Ma," teriak Dinda melihat
kakaknya sudah berdiri di depan ruang penjemputan.
Setelah berpamitan dengan pengasuh pondok pesantren,
aku membawa Dimas pulang.
***
Sore itu ketika aku dan anak-anak sedang bercanda di
ruang keluarga. Tiba-tiba telepon berdering.
"Halo, selamat sore. Bisa bicara dengan Ibu
Mira?" tanya seseorang di seberang telepon.
"Iya, saya sendiri," jawabku.
"Mohon maaf, Ibu. Kami menyampaikan berita duka
cita untuk Ibu sekeluarga.”
"Be---berita apa? Ini dari mana?" tanyaku
terbata-bata.
"Kami dari rumah sakit Cinta Kasih, Bu. Mengabarkan
bahwa dokter Iwan Darmawan telah meninggal dunia karena terpapar Virus Corona."
"Apa?! Suami saya meninggal?" tanyaku
memastikan.
"Iya, Ibu. Ibu yang sabar dan tabah ya."
Badanku gemetar, tiba-tiba lemas serasa tak
berulang. Di kejauhan kulihat kedua anakku sedang bermain bersama menunggu papanya
pulang.
"Apa yang harus aku katakan kepada
mereka?" tanyaku.
Air mataku mengalir bak air bah. Sesak rasa di dada,
seakan berhenti bernapas. Bayangan wajah kedua anakku hadir silih berganti. Tak
kuat membayangkan jika mereka mendengar semua ini.
"Pa, kamu tidak hanya pahlawan di hati kami,
tapi juga pahlawan bagi bangsa ini."
Aku limbung, seketika dunia gelap.
Tulang Bawang, 25
Maret 2020
Biodata:
Panggil aku Mamih Suryati. Meski tak pandai menulis,
aku suka menggoreskan pena sekadar merangkai cerita. Pendidik di salah satu SMA
di Tulang Bawang, Lampung.
Baca juga:
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Wabah oleh Mamih Suryati - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.