Sumber foto: Pinterest |
Shalawat Pertama Amar
Oleh: Nur Aminah
Shalawat untuk Nabi Muhammad telah menggema
sejak setengah jam lalu. Namun, Amar tak kunjung melihat kedua orang tuanya,
atau bahkan salah satu datang memperingati Pengajian Akbar di pondok pesantren
tempatnya menimba ilmu agama. Berkali-kali ia menengok ke jalan bagian timur.
Mungkin saja orang yang dinantinya terlihat, tetapi nihil. Padahal ia sengaja
duduk di bagian pinggir aula, dekat jalan.
Remaja berusia tiga belas tahun itu kembali fokus mengikuti shalawat, mengeraskan suaranya, berbaur
dengan suara ratusan santri yang lain. Mata sipitnya melihat berbagai arah, ada
yang menitikkan air mata, bahkan tersedu sembari mengucap pujian-pujian untuk
Baginda Nabi. Setahun lalu, saat baru mengikuti pertama kali perayaan serupa,
Amar tak paham mengapa mereka sebegitunya khusyuk ber-shalawat, hingga ia paham setelah bertanya pada senior yang sekamar
dengannya.
"Begitu saja terjadi, Mar. Jika kamu memaknai shalawat itu dari hati, tentu kamu akan
mengerti." Sejak saat itu, Amar yang sebelumnya tak paham maknanya,
mencari tahu. Sejak kecil, ia hanya mendengarkan dan mengikuti saat di musala,
tanpa memaknainya.
Amar menunduk, setetes air matanya terjatuh ke pipi. Entah
karena memaknai shalawat atau
merindukan ibu bapaknya yang hampir setahun tak mengunjunginya. Suaranya
tenggelam di antara suara-suara merdu lainnya.
***
"Main nggak kenal waktu, disuruh salat nggak mau, kamu
mau jadi apa, Le?" Kalimat yang selalu Bu Hana ucapkan pada Amar usai
bermain hingga menjelang magrib, tetapi tak pernah digubris.
“Lulus nanti, kamu langsung mondok!” titah Pak Abdul hanya
mendapat lirikan dari putra bungsunya itu, anak lelaki satu-satunya.
“Dengerin Bapak Ibuk, Mar!” timpal Fatim—kakak kedua Amar—yang
tengah bersiap ke musala.
Tanpa menjawab, Amar segera menuju ke kamar mandi. Sebelum ikamah
terdengar, ia harus cepat. Daripada menerima kemarahan bapaknya lagi, meski
sepertinya tak pernah kapok.
***
Amar menangis, hingga berlutut pada Pak Abdul. Harapannya
masuk SMP Negeri di kota, pupus sudah setelah bapaknya mendaftarkan lelaki
bertubuh kurus itu ke sebuah pondok pesantren di salah satu desa di Provinsi
Jawa Timur. Apalagi ia telah melakukan perbuatan fatal, mencuri Ayam tetangga
dengan alasan untuk membeli rokok bersama teman-teman nakalnya. Betapa malu dan
geramnya Pak Abdul, merasa gagal mendidik putranya.
Perjalanan jauh ditempuh dari Purwodadi menuju Kecamatan
Padangan yang berbatasan dengan kota minyak, Cepu, mengendarai motor satu-satunya
yang dimiliki Pak Abdul. Diboncengan, Amar hanya diam, bibirnya mengatup rapat
dengan muka masam.
Sesampainya di tempat tujuan, Amar merasa sangat asing. Ia
terus memegang baju bagian belakang milik bapaknya. Mengikuti langkah pria
paruh baya itu menuju kediaman Pak Kyai, pemilik pondok.
“Kula, nitip Amar nggih, Pak Kyai. Mugi Amar dados santri
ingkang membanggakan keluarga,” ucap Pak Abdul sebelum berpamitan.
Tangis lelaki berkulit sawo matang itu pecah kala melihat
bapaknya mengendarai motor pulang, semakin jauh dari pandangan. Berbeda sekali
dengan sifatnya yang selalu cuek saat di rumah. Beberapa santri senior berusaha
menenangkan santri junior itu.
***
“Mar, jangan tidur!” Teman yang duduk di sebelah Amar
mengguncang pelan tubuhnya, mengira ia tertidur.
Buru-buru Amar mengusap air matanya. Air mata rindu pada
keluarga di rumah. Namun, sepertinya keluarganya tak datang lagi seperti tahun
lalu.
“Santri-santri pasti dari kecil diajarkan pujian-pujian untuk
Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu alayhi
wasallam, kan? Lha, itu cara mudah mengingat maulid Nabi, mengingat
kelahiran Kanjeng Nabi.”
Penggalan tausiyah Pak Kyai membuat Amar kembali mengingat
saat ia masih kecil dulu. Pak Abdul selalu menggendongnya saat berangkat ke
musala, memperdengarkan azan merdu bapaknya, lalu diajari shalawat-an.
“Allahumma shalli 'alaa
Muhammad. Yaa Robbi Shalli
'alaaihiwassalim. Allahumma shalli 'alaa Muhammad. Yaa Robbi Shalli
'alaaihiwassalim. Gusti Kanjeng Nabi laire
ono ing Mekah, dino Senen 12
Maulud Taun Gajah. Ingkang Ibu asmane Siti Aminah ... ingkang
Romo asmane Sayyid Abdullah.” Meski baru berusia lima tahun, Amar kecil
begitu fasih mengikuti shalawat--puji-pujian—sebe lum
ikamah berkumandang.
Beberapa shalawat lain
juga Amar hafal, tetapi itu saat ia masih menjadi anak penurut, sebelum kelas
lima. Perkenalannya dengan siswa baru di kelasnya membuat ia sulit dinasihati.
Berkali-kali ditegur, tetapi tak digubris.
Amar memeluk lutut lagi, terisak mengingat kenakalannya hanya
karena merasa terkekang di keluarga. Setiap hari selalu disuruh mengaji,
belajar, dan ibadah. Tak diizinkan main kecuali kewajibannya sudah selesai.
Namun, penyesalannya terlambat. Beruntung ia tak masuk jeruji besi setelah
mencuri Ayam. Tempat di kantor polisi itu, paling ditakuti Amar.
***
Selama tausiyah, Amar hanya menunduk. Tahun lalu, ia belum
merasakan hal seperti sekarang. Waktu itu, ia mulai terbiasa di pesantren,
merasa bersyukur tak mendengar omelan dari sang ibu, juga perintah bapaknya
yang memang tegas. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu mulai
menyelusup relung hatinya. Terlebih saat teman-temannya dikunjungi orang tua
mereka, bahkan tiap sebulan sekali.
“Bapak nggak usah jenguk-jenguk Amar lagi. Amar benci Bapak!”
Tak mengira, ucapan spontan itu dikabulkan orang tuanya. Hanya sekali, ibunya
menjenguk setelah sebulan ia di pesantren.
“Bapak, Ibu, Amar kangen. Amar nggak mau jatah bulanan, Amar
nggak mau barang-barang yang bahkan sebagiannya tak terlalu penting. Tapi Amar
ingin Bapak Ibu datang ke sini. Maafkan Amar, Pak, Bu ...,” gumamnya pelan
sehingga tak terdengar santri lainnya.
Acara peringatan Maulid Nabi Muhammad telah usai. Para santri
telah kembali ke kamar masing-masing setelah para orang tua mereka berpamitan.
Mungkin dari sekian banyak santri, hanya Amar yang tak dikunjungi bapak ibunya,
kecuali teman-temannya yang tempat tinggalnya jauh di luar pulau. Sedangkan
rumahnya, hanya memakan waktu sekitar dua jam perjalanan saja.
Amar terduduk di lantai depan kamar. Merenungi nasib akibat
ulahnya sendiri. Seandainya ia tak nakal, bapaknya tentu sudi mengunjungi.
***
“Amar ....” Suara yang sangat dikenali Amar memanggilnya.
“Bapak ....” Tangis Amar kembali pecah, tak ada malu meski
kini ia sudah baligh. Ia berhambur ke
pelukan Pak Abdul.
“Kenapa Bapak nggak pernah datang, Pak?” Pertanyaan yang
selalu dipendam itu meluncur begitu saja dari bibir Amar.
“Bapak selalu datang, sebulan sekali malah.” Ucapan Pak Abdul
membuat pelukan mereka meregang. Mata Amar membulat tak percaya.
“Bapak selalu mengirim uang dan barang keperluanmu sendiri ke
sini, pada Pak Kyai. Hanya saja sengaja tak menemuimu,” lanjutnya setelah
mereka duduk.
“Kenapa?” Amar terlihat bingung.
“Bukannya kamu nggak mau dijenguk, benci sama Bapak.”
Amar kembali memeluk erat lengan Pak Abdul, “Maafkan Amar,
Pak.”
Pak Abdul hanya menanggapi dengan tertawa pelan. Putra yang
tiga belas tahun lalu masih bayi merah itu, kini sudah semakin dewasa.
Bapak dan anak itu mulai hanyut dalam obrolan. Amar
menceritakan tentang masa-masa di pondok, sedangkan sang bapak bercerita
tentang keadaan rumah.
“Mbak Aini sudah lulus kuliah, Mbak Fatim setahun lagi lulus
Aliyah, dan ibu ... sebentar lagi kamu punya adik, Mar.”
“Kalau laki-laki aku mau, Pak. Kalau perempuan, nggak. Aku
nanti jadi kalah lagi, laki-laki sendiri,” seloroh Amar dengan lugunya.
“Hahaha ... kamu itu ada-ada aja, Mar. Mana bisa adik
ditawar. Memangnya membeli mangga.” Pak Abdul terbahak menganggapi ucapan Amar.
***
Langit senja hampir berganti malam. Amar dan Pak Abdul
buru-buru ke masjid. Masih agak sepi karena memang kumandang azan lima menit
lagi.
“Kamu yang azan, Mar!” pinta Pak Abdul sambil sedikit
mendorong punggung anaknya.
“Sudah ada jatahnya, Pak. Amar nggak berani.”
“Nggak apa-apa, Mar. Nanti bagianmu gantian aku.” Teman yang
seharusnya azan saat itu mempersilakan Amar.
Terlihat Pak Abdul begitu bangga. Terakhir ia mendengar Amar
azan di musala dekat rumah saat ia baru selesai dikhitan, kelas lima dulu.
Setelahnya, tak pernah ... malah menjadi anak yang semakin urakan.
Pria berjanggut dan berkumis itu segera mendekat pada sang
putra setelah selesai azan, kemudian mengajaknya shalawat-an bersama. Mengenang masa dulu saat ia pertama kali
mengajari Amar puji-pujian.
“Allahumma shalli 'alaa
Muhammad. Yaa Robbi Shalli
'alaaihiwassalim. Allahumma shalli 'alaa Muhammad. Yaa Robbi Shalli
'alaaihiwassalim. Gusti Kanjeng Nabi laire
ono ing Mekah, dino Senen 12 Maulud
Taun Gajah. Ingkang Ibu asmane Siti
Aminah ... ingkang Romo asmane Sayyid
Abdullah.”
Semua santri mengikuti, tanpa kecuali. Tak ada tangisan di
mata Amar. Hanya binar bahagia karena ternyata orang tuanya tetap menyayangi
meski ia pernah berbuat salah.
Bononegoro, 7 November 2019
Biodata:
Penulis berdomisili di desa yang terletak di Kabupaten
Bojonegoro, dekat dengan Sungai Bengawan Solo. Menulis adalah salah satu cara
mengisi kejenuhan aktivitas sepanjang hari. Berharap suatu saat tulisannya bisa
menjadi warisan bermanfaat untuk anak cucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.