Sumber picture by Google |
Bidadari Pengganti
Oleh: Imroatul Mufidah
Aku duduk sendiri
menatap langit yang penuh dengan gemerlap kembang api. Suara terompet terdengar
riuh rendah. Mereka bersorak gembira menyambut tahun yang baru. Hanya aku yang
masih saja meneteskan air mata, mengenang tahun yang sangat berat untukku. Jika
mereka berusaha merelakan masa lalu, aku susah payah melupakan masa lalu.
Tidak! Kenangan lebih tepatnya. Kenangan akan seorang bidadari yang sempat
singgah dalam hidupku.
"Aku tidak ingin
menikah denganmu," ucap Laras datar.
Senyuman di wajahku
lenyap begitu saja. Aku tidak percaya dia akan mengatakan itu. Hari ini kami
baru saja merayakan pesta kelulusan. Gelar sarjana baru saja kami raih. Saat
seharusnya kami berpikir serius dengan masa depan kami, dia malah ingin
menyerah.
Ada masalah? Tidak,
aku tidak bermasalah dengannya. Justru kami saling mendukung belakangan ini.
Entah kenapa, tiba-tiba dia memilih berpisah.
Laras mengambil sebuah
buku dari dalam tasnya. Dia menulis sebuah perjanjian, lalu membubuhkan tanda
tangan di bawahnya.
"Tanda tangan di
sini!" perintahnya padaku. Aku masih memandangnya tidak percaya.
"Ayolah!"
paksanya sekali lagi.
Laras meraih tanganku,
dan memaksaku membubuhkan tanda tangan.
"Perjanjian ini
sah! 3 tahun lagi kita akan bertemu di sini. Jika saat itu kamu bisa memberiku
mahar rumah beserta isinya, aku mau menikah denganmu. Jika tidak? Kita
benar-benar akan putus," tuturnya tanpa beban, "simpan buku ini, ya!"
lanjutnya, setelah itu dia pergi meninggalkanku sendiri.
Saat itu aku diam
saja. Itulah kesalahanku. Seharusnya berlari mengejarnya. Namun tidak, aku
hanya diam mematung, tidak percaya dia akan pergi meninggalkanku.
Laras benar-benar menghilang.
Tidak lagi mendengar kabarnya. Namun, aku tidak ingin larut dalam kesedihan.
Aku masih punya satu harapan, bersatu lagi dengannya. Berpegang pada janji yang
telah kami buat, aku yakin akan kembali bersamanya.
Aku mulai fokus dengan
pekerjaan. Menjadi karyawan di sebuah pabrik, serta membuka usaha warung kopi
sebagai sambilan. Bagiku waktu adalah uang. Aku harus bisa membeli rumah mewah
beserta isinya untuk Laras.
***
Seminggu lagi genap 3
tahun Laras meninggalkanku. Itu berarti tiba saatnya kami bertemu. Aku baru
saja menandatangani sertifikat rumah.
Ya! Aku berhasil
membeli hunian mewah seperti janji yang pernah kami sepakati. Tidak lagi
menjadi karyawan pabrik. Sekarang aku adalah pemilik cafe ternama di kota ini. Serta beberapa cabang lainnya. Usaha
tidak mengkhianati hasil.
Tiba-tiba gawaiku
berdering. Sebuah nomor tanpa nama memanggil. Tanpa banyak berpikir kugeser
gambar gagang telepon berwarna hijau.
"Halo?"
sapaku.
"Assalamu'alaikum,"
sahut seseorang dari seberang.
Aku terdiam, aku kenal
betul dengan suara itu. Suara serak-serak basah milik wanita yang kucintai.
"Kau ...?"
"Jangan berdiri
saja seperti orang kesambet, buruan ke sini!"
Aku makin bingung,
bagaimana dia tahu aku tengah berdiri sendiri dan kebingungan. Aku mulai
menoleh ke sana ke mari. Saat itulah kulihat sosok wanita berhijab merah muda
serta gamis bunga-bunga. Ada seikat bunga di tangannya. Dia melambai padaku.
Dia adalah Larasku,
wanita yang kucintai. Dia telah datang, lebih cepat dari yang dijanjikannya.
Aku matikan sambungan telepon dan segera berlari ke arahnya.
Napasku masih tidak
beraturan saat tepat berada di depannya. Gadis itu tersenyum manis ke arahku.
Aliran darahku terasa
panas. Ada rindu yang mendera dan berontak ingin segera diobati. Namun, aku
tahu tidak boleh menyentuhnya. Kami bukan muhrim dan selalu menjaga batasan sejak
dulu, meski status kami adalah pacar.
Aku tidak mau menunggu
lagi. Aku tarik pergelangan tangannya yang tertutup gamis dan membawanya menuju
masjid terdekat. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa akan langsung
menikahi saat bertemu dengannya.
Aku tahu jika dia
sudah tidak memiliki ayah juga saudara laki-laki. Jadi, aku bisa menikahinya
dengan wali hakim atau kiai.
Seorang ustaz pemimpin
pondok duduk di hadapan kami. Serta dua orang santri yang bersedia menjadi
saksi.
"Apa yang kau
lakukan?" bisiknya.
"Menikahimu, aku
tagih janji yang kau buat. Ini adalah sertifikat rumah, lengkap dengan isinya.
Menikahlah denganku!" pintaku setulus hati.
Mata bulatnya
mengembun, ada sinar bahagia dari sorot mata tajamnya. Dia mengangguk perlahan
disertai melelehnya bulir air mata bahagia.
Kini Laras telah sah
menjadi istriku secara agama. Aku akan mengurus berkas pernikahan setelah ini.
Sekarang yang terpenting Laras telah menjadi milikku.
Bahagia sudah pasti,
rumah baru serta pendamping yang kucintai dapat kumiliki dalam satu waktu. Nikmat
mana yang kau dustakan?
Sepanjang perjalanan
aku tidak melepaskan genggaman tanganku dari jemarinya. Sesekali sebuah kecupan
kuhadiahkan di punggung tangannya. Wajah istriku bersemu merah menambah
kecantikan pada dirinya.
"Mau makan malam
di mana?" tanyaku padanya.
"Kita pulang
saja, biar aku masak untukmu," jawabnya dengan seulas senyum.
Masakan buatannya
sangatlah nikmat. Aku benar-benar menjadi manusia paling beruntung di dunia.
Laras melayaniku selayaknya istri melayani suami. Malam itu menjadi malam
terindah dalam hidupku.
***
Sinar mentari pagi
menyelinap di antara kelambu di kamarku. Kilaunya membuatku terjaga dari tidur.
Untuk pertama kalinya aku ketinggalan Subuh. Namun, entah kenapa aku tidak
menyesalinya. Tanpa sadar jika itu adalah penyesalan terdalamku.
Aku masih menggeliat
malas. Aku tarik selimut menutupi seluruh tubuh. Bayangan akan kejadian semalam
terngiang di benak. Kucubit lenganku memastikan jika itu bukan mimpi. Aku
merasa kesakitan.
Namun, aku menyadari
jika rumah ini sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan istriku. Aku mulai
merasa takut. Takut semua hanya khayalanku.
Kubuka selimut, kucari
sesuatu yang membuktikan itu bukan sekadar mimpi atau khayalan. Aku benar, ada
bercak darah pada seprai. Kami melakukannya semalam.
Aku bangkit dari
ranjang. Kubuka kamar mandi dan tidak menemukan apa pun. Aku keluar kamar
mencari sosok yang selalu mengisi hatiku.
"Laras?!"
teriakku, berharap mendapat jawaban, tetapi nihil.
Aku mulai panik dan
terus berteriak memanggilnya. Hanya suaraku yang menggema di sana. Tidak ada
lagi suara lain. Aku terus berjalan keliling rumah sembari terus memanggil
namanya. Nihil, dia tidak ada di mana pun. Aku mulai putus asa.
Aku berjalan lunglai
kembali ke rumah. Seikat bunga mawar yang dibawanya kemarin masih segar di atas
meja makan. Sebuah kartu nama disematkan di sana.
Kartu nama itu
menunjukkan di mana bunga itu dibeli. Tanpa berpikir lagi aku langsung ke sana.
Berharap mendapatkan informasi tentangnya.
"Oh, Laras? Dia
pasien di rumah sakit depan. Coba cari di sana!" jawab pemilik toko itu
terlihat akrab dengan Laras.
Tanpa pikir panjang
aku segera menuju rumah sakit yang dimaksud. Sebutan pasien sedikit mengganggu
kepalaku.
"Aku mencari
seorang wanita bernama Laras. Apakah dia benar pasien di sini?" tanyaku,
sesampainya di meja informasi.
"Kau Dirga?"
tanya seorang gadis yang kebetulan juga ada di sana. Aku menatap gadis itu
bingung. Sekilas wajahnya sangat mirip dengan Laras.
"Aku, Laila. Adik
kandung mbak Laras," ucapnya, seperti mengerti maksudku.
"Jadi, Laras
sungguh ada di sini?"
Laila mengangguk dan
mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya.
Kami berjalan
beriringan, melewati beberapa lorong dan sampai pada sebuah kamar. Laila
mempersilakan aku memasuki kamar itu.
Mataku terbuka lebar
dan bibirku menganga. Aku melihat Laras terbaring tidak berdaya di atas ranjang
bernuansa biru muda. Wajahnya begitu pucat ditambah beberapa alat kedokteran
yang dipasang pada tubuhnya.
"Tiga tahun lalu
mbak Laras didiagnosa mengidap penyakit kanker paru-paru. Dia merahasiakannya
darimu, karena dia pikir setelah menjalani pengobatan selama tiga tahun dia
akan sembuh. Kenyataannya kondisinya semakin memburuk. Mungkin waktunya sudah
tidak lama lagi," terang Laila.
Ada sesuatu dalam
hatiku yang menusuk begitu dalam. Rasanya amat sakit. Tenggorokanku kering dan
bibirku kelu. Aku bergeming pada tempatku. Pelupuk mataku mulai panas dan buliran
bening mengalir di pipi.
***
6 bulan berlalu. Kini
aku berada di penghujung tahun. Duduk sendiri meratap sepi. Mengenang kepergian
sang bidadari. Berharap datangnya bidadari pengganti.
"Permisi,"
tegur sebuah suara yang mengacaukan lamunanku.
Aku mengusap pipi
kasar. Malu rasanya jika sampai ada yang tahu seorang pria menangis.
"Iya,"
sahutku menoleh pada sumber suara.
Aku tercengang. Mataku
tidak berkedip memandang gadis yang berdiri di hadapanku.
"Hello?"
tegurnya.
"Maaf,"
jawabku coba mengembalikan kesadaran.
Gadis di hadapanku ini
mengetuk hati. Sinar mata, garis wajah, dan bibir tipisnya mengingatkanku pada
Laras. Meski mereka terlihat berbeda, tetapi aku merasakan getaran yang sama
saat bersama Laras.
"Ada yang bisa
kubantu?" tanyaku.
"Anda Dirga, kan?
Aku Zahra, sahabat Laras. Aku yang memintamu untuk datang. Aku ingin menepati
janjiku padanya," jelasnya.
"Janji?"
"Sebelum
kematiannya, Laras menyumbangkan matanya untuk diriku. Dia tidak ingin imbalan
apa pun. Dia hanya ingin aku menjadi bidadari pengganti untuk dirimu. Aku tahu
ini konyol, tetapi aku ingin menepati janjiku. Jika kau berkenan, mari kita
coba taaruf," ucapnya lagi.
Pantas saja, sorot
matanya begitu kukenali. Rupanya mata itu memang miliknya. Aku tidak tahu harus
bahagia atau tidak. Namun, aku merasa memiliki secercah harapan, seperti
mendapat seteguk air dalam kehausan. Setidaknya ada bagian dari dirinya yang
harus kujaga dari gadis ini.
Tahun telah berganti.
Tahun yang baru dengan hidup yang baru. Dia memang harus pergi, tetapi hidupku
harus terus berlanjut, dengan mengucap bismillah dalam hati. Aku ulurkan tangan
dan berjabat dengannya, sebagai jawaban bahwa aku menerima hubungan baru dengan
bidadari yang baru di tahun yang baru.
Surabaya, 1 Januari
2020
Biodata:
Wanita biasa dengan
mimpi luar biasa. Mencoba merajut asa demi menggapai cita-cita. Memulai dengan
pena, semoga dapat diapresiasi oleh pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.