Pagi
Merindu
Oleh:
Aiyu A Gaara
Kelabu masih setia menemani, seolah enggan
beranjak meski sebentar. Pagi ini aku kembali terbangun dengan rindu yang
menggantung dirinya di kelopak mata, di sudut beranda rumah tempat kita pernah
bersua—berbicara malu-malu untuk tetap saling menjaga perasaan setelah sekian
lama tak bertemu.
Hampir sebulan
lamanya kamu tak berkabar dan dadaku kian berdebar. Rindu sepertinya tak pernah
memudar meski berkali-kali kumencoba untuk tak mengingatmu. Namun, sepertinya
aku lagi-lagi kalah. Bahkan secangkir kopi yang kubuat untuk menemani sepi dan
menjadi obat penawar dingin, nyatanya mampu membuatku mengenangmu.
Seperti
terjebak labirin waktu, aku dipaksa masuk ke dalam ruang bernama kenangan.
Tempat di mana tawa-tawa kita mengudara hampir setiap malam.
***
“Kemarin
aku berantem sama tikus. Dia ganggu aku,” katamu, kembali memulai pembicaraan
setelah terdiam beberapa detik.
Aku
tertawa. Terkadang kamu memang begitu, membicarakan sesuatu yang tak penting,
tetapi membuat senang. Tak canggung lantaran habis bahan obrolan.
“Lalu
siapa yang menang?” Aku menanggapi masih dengan sisa tawa.
“Akulah.”
“Hebat.”
Aku
kembali tertawa, kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya. Kamu pun ikut
tertawa, yang di telingaku terdengar merdu sekali. Mungkin suatu hari nanti aku
akan benar-benar merindukan tawa ini.
“Tapi,
lebih hebat kamu, Sa.”
“Eh, aku?
Kenapa memangnya? Aku gak pernah berantem sama tikus, gak berminat tepatnya,” balasku
dengan perasaan geli saat teringat makhluk kecil berbulu yang berisik di
loteng.
“Iya,
kamu hebat bisa membuatku rindu.”
Aku
tertawa lagi, tetapi tak lama. Detik berikutnya aku bertanya serius, “Kamu
sekarang lagi rindu?”
“Enggak.
Rindunya tadi, sekarangkan sudah mengobrol denganmu.”
“Ah,
benar juga.”
Obrolan-obrolan
ringan itu berlanjut hingga malam kian larut, yang awalnya hanya membicarakan
hobi, mendadak berbicara keinginan di masa depan. Bukan tentang kebersamaan,
lebih kepada harapan yang kurajut diam-diam untuk bersama.
Ya,
sampai hari di mana kita menjadi lebih dekat, tak pernah ada kesepakatan untuk
menjalin kisah. Mungkin belum.
***
Aku
tersentak dengan nada dering di ponsel yang kuletakkan di atas nakas. Di antara
tumpukan buku catatan dan novel yang belum sempat kubaca. Padahal, telah kubeli
sejak beberapa bulan lalu.
Sebuah
pesan yang tentu saja bukan darimu. Terakhir kali kamu mengatakan ponselmu
mendadak kambuh penyakitnya dan harus disembuhkan terlebih dahulu. Entah sampai
kapan, yang jelas saat itu kamu tak memintaku menunggu, apalagi merindu.
Katamu lagi,
rindu sendirian itu berat. Lebih baik bersama-sama agar dapat dipikul.
Meskipun begitu, bagiku sama saja. Mau sendiri atau
berdua, jika tak berujung pada temu, rindu tetaplah berat. Tak semua orang akan
kuat menanggungnya. Namun, aku sedikit
merasa lega, karena rinduku tak melulu meminta temu, sekadar ingin mendengar suara
dan kembali berbagi cerita.
Waktu
mengajarkanku banyak hal tentang bagaimana menyukai seseorang. Tentang menjaga
batasan juga privasi. Lebih menyenangkan lagi, aku bisa kembali menulis lebih
banyak dari sebelumnya. Setidaknya aku tak benar-benar berada dalam fase
kesedihan akibat terlalu banyak merindukan.
Aku
menyesap kopi, kemudian membalas pesan seorang teman yang kukenal dari dunia
maya. Lalu, kembali mengenangmu. Namun, kali ini aku memutuskan untuk menuliskannya.
Supaya orang-orang tahu, merindu tak semenakutkan itu. Menyukai tanpa saling
mengakui tak semenyedihkan yang orang-orang katakan. Dalam hal ini aku
ingin orang-orang menyadari, adakalanya kita—bukan aku kamu semata—menikmati
perasaan itu sendiri.
Bumi
Rafflesia, 9 Januari 2020
Aiyu A
Gaara, gadis penikmat kopi dan sepi. Diam-diam menyukai senja dan kamu. Saat
ini tengah berjuang dengan naskah dan kisahnya di dunia nyata. Salam literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.