Surabaya dan Jejak Kepahlawanan di Tiap Sudutnya
Judul : Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali
Kepahlawananmu?
Penulis : Ady Setyawan (Co-Writer:
Marjolein van Pagee)
Penerbit : Matapadi Presindo
Cetakan :
Pertama, 2018
Tebal : xxiv + 212 halaman
ISBN : 978-602-1634-31-8
Peresensi :
Lenni Ika Wahyudiasti
Bagi
Belanda, segala sesuatu yang terkait dengan masa lalu kolonialisme adalah
tentang menakar dan menyeimbangkan, bahkan kadang mengatakan bahwa kolonialisme
juga memiliki sisi positif. … Itulah mengapa hukum Belanda yang mengakui 27 Desember 1949 sebagai hari di mana
Indonesia diberikan kemerdekaan tidak pernah dicabut. (hal. 206-207)
Penggalan paragraf di bagian akhir buku
bersampul potret Tugu Pahlawan ini seolah
menguak rahasia tentang bagaimana Pemerintah Belanda memandang
kemerdekaan bangsa Indonesia. Fakta ini menyadarkan kita bahwa sejatinya
Belanda tak pernah rela mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bagi negeri kincir angin ini, menyesali tidak
sama dengan pengakuan resmi bahwa aksi penjajahan wilayah milik negara lain
adalah kesalahan hakiki, baik secara moral maupun dari kacamata hukum di lain
sisi.
Berbeda dengan buku tentang sejarah
kepahlawanan arek-arek Suroboyo lainnya, buku yang ditulis oleh Ady dan
Marjolein---generasi ketiga dari dua pihak yang bertikai dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia, seorang berdarah Pejuang Kemerdekaan dan seorang lainnya
berdarah Marinir Belanda---ini bercerita tentang kepingan kisah demi kisah kepahlawanan dari setiap jengkal kota Surabaya plus tulisan mengenai
bagaimana Pemerintah Belanda memandang sejarah kolonialismenya di Indonesia. Terbagi
atas dua bagian, bagian pertama bertutur tentang Surabaya dengan beragam kisah
yang melegenda dan menjadi saksi sejarah di tiap sudutnya: Gedung Domei, Lapangan
Tambaksari, Tunjungan, Kawasan Industri Ngagel, Kampung Dinoyo, Balai Pemuda,
Tugu Pahlawan hingga kuburan massal di area Rumah Sakit Simpang yang saat ini tinggal
kenangan. Tak ketinggalan kisah menarik tentang satu-satunya radio bekupon yang
masih tersisa di kawasan Jalan M. Duryat
yang penuh makna. Tentang ini Ady menulis, “Dalam
arus turbulensi masa Revolusi 45 di Surabaya, radio ini memberi peranan sangat
penting dan menentukan. Sektor komunikasi dalam sebuah pertempuran adalah hal
yang sangat krusial, sehingga media komunikasi seperti radio bekupon ini
memiliki peran yang sangat penting dalam konstelasi Pertempuran Surabaya,”
(hal.65).
Bagian kedua berjudul “Sisi Lain” yang ditulis
oleh Marjolein. Sisi paling memukau di sini adalah “1945 atau 1949? Sisi Finansial dan Pengakuan Tanah Jajahan”.
Rangkaian verba di dalamnya mengungkap fakta yang boleh jadi tak banyak
diketahui: sejarah kolonialisme Belanda yang hanya serupa catatan kaki atau usaha
paradoksal yang dirayakan dengan ketakziman ganjil di Belanda setiap tanggal 4
Mei.
Salut juga untuk kecerdikan penulis dalam
memilih judul buku yang unik dan menggelitik. Sebab, tak hanya memoar kisah
heroik, buku keren ini juga monyodorkan sejumlah fakta yang mengundang penasaran:
bagaimana kedatangan pasukan Inggris di bulan
Oktober 1945 dihadapi oleh barisan kuli tinta, pun teka-teki siapa pelaku
perobekan bendera Belanda di atas Hotel Orange yang selama ini tak pernah
terpublikasikan dengan jelas dan nyata. Selain beragam memoar narasumber---salah
satunya adalah alm. Hario Kecik, pelaku sejarah yang sempat ditemui penulis
buku ini---tentang dahsyatnya pertempuran di Surabaya pada kurun 1945-1949, “Peluru-peluru meriam lewat di atas kepala
kami dengan suara khas yang mengerikan. … Di jalan kami berpapasan dengan dua
wanita dan pria berusia lanjut. Semula saya kira pria itu menggendong bayi,
ternyata yang digendong adalah ususnya yang terburai keluar dari perut. … Tak
jauh dari situ saya melihat orang merangkak dengan susah payah. Saya mendekat,
orang itu memandang saya, tangannya mengepal dan diangkat. Dengan suara masih
keras ia memekik,”Merdeka… merdeka… Pak!” Lututnya hancur, tulang keringnya
juga hancur kelihatan menonjol,” (hal. 138), buku ini juga berani mengungkap
pengakuan tentang pembunuhan brutal atas masyarakat berdarah campuran sebagai ungkapan
rasa marah rakyat Surabaya atas upaya angkuh Belanda yang berniat kembali
menjajah. Sisi kelam sejarah heroik Kota Pahlawan ini terekam dalam “Everald, Darah Campuran di Simpang Jalan”.
Harus diakui, meski masih ditemui saltik dan kalimat
menggantung di beberapa titik, buku ini tetap menarik. Kehadirannya mampu menggugah
kembali memori warga Surabaya tentang nyali kepahlawanan para pendahulunya
tanpa menampik sisi kelam yang mengemuka. Soal sejarah kelam ini plus kontroversi
pernyataan Belanda tentang sisi positif kolonialisme, Ady mencatat, “… betapa diskriminasi berdasarkan ras yang
diterapkan oleh sistem kolonialisme kelak menimbulkan resistensi yang begitu
mengerikan, melenyapkan sisi-sisi kemanusiaan. Tertindas, direndahkan hingga
titik nadir, dicampakkan, dan itu berlangsung menahun mampu membutakan nurani,
menghilangkan akal dan budi sebagai manusia yang beradab,” (hal. 107).
---oo000oo---
Biodata Peresensi
Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka
aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi
yang diikutinya sejak
Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi yang digelar Nabawia-LIPIA Madinah tahun
2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya
Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan
2015 serta beragam lomba dan event literasi lainnya
di tahun 2016 s.d 2018. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi di
lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di
Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo
pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan
(Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa
‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, atau email: lenniika@yahoo.co.id.
0 Response to "Resensi Buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.