Selasa, 28 Januari 2020

Materi - Cara Menulis dan Mengirim Karya ke Media oleh Anggi Putri - Sastra Indonesia Org







Ada beberapa media yang masalah pengantar ini menjadi hal penting. Ibaratnya bertamu harus ada salam dulu sebelum kita diizinkan masuk. Sehingga, amannya kita menggunakan pengantar semacam ini.
Contoh kata pengantar pengiriman karya versi agak panjangnya.

Dari                  : Ria Tiana
Kepada            : sastra@jawapos.co.id Jawapos
Dikirim            : Kamis, 15 September 2011 5:25
Judul                : Cerpen STRIPTEASE DI JENDELA–Ria Tiana

Semarang, 15 September 2011

Kepada
Yth. Redaktur Cerpen Jawa Pos
di tempat.

Dengan hormat,


Bersama ini saya kirimkan sebuah cerpen saya bertajuk “STRIPTEASE DI JENDELA” (dalam Lampiran). Saya sangat berharap cerpen ini Anda baca dan kelayakan pemuatannya sepenuhnya hak Anda. Atas pembacaan dan pertimbangan Anda, saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,
Ria Tiana 
riatiana@yahoo.co.id
Tlp. 08xxxxxxxxxx
Rekening Bank Xxxxxxx Nomor Xxxxxxxxxxxxx a.n. Ria Tiana

Kenali juga struktur penulisan (jika ada). Ini saya misalkan ke Surya yang sekarang dipegang editor yang berbeda. Jika dulu Surya lebih ke kalimat-kalimat singkat yang padat. Kebanyakan menggunakan kalimat pasif. Namun berkebalikan, sekarang lebih disukai menggunakan kalimat aktif, meski porsi kalimat pasif masih ada.

5. Jangan mengirim satu tulisan ke lebih dari satu media berbeda. Ini agak riskan, sebaiknya jika mengirim satu artikel kirimlah ke satu media saja. Kemudian ditunggu, setelah dua bulan tidak dimuat, maka kirim surat penarikan karya. Lalu, baru bisa dikirim ke media lain. Mengapa? Karena risiko nama kita di-blacklist oleh media tersebut.

By: Anggi Putri

Baca juga:






Senin, 27 Januari 2020

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 20 oleh Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org







Karena Kamu Pangeranku Part 20


Mengulang kebersamaan, merupakan tujuan Endra dan Valerie hari ini. Sepulang dari restoran, ia membawa mobilnya menuju tempat paling berkesan bersama Valerie, Pantai Anyer. Perjalanan berlalu menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan kebersamaan mereka dulu. Namun, ada yang berbeda kali ini, yakni perasaan cinta yang semakin mengakar kuat dalam hati mereka. Cinta yang membutuhkan banyak waktu dan luka dalam proses penempaannya.
Keadaan pantai menjelang sore cukup ramai, dengan beberapa pasangan yang sedang memadu kasih. Mungkin mereka ingin mendapatkan momen indah saat matahari terbenam di ufuk barat, sebagai latar yang melengkapi kencan mereka. Tangan kiri Endra meraih dan menggenggam erat tangan Valerie. Keduanya berjalan menuju bibir pantai. Suara gulungan ombak yang bertumbukkan, menjadi harmoni syahdu mengiringi langkah mereka.
Endra begitu sabar menunggu langkah pelan Valerie akibat stilleto yang dipakainya. Alhasil karena kesulitan melangkah, Valerie melepas alas kakinya. Dengan begitu, ia bisa merasakan pasir yang halus dengan bertelanjang kaki. Endra tersenyum, lalu membimbingnya ke tempat penuh kenangan.
Endra mengempaskan diri lebih dulu di pasir. Disusul Valerie yang duduk dekat dengannya. Pandangan mereka sama-sama ke depan. Menatap ombak yang bergulung tanpa Lelah, dengan embusan angin kencang menerpa wajah mereka, sangat menenangkan.
“Meski tidak ada bintang ternyata pemandangan pantai di sore hari juga indah, ya.” Valerie yang pertama kali membuka percakapan.
“Memang indah, tapi tetap saja suasananya tidak sama,” sahut Endra dan Valerie mengangguk.
“Endra ....”
Endra menoleh. “Ada apa, Rie?”
“Ehm, aku ingin tahu tentang dirimu selama beberapa tahun terakhir.” Valerie menatap dalam wajah tampan Endra.
“Tidak ada yang spesial.” Endra menyahut. Namun, Valerie menatapnya ingin tahu. Mau tak mau ia pun mulai bercerita. “Setelah kamu pergi, aku memilih pergi ke Tokyo dan kuliah di sana. Setelah lulus, aku pergi ke Jerman untuk memperdalam kardiologi. Dua tahun yang lalu, aku baru kembali ke Jakarta.”
“Apa kamu pernah pulang ke rumah?” tanya Valerie pelan. Ia melihat kepala Endra menggeleng, ada luka di dalam matanya.
“Aku baru menemui Mama satu minggu yang lalu.” Valerie tersentak kaget.
“Sama sepertimu, aku juga punya luka lama di sini,” ucap Endra dengan menunjuk dadanya sendiri. “Jika kamu terluka karena kepergian Ibu dan kaburnya ayahmu. Maka aku terluka karena kepergian Papa dan penolakan mamaku.”
Valerie baru tersadar bahwa ia tidak tahu banyak tentang Endra. “Penolakan?”
Endra mengangguk. “Mama memang menyayangiku, tapi tidak dengan wajahku. Wajahku sama dengan orang yang dibencinya. Mama baru menyadari keegoisannya, setelah aku tidak lagi menampakkan wajahku selama bertahun-tahun. Mama mulai menyesal, dan seminggu yang lalu kami baru meruntuhkan tembok pembatas di antara kami.” Endra mengakhiri ceritanya dengan tersenyum tipis.
Ada cubitan di hati Valerie. Ternyata tidak hanya dirinya yang tumbuh dengan luka, tapi juga Endra. Merasa bersalah, saat ia bertindak egois karena pernah menembak kata-kata kasar pada lelaki itu saat di villa Juno. Ia mengelus pipi kanan Endra dengan penuh kasih.
“Aku baru sadar kalau tidak tahu tentang hidupmu sama sekali. Ternyata aku benar-benar egois, membiarkanmu menanggung bebanku sementara aku tidak pernah tahu bebanmu.”
Endra menatap Valerie, lalu tersenyum. “Aku pernah bilang padamu. Cukup cintai aku, maka aku tidak peduli dengan yang lain.”
“Tetap saja itu tidak adil.”
“Memang, tapi yang terpenting aku punya kamu. Dan aku kira itu sudah lebih dari berkecukupan.”
Ya Allah ... kenapa Kau bisa menciptakan pria sehebat ini?
Sungguh ia merasa berdosa sudah menyakiti Endra cukup lama.
“Haaah, sudah cukup cerita tentangku. Sekarang, ceritakan semua tentangmu waktu di Jogja!” perintah Endra dengan tatapan tajam mengarah pada Valerie.
“Aku kuliah di UGM. Aku kost dekat kampus. Sama seperti saat SMA, aku juga bekerja sampingan. Pagi hari aku kuliah, setelah kuliah bekerja di restoran. Setiap hari Sabtu dan Minggu, aku mengajar privat bahasa Inggris dan matematika untuk anak SMP dan SMA.”
Endra masih setia mendengar cerita Valerie seraya memandang wajah cantiknya.
“Aku bekerja dan belajar keras, sehingga akhirnya mendapat beasiswa untuk kuliah S2 di UCL. Aku pergi ke London. Di sana, sambil kuliah aku bekerja di sebuah toko online kebetulan milik orang tua temanku. Satu tahun di UCL, aku menjadi asisten dosen, saat aku meraih gelar magister langsung diangkat jadi dosen.”
Endra tersenyum. “Lalu, bagaimana bisa kenal Eduard?”
“Eduard adalah anak dari pemilik toko online, tempat aku bekerja dulu. Kami juga seangkatan. Dia sangat baik, itulah kenapa aku bisa dekat dengannya. Kami saling bertukar cerita masalah pribadi. Dimulai dengan aku bercerita tentangmu, dan dia yang bercerita tentang orientasi seksualnya,” terang Valerie.
“Tentangku?” tanya Endra heran dan Valerie mengangguk.
“Suatu hari Eduard bilang, ada temannya yang ingin berkenalan dan dekat denganku. Tapi, aku menolaknya karena aku masih tak mau mengalihkan hatiku darimu.”
Wajah Endra sedikit memanas. Untuk pertama kalinya, ia merasa tersanjung dicintai sebesar itu oleh seseorang, dan orang itu adalah Valerie, Peri Valentine-nya. “Lalu, kenapa Eduard harus memanggilmu Sweetie? tanya Endra menahan geram.
Valerie menoleh. “Kamu masih cemburu?” Ia menahan tawa melihat wajah Endra yang sedikit mengeras. “Aku sendiri juga tidak tahu. Eduard bilang, panggilan itu cocok buatku yang bertubuh mungil. Meski aku marah, dia tetap memanggilku demikian. Bahkan Will, partner Eduard, juga memanggilku dengan sebutan yang sama. Mereka memang menyebalkan. Valerie bercerita, sambil tersenyum mengingat Eduard dan Will yang selalu menjaganya saat berada di negeri orang.
“Aku jadi ingin mengenal Eduard dan Will.”
Valerie heran mendengar ucapan Endra.
“Aku ingin berterima kasih pada mereka, karena telah menjaga Valerieku saat aku tidak bisa menjaganya.”
Wajah, telinga, dan mata Valerie memanas. Ia malu sekaligus terharu dengan ucapan Endra. “Kalau begitu kamu harus pergi ke London,” ujarnya untuk menutupi malu.
Endra tampak berpikir sejenak. “Mungkin aku perlu mengambil cutiku, lalu pergi denganmu.”
Mata Valerie membulat kaget. Tadi ia hanya bercanda dengan ucapannya. Namun, siapa sangka jika Endra menanggapinya dengan serius.
“Aku penasaran bagaimana tempat kekasihku berada selama ini.”
Tanpa Endra duga, tangan Valerie sudah melingkar di lehernya. Sebuah kecupan pipi ia dapatkan kemudian. Matanya membulat sempurna yang dibalas Valerie dengan senyuman lebar.
“Sejak lama, aku ingin duduk bersamamu di Saint James Park sembari menikmati fish and chips.”
Endra terkekeh pelan, lalu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Valerie.
“Keinginanmu akan terwujud sebentar lagi.”
Dengan malu-malu, Valerie mengangguk kembali memeluk leher Endra.
“I love you, Valerie,” bisik Endra.
“I love you too, Endra.” Valerie menyembunyikan wajah meronanya di leher putih Endra.
“Setelah ini, mau ke mana lagi?” tanya Endra tanpa melepas dekapannya.
“Makan,” sahut Valerie cepat.
“Pop mie lagi?” Valerie mengangguk. Lalu, keduanya tertawa.
“Dulu, kita berakhir di paviliun. Sekarang, kita akan berakhir di rumahku.”



Mendadak tubuh Valerie menegang. Rumah? Apakah rumah sama yang menjadi awal mimpi buruknya dulu? Valerie menggeleng. Ia mulai takut kebahagiaan yang baru saja diteguknya terlepas lagi. Pegangan tangan Valerie di leher Endra perlahan terlepas. Ia tidak ingin pergi ke tempat terkutuk itu.
Sadar akan kepanikan Valerie, tangan Endra menangkup pipinya. “Yang aku maksud rumah bukan tempat yang dulu kutinggali. Tapi, ini rumahku sendiri, rumah kita nanti.”
Endra bisa melihat sinar ketakutan dalam mata Valerie. Wajahnya yang merona berubah pucat pasi. Sepertinya Valerie memang terlalu membenci Diandra dan Budi. “Jangan takut, Rie! Mereka tidak punya hak memisahkan kita lagi.”


Valerie tidak bisa menyembunyikan kekagumannya ketika melihat rumah Endra. Rumah bergaya Jepang modern, berdiri anggun dengan nuansa warna putih dan wood. Taman sekitar yang asri dengan rumput yang tertata rapi. Beberapa tanaman Tabepuya semakin mempermanis pemandangan. Benar-benar rumah impian Endra. Separuh darah Jepang dalam diri lelaki itu sepertinya berpengaruh pada selera. Sedari dulu, ia memang begitu menyukai segala sesuatu berbau Jepang. Untuk itulah, ia ingin memiliki rumah berciri khas negeri sakura.
Valerie menutup pintu mobil, disusul Endra yang sudah berjalan memutar untuk menarik tangannya masuk ke rumah. "Apa kamu sendiri yang merancang rumah ini?” tanyanya saat Endra membuka pintu rumah.
“Juno yang melakukannya, aku hanya menyumbang ide.” Valerie menganggukkan kepalanya.
“Ayo masuk, Rie!” ajak Endra.
Memasuki ruang tamu, ia kembali kagum dengan keadaan dalam rumah yang tak kalah menakjubkan. Perabotan mahal tertata baik sesuai tempatnya. Langkah Valerie semakin ke dalam. Tatapannya jatuh pada lukisan yang tergantung di ruang tengah. Lukisan wajah Endra yang ia buat.
“Dari semua yang ada di sini. Itu yang paling indah. Terima kasih sudah melukis wajahku seindah itu.” Endra menatap Valerie, lalu menunduk untuk mengecup pipi kanan wanitanya.
“Sama-sama. Mungkin setelah ini, aku akan sering melukismu.”
“Oke, tidak masalah buatku.”
Langkah Valerie bergerak mendekati sofa ruang tengah yang berwarna gading, dan duduk di atasnya. Pandangannya masih melihat sekeliling. “Rumah sebesar ini hanya kamu tinggali sendiri?”
Endra menggeleng. “Ada asisten rumah tangga, tapi mereka ada di paviliun belakang. Mereka hanya ada di depan saat pagi sampai sore,” jawabnya sembari melangkah ke belakang.
Valerie mendengar suara Endra sedang menelepon seseorang. Tidak berapa lama, lelaki itu sudah kembali, lalu mengambil duduk di sampingnya. Tangan kanan Endra mengelus lembut rambutnya.
“Aku suka lihat rambut panjangmu,” ucap Endra yang mulai dengan kebiasaan mengepang rambutnya.
Bibir Valerie mengulum senyum. “Itu karena ada seseorang yang melarangku potong rambut.”
Endra tersenyum, kemudian mengecup singkat tengkuk Valerie yang berada tepat di depannya. “Ternyata masih ingat ucapanku.” Ia bahagia, wanitanya masih mengingat kenangan akan kebersamaan dulu.
Keheningan tercipta di antara mereka. Endra masih berkonsentrasi dengan rambut Valerie. Sesekali mendaratkan kecupan di pipi atau leher putih wanitanya. Sementara, Valerie berkutat dengan ponsel untuk memberi kabar penundaan kepulangan ke London pada Eduard. Seorang wanita empat puluh tahunan muncul di ruang tengah dengan nampan di tangan. Wanita itu tersenyum sembari meletakkan dua cangkir teh hijau ke meja.
“Bu Dar, kenalkan ini Valerie,” tukas Endra, saat wanita yang bernama Darmi itu meletakkan cangkir.
“Malam, Non Valerie,” sapa Bu Darmi.
“Malam, Bu Dar. Panggil Valerie saja.” Valerie tersenyum manis menyapa asisten rumah tangga Endra.
“Ya ndak sopan kalau cuma manggil nama. Non Valerie kan calon istrinya Mas Endra, ya.”
Seketika wajah Valerie memerah. Endra terkekeh. Sementara, Bu Darmi tersenyum penuh arti.
“Non Valerie itu satu-satunya wanita yang diajak Mas Endra main ke rumah, lho.”
Terkejut dengan fakta baru, Valerie menoleh melihat Endra yang hanya mengedikkan bahu. Perlahan ia merasakan sesuatu menggelitik perutnya. Senang saat tahu ia menjadi wanita satu-satunya yang pernah datang ke rumah seindah ini.
Bu Darmi melihat Endra. “Wah, Mas Endra pintar cari calon istri. Ayu tenan e, Mas,” ucapnya dengan logat jawa yang kental. Sementara, wajah Valerie sudah semakin memerah.
“Sudah, Bu Dar, jangan digoda terus. Nanti calon istri saya bisa pingsan karena malu.” Bu Darmi tertawa pelan, sedangkan Valerie sudah memukul paha Endra.
“Bu Darmi ini orangnya memang ceplas-ceplos. Kamu pasti tidak bisa berhenti tertawa kalau melihat interaksi Bu Dar sama Tiga Sekawan.” Endra sudah selesai menata rambut Valerie.
Setelah mengantarkan tugas mengantar minuman dan beramah tamah sebentar, Bu Darmi pamit kembali ke paviliun. Meninggalkan Valerie yang kikuk berdua dengan Endra. Bagaimana ia tak merasa canggung karena Endra tidak berhenti memandangnya.
“Endra, hentikan! Jangan lihat aku seperti itu!” Valerie sudah memprotes tingkah Endra yang membuatnya malu tak keruan. Ia memalingkan wajah, tapi dengan cepat Endra menahannya.
“Kamu masih saja pemalu, ya, Rie. Lalu, gimana cara kamu bisa berhadapan dengan mahasiswamu?” goda Endra saat menahan wajah Valerie untuk menatapnya.
“Ya, biasa saja. Mereka kan tidak pernah menggoda sepertimu saat ini.”
“Baguslah, karena hanya aku yang boleh menggodamu seperti ini.”
“Iiiish, mana bisa begi--”
“I love you,” sela Endra, hingga membuat Valerie mematung.
Kini, tangan Endra menangkup pipi Valerie. Ibu jarinya mengusap pelan pipi dan bibir mungil merah muda gadisnya. “Kamu makin cantik.”
Tiga kata dari Endra, tapi sudah cukup memantik rasa panas di wajah dan telinga Valerie. Ditatapnya wajah tampan yang ia rindukan setengah mati. Dirasakannya sentuhan hangat sang cinta pertama di kulit wajah. Rasa bahagia sontak menjalar hebat dari ujung saraf, dan bermuara di hatinya. Sampai tak terasa kelopak matanya mulai mendanau.
“Kenapa?” Endra mengusap sudut mata Valerie yang sudah basah.
Kepala Valerie menggeleng, lalu mengulas senyum tipis. “I love you too.”
Endra tersenyum, kemudian mengecup lama kening Valerie. Meresapi banyaknya cinta untuk wanita istimewanya yang telah kembali. Ia menjauhkan wajah, mengusap bibir mungil sang kekasih dengan ibu jari. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya kembali, hingga ujung hidungnya bersentuhan dengan hidung Valerie. Dalam sekejap, bibirnya sudah memagut bibir manis itu. Percikan rasa hangat mulai menyelimuti hatinya. Ia benar-benar merindukan saat-saat seperti ini.
Meski sempat menegang, tapi perlahan tubuh Valerie melemas. Endra tahu betul cara membuatnya melayang. Pagutan bibir terasa begitu memabukkan, sehingga membawanya dalam pusaran bahagia. Gelenyar rasa asing menjalar hangat, seolah hendak membuat jantungnya meledak menjadi serpihan.
Valerie merasakan pelukan Endra semakin mengerat di pinggangnya. Bahkan sebelah telapak tangan lelaki itu melingkupi belakang lehernya. Seakan tak ingin membiarkan tubuh mereka berjarak.
Naluri alami Valerie mulai ikut bereaksi. Pelan tapi pasti mengikuti tarian bibir Endra, yang semakin lama kian sulit ia imbangi. Dengan napas yang semakin berat, ia pasrah saat lelaki Mananta itu membimbingnya bergerak cepat. Kini, gerakan bibir keduanya semakin lincah. Saling memberi dan menerima jutaan rindu akibat lama tak bertemu.
Detik terus berlalu hingga beberapa menit terlampaui. Endra baru melepas bibirnya, saat dirasa napas Valerie mulai memburu. Bibirnya mengulas senyum tipis mendapati wajah Valerie yang memerah. Beberapa helai rambut terlepas dari kepangan dan jatuh membingkai wajah mungil merona yang didambanya, menjadikan wanita itu tampak cantik di matanya. Dengan masih dikuasai kerinduan yang membuncah, ia kembali memagut bibir Valerie, lebih lama dan lebih intens. Seolah tidak ingin kehilangan kehangatan, bibirnya mulai menyusuri dagu dan rahang, lalu bergerak turun ke leher jenjang wanitanya, meninggalkan tanda kepemilikan di sana.
“En-Endra ... enough.” Valerie sudah tidak mampu lagi menampung perasaan aneh di hatinya. Jika Endra tak segera berhenti, bisa saja sebentar lagi dirinya akan pingsan. Ia menarik diri dan menjauhkan kepala Endra dari lehernya. Sisa akal sehatnya masih menguasai diri, hingga tidak berakhir lepas kendali.
“Sorry,” bisik Endra cukup mengerti. Hampir saja ia kehilangan kendali diri pada Valerie.
Keduanya berpelukan sembari mengatur perasaan dan napas mereka untuk kembali normal. Mereka sadar, terlalu sulit menahan kerinduan hingga hampir melewati batasan.
“Endra!”
“Valerie!”


Tbc

Pati, 25 Januari 2019

Biodata:

Penulis lahir di Malang. Saat ini sedang sibuk mempromosikan cerita ini dalam novel perdananya berjudul VALERIE.

#Jumat_Cerbung - Gerimis Menyapa Part 1 oleh Kheira SZL - Sastra Indonesia Org







Gerimis Menyapa Part 1
Oleh: Kheira SZL


Berlari agar terhindar dari sentuhan hujan yang mengguyur. Di bawah atap pertokoan yang berada tepat di sudut jalan, Kina berteduh. Berawal dari gerimis hingga berujung menjadi hujan yang begitu lebat. Kina belum juga beranjak dari tempatnya. Tidak hanya Kina, ada juga beberapa orang yang turut berteduh dari derasnya hujan.
"Aduh," kaget Kina. Seorang lelaki menarik paksa Kina yang hampir terkena cipratan mobil, "Apaan sih!" kesal Kina.
Melihat wajah Kina yang begitu kesal, lelaki itu langsung melepas genggamannya dan berlalu pergi, "Sorry."
Wajah kesal Kina pun berubah setelah pandangannya melihat jaket lelaki itu kotor karena becek. Merasa bersalah, Kina lalu mengejarnya. Namun, terlambat. Lelaki itu sudah pergi menaiki bus yang setia menunggu para penumpangnya.

***

"Kucel banget wajahmu Kin?! Lupa disetrika ya?"
"Apaan sih Lan. Berisik!" ketus Kina.
Kina duduk di samping Lani yang sedang menyeruput minumannya. Meletakkan tasnya di atas tas milik Lani. Dan menutup wajahnya dengan lipatan tangan di atas meja.
"Kamu kenapa Kin? Ada masalah?" tanya Lani.
"Enggak ada sih!" cemberut Kina. "Cuma ...," Kina mengerucutkan bibirnya sambil melirik ke arah Lani, "Aku lupa minta maaf sama orang yang sudah menolongku tadi pagi."
"Lah! Apa yang terjadi?" heran Lani.
Lalu Kina mulai menceritakan kejadian yang dialaminya tadi pagi. Lani mendengar dengan bijak tanpa memotong sepatah kata yang keluar dari mulut Kina.
"Makanya ... jangan suka merepet sebelum tahu sebabnya. Kebiasaan itu," ucap Lani.
Kina tidak membantah. Gadis itu menundukkan kepalanya lagi. Dan berpikir untuk meminta maaf bila bertemu dengan lelaki yang sudah menolongnya tadi pagi.

***

"Ada rencana pergi?" tanya Simo.
"Enggak. Kenapa?" Kina balik bertanya dengan mulut yang mengunyah permen karet.
"Enggak apa. Hanya bertanya," balas Simo.
"Kin ...." Terdengar teriakan Lani dari arah kantin. Menghampiri Kina yang duduk di taman bersama Simo. "Tumben! Ada apa Bro?" tanya Lani pada Simo.


"Pengganggu datang. Mulai berisiklah ini," kesal Simo. Karena kehadiran Lani, Simo pun beranjak dari tempatnya, "Kalau begitu aku duluan ya Kin."
"Baru juga duduk. Dia malah kabur," celetuk Lani.
"Sudah biarkan saja."
Tak ingin membuang waktu, kedua gadis itu lalu pergi ke sebuah kafe yang tidak jauh dari kampus. Dengan berjalan kaki, mereka sudah sampai ke tempat yang dituju. Sebuah kafe favorit tempat keduanya menghabiskan waktu.
Keramaian memenuhi kafe bernuansa potret lawas itu. Hiruk pikuk suara pun terdengar memenuhi ruangan yang berukuran sedang. Keduanya mulai memesan menu masing-masing.
"Ada perlu apa si Simsim tadi?" tanya Lani yang menggelari Simo dengan sebutan Simsim.
"Entah ... enggak tahu apa perlunya." Kina mengangkat bahu sambil mengutak-atik ponselnya, "Mungkin hanya sekedar menegur saja."
"Aku pikir ada udang di balik soto," ucap Lani.
"Jangan kelihatan sekali lapernya. Malu tahu," kekeh Kina.
Tak berapa lama, pesanan mereka datang. Keduanya langsung menikmati hidangan itu.
Menikmati hidangan dengan tambahan senda gurau bersama. Memberikan kebahagiaan keduanya.
Kring ....
Dalam selingan, tiba-tiba ponsel Lani berdering. Kina menatap lekat wajah Lani yang berubah seketika. Sadar akan sikap itu, Kina langsung menyuruhnya tenang.
Ponsel Lani berdering lantaran Leo, adiknya memberitahukan kalau ayah mereka masuk rumah sakit. Lani yang sebelumnya tampak bahagia dan menikmati hidangannya, berubah murung lantaran kabar dari Leo.
Kemudian, Lani meminta maaf pada Kina dan meninggalkannya seorang diri di kafe. Dengan senyuman Kina membalas Lani. Gadis itu tidak ingin membuat Lani merasa bersalah karena telah meninggalkan dirinya.
Lani pun pergi meninggalkan Kina seorang diri. Gadis itu tidak merasa kesepian. Dengan nikmatnya, Kina melanjutkan makannya.

***

Gerimis pagi mengundang raga untuk terus berbaring. Kina masih santai dengan piyama doraemonnya. Dan berharap tidak beranjak kemana pun karena dukungan dingin yang menghampiri.
Pandangan menerawang karena baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Tubuh menggeliat mencari gawai yang terletak di nakas dekat tempat tidur. Lantaran dering ponsel yang berbunyi telah membangunkan tidur lelapnya.
Panggilan masuk dari Lani, "Halo Kin. Maaf aku tidak bisa ke kampus. Kamu sendirian di kampus tidak masalahkan?" ucap Lani dari balik ponselnya.
Hanya berdeham yang dilontarkan Kina pada Lani, "Memangnya anak kecil. Iya ... tidak masalah. Aku masih mengantuk nih!" ucap Kina yang masih menutup matanya.
"Jangan tidur saja. Sudah jam 9 nih! Nanti terlambat. Jam 10, Pak Putra masuk kelas pengganti," sentak Lani.
Kina yang masih menutup netranya, tersentak mendengar nama 'Pak Putra' dosen yang dikenal tegas dan disiplin waktu.
Kina pun bergegas bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Membersihkan diri dan menyusun perlengkapan tempur kuliah agar tidak ada yang terlupa. Tanpa sarapan Kina pun berangkat.
Gerimis pagi sudah mulai redah. Kina berjalan ke arah halte, tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Ketika asyik berjalan bertemankan mentari pagi, tiba-tiba gerimis turun kembali. Menyuruh Kina berlari cepat menuju halte. Mengingat kalau dirinya telah melupakan senjata ampuh bila hujan turun - payung biru bermotif - yang tertinggal di dalam laci.
Syukurnya tidak semua tubuhnya basah. Hanya sebagian saja. Tak berapa lama, Kina tiba di halte dengan selamat. Tetapi, tasnya sedikit basah lantaran menggunakannya sebagai penutup kepala. Mengingat cuaca ini, pikirannya teringat dengan lelaki yang telah menolongnya kala itu. Tersirat dengan tindakannya, membuat Kina ingin cepat meminta maaf. Namun, tidak terjawab dengan situasi. Karena Kina belum bertemu dengannya sama sekali.

Medan, 10 Januari 2020

Biodata:

Seorang pemula yang ingin berbagi tulisan walau sadar masih harus belajar.

#Rabu_Puisi - Amarah oleh Aksara Hitam - Sastra Indonesia Org



Sumber: Tribunnews.com




Amarah
Oleh: Aksara Hitam


Kian terikat hati yang lekat

Membawa perih pada tulang belikat
Hantamkan jantung dengan kuat
Sadarkan dia akan rasa khianat


Belenggu atmanya dalam nestapa

Buat daksanya rasakan luka
Biarkan dia mengerti akan sengsara
Telah membakar jiwaku dalam amarah



Tubuhku mungkin telah tertanam
Terkubur kaku di tanah yang dalam
Namun, rohku masih mampu terbang menyelam
Mampu belenggu dan membunuh dalam kelam


Bengkulu, 22 Januari 2020



Biodata:



Hanya gadis pencinta sastra yang tak berharap dibalas cintanya, Aksara Hitam.




Baca juga: