Selasa, 26 November 2019

Resensi Buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org







Surabaya dan Jejak Kepahlawanan di Tiap Sudutnya



Judul               : Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?     

Penulis             : Ady Setyawan (Co-Writer: Marjolein van Pagee)
Penerbit           : Matapadi Presindo   
Cetakan           : Pertama, 2018  
Tebal               : xxiv + 212 halaman
ISBN               : 978-602-1634-31-8  
Peresensi         : Lenni Ika Wahyudiasti




Bagi Belanda, segala sesuatu yang terkait dengan masa lalu kolonialisme adalah tentang menakar dan menyeimbangkan, bahkan kadang mengatakan bahwa kolonialisme juga memiliki sisi positif. … Itulah mengapa hukum Belanda yang mengakui 27 Desember 1949 sebagai hari di mana Indonesia diberikan kemerdekaan tidak pernah dicabut. (hal. 206-207)
   
Penggalan paragraf di bagian akhir buku bersampul potret Tugu Pahlawan ini seolah  menguak rahasia tentang bagaimana Pemerintah Belanda memandang kemerdekaan bangsa Indonesia. Fakta ini menyadarkan kita bahwa sejatinya Belanda tak pernah rela mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.  Bagi negeri kincir angin ini, menyesali tidak sama dengan pengakuan resmi bahwa aksi penjajahan wilayah milik negara lain adalah kesalahan hakiki, baik secara moral maupun dari kacamata hukum di lain sisi.      



Berbeda dengan buku tentang sejarah kepahlawanan arek-arek Suroboyo lainnya, buku yang ditulis oleh Ady dan Marjolein---generasi ketiga dari dua pihak yang bertikai dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, seorang berdarah Pejuang Kemerdekaan dan seorang lainnya berdarah Marinir Belanda---ini bercerita tentang kepingan kisah demi kisah kepahlawanan dari setiap jengkal kota Surabaya plus tulisan mengenai bagaimana Pemerintah Belanda memandang sejarah kolonialismenya di Indonesia. Terbagi atas dua bagian, bagian pertama bertutur tentang Surabaya dengan beragam kisah yang melegenda dan menjadi saksi sejarah di tiap sudutnya: Gedung Domei, Lapangan Tambaksari, Tunjungan, Kawasan Industri Ngagel, Kampung Dinoyo, Balai Pemuda, Tugu Pahlawan hingga kuburan massal di area Rumah Sakit Simpang yang saat ini tinggal kenangan. Tak ketinggalan kisah menarik tentang satu-satunya radio bekupon yang masih  tersisa di kawasan Jalan M. Duryat yang penuh makna. Tentang ini Ady menulis, “Dalam arus turbulensi masa Revolusi 45 di Surabaya, radio ini memberi peranan sangat penting dan menentukan. Sektor komunikasi dalam sebuah pertempuran adalah hal yang sangat krusial, sehingga media komunikasi seperti radio bekupon ini memiliki peran yang sangat penting dalam konstelasi Pertempuran Surabaya,” (hal.65).

Bagian kedua berjudul “Sisi Lain” yang ditulis oleh Marjolein. Sisi paling memukau di sini adalah “1945 atau 1949? Sisi Finansial dan Pengakuan Tanah Jajahan”. Rangkaian verba di dalamnya mengungkap fakta yang boleh jadi tak banyak diketahui: sejarah kolonialisme Belanda yang hanya serupa catatan kaki atau usaha paradoksal yang dirayakan dengan ketakziman ganjil di Belanda setiap tanggal 4 Mei.

Salut juga untuk kecerdikan penulis dalam memilih judul buku yang unik dan menggelitik. Sebab, tak hanya memoar kisah heroik, buku keren ini juga monyodorkan sejumlah fakta yang mengundang penasaran:  bagaimana kedatangan pasukan Inggris di bulan Oktober 1945 dihadapi oleh barisan kuli tinta, pun teka-teki siapa pelaku perobekan bendera Belanda di atas Hotel Orange yang selama ini tak pernah terpublikasikan dengan jelas dan nyata. Selain beragam memoar narasumber---salah satunya adalah alm. Hario Kecik, pelaku sejarah yang sempat ditemui penulis buku ini---tentang dahsyatnya pertempuran di Surabaya pada kurun 1945-1949, “Peluru-peluru meriam lewat di atas kepala kami dengan suara khas yang mengerikan. … Di jalan kami berpapasan dengan dua wanita dan pria berusia lanjut. Semula saya kira pria itu menggendong bayi, ternyata yang digendong adalah ususnya yang terburai keluar dari perut. … Tak jauh dari situ saya melihat orang merangkak dengan susah payah. Saya mendekat, orang itu memandang saya, tangannya mengepal dan diangkat. Dengan suara masih keras ia memekik,”Merdeka… merdeka… Pak!” Lututnya hancur, tulang keringnya juga hancur kelihatan menonjol,” (hal. 138), buku ini juga berani mengungkap pengakuan tentang pembunuhan brutal atas masyarakat berdarah campuran sebagai ungkapan rasa marah rakyat Surabaya atas upaya angkuh Belanda yang berniat kembali menjajah. Sisi kelam sejarah heroik Kota Pahlawan ini terekam dalam “Everald, Darah Campuran di Simpang Jalan”.  

Harus diakui, meski masih ditemui saltik dan kalimat menggantung di beberapa titik, buku ini tetap menarik. Kehadirannya mampu menggugah kembali memori warga Surabaya tentang nyali kepahlawanan para pendahulunya tanpa menampik sisi kelam yang mengemuka. Soal sejarah kelam ini plus kontroversi pernyataan Belanda tentang sisi positif kolonialisme, Ady mencatat, “… betapa diskriminasi berdasarkan ras yang diterapkan oleh sistem kolonialisme kelak menimbulkan resistensi yang begitu mengerikan, melenyapkan sisi-sisi kemanusiaan. Tertindas, direndahkan hingga titik nadir, dicampakkan, dan itu berlangsung menahun mampu membutakan nurani, menghilangkan akal dan budi sebagai manusia yang beradab,” (hal. 107).  
                                                                                         
---oo000oo---






Biodata Peresensi

Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi yang digelar Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba dan  event literasi lainnya di tahun 2016 s.d 2018. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, atau email: lenniika@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.