Selasa, 31 Maret 2020

Materi - Bedah Buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck oleh Putri Muhaiminah Asy.syifa cucu Buya Hamka - Sastra Indonesia Org








Bagaimanakah kesesuaian Novel ini dengan periodesasi sastra Indonesia modern?

Untuk kesesuaian novel memang agak sulit dengan sastra modern saat ini, karena dari novel beliau pemakaian bahasanya masih ejaan lama, lebih ke bahasa Melayu atau bahasa Indonesia lama. Banyak dari generasi sekarang sulit untuk memahaminya. Kecuali memang untuk orang-orang Sumatera atau para sastrawan yang sudah berkecimpung di dunia sastra lebih lama. Maksudnya di sini untuk dipahami pembaca dari pelajar misalnya. Karena semakin ke sini memang novelnya jarang diminati, mungkin ada beberapa. Namun, tidak banyak. Malah karya beliau lebih terkenal dan dipakai sampai sekarang di Malaysia dan Brunei Darussalam. Kenapa begitu? Kembali lagi masalah bahasa yang satu rumpun dengan negara tetangga. Jadi, mereka lebih mudah memahami karya beliau. 

Sekalipun misalnya PUEBI diubah, malah itu juga ikut mengubah estetika dari tulisannya. Sastranya itu bisa hilang, istilahnya kayak jiwa dari novel itu sendiri hilang.

Selain sejarah dan budaya, kita belajar bagaimana mencintai yang benar. Mencintai yang tulus dan setia. Di zaman sekarang itu sudah jarang sekali bisa melihat cinta yang seperti ini dan memberikan pelajaran bahwa tidak semua keputusan orang tua atau keluarga itu yang terbaik buat kita. Karena, semua manusia berhak memilih hidup dan keinginannya. Tentu tentang hal yang baik. Seperti Hayati yang dipaksa menikah dengan Aziz yang memang asli suku Minang. Itu kalau dari budaya. Namun, pesan lainnya dia dipaksa menikah karena Aziz orang terpandang kaya raya, dan melupakan bagaimana attitude sikap dan sifat. Karena menikah itu tentang menyatukan dua sifat yang berbeda-beda, tentunya kita ingin punya pasangan yang baik dari sikap dan sifat. Mengenai kekayaan itu bisa dicari, asal pekerja keras dan bertanggung jawab.

Mengapa penulis mengambil latar budaya minang dalam novel ini? Apakah budaya minang memiliki kekhasan atau nilai-nilai luhur yang begitu mencolok bila dibandingkan dengan budaya lain?

Alasan pertama:

Karena beliau orang Minangkabau, tepatnya di Danau Maninjau Sumatera Barat. Banyak dari karya beliau itu diambil dari apa yang beliau lihat sehari-hari di sekitar lingkungan beliau tinggal.

Alasan kedua:

Kebudayaan Minang yang memang kompleks dan sangat kental, dan sedikit bertolak belakang dengan syariat dalam agama Islam. Karena menikah harus dengan orang Minang juga yang punya suku/ marga, gunanya supaya anak cucu keturunan merasakan harta warisan suku dari keturunan si ibu. Jadi, laki-laki di Minangkabau itu tidak punya harta warisan dan lain-lain. Sedangkan dalam agama pembagian harta warisan itu lebih besar kepada laki-laki. 

Namun, konsep sebenarnya dari adat Minang itu, kenapa perempuan yang dapat harta warisan? Karena laki-laki bekerja atau bisa mencari uang. Sedangkan perempuan menjadi ibu rumah tangga. 

Dalam syariat Islam juga tentang menikah itukan yang terpenting sama-sama beragama Islam. Jadi, bertolak belakang dengan sebuah pepatah Minang.


"Adat basandi Syara'. Syara' basandi kitabullah". Maksudnya di sini, adat berlandaskan kepada syariat Islam, syariat Islam berdasarkan kitab Al-Qur’an, karena di sana mayoritas beragama Islam. 

Alasan ketiga:

Kenapa karya ini diangkat Buya Hamka sebagai bentuk protes ketidaksetujuan dari adat yang kurang cocok atau pas rasanya digunakan untuk menentukan pernikahan dan jodoh? Karena dampaknya tentu luar biasa. Seperti Hayati setelah menikah dengan Aziz, dia tidak merasa bahagia sama sekali.


By: Putri Muhaiminah Asy.syifa




Baca juga:









Minggu, 29 Maret 2020

#Sabtu_Tema - Wabah Bertingkah oleh Mamih Suryati - Sastra Indonesia Org






Wabah Bertingkah
Oleh: Mamih Suryati


Aku wabah
Suka bernyanyi sambil minum darah
Siapa pun yang menikmati akan rebah
Sedikit merasa lelah
Namun, dianggap tak apalah
Dan akhirnya terbujur bagai galah

Aku wabah
Suka sekali berpolah
Gaya hidupmu yang asal sajalah
Menjadi tempatku untuk singgah
Berkembang dan besar dalam catatan sejarah
Membuatmu takut dan salah kaprah

Tahukah untuk apa aku datang?
Hanya bertandang
Sebagai tamu tak diundang
Dan kau meradang
Lari tunggang-langgang
Saling dorong dan terjengkang
Sampai lupa mencarikan aku jalan pulang

Maafkan tingkahku membuatmu saling berjauhan
Aku hanya datang agar kalian menemukan kesadaran
Bahwa tak ada yang lebih besar selain kuasa Tuhan

Tulang Bawang, 21 Maret 2020

Biodata:

Panggil aku Mamih Suryati. Meski tak pandai menulis, aku suka menggoreskan pena sekadar merangkai cerita. Pendidik di salah satu SMA di Tulang Bawang, Lampung.





Baca juga:




























Kamis, 26 Maret 2020

#Kamis_Cerpen - Wabah oleh Mamih Suryati - Sastra Indonesia Org






Wabah
Oleh: Mamih Suryati


Kasus positif virus corona di Indonesia melonjak menjadi 893 kasus. Penambahan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan.
"Totalnya menjadi 893, jumlah pasien yang sembuh dari Corona juga bertambah menjadi 35 orang. Sedangkan jumlah pasien yang meninggal dunia bertambah menjadi 78 orang.
"Angka kematian ada penambahan 20 kasus. Sehingga totalnya ada 78 orang," kata juru Achmad Yulianto, juru bicara pemerintah terkait penanganan wabah Corona. Kamis (26/3/2020).
Tertegun aku membaca berita koran pagi itu.
"Ya Tuhan, wabah ini semakin meluas.'' Aku berbicara sendiri tanpa sadar.
Kriiiiinggg .... Tiba-tiba telepon bordering.
"Ma, jangan keluar rumah, ya. Batasi kegiatan apa pun di luar rumah yang tidak penting. Jaga anak-anak, keadaan semakin genting." Suara suamiku di ujung telepon.
"Papa belum bisa pulang, pasien di rumah sakit terus bertambah. Mama dan anak-anak baik-baiklah di rumah. Jaga kebersihan dan selalu cuci tangan."
Kembali suamiku berbicara di ujung telepon, tampak kekhawatiran dari suaranya.
"Iya, Pa. Mama jaga anak-anak. Papa juga jaga diri, ya. Jangan lupa sempatkan istirahat. Terus semangat, ya Pa. Mama selalu berdoa untuk keselamatan kita semua. Semoga wabah ini cepat berlalu."
Aku berusaha bicara setenang mungkin walau hatiku dipenuhi kegelisahan dan kekhawatiran akan keselamatan sang suami.
Suamiku seorang dokter yang bertugas di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sementara aku dan anak-anak tinggal di kota kecil di Lampung. Dalam keadaan begini ia menjadi pejuang garis depan menangani pasien yang terinfeksi virus mematikan—Covid-19.
Membaca berita pagi ini, kecemasan semakin menyelimuti hatiku. Di saat semua orang harus berdiam diri di rumah dan berkumpul dengan keluarga, mengisolasi diri demi menjaga agar tidak tertular virus mematikan itu, suamiku berjuang bertaruh nyawa demi menyelamatkan banyak orang dan harus jauh dariku dan anak-anak.
"Aku harus ikhlas dan terus berdoa." Aku bergumam dalam hati.
"Mamaaa. Ajari Dinda mengerjakan tugas sekolah." Suara anakku memanggil dari kamarnya.
"Iya, Sayang. Mama datang."
"Ini, Ma. Tugasnya banyak, Dinda gak ngerti soal nomor 10, susah. Ajari, ya. Mama kan guru," pintanya sembari merengek.
"Iya, sini Mama ajari."
"Ma, Dinda lebih suka belajar di sekolah deh dari pada di rumah. Di sekolah kan bisa belajar sama Bu guru dan teman-teman. Kenapa sih Ma, kok kita disuruh di rumah aja, gak boleh ke mana-mana. Dinda kan bosan," protesnya.
"Dinda sayang, kita tidak boleh ke mana-mana karena sedang ada wabah penyakit yang berbahaya. Kita harus menjaga kebersihan dan menjaga jarak dengan orang lain, supaya tidak tertular," jelasku mencoba.
"Semua keluarga harus tetap berada di dalam rumah sampai keadaan aman."
"Tapi ,Ma ...." Dinda menyela, kemudian diam.
"Kenapa, Nak?" tanyaku.
"Kalau semua keluarga harus di rumah, kenapa Papa Dinda gak di rumah? Kan Dinda mau juga Papa di rumah seperti Papanya Fandi dan Papanya Putri. Kenapa Papa Dinda gak ada? tanyanya polos, membuat aku tercekat.
"Sayang, Papa kan seorang dokter. Dokter itu harus menolong orang sakit. Di luar sana banyak sekali orang sakit yang harus Papa tolong. Jadi, kita doakan Papa saja ya supaya sehat dan orang-orang yang sakit diberi kesembuhan."
"Kalau orang yang sakit sudah sembuh, Papa boleh pulang, ya, Ma?" tanya Dinda.
"Iya, Sayang. Sekarang Dinda bobok, ya. Jangan lupa berdoa untuk Papa."
"Iya, Mama. Ya Allah, sembuhkan orang-orang yang sakit agar Papaku bisa pulang. Dinda rindu Papa, aamiin." Doa tulus meluncur dari bibir mungil anakku.
"Aamiin," sahutku.
Tak terasa air mataku menetes mendengar doa Dinda. Aku bisa merasakan betapa ia merindukan papanya. Sudah dua bulan terakhir semenjak wabah ini sampai ke Indonesia papanya belum pulang.
Aku berusaha memejamkan mata di samping Dinda, tetapi terasa sulit. Aku ambil ponsel mencoba menghubungi suamiku.
"Assalamualaikum, Pa," pesanku pada WhatsApp.
"Wa’alaikumussalam, Ma. Mama kenapa belum tidur? Ini sudah larut, lho," balasnya.
"Pa, Dinda kangen kamu. Tidak bisakah pulang sebentar. Anak kita merengek ingin bertemu."
"Sabar, Ma. Kalau bisa pulang Papa pasti pulang. Tapi Mama tahu kan keadaan sekarang seperti apa?" tanya Papa.
"Iya, Pa," balasku sambil mencoba menahan bulir bening di sudut mata.
"Sudah, sekarang Mama tidur, ya. Mama harus sehat untuk jaga Dinda dan Dimas. Jangan khawatir, Papa di sini baik-baik saja. I love you."
"Love you too," balasku sambil menutup ponsel.

***

"Dinda, bangun sayang. Kita harus jemput Kak Dimas pulang. Sekolah Kak Dimas juga diliburkan."
"Yeeeeey. Asyiiik, Dinda punya teman bermain."
Dinda langsung terbangun dengan girang. Dimas adalah anak pertamaku. Dia bersekolah di pondok pesantren. Biasanya dia pulang saat libur semester. Namun, dengan keadaan sekarang penyebaran wabah semakin meluas semua sekolah diliburkan.
"Ayo, Mama. Kita berangkat."
Teriakan Dinda membuyarkan lamunanku.
Satu jam perjalanan. Sampailah aku dan Dinda di pesantren.
"Itu Kak Dimas, Ma," teriak Dinda melihat kakaknya sudah berdiri di depan ruang penjemputan.
Setelah berpamitan dengan pengasuh pondok pesantren, aku membawa Dimas pulang.



***

Sore itu ketika aku dan anak-anak sedang bercanda di ruang keluarga. Tiba-tiba telepon berdering.
"Halo, selamat sore. Bisa bicara dengan Ibu Mira?" tanya seseorang di seberang telepon.
"Iya, saya sendiri," jawabku.
"Mohon maaf, Ibu. Kami menyampaikan berita duka cita untuk Ibu sekeluarga.”
"Be---berita apa? Ini dari mana?" tanyaku terbata-bata.
"Kami dari rumah sakit Cinta Kasih, Bu. Mengabarkan bahwa dokter Iwan Darmawan telah meninggal dunia karena terpapar Virus Corona."
"Apa?! Suami saya meninggal?" tanyaku memastikan.
"Iya, Ibu. Ibu yang sabar dan tabah ya."
Badanku gemetar, tiba-tiba lemas serasa tak berulang. Di kejauhan kulihat kedua anakku sedang bermain bersama menunggu papanya pulang.
"Apa yang harus aku katakan kepada mereka?" tanyaku.
Air mataku mengalir bak air bah. Sesak rasa di dada, seakan berhenti bernapas. Bayangan wajah kedua anakku hadir silih berganti. Tak kuat membayangkan jika mereka mendengar semua ini.
"Pa, kamu tidak hanya pahlawan di hati kami, tapi juga pahlawan bagi bangsa ini."
Aku limbung, seketika dunia gelap.

Tulang Bawang, 25 Maret 2020

Biodata:

Panggil aku Mamih Suryati. Meski tak pandai menulis, aku suka menggoreskan pena sekadar merangkai cerita. Pendidik di salah satu SMA di Tulang Bawang, Lampung.


Baca juga: