Pejuang
Dua Garis Biru
Oleh
: Imroatul Mufidah
"Merah lagi," bisikku pelan, berkata pada
diriku sendiri.
Empat tahun lalu aku masih duduk bersama yang
terkasih di atas pelaminan. Tersenyum pada setiap tamu undangan yang memberikan
doa restu. Menyambut hidup yang baru bersama dia yang kupilih menjadi imam, dengan
restu dari dua keluarga berharap kebahagiaan selalu menyertai kami
anak-anaknya. Menetapkan hati untuk melangkah bersama pada hidup yang baru.
Bukankah itu berarti 48 purnama telah berlalu? Iya,
itu benar. Aku selalu kecewa setiap kali tamu berwarna merah itu datang.
Menghitung hari menjadi pekerjaan rutinku. Kalender di dinding selalu penuh
dengan coretan-coretan merah dari spidol yang sengaja kubeli di toko alat
tulis. Dulu kupikir itu hanya masalah waktu. Namun, setelah itu terus terjadi
aku mulai putus asa.
"Sudah isi belum?" tanya ibuku di tahun
pertama pernikahan.
"Belum, Bu. Mungkin masih harus menikmati
pacaran halal dulu," jawabku dengan senyuman.
"Sengaja kamu tunda?" tanya beliau lagi.
"Enggak, Bu. Mungkin memang belum
dikasih." Nada suaraku mulai getir.
"Sabar, pasti ada waktu yang tepat."
Pertanyaan seperti itu mulai sering terdengar juga
dari beberapa kerabat. Kami—aku dan suami masih memaklumi. Lagi pula tidak
setiap hari mereka bertanya. Paling saat hari raya atau ada acara, di mana
seluruh kerabat berkumpul dan bertukar kabar.
Kami juga tidak sabar menanti buah hati yang
melengkapi keluarga kecil kami. Namun, saat itu kami masih bersabar menunggu.
"Kok, kamu belum hamil juga? Padahal Fulan yang
baru menikah kemarin sudah hamil," ucap salah satu kerabat.
Kali ini pertanyaannya sudah sedikit melukai hati.
Baru tahun kedua dan pertanyaan mereka sudah sesakit ini. Mereka tidak tahu
bagaimana perjuangan kami untuk mendapatkan dua garis biru. Mereka juga tidak
tahu jika kami sudah bertukar cerita dan mencari tahu alasan dari keterlambatan
ini.
"Wah, kamu kurang kopi hitam, Bro. Makanya
istrimu belum hamil juga," kelakar salah satu teman suami.
Mungkin itu hanya bercanda bagi mereka, tetapi mereka
tidak pernah tahu betapa terluka hati ini mendengarnya. Ucapan itu sukses
membuat kami enggan bersua dengan mereka.
Tahun ketiga ini sudah beberapa kali undangan reuni
ditolak suami. Bukan karena kami sombong, tetapi kami mulai merasa kecil di
hadapan mereka. Kami lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama.
Kami tidak berpikir negatif akan niat mereka, tetapi
kami terlalu sering terluka dengan pertanyaan seirama. Sungguh kami hanya ingin
menjaga hati ini agar tetap percaya pada rencana-Nya.
Kami menghindari pertanyaan yang akan membuat iman
kami goyah, karena kami hanya manusia biasa dengan iman yang amat sangat lemah.
Suatu hari ada salah satu sahabat yang baru
melahirkan anak keduanya. Kami berkunjung untuk memberi doa pada malaikat kecil
yang melengkapi keluarga mereka. Lagi dan lagi kami dibuat terluka oleh gurauan
seorang teman.
"Kapan kamu nyusul? Masak berdua terus? Gak
pengen apa pulang kerja disambut tawa mereka?" tanya salah seorang dari
mereka.
Rasanya kami ingin bertanya balik, "Kemarin
tetanggaku ada yang meninggal dunia, kapan kamu nyusul?"
Namun, kami memilih diam. Jika kami mengatakannya,
lalu apa bedanya dengan mereka.
Ayolah! Kami bukan diam saja tanpa berusaha. Kalian
bahkan tidak bertanya apa saja yang sudah kami lakukan untuk mendapatkan dua
garis itu. Kami sudah berjuang semampunya. Namun, kalian tentu tahu jika semua
yang terjadi atas kehendak-Nya. Jika memang belum berhasil, mungkin Tuhan sudah
menyiapkan rencana lain. Rencana yang tentu saja yang terbaik.
Masuk tahun keempat, kami mulai bisa menerima
ucapan-ucapan menyakitkan itu. Bukan tidak peduli, hanya saja telah sering
terluka hingga terbiasa dengan luka-luka itu. Sejujurnya hati kami telah mati rasa.
Sudah tidak bisa menangis lagi.
Kami tidak putus asa dan tetap berusaha. Bagi kami
tidak ada gunanya mengatakan seberapa keras usaha pada mereka yang tidak bisa
mengerti jika hidup dan mati hanya milik Allah Swt. Mereka akan tetap
menyalahkan.
"Kenapa?" tanya Mas Farhan—suamiku.
"Masih merah," jawabku lirih, setelah
mengumpulkan semua kesadaran.
"Tidak apa-apa, belum rezeki," jawab Mas
Farhan mengecup keningku.
Mas Farhan memang seperti itu. Dia tidak pernah
menampakkan kesedihan atau kekecewaannya. Namun, aku sangat tahu, betapa
hatinya terluka. Dia diam karena dia tahu kesedihannya akan membuatku lemah.
Dia tidak pernah tahu bahwa aku tetap terluka. Terus
menangis meski dia tidak menunjukkan kesedihannya. Aku tetap wanita dan akulah
yang paling disalahkan atas semua yang terjadi. Meski tidak mengatakannya,
meski tidak menunjukkannya, aku yang paling merasa dilema akan semua ini.
Masuk tahun kelima ini, ucapan orang memang tidak
lagi melukai. Kerabat dan sanak saudara juga sudah mulai lelah bertanya. Namun,
itu bukan berarti kami telah bahagia. Kami diam menghibur hati masing-masing.
Bagiku tidak ada gunanya menghibur orang lain di
saat diriku sendiri sedang terluka. Jadi, kuputuskan untuk diam. Paling tidak
dengan keputusanku tidak akan ada hati yang terluka.
Sudah tidak tahu lagi pada siapa mencurahkan hati
ini. Jika dulu ibuku adalah tempat kedua mengadu setelah Tuhan Sang Pencipta, kini
hanya Allah satu-satunya tempat untuk mengadu. Karena tahu, orang tuaku juga
merasakan hal yang sama. Merindukan tawa malaikat mungil di rumah kami.
Meskipun mereka tidak pernah bertanya, tetapi tahu mereka juga menanti dan
terus berharap, dan lagi-lagi aku sebagai anaknya harus menanggung beban itu
pula.
Jangan pernah menganggap kami lemah hanya karena
kami wanita. Kalian tidak tahu seberapa berat beban yang ditanggungnya. Kalian
tidak tahu seberapa dalam duka di hati, dan pasti kalian juga tidak tahu
seberapa banyak luka yang dideritanya. Namun, karena wanita aku bisa
menanggungnya. Punya senjata yang tidak semua orang memiliki.
Air mata itu, meski hanya buliran bening, tetapi
dapat menjadi kekuatan bagi kami para wanita. Semakin banyak yang kami
keluarkan, maka semakin mudah menghadapi segala ujian dalam hidup. Saat air
mata itu mengering, maka saat itulah menjadi lebih kuat. Akan punya semangat
baru untuk menjalani hidup.
Aku telah pasrahkan segalanya pada Sang Khalik. Percaya
akan suratan takdir yang harus kujalani. Bukan tidak sempurna, tetapi memang
ini jalan yang harus kulalui. Tuhan tidak memberi apa yang kita inginkan,
melainkan yang kita butuhkan. Luka dan kecewa sudah pasti ada, tetapi
keberanian dan ketabahan kita dalam menghadapi adalah bukti seberapa kuat iman
kita. Selalu bersyukur adalah kuncinya.
Surabaya, 21 Januari
2020
Bidata:
Fieda, perempuan yang merindukan malaikat kecil
sebagai pelengkap kebahagiaannya.
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.