Selasa, 11 Februari 2020

#Kamis_Cerpen - Lilin Terakhir oleh Imroatul Mufidah - Sastra Indonesia Org







Lilin Terakhir
Oleh: Imroatul Mufidah


"Happy birthday, Luna."
Sebuah bisikkan membangunkan diriku di tengah malam. Kantuk akhirnya menghilang dan bola mata terbuka lebar. Segera kunyalakan lampu kamar. Tatapanku tertuju pada kalender yang tergantung di dinding.
"Tiga belas maret, ulang tahunku," bisikku lirih.
"Tidak, jangan hari ini! Kumohon!" pintaku memohon dengan tangis menjadi. Kucengkeram erat selimut yang menutupi sebagian tubuhku.
Bayangan akan masa lalu menyelimuti isi kepala seperti membuka diary lama. Seluruh sosok yang kusayangi muncul di hadapan.
Pertama adalah Nenek. Wanita kedua setelah Mama yang paling kusayangi. Sejak Mama melahirkan adik, perhatian sepenuhnya kudapatkan dari Nenek. Saat itu berusia 10 tahun. Masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar Negri di desaku.
Masa di mana anak-anak saling memamerkan kelebihan. Berlomba menjadi yang terbaik. Dari yang paling pandai, cantik, hingga paling kaya. Begitu pun diriku yang tidak mau kalah. Sifat ego belum bisa kukendalikan.
Waktu itu sedang marak undangan pesta ulang tahun. Beberapa teman mengadakan pesta ulang tahun. Sudah pasti sifat egoku berontak dan tidak mau kalah. Aku merengek ingin merayakan ulang tahun juga.
"Ayolah, Ma! Masak aku gak ulang tahun? Teman-temanku semua ulang tahunnya dirayakan," pintaku setengah memaksa.
"Sayang, kamu tahukan Mama kerja? Mama sibuk, begitu juga papa. Kami gak ada waktu, Sayang."
"Ish, Mama gak sayang sama Luna," rajukku.
"Bukan begitu, Nak. Gini aja, gimana kalau ulang tahunnya dirayain pas Mama dapat cuti?" tanya Mama menawarkan.
"Kok, gitu? Namanya ya bukan ulang tahun kalau gak pas sama harinya. Pokoknya Luna gak mau tahu, Luna harus rayain ulang tahun Luna."
Mama terlihat bingung dengan permintaanku. Aku sudah hampir menangis karena permintaanku tidak dikabulkan.
"Nanti biar Nenek yang siapkan," sahut Nenek tiba-tiba muncul di belakang kami.
"Beneran, Nek?" tanyaku.
"Iya, apa sih yang gak buat cucu Nenek?" goda Nenek. Aku bersorak bahagia.
"Bu, Ibukan sedang sakit," tolak Mama.
"Udah gak apa-apa. Belum tentu tahun depan bisa bikin cucuku bahagia," jawab Nenek.
"Ibu yakin?" tanya Mama terlihat cemas yang dijawab anggukan oleh Nenek.
Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Balon beraneka macam warna dihias pada setiap sudut ruang tamu di rumah. Teman-temanku mulai datang membawa kado yang bertumpuk tinggi di salah satu meja. Sebuah kue bersusun dua berwarna cokelat membuat teman-temanku kagum. Tiga buah lilin menghiasi ujungnya.
"Kok, lilinnya ganjil, ya," bisik salah satu teman tertangkap oleh telingaku.
"Iya, itukan gak boleh, ya," timpal yang lain.
Kuabaikan ucapan mereka dan fokus pada pesta ulang tahunku. Selanjutnya, pesta berjalan sangat meriah. Meski kedua orang tuaku tidak datang. Keberadaan Nenek dan adikku sudah cukup mewakili.
Pesta berakhir, aku sibuk dengan tumpukan kado di kamar. Sampai akhirnya kudengar tangisan Amel–adikku.
"Mel, ada apa, Mel?" tanyaku.
"Nenek jatuh, Kak. Nenek gak mau bangun," tangisnya.
Segera kuhampiri dan bangunkan Nenek. Hasilnya nihil, beliau tidak juga membuka mata. Aku berinisiatif memanggil tetangga untuk meminta bantuan. Saat itulah mereka bilang jika Nenek telah tiada. Aku tidak menyangka Tuhan mengambil Nenek di hari bahagiaku.
"Kamu sih, ulang tahun lilinnya ganjil," ucap salah satu temanku.
Sungguh aku tidak mengerti hubungan antara lilin ganjil dengan kematian Nenek. Namun, hal itu membuat trauma mendalam padaku. Aku berjanji di dalam hati tidak akan merayakan ulang tahun lagi.
Lima tahun berlalu. Aku mulai melupakan kejadian hari itu. Diriku juga semakin dewasa. Tahu jika hidup dan mati karena–Nya. Bukan karena lilin ganjil.
Hari itu tepat ulang tahunku yang ke-15. Aku memang tidak berniat merayakannya lagi, tetapi apa salahnya berharap mendapat kejutan kecil dari keluarga. Tidak salahkan jika kurayakan bersama keluarga. Kuminta Mama membawakan kue cokelat saat pulang bekerja. Memang diriku suka cokelat. Apalagi cokelat pada kue brownis.
Mama menuruti kemauanku, untuk pertama kalinya setelah lima tahun berlalu aku meminta sesuatu di hari ulang tahunku. Kue brownis coklat itu terhidang di atas meja. Amel menancapkan tiga lilin di atasnya.
"Ambil satu lilinnya, Mel!" titahku. Bukan aku percaya mitos, tetapi aku tidak mau sesuatu terjadi lagi hanya karena lilin ganjil.
Amel menurut. Dia ambil kembali salah satu lilinnya. Kini tersisa dua dan Amel mulai menyalakannya.
"Ayo, Kak! Tiup lilinnya! Amel gak sabar makan kue cokelat," tutur Amel.
"Tunggu Papa dulu," jawabku ketus.
Saat itu Mama berusaha menghubungi Papa dari sambungan telepon.
"Papa lembur?" tanya Mama terlihat kecewa. Mendengarnya kuambil gawai dari tangan Mama.
"Luna gak mau tahu, Papa harus pulang!" bentakku, lalu memutus sambungan telepon.
"Luna. Gak boleh kayak gitu. Jangan kayak anak kecil. Ayo, tiup lilinnya. Atau tidak ada ulang tahun lagi!" sentak Mama marah.
Aku menurut. Akhirnya kutiup lilinnya dan makan kue itu bersama Amel juga Mama. Kusisakan sedikit untuk Papa. Sampai akhirnya terdengar kabar jika Papa mengalami kecelakaan.
Menyesal. Itulah yang kurasakan sampai hari ini. Dua kali kutiup lilin dan dua kali pula kehilangan orang yang kusayang. Rasanya itu seperti kutukan.


Apa yang salah sebenarnya? Lilin yang kutiup juga tidak ganjil. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak tahu, tetapi kini aku takut. Sangat takut.
Terdengar seseorang memutar knop pintu. Hal itu yang membuyarkan lamunanku. Bola mata berpindah menatap ke arah pintu.
"Happy birthday, Kak Luna!" seru Mama dan Amel bersamaan.
Sebuah kue cokelat serta lilin tertancap di sana. Jantungku berdebar kencang. Tenggorokan tercekat. Rasa takut menghantui. Tidak peduli dengan Mama dan Amel yang terus menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
Mereka semakin dekat dan wajah mereka mulai berubah menakutkan. Mereka berlumuran darah. Aku semakin ketakutan. Kutarik selimut menutupi kepala. Aku menjerit histeris.
"Luna, Bangun!" seru Mama panik.
Aku tersadar dan terbangun. Semua itu hanya mimpi. Aku hanya bermimpi. Kupeluk erat tubuh hangat Mama.
"Ada apa?" tanya Mama, membelai rambutku lembut.
"Aku gak mau ulang tahun, Ma." Aku ucapkan di sela isak tangisku.
Mama tahu apa yang kurasakan. Mungkin Mama juga memikirkan hal yang sama. Namun, ini adalah janji Papa. Semasa hidup Papa ingin merayakan ulang tahunku yang ke–17. Mama hanya ingin menepatinya. Sedangkan aku benar-benar tidak menginginkannya.

***

Kini aku berdiri di sini. Menatap beberapa anak panti asuhan yang tengah menikmati nasi kuning buatan Mama. Ada rasa damai dalam hati. Aku tahu jika ulang tahun bukan tentang meniup lilin atau kue tar coklat. Ada banyak cara untuk merayakannya. Salah satunya adalah membagi kebahagiaan kita bersama anak-anak kurang beruntung seperti mereka.
"Kak, tiup lilinnya," bisik Amel di dekatku. Aku langsung melotot pada adik tengilku itu.
Mama tersenyum padaku. Senyuman penuh arti. Sudut mataku mengembun. Amel melakukan hal yang sama. Tersenyum padaku, senyuman manisnya.
"Tiuplah, Sayang! Ini lilin terakhir. Dan lilin ini pula yang akan membuktikan jika semua yang terjadi adalah takdir. Bukan karena lilin. Mama janji setelah ini Mama tidak akan memaksamu merayakan ulang tahunmu," ucap Mama setengah memohon.
"Lagi pula, Kak. Kita bersama-sama sekarang. Apa yang Kakak takutkan?" tanya Amel mengimbuhi.
Berlinang air mata kutiup lilin terakhirku. Hal itulah yang akhirnya membuat Mama dan Amel menangis histeris.
"Semoga kamu bahagia di surga, Sayang." Mama bergumam di sela isak tangisnya.
Rasa trauma itu membuatku gila, hingga tidak sadar mengantarku di ambang maut. Ya, aku meninggal tepat 17 tahun dilahirkan.

Surabaya, 6 Februari 2020

Biodata:

Fieda, gadis yang belajar bikin cerita horor sehoror fotonya. Namun, apa daya terlalu manis untuk dianggap horor.


Baca juga:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.