Kekuatan Cinta
Karya: Mamih Suryati
Senyum-senyum
sendiri dengan pipi merah jambu, sambil terus memandang layar ponsel, siang itu
aku duduk sendiri di kebun belakang kelas.
"Hai."
Ega menepuk bahuku. Seketika senyumku ambyar, bayanganmu pun bubar.
"Chat
sama siapa, sih? Asyik banget." Ega bertanya seraya duduk di sampingku.
"Ih,
siapa yang chat. Aku lagi baca puisi, kok."
"Baca
puisi? Di kebun? Lo mau buat pohon cabe di sini jatuh cinta apa," ucap Ega
dengan mata penuh selidik.
"Gue
tau deh lo bukan cuma baca, tapi lo sukakan sama penulisnya? Ayo, ngaku.”
Terus
saja Ega menyelidiki aku dengan pertanyaan berentet seperti senapan angin yg
nembak, tetapi gak tepat sasaran.
Heem
.... Sahabat aku ini memang peduli banget. Mau tahu saja segala polahku. Kalau
ada sesuatu pasti dia duluan mau tahu.
"Ah,
kepo lo. Kayak emak-emak kompleks dapat gosip baru," ujarku seraya
bangkit, "udah yuk, ah. Ke kantin aja, sudah bel istirahat, tuh,"
lanjutku seraya bangkit dan menarik tangannya kembali menuju ke arah kantin
sekolah. Sengaja, supaya dia gak lagi banyak bertanya.
Entahlah
aku memang sedang mengagumi seseorang lewat sebuah puisi. Aku suka nulis puisi
walaupun gak bagus, sih. Makanya iseng masuk komunitas sastra dan puisi pertama
yang kulihat dan baca adalah puisimu. Gak tahu kenapa langsung sreg saja gitu,
serasa ada magnet yang menarik jariku untuk sekadar say helo ke kamu lewat kolom komentar. Berharap banget bisa ngobrol
sama kamu. Dag-dig-dug banget, dibalas gak, ya?
Deg
.... Seperti melompat jantungku diikuti dua bola mata ketika melihat kolom
komentar ada balasan. Ya, cuma balasan salam biasa saja sih, tetapi cukup
membuat salah tingkah. Celingak-celinguk aku melihat sekeliling. Hem, untung gak
ada yng melihat tingkah polahku yang kegirangan.
"Jangkrik,
Bos," sapaku di kolom komentar.
"Haha.
Itu seperti di film chip, ya, Mbak?”
"Iya,
Mas."
Gurau
dan canda menjalin keakraban kamu dan aku.
Andra, akhirnya aku tahu siapa namamu dan puisi Jangkrik mengawaliku menyapamu.
Andra
adalah salah satu siswa SMA favorit di Jakarta. Jarak kami cukup jauh, Jakarta–Lampung.
Dia sosok yang humoris, selalu menghibur, pintar, dan berpengetahuan luas. Beda
denganku yang gadis biasa, sekolah di SMA biasa, dan dari keluarga yang biasa.
"Tara,
ada lomba menulis puisi. Hadiahnya beasiswa. Kamu kepengen kuliah di Jakarta,
kan? Ini kesempatan buat kamu. Ikut, ya.” Pagi itu Andra mengirim pesan WhatsApp.
"Iya,
Ndra. Aku kepengen ikut. Tapi ...."
"Tapi
kenapa, Tar?”
Aku
biarkan saja pertanyaan Andra tanpa kubalas. Kututup ponsel dan pergi ke kamar
ibu.
Ibu
sedang terlelap. Kupandangi tubuh rentanya yang terbaring lemah.
"Kenapa
wajahmu murung, Tara?" tanya ibu tiba-tiba.
"Ah,
gak ada apa-apa, Bu," jawabku seraya duduk di pinggir dipan di samping ibu
sambil memijit kakinya. Terasa dingin. Ingin sekali aku sampaikan keingina
untuk bisa melanjutkan kuliah setelah lulus SMA, tetapi keadaan ibu memaksaku
untuk gak mengatakan hal itu.
Ibu
sudah lama sakit semenjak Ayah pergi begitu saja meninggalkan kami. Kedua
adikku masih kecil, untuk makan saja aku harus pontang-panting membagi waktu
antara sekolah dan bekerja paruh waktu di sebuah toko baju. Ah, sudahlah. Aku
mencoba menepis semua yang berkecamuk dalam pikiran.
"Assalamualaikum.
Selamat pagi, Tara. Kenapa kemarin kamu gak menjawab pertanyaanku? Kamu punya
masalah? Ceritalah padaku mungkin aku bisa membantumu." Andra mengirim
pesan WhatsApp.
“Iya,
Ndra. Aku ingin sekali ikut lomba menulis puisi itu. Siapa tahu itu bisa
mewujudkan cita-citaku untuk dapat beasiswa dan bisa melanjutkan kuliah. Tapi
aku ragu, aku gak sepandai kamu dalam menulis puisi, dan satu lagi ... keadaan
ibuku."
"Ada
apa dengan ibumu?" tanya Andra.
"Ibuku
sakit dan aku gak mungkin meninggalkannya kuliah di Jakarta. Adik-adikku masih
kecil. Aku harus bekerja untuk menafkahi keluargaku. Biarlah aku kubuang saja
keinginan untuk kuliah.”
"Jangan
putus asa, Tara. Aku bisa bantu kamu, aku akan ajari kamu menulis puisi sampai
kamu bisa. Aku yakin kamu bisa menang lomba ini. Dan nanti kalau kamu kuliah di
Jakarta aku akan bantu kamu cari kerja di sini. Ayahku punya perusahaan. Kamu
harus semangat ya," ujar Andra kembali membalas chat.
Semua
yang diucapkan Andra membuat semangat dan keyakinanku timbul. Ya, aku akan ikut
lomba ini dan berjuang untuk mewujudkan cita-citaku. Aku ingin membuat ibu
bangga.
Andra
telaten mengajariku menulis puisi dan satu karya terbaikku (menurut Andra) aku
kirimkan ke panitia lomba. Berharap hasil terbaik.
Satu
bulan berlalu ….
Kriiing
…. Ponselku tiba-tiba berbunyi.
"Halo,
Tar. Kenapa WA dan masangger-mu gak
aktif? Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Andra memberondong di ujung
telepon, sebelum aku sempat berkata apa-apa.
"Gak,
Ndra. Gak ada apa-apa. Kebetulan paket internetku habis. Ada apa?" tanyaku
balik.
"Hemm,
pasti kamu belum baca pengumuman di Facebook, ya? Ada berita gembira buat kamu.
Puisi yang kamu tulis masuk nominasi juara. Pengumuman pemenang satu minggu
lagi di Jakarta. Kamu harus datang, oke. Aku tunggu di Jakarta," ujarnya
sambil menutup telepon sebelum aku sempat menjawab.
Ya
Allah, ini berita bahagia, tetapi sekaligus sedih. Bagaimana aku berangkat ke
Jakarta dalam waktu seminggu lagi? Sedangkan aku gak punya ongkos. Sedikit uang
yang kukumpulkan dari upah di toko itu untuk beli obat Ibu setiap bulan. Lalu,
kalau aku pakai untuk ongkos bagaimana obat Ibu?
"Hai,
ngelamun lagi. Ada apa, sih?" tanyanya. Seperti biasa Ega tiba-tiba nongol
di belakangku.
"Aku
lagi bahagia sekaligus bingung."
"Kok,
bisa?" tanya Ega semakin penasaran.
"Iya,
Ga. Puisiku masuk nominasi pemenang lomba, dan aku harus datang ke Jakarta pada
malam pengumuman pemenang. Sementara Ibuku sakit dan aku gak punya ongkos ke
Jakarta."
"Ra,
kamu sahabat aku. Aku gak akan mungkin diam saja melihatmu dalam kesulitan. Begini
saja, ujian sudah selesai, kitakan libur sekolah. Terus, ada pertunjukan pasar
malam di alun-alun. Aku ada sedikit modal, kita jualan makanan dan minuman
ringan di sana. Nanti hasilnya untuk ongkos kamu ke Jakarta. Selama di Jakarta
aku yang akan merawat ibumu. Bagimana ideku? Cemerlang, kan? Ega gicu, loh."
Ega terus nyerocos memberi solusi sekaligus menghiburku, "sudah, jangan
kebanyakan mikir! Ayo, kita belanja keperluan jualan! Semoga laris manis, dapat
untung banyak, kamu bisa berangkat ke Jakarta," imbuhnya.
Ega
menarik tanganku dan menuju pasar dengan sepeda motornya tanpa aku sempat
menjawab.
Seminggu
kemudian, Ega dan Ibu mengantarku ke terminal bus menuju Jakarta.
"Nduk,
hati-hati di jalan. Doa Ibu bersamamu. Semoga Tuhan mengabulkan semua
cita-citamu dan memberikan hasil terbaik untuk setiap perjuanganmu, "
pesan Ibu sambil memelukku.
“Iya,
Bu. Terus doakan Tara, ya, Bu. Doa Ibu yang menguatkan Tara."
“Heem
.... Aku gak dipeluk, nih," ucap Ega.
"Terima
kasih ya Ga, sudah jadi sahabat terbaikku. Titip Ibu, ya."
"Pasti.
Aku akan jaga ibumu. Jangan khawatir. Pergilah dan hati-hati. Jemput
kemenanganmu," tutur Ega terus menyemangatiku.
"Jakarta
berangkat .... Jakarta berangkat!" teriak kondektur bus.
Aku bergegas menaiki bus sambil melambaikan tangan kepada Ibu dan sahabatku.
"Semangat,
Tara …!" teriak Ega ketika bus berjalan perlahan meninggalkan terminal bus
antar kota.
"Halo,
Tara. Kamu sampai di mana? Aku sudah menunggumu di terminal Kampung Rambutan,"
suara Andra di ujung telepon.
"Sepuluh
menit lagi aku sampai, Ndra."
"Hai,
kamu Tara? Sapa seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di depanku, "aku
Andra. Ayo, gak usah kelamaan mikir. Kita harus segera sampai tepat waktu,”
lanjut pemuda itu yang langsung menarikku ke dalaman mobilnya.
Aku
terduduk sambil bengong di dalam mobil itu. Ini pertemuan pertama kami, sekian
lama kami menjalin persahabatan lewat telepon.
"Ini
lelaki yang sudah membuatku kagum dan jatuh cinta," ucapku dalam hati
ketika pertama kali melihatnya.
"Hadirin
yang terhormat. Saatnya kita umumkan pemenang utama Lomba Menulis Puisi Tingkat
Nasional yang akan menerima hadiah berupa piala dan beasiswa pendidikan senilai
25 juta rupiah, dan pemenangnya adalah ...." Suara pembawa acara memecah
lamunanku.
Gugup
dan gelisah aku menunggu hasil pengumuman itu, saat itulah tangan Andra menggenggam
tanganku.
"Tenang,
Sayang. Pasti kamu yang jadi pemenangnya," ucap Andra berbisik di
telingaku.
Bukannya
tenang, jantungku malah makin kencang berdetak. Wajahku entah berwarna apa
mendengar Andra memanggilku Sayang. Perlahan aku cubit tanganku.
"Uh,
sakit." Aku meringis sendiri sekaligus tersenyum, ternyata ini bukan
mimpi.
"Dan
pemenang utama lomba menulis puisi ini adalah ... Tara Ayudya." Seketika
tepuk tangan riuh. Sedangkan aku masih belum sadar.
"Hai.
Tara, kamu menang," ucap Andra sambil menggoyang-goyangkan tangannya di
depan mataku. Seketika aku tersadar dan langsung menuju panggung.
"Selamat,
Sayang. Kamu telah berhasil memenangkan lomba ini dan memenangkan hatiku. Aku
mencintaimu," ungkap Andra berbisik, sambil menjabat tanganku ketika aku
turun dari panggung. Sungguh ini adalah kebahagiaan terbesar sepanjang hidupku.
"Terima
kasih Tuhan yang telah mengabulkan doa-doaku. Terima kasih Ibu untuk setiap doa
yang mengiringi perjuanganku. Terima kasih sahabatku yang selalu membantu dan
menyemangatiku. Terima kasih teman spesialku yang selalu menguatkan dan
meyakinkanku. Kemenangan ini karena kekuatan dan cinta kalian.”
Tulang Bawang, 12-03-2020
Biodata:
Panggil
aku Mamih Suryati. Meski tak pandai menulis, aku suka menggoreskan pena sekadar
merangkai cerita. Pendidik di salah satu SMA di Tulang Bawang, Lampung.
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.