Jumat, 17 Januari 2020

#Kamis_Cerpen - Pagi Merindu oleh Aiyu A Gaara - Sastra Indonesia Org







Pagi Merindu
Oleh: Aiyu A Gaara


Kelabu masih setia menemani, seolah enggan beranjak meski sebentar. Pagi ini aku kembali terbangun dengan rindu yang menggantung dirinya di kelopak mata, di sudut beranda rumah tempat kita pernah bersua—berbicara malu-malu untuk tetap saling menjaga perasaan setelah sekian lama tak bertemu.
Hampir sebulan lamanya kamu tak berkabar dan dadaku kian berdebar. Rindu sepertinya tak pernah memudar meski berkali-kali kumencoba untuk tak mengingatmu. Namun, sepertinya aku lagi-lagi kalah. Bahkan secangkir kopi yang kubuat untuk menemani sepi dan menjadi obat penawar dingin, nyatanya mampu membuatku mengenangmu.
Seperti terjebak labirin waktu, aku dipaksa masuk ke dalam ruang bernama kenangan. Tempat di mana tawa-tawa kita mengudara hampir setiap malam.

***

“Kemarin aku berantem sama tikus. Dia ganggu aku,” katamu, kembali memulai pembicaraan setelah terdiam beberapa detik.
Aku tertawa. Terkadang kamu memang begitu, membicarakan sesuatu yang tak penting, tetapi membuat senang. Tak canggung lantaran habis bahan obrolan.
“Lalu siapa yang menang?” Aku menanggapi masih dengan sisa tawa.
“Akulah.”
“Hebat.”
Aku kembali tertawa, kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya. Kamu pun ikut tertawa, yang di telingaku terdengar merdu sekali. Mungkin suatu hari nanti aku akan benar-benar merindukan tawa ini.
“Tapi, lebih hebat kamu, Sa.”


“Eh, aku? Kenapa memangnya? Aku gak pernah berantem sama tikus, gak berminat tepatnya,” balasku dengan perasaan geli saat teringat makhluk kecil berbulu yang berisik di loteng.
“Iya, kamu hebat bisa membuatku rindu.”
Aku tertawa lagi, tetapi tak lama. Detik berikutnya aku bertanya serius, “Kamu sekarang lagi rindu?”
“Enggak. Rindunya tadi, sekarangkan sudah mengobrol denganmu.”
“Ah, benar juga.”
Obrolan-obrolan ringan itu berlanjut hingga malam kian larut, yang awalnya hanya membicarakan hobi, mendadak berbicara keinginan di masa depan. Bukan tentang kebersamaan, lebih kepada harapan yang kurajut diam-diam untuk bersama.
Ya, sampai hari di mana kita menjadi lebih dekat, tak pernah ada kesepakatan untuk menjalin kisah. Mungkin belum.

***

Aku tersentak dengan nada dering di ponsel yang kuletakkan di atas nakas. Di antara tumpukan buku catatan dan novel yang belum sempat kubaca. Padahal, telah kubeli sejak beberapa bulan lalu.
Sebuah pesan yang tentu saja bukan darimu. Terakhir kali kamu mengatakan ponselmu mendadak kambuh penyakitnya dan harus disembuhkan terlebih dahulu. Entah sampai kapan, yang jelas saat itu kamu tak memintaku menunggu, apalagi merindu.
Katamu lagi, rindu sendirian itu berat. Lebih baik bersama-sama agar dapat dipikul.

Meskipun begitu, bagiku sama saja. Mau sendiri atau berdua, jika tak berujung pada temu, rindu tetaplah berat. Tak semua orang akan kuat menanggungnya. Namun, aku sedikit merasa lega, karena rinduku tak melulu meminta temu, sekadar ingin mendengar suara dan kembali berbagi cerita.

Waktu mengajarkanku banyak hal tentang bagaimana menyukai seseorang. Tentang menjaga batasan juga privasi. Lebih menyenangkan lagi, aku bisa kembali menulis lebih banyak dari sebelumnya. Setidaknya aku tak benar-benar berada dalam fase kesedihan akibat terlalu banyak merindukan.
Aku menyesap kopi, kemudian membalas pesan seorang teman yang kukenal dari dunia maya. Lalu, kembali mengenangmu. Namun, kali ini aku memutuskan untuk menuliskannya. Supaya orang-orang tahu, merindu tak semenakutkan itu. Menyukai tanpa saling mengakui tak semenyedihkan yang orang-orang katakan. Dalam hal ini aku ingin orang-orang menyadari, adakalanya kita—bukan aku kamu semata—menikmati perasaan itu sendiri.


Bumi Rafflesia, 9 Januari 2020


Biodata:


Aiyu A Gaara, gadis penikmat kopi dan sepi. Diam-diam menyukai senja dan kamu. Saat ini tengah berjuang dengan naskah dan kisahnya di dunia nyata. Salam literasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.