Jumat, 17 Januari 2020

#Kamis_Cerpen - Bidadari Pengganti oleh Imroatul Mufidah - Sastra Indonesia Org



Sumber picture by Google




Bidadari Pengganti
Oleh: Imroatul Mufidah


Aku duduk sendiri menatap langit yang penuh dengan gemerlap kembang api. Suara terompet terdengar riuh rendah. Mereka bersorak gembira menyambut tahun yang baru. Hanya aku yang masih saja meneteskan air mata, mengenang tahun yang sangat berat untukku. Jika mereka berusaha merelakan masa lalu, aku susah payah melupakan masa lalu. Tidak! Kenangan lebih tepatnya. Kenangan akan seorang bidadari yang sempat singgah dalam hidupku.
"Aku tidak ingin menikah denganmu," ucap Laras datar.
Senyuman di wajahku lenyap begitu saja. Aku tidak percaya dia akan mengatakan itu. Hari ini kami baru saja merayakan pesta kelulusan. Gelar sarjana baru saja kami raih. Saat seharusnya kami berpikir serius dengan masa depan kami, dia malah ingin menyerah.
Ada masalah? Tidak, aku tidak bermasalah dengannya. Justru kami saling mendukung belakangan ini. Entah kenapa, tiba-tiba dia memilih berpisah.
Laras mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Dia menulis sebuah perjanjian, lalu membubuhkan tanda tangan di bawahnya.
"Tanda tangan di sini!" perintahnya padaku. Aku masih memandangnya tidak percaya.
"Ayolah!" paksanya sekali lagi.
Laras meraih tanganku, dan memaksaku membubuhkan tanda tangan.
"Perjanjian ini sah! 3 tahun lagi kita akan bertemu di sini. Jika saat itu kamu bisa memberiku mahar rumah beserta isinya, aku mau menikah denganmu. Jika tidak? Kita benar-benar akan putus," tuturnya tanpa beban, "simpan buku ini, ya!" lanjutnya, setelah itu dia pergi meninggalkanku sendiri.
Saat itu aku diam saja. Itulah kesalahanku. Seharusnya berlari mengejarnya. Namun tidak, aku hanya diam mematung, tidak percaya dia akan pergi meninggalkanku.
Laras benar-benar menghilang. Tidak lagi mendengar kabarnya. Namun, aku tidak ingin larut dalam kesedihan. Aku masih punya satu harapan, bersatu lagi dengannya. Berpegang pada janji yang telah kami buat, aku yakin akan kembali bersamanya.
Aku mulai fokus dengan pekerjaan. Menjadi karyawan di sebuah pabrik, serta membuka usaha warung kopi sebagai sambilan. Bagiku waktu adalah uang. Aku harus bisa membeli rumah mewah beserta isinya untuk Laras.

***

Seminggu lagi genap 3 tahun Laras meninggalkanku. Itu berarti tiba saatnya kami bertemu. Aku baru saja menandatangani sertifikat rumah.
Ya! Aku berhasil membeli hunian mewah seperti janji yang pernah kami sepakati. Tidak lagi menjadi karyawan pabrik. Sekarang aku adalah pemilik cafe ternama di kota ini. Serta beberapa cabang lainnya. Usaha tidak mengkhianati hasil.
Tiba-tiba gawaiku berdering. Sebuah nomor tanpa nama memanggil. Tanpa banyak berpikir kugeser gambar gagang telepon berwarna hijau.
"Halo?" sapaku.
"Assalamu'alaikum," sahut seseorang dari seberang.
Aku terdiam, aku kenal betul dengan suara itu. Suara serak-serak basah milik wanita yang kucintai.
"Kau ...?"
"Jangan berdiri saja seperti orang kesambet, buruan ke sini!"
Aku makin bingung, bagaimana dia tahu aku tengah berdiri sendiri dan kebingungan. Aku mulai menoleh ke sana ke mari. Saat itulah kulihat sosok wanita berhijab merah muda serta gamis bunga-bunga. Ada seikat bunga di tangannya. Dia melambai padaku.
Dia adalah Larasku, wanita yang kucintai. Dia telah datang, lebih cepat dari yang dijanjikannya. Aku matikan sambungan telepon dan segera berlari ke arahnya.
Napasku masih tidak beraturan saat tepat berada di depannya. Gadis itu tersenyum manis ke arahku.
Aliran darahku terasa panas. Ada rindu yang mendera dan berontak ingin segera diobati. Namun, aku tahu tidak boleh menyentuhnya. Kami bukan muhrim dan selalu menjaga batasan sejak dulu, meski status kami adalah pacar.
Aku tidak mau menunggu lagi. Aku tarik pergelangan tangannya yang tertutup gamis dan membawanya menuju masjid terdekat. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa akan langsung menikahi saat bertemu dengannya.
Aku tahu jika dia sudah tidak memiliki ayah juga saudara laki-laki. Jadi, aku bisa menikahinya dengan wali hakim atau kiai.
Seorang ustaz pemimpin pondok duduk di hadapan kami. Serta dua orang santri yang bersedia menjadi saksi.
"Apa yang kau lakukan?" bisiknya.
"Menikahimu, aku tagih janji yang kau buat. Ini adalah sertifikat rumah, lengkap dengan isinya. Menikahlah denganku!" pintaku setulus hati.
Mata bulatnya mengembun, ada sinar bahagia dari sorot mata tajamnya. Dia mengangguk perlahan disertai melelehnya bulir air mata bahagia.
Kini Laras telah sah menjadi istriku secara agama. Aku akan mengurus berkas pernikahan setelah ini. Sekarang yang terpenting Laras telah menjadi milikku.
Bahagia sudah pasti, rumah baru serta pendamping yang kucintai dapat kumiliki dalam satu waktu. Nikmat mana yang kau dustakan?
Sepanjang perjalanan aku tidak melepaskan genggaman tanganku dari jemarinya. Sesekali sebuah kecupan kuhadiahkan di punggung tangannya. Wajah istriku bersemu merah menambah kecantikan pada dirinya.
"Mau makan malam di mana?" tanyaku padanya.
"Kita pulang saja, biar aku masak untukmu," jawabnya dengan seulas senyum.
Masakan buatannya sangatlah nikmat. Aku benar-benar menjadi manusia paling beruntung di dunia. Laras melayaniku selayaknya istri melayani suami. Malam itu menjadi malam terindah dalam hidupku.



***

Sinar mentari pagi menyelinap di antara kelambu di kamarku. Kilaunya membuatku terjaga dari tidur. Untuk pertama kalinya aku ketinggalan Subuh. Namun, entah kenapa aku tidak menyesalinya. Tanpa sadar jika itu adalah penyesalan terdalamku.
Aku masih menggeliat malas. Aku tarik selimut menutupi seluruh tubuh. Bayangan akan kejadian semalam terngiang di benak. Kucubit lenganku memastikan jika itu bukan mimpi. Aku merasa kesakitan.
Namun, aku menyadari jika rumah ini sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan istriku. Aku mulai merasa takut. Takut semua hanya khayalanku.
Kubuka selimut, kucari sesuatu yang membuktikan itu bukan sekadar mimpi atau khayalan. Aku benar, ada bercak darah pada seprai. Kami melakukannya semalam.
Aku bangkit dari ranjang. Kubuka kamar mandi dan tidak menemukan apa pun. Aku keluar kamar mencari sosok yang selalu mengisi hatiku.
"Laras?!" teriakku, berharap mendapat jawaban, tetapi nihil.
Aku mulai panik dan terus berteriak memanggilnya. Hanya suaraku yang menggema di sana. Tidak ada lagi suara lain. Aku terus berjalan keliling rumah sembari terus memanggil namanya. Nihil, dia tidak ada di mana pun. Aku mulai putus asa.
Aku berjalan lunglai kembali ke rumah. Seikat bunga mawar yang dibawanya kemarin masih segar di atas meja makan. Sebuah kartu nama disematkan di sana.
Kartu nama itu menunjukkan di mana bunga itu dibeli. Tanpa berpikir lagi aku langsung ke sana. Berharap mendapatkan informasi tentangnya.
"Oh, Laras? Dia pasien di rumah sakit depan. Coba cari di sana!" jawab pemilik toko itu terlihat akrab dengan Laras.
Tanpa pikir panjang aku segera menuju rumah sakit yang dimaksud. Sebutan pasien sedikit mengganggu kepalaku.
"Aku mencari seorang wanita bernama Laras. Apakah dia benar pasien di sini?" tanyaku, sesampainya di meja informasi.
"Kau Dirga?" tanya seorang gadis yang kebetulan juga ada di sana. Aku menatap gadis itu bingung. Sekilas wajahnya sangat mirip dengan Laras.
"Aku, Laila. Adik kandung mbak Laras," ucapnya, seperti mengerti maksudku.
"Jadi, Laras sungguh ada di sini?"
Laila mengangguk dan mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya.
Kami berjalan beriringan, melewati beberapa lorong dan sampai pada sebuah kamar. Laila mempersilakan aku memasuki kamar itu.
Mataku terbuka lebar dan bibirku menganga. Aku melihat Laras terbaring tidak berdaya di atas ranjang bernuansa biru muda. Wajahnya begitu pucat ditambah beberapa alat kedokteran yang dipasang pada tubuhnya.
"Tiga tahun lalu mbak Laras didiagnosa mengidap penyakit kanker paru-paru. Dia merahasiakannya darimu, karena dia pikir setelah menjalani pengobatan selama tiga tahun dia akan sembuh. Kenyataannya kondisinya semakin memburuk. Mungkin waktunya sudah tidak lama lagi," terang Laila.
Ada sesuatu dalam hatiku yang menusuk begitu dalam. Rasanya amat sakit. Tenggorokanku kering dan bibirku kelu. Aku bergeming pada tempatku. Pelupuk mataku mulai panas dan buliran bening mengalir di pipi.

***

6 bulan berlalu. Kini aku berada di penghujung tahun. Duduk sendiri meratap sepi. Mengenang kepergian sang bidadari. Berharap datangnya bidadari pengganti.
"Permisi," tegur sebuah suara yang mengacaukan lamunanku.
Aku mengusap pipi kasar. Malu rasanya jika sampai ada yang tahu seorang pria menangis.
"Iya," sahutku menoleh pada sumber suara.
Aku tercengang. Mataku tidak berkedip memandang gadis yang berdiri di hadapanku.
"Hello?" tegurnya.
"Maaf," jawabku coba mengembalikan kesadaran.
Gadis di hadapanku ini mengetuk hati. Sinar mata, garis wajah, dan bibir tipisnya mengingatkanku pada Laras. Meski mereka terlihat berbeda, tetapi aku merasakan getaran yang sama saat bersama Laras.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku.
"Anda Dirga, kan? Aku Zahra, sahabat Laras. Aku yang memintamu untuk datang. Aku ingin menepati janjiku padanya," jelasnya.
"Janji?"
"Sebelum kematiannya, Laras menyumbangkan matanya untuk diriku. Dia tidak ingin imbalan apa pun. Dia hanya ingin aku menjadi bidadari pengganti untuk dirimu. Aku tahu ini konyol, tetapi aku ingin menepati janjiku. Jika kau berkenan, mari kita coba taaruf," ucapnya lagi.
Pantas saja, sorot matanya begitu kukenali. Rupanya mata itu memang miliknya. Aku tidak tahu harus bahagia atau tidak. Namun, aku merasa memiliki secercah harapan, seperti mendapat seteguk air dalam kehausan. Setidaknya ada bagian dari dirinya yang harus kujaga dari gadis ini.
Tahun telah berganti. Tahun yang baru dengan hidup yang baru. Dia memang harus pergi, tetapi hidupku harus terus berlanjut, dengan mengucap bismillah dalam hati. Aku ulurkan tangan dan berjabat dengannya, sebagai jawaban bahwa aku menerima hubungan baru dengan bidadari yang baru di tahun yang baru.

Surabaya, 1 Januari 2020

Biodata:

Wanita biasa dengan mimpi luar biasa. Mencoba merajut asa demi menggapai cita-cita. Memulai dengan pena, semoga dapat diapresiasi oleh pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.