Karena
Kamu Pangeranku Part 20
Oleh: Titin Akhiroh
Mengulang kebersamaan, merupakan tujuan Endra dan
Valerie hari ini. Sepulang dari restoran, ia membawa mobilnya menuju tempat
paling berkesan bersama Valerie, Pantai Anyer. Perjalanan berlalu menyenangkan.
Sama menyenangkannya dengan kebersamaan mereka dulu. Namun, ada yang berbeda
kali ini, yakni perasaan cinta yang semakin mengakar kuat dalam hati mereka.
Cinta yang membutuhkan banyak waktu dan luka dalam proses penempaannya.
Keadaan pantai menjelang sore cukup ramai, dengan
beberapa pasangan yang sedang memadu kasih. Mungkin mereka ingin mendapatkan
momen indah saat matahari terbenam di ufuk barat, sebagai latar yang melengkapi
kencan mereka. Tangan kiri Endra meraih dan menggenggam erat tangan Valerie.
Keduanya berjalan menuju bibir pantai. Suara gulungan ombak yang bertumbukkan,
menjadi harmoni syahdu mengiringi langkah mereka.
Endra begitu sabar menunggu langkah pelan Valerie
akibat stilleto yang dipakainya. Alhasil karena kesulitan melangkah, Valerie
melepas alas kakinya. Dengan begitu, ia bisa merasakan pasir yang halus dengan
bertelanjang kaki. Endra tersenyum, lalu membimbingnya ke tempat penuh
kenangan.
Endra mengempaskan diri lebih dulu di pasir. Disusul
Valerie yang duduk dekat dengannya. Pandangan mereka sama-sama ke depan. Menatap
ombak yang bergulung tanpa Lelah, dengan embusan angin kencang menerpa wajah
mereka, sangat menenangkan.
“Meski tidak ada bintang ternyata pemandangan pantai
di sore hari juga indah, ya.” Valerie yang pertama kali membuka percakapan.
“Memang indah, tapi tetap saja suasananya tidak
sama,” sahut Endra dan Valerie mengangguk.
“Endra ....”
Endra menoleh. “Ada apa, Rie?”
“Ehm, aku ingin tahu tentang dirimu selama beberapa
tahun terakhir.” Valerie menatap dalam wajah tampan Endra.
“Tidak ada yang spesial.” Endra menyahut. Namun,
Valerie menatapnya ingin tahu. Mau tak mau ia pun mulai bercerita. “Setelah
kamu pergi, aku memilih pergi ke Tokyo dan kuliah di sana. Setelah lulus, aku
pergi ke Jerman untuk memperdalam kardiologi. Dua tahun yang lalu, aku baru kembali
ke Jakarta.”
“Apa kamu pernah pulang ke rumah?” tanya Valerie
pelan. Ia melihat kepala Endra menggeleng, ada luka di dalam matanya.
“Aku baru menemui Mama satu minggu yang lalu.”
Valerie tersentak kaget.
“Sama sepertimu, aku juga punya luka lama di sini,”
ucap Endra dengan menunjuk dadanya sendiri. “Jika kamu terluka karena kepergian
Ibu dan kaburnya ayahmu. Maka aku terluka karena kepergian Papa dan penolakan
mamaku.”
Valerie baru tersadar bahwa ia tidak tahu banyak
tentang Endra. “Penolakan?”
Endra mengangguk. “Mama memang menyayangiku, tapi
tidak dengan wajahku. Wajahku sama dengan orang yang dibencinya. Mama baru
menyadari keegoisannya, setelah aku tidak lagi menampakkan wajahku selama
bertahun-tahun. Mama mulai menyesal, dan seminggu yang lalu kami baru
meruntuhkan tembok pembatas di antara kami.” Endra mengakhiri ceritanya dengan
tersenyum tipis.
Ada cubitan di hati Valerie. Ternyata tidak hanya
dirinya yang tumbuh dengan luka, tapi juga Endra. Merasa bersalah, saat ia
bertindak egois karena pernah menembak kata-kata kasar pada lelaki itu saat di
villa Juno. Ia mengelus pipi kanan Endra dengan penuh kasih.
“Aku baru sadar kalau tidak tahu tentang hidupmu
sama sekali. Ternyata aku benar-benar egois, membiarkanmu menanggung bebanku
sementara aku tidak pernah tahu bebanmu.”
Endra menatap Valerie, lalu tersenyum. “Aku pernah
bilang padamu. Cukup cintai aku, maka aku tidak peduli dengan yang lain.”
“Tetap saja itu tidak adil.”
“Memang, tapi yang terpenting aku punya kamu. Dan
aku kira itu sudah lebih dari berkecukupan.”
Ya Allah ... kenapa Kau bisa menciptakan pria
sehebat ini?
Sungguh ia merasa berdosa sudah menyakiti Endra cukup lama.
Sungguh ia merasa berdosa sudah menyakiti Endra cukup lama.
“Haaah, sudah cukup cerita tentangku. Sekarang,
ceritakan semua tentangmu waktu di Jogja!” perintah Endra dengan tatapan tajam
mengarah pada Valerie.
“Aku kuliah di UGM. Aku kost dekat kampus. Sama
seperti saat SMA, aku juga bekerja sampingan. Pagi hari aku kuliah, setelah
kuliah bekerja di restoran. Setiap hari Sabtu dan Minggu, aku mengajar privat
bahasa Inggris dan matematika untuk anak SMP dan SMA.”
Endra masih setia mendengar cerita Valerie seraya
memandang wajah cantiknya.
“Aku bekerja dan belajar keras, sehingga akhirnya
mendapat beasiswa untuk kuliah S2 di UCL. Aku pergi ke London. Di sana, sambil
kuliah aku bekerja di sebuah toko online kebetulan milik orang tua temanku.
Satu tahun di UCL, aku menjadi asisten dosen, saat aku meraih gelar magister
langsung diangkat jadi dosen.”
Endra tersenyum. “Lalu, bagaimana bisa kenal
Eduard?”
“Eduard adalah anak dari pemilik toko online, tempat
aku bekerja dulu. Kami juga seangkatan. Dia sangat baik, itulah kenapa aku bisa
dekat dengannya. Kami saling bertukar cerita masalah pribadi. Dimulai dengan
aku bercerita tentangmu, dan dia yang bercerita tentang orientasi seksualnya,”
terang Valerie.
“Tentangku?” tanya Endra heran dan Valerie
mengangguk.
“Suatu hari Eduard bilang, ada temannya yang ingin
berkenalan dan dekat denganku. Tapi, aku menolaknya karena aku masih tak mau
mengalihkan hatiku darimu.”
Wajah Endra sedikit memanas. Untuk pertama kalinya,
ia merasa tersanjung dicintai sebesar itu oleh seseorang, dan orang itu adalah
Valerie, Peri Valentine-nya. “Lalu, kenapa Eduard harus memanggilmu Sweetie?
tanya Endra menahan geram.
Valerie menoleh. “Kamu masih cemburu?” Ia menahan
tawa melihat wajah Endra yang sedikit mengeras. “Aku sendiri juga tidak tahu.
Eduard bilang, panggilan itu cocok buatku yang bertubuh mungil. Meski aku
marah, dia tetap memanggilku demikian. Bahkan Will, partner Eduard, juga
memanggilku dengan sebutan yang sama. Mereka memang menyebalkan. Valerie
bercerita, sambil tersenyum mengingat Eduard dan Will yang selalu menjaganya
saat berada di negeri orang.
“Aku jadi ingin mengenal Eduard dan Will.”
Valerie heran mendengar ucapan Endra.
Valerie heran mendengar ucapan Endra.
“Aku ingin berterima kasih pada mereka, karena telah
menjaga Valerieku saat aku tidak bisa menjaganya.”
Wajah, telinga, dan mata Valerie memanas. Ia malu
sekaligus terharu dengan ucapan Endra. “Kalau begitu kamu harus pergi ke
London,” ujarnya untuk menutupi malu.
Endra tampak berpikir sejenak. “Mungkin aku perlu
mengambil cutiku, lalu pergi denganmu.”
Mata Valerie membulat kaget. Tadi ia hanya bercanda
dengan ucapannya. Namun, siapa sangka jika Endra menanggapinya dengan serius.
“Aku penasaran bagaimana tempat kekasihku berada
selama ini.”
Tanpa Endra duga, tangan Valerie sudah melingkar di
lehernya. Sebuah kecupan pipi ia dapatkan kemudian. Matanya membulat sempurna
yang dibalas Valerie dengan senyuman lebar.
“Sejak lama, aku ingin duduk bersamamu di Saint
James Park sembari menikmati fish and chips.”
Endra terkekeh pelan, lalu melingkarkan tangannya di
pinggang ramping Valerie.
“Keinginanmu akan terwujud sebentar lagi.”
Dengan malu-malu, Valerie mengangguk kembali memeluk
leher Endra.
“I love you, Valerie,” bisik Endra.
“I love you too, Endra.” Valerie menyembunyikan
wajah meronanya di leher putih Endra.
“Setelah ini, mau ke mana lagi?” tanya Endra tanpa
melepas dekapannya.
“Makan,” sahut Valerie cepat.
“Pop mie lagi?” Valerie mengangguk. Lalu, keduanya
tertawa.
“Dulu, kita berakhir di paviliun. Sekarang, kita
akan berakhir di rumahku.”
Mendadak tubuh Valerie menegang. Rumah? Apakah rumah
sama yang menjadi awal mimpi buruknya dulu? Valerie menggeleng. Ia mulai takut
kebahagiaan yang baru saja diteguknya terlepas lagi. Pegangan tangan Valerie di
leher Endra perlahan terlepas. Ia tidak ingin pergi ke tempat terkutuk itu.
Sadar akan kepanikan Valerie, tangan Endra menangkup
pipinya. “Yang aku maksud rumah bukan tempat yang dulu kutinggali. Tapi, ini
rumahku sendiri, rumah kita nanti.”
Endra bisa melihat sinar ketakutan dalam mata
Valerie. Wajahnya yang merona berubah pucat pasi. Sepertinya Valerie memang
terlalu membenci Diandra dan Budi. “Jangan takut, Rie! Mereka tidak punya hak
memisahkan kita lagi.”
♥♥♥♥
Valerie tidak bisa menyembunyikan kekagumannya
ketika melihat rumah Endra. Rumah bergaya Jepang modern, berdiri anggun dengan
nuansa warna putih dan wood. Taman sekitar yang asri dengan rumput yang tertata
rapi. Beberapa tanaman Tabepuya semakin mempermanis pemandangan. Benar-benar
rumah impian Endra. Separuh darah Jepang dalam diri lelaki itu sepertinya
berpengaruh pada selera. Sedari dulu, ia memang begitu menyukai segala sesuatu
berbau Jepang. Untuk itulah, ia ingin memiliki rumah berciri khas negeri
sakura.
Valerie menutup pintu mobil, disusul Endra yang
sudah berjalan memutar untuk menarik tangannya masuk ke rumah. "Apa kamu
sendiri yang merancang rumah ini?” tanyanya saat Endra membuka pintu rumah.
“Juno yang melakukannya, aku hanya menyumbang ide.”
Valerie menganggukkan kepalanya.
“Ayo masuk, Rie!” ajak Endra.
Memasuki ruang tamu, ia kembali kagum dengan keadaan
dalam rumah yang tak kalah menakjubkan. Perabotan mahal tertata baik sesuai
tempatnya. Langkah Valerie semakin ke dalam. Tatapannya jatuh pada lukisan yang
tergantung di ruang tengah. Lukisan wajah Endra yang ia buat.
“Dari semua yang ada di sini. Itu yang paling indah.
Terima kasih sudah melukis wajahku seindah itu.” Endra menatap Valerie, lalu
menunduk untuk mengecup pipi kanan wanitanya.
“Sama-sama. Mungkin setelah ini, aku akan sering
melukismu.”
“Oke, tidak masalah buatku.”
Langkah Valerie bergerak mendekati sofa ruang tengah
yang berwarna gading, dan duduk di atasnya. Pandangannya masih melihat
sekeliling. “Rumah sebesar ini hanya kamu tinggali sendiri?”
Endra menggeleng. “Ada asisten rumah tangga, tapi
mereka ada di paviliun belakang. Mereka hanya ada di depan saat pagi sampai
sore,” jawabnya sembari melangkah ke belakang.
Valerie mendengar suara Endra sedang menelepon
seseorang. Tidak berapa lama, lelaki itu sudah kembali, lalu mengambil duduk di
sampingnya. Tangan kanan Endra mengelus lembut rambutnya.
“Aku suka lihat rambut panjangmu,” ucap Endra yang
mulai dengan kebiasaan mengepang rambutnya.
Bibir Valerie mengulum senyum. “Itu karena ada
seseorang yang melarangku potong rambut.”
Endra tersenyum, kemudian mengecup singkat tengkuk
Valerie yang berada tepat di depannya. “Ternyata masih ingat ucapanku.” Ia
bahagia, wanitanya masih mengingat kenangan akan kebersamaan dulu.
Keheningan tercipta di antara mereka. Endra masih
berkonsentrasi dengan rambut Valerie. Sesekali mendaratkan kecupan di pipi atau
leher putih wanitanya. Sementara, Valerie berkutat dengan ponsel untuk memberi
kabar penundaan kepulangan ke London pada Eduard. Seorang wanita empat puluh
tahunan muncul di ruang tengah dengan nampan di tangan. Wanita itu tersenyum
sembari meletakkan dua cangkir teh hijau ke meja.
“Bu Dar, kenalkan ini Valerie,” tukas Endra, saat
wanita yang bernama Darmi itu meletakkan cangkir.
“Malam, Non Valerie,” sapa Bu Darmi.
“Malam, Bu Dar. Panggil Valerie saja.” Valerie
tersenyum manis menyapa asisten rumah tangga Endra.
“Ya ndak sopan kalau cuma manggil nama. Non Valerie
kan calon istrinya Mas Endra, ya.”
Seketika wajah Valerie memerah. Endra terkekeh.
Sementara, Bu Darmi tersenyum penuh arti.
“Non Valerie itu satu-satunya wanita yang diajak Mas
Endra main ke rumah, lho.”
Terkejut dengan fakta baru, Valerie menoleh melihat
Endra yang hanya mengedikkan bahu. Perlahan ia merasakan sesuatu menggelitik
perutnya. Senang saat tahu ia menjadi wanita satu-satunya yang pernah datang ke
rumah seindah ini.
Bu Darmi melihat Endra. “Wah, Mas Endra pintar cari
calon istri. Ayu tenan e, Mas,” ucapnya dengan logat jawa yang kental.
Sementara, wajah Valerie sudah semakin memerah.
“Sudah, Bu Dar, jangan digoda terus. Nanti calon
istri saya bisa pingsan karena malu.” Bu Darmi tertawa pelan, sedangkan Valerie
sudah memukul paha Endra.
“Bu Darmi ini orangnya memang ceplas-ceplos. Kamu
pasti tidak bisa berhenti tertawa kalau melihat interaksi Bu Dar sama Tiga
Sekawan.” Endra sudah selesai menata rambut Valerie.
Setelah mengantarkan tugas mengantar minuman dan
beramah tamah sebentar, Bu Darmi pamit kembali ke paviliun. Meninggalkan
Valerie yang kikuk berdua dengan Endra. Bagaimana ia tak merasa canggung karena
Endra tidak berhenti memandangnya.
“Endra, hentikan! Jangan lihat aku seperti itu!”
Valerie sudah memprotes tingkah Endra yang membuatnya malu tak keruan. Ia
memalingkan wajah, tapi dengan cepat Endra menahannya.
“Kamu masih saja pemalu, ya, Rie. Lalu, gimana cara
kamu bisa berhadapan dengan mahasiswamu?” goda Endra saat menahan wajah Valerie
untuk menatapnya.
“Ya, biasa saja. Mereka kan tidak pernah menggoda
sepertimu saat ini.”
“Baguslah, karena hanya aku yang boleh menggodamu
seperti ini.”
“Iiiish, mana bisa begi--”
“I love you,” sela Endra, hingga membuat Valerie
mematung.
Kini, tangan Endra menangkup pipi Valerie. Ibu
jarinya mengusap pelan pipi dan bibir mungil merah muda gadisnya. “Kamu makin
cantik.”
Tiga kata dari Endra, tapi sudah cukup memantik rasa
panas di wajah dan telinga Valerie. Ditatapnya wajah tampan yang ia rindukan
setengah mati. Dirasakannya sentuhan hangat sang cinta pertama di kulit wajah.
Rasa bahagia sontak menjalar hebat dari ujung saraf, dan bermuara di hatinya.
Sampai tak terasa kelopak matanya mulai mendanau.
“Kenapa?” Endra mengusap sudut mata Valerie yang
sudah basah.
Kepala Valerie menggeleng, lalu mengulas senyum
tipis. “I love you too.”
Endra tersenyum, kemudian mengecup lama kening
Valerie. Meresapi banyaknya cinta untuk wanita istimewanya yang telah kembali.
Ia menjauhkan wajah, mengusap bibir mungil sang kekasih dengan ibu jari.
Perlahan, ia mendekatkan wajahnya kembali, hingga ujung hidungnya bersentuhan
dengan hidung Valerie. Dalam sekejap, bibirnya sudah memagut bibir manis itu.
Percikan rasa hangat mulai menyelimuti hatinya. Ia benar-benar merindukan
saat-saat seperti ini.
Meski sempat menegang, tapi perlahan tubuh Valerie
melemas. Endra tahu betul cara membuatnya melayang. Pagutan bibir terasa begitu
memabukkan, sehingga membawanya dalam pusaran bahagia. Gelenyar rasa asing
menjalar hangat, seolah hendak membuat jantungnya meledak menjadi serpihan.
Valerie merasakan pelukan Endra semakin mengerat di
pinggangnya. Bahkan sebelah telapak tangan lelaki itu melingkupi belakang
lehernya. Seakan tak ingin membiarkan tubuh mereka berjarak.
Naluri alami Valerie mulai ikut bereaksi. Pelan tapi
pasti mengikuti tarian bibir Endra, yang semakin lama kian sulit ia imbangi.
Dengan napas yang semakin berat, ia pasrah saat lelaki Mananta itu
membimbingnya bergerak cepat. Kini, gerakan bibir keduanya semakin lincah.
Saling memberi dan menerima jutaan rindu akibat lama tak bertemu.
Detik terus berlalu hingga beberapa menit
terlampaui. Endra baru melepas bibirnya, saat dirasa napas Valerie mulai
memburu. Bibirnya mengulas senyum tipis mendapati wajah Valerie yang memerah.
Beberapa helai rambut terlepas dari kepangan dan jatuh membingkai wajah mungil
merona yang didambanya, menjadikan wanita itu tampak cantik di matanya. Dengan
masih dikuasai kerinduan yang membuncah, ia kembali memagut bibir Valerie,
lebih lama dan lebih intens. Seolah tidak ingin kehilangan kehangatan, bibirnya
mulai menyusuri dagu dan rahang, lalu bergerak turun ke leher jenjang
wanitanya, meninggalkan tanda kepemilikan di sana.
“En-Endra ... enough.” Valerie sudah tidak mampu
lagi menampung perasaan aneh di hatinya. Jika Endra tak segera berhenti, bisa
saja sebentar lagi dirinya akan pingsan. Ia menarik diri dan menjauhkan kepala
Endra dari lehernya. Sisa akal sehatnya masih menguasai diri, hingga tidak
berakhir lepas kendali.
“Sorry,” bisik Endra cukup mengerti. Hampir saja ia
kehilangan kendali diri pada Valerie.
Keduanya berpelukan sembari mengatur perasaan dan
napas mereka untuk kembali normal. Mereka sadar, terlalu sulit menahan
kerinduan hingga hampir melewati batasan.
“Endra!”
“Valerie!”
♥♥♥
Tbc
Pati, 25 Januari 2019
Biodata:
Penulis lahir di Malang. Saat ini sedang sibuk
mempromosikan cerita ini dalam novel perdananya berjudul VALERIE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.