Sabtu, 09 November 2019

#Jumat_Cerbung - Muara Cinta Sang Bidadari Part 14 Menyerah - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org







Muara Cinta Sang Bidadari Part 14

Menyerah
By: Isdamaya Seka


"Janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya, hingga pelamar sebelumnya itu meninggalkan lamarannya atau ia mengizinkannya." (HR. Bukhari)
Imran mematut diri di depan cermin. Sejenak menatap bayangan dirinya di sana. Wajah tampan tanpa celah, yang tak ada artinya di hadapan Allah, kecuali takwa.
"Halimah ... semoga Allah meridhoi niatku. Aku akan datang melamarmu," gumam Imran. Lalu bergegas menghampiri kedua orang tuanya yang telah menunggu di mobil.
"Kamu sudah siap?" tanya Bu Yani.
"Insyaa Allah, siap, Umi."
"Apapun jawabannya?"
"Apapun. Tapi ... Imran berharap Halimah menerima."
"Aamiin ... semoga Allah membuka hati Halimah untukmu."
Mobil yang dikendarai Pak Rudi melaju menuju rumah Ustaz Hanafi. Dengan hati yang berdebar-debar, Imran terus beristigfar. Ada bahagia sekaligus harap yang memenuhi rongga di dada. Ini pertama kali ia melamar seorang gadis, dengan kemauannya sendiri.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak memakan waktu lama, Pak Rudi menepikan mobilnya di halaman rumah Ustaz Hanafi. Tepat di sebelah Avanza yang tengah terparkir di sana.
"Sepertinya Ustaz Hanafi sedang ada tamu," kata Bu Yani.
"Sepertinya begitu, Mi. Apa kita tunda saja besok malam?" tanya Pak Rudi.
"Jangan, Bi," tolak Imran, "Imran tidak ingin menundanya lagi. Bukankah niat baik harus disegerakan?"
"Tapi Ustaz Hanafi ada tamu, Nak? Apa pantas kita melamar Halimah sementara ada orang lain di sana?" tanya Bu Yani.
Imran tampak berpikir. Membenarkan apa yang dikatakan sang ibu. Namun hati kecilnya merasa ia harus melakukannya malam ini juga. Entah dari mana dorongan kuat itu berasal.
"Imran akan melamarnya malam ini juga, Umi, Abi. Please ...." Imran memelas pada kedua orang tua.
"Ikuti saja, Mi. Siapa tahu tamu Ustaz Hanafi itu keluarganya juga," kata Pak Rudi. Mendukung keinginan Imran.
Bu Yani menghela. "Ya sudahlah," katanya, mengalah pada anak dan suami.
Imran dan kedua orang tua akhirnya turun dari mobil. Melangkah menuju serambi rumah Ustaz Hanafi. Kemudian mengucap salam dari luar.
"Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikumussalam ...." Terdengar suara beberapa orang menjawab salam dari dalam rumah.
"Masyaa Allah ... silakan masuk, Pak, Bu." Ustaz Hanafi keluar menyambut mereka.
Ketiga orang itu melangkah masuk ke dalam rumah. Bertemu pandang dengan sepasang pengantin baru yang tak menyangka akan kedatangan mereka. Bahkan rona terkejut juga terpancar dari wajah cantik Fatia.
Di sudut sofa, seorang gadis dengan detak jantung tak karuan berusaha menetralisir hatinya. Lantai keramik berwarna putih itu mendadak teramat dingin meski kedua kakinya telah dibalut dengan kaus tebal.
'Akh Imran?' batin Halimah. Terkejut. Belum selesai urusannya denga Fatia dan Khalid, sudah harus dihadapkan dengan Imran dan keluarganya.
Percakapannya dengan Imran malam itu melintas jelas di kepala. Detak jantung Halimah benar-benar memacu dengan cepat. Kedua tangan saling mengait di balik jilbabnya yang lebar. Dingin menjalar dari ujung jari hingga seluruh tubuh.
Bahagia ... menjalar memenuhi rongga di dada. Mengembangkan kelopak bunga-bunga yang selama ini tertutup rapat. Memberikan warna pada sebuah taman bernama 'Hati'.
"Silakan duduk ...." Ustaz Hanafi mempersilakan para tamunya untuk duduk di sofa. Sementara ia mengambil kursi lain untuk dirinya.
Bu Piana beranjak ke dapur, menyiapkan minuman bagi keluarga Pak Rudi. Halimah turut mengekor di belakang. Menghindar sementara dari situasi yang pernah ia duga.
Imran duduk di sebelah Khalid. Tersenyum kaku pada lelaki yang pernah menjenguknya di rumah sakit. Mendadak ia teringat akan ucapan Fatia yang mengatakan bahwa Halimah akan segera menikah.
'Apakah mereka ...?' Imran tak sanggup meneruskan dugaannya. Rasa sakit tiba-tiba menyergap. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskan perlahan.
"Bagaimana kabarnya, Pak Rudi dan Bu Yani?" tanya Ustaz Hanafi.
"Alhamdulillah ... baik, Ustaz," jawab Pak Rudi. Bu Yani hanya tersenyum sebagai respon.
"Nak Imran sudah benar-benar pulih?" Kali ini Ustaz Hanafi bertanya pada pemuda yang terlihat gelisah.
"Alhamdulillah, Ustaz ...," jawab Imran gugup.
"Kenalkan, Pak Rudi, ini murid saya, Khalid. Dan ini istrinya."
"Ooh, murid Ustaz Hanafi, ya ...," kata Pak Rudi. Mengira kedua insan tersebut hanya berkunjung ke rumah guru untuk silaturahim.
"Benar, Pak," jawab Khalid seraya tersenyum.
"Kami sudah pernah bertemu di rumah sakit. Waktu mereka menjenguk Imran," kata Bu Piana.
"Sudah saling kenal ternyata," kata Ustaz Hanafi. Mereka hanya mengangguk, kecuali Pak Rudi yang memang baru bertemu pertama kali.
Pak Rudi dan Ustaz Hanafi mengobrol ringan. Khalid yang bersifat sangat dewasa dan mudah berbaur pun turut mengikuti obrolan kedua lelaki paruh baya itu. Sementara, Imran hanya diam seribu bahasa. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Haruskah melamar Halimah malam ini juga?
Di dapur, Halimah hanya berdiri kaku tanpa melakukan apapun. Hanyut dalam sebuah rasa yang tak mampu ia artikan.
'Ya Allah ... ada apa lagi ini? Apakah Akh Imran akan melakukan hal yang ia katakan kemarin? Kenapa mereka datang bersamaan malam ini? Apa yang harus kukatakan pada Fatia?' batin Halimah. Pikirannya berkecamuk.
"Kamu menyukai Imran?" Pertanyaan Bu Piana menyadarkan Halimah dari lamunan.
Halimah menggeleng pelan.
"Jangan menyangkal. Ammah bisa melihat itu dari sorot mata kamu."
"Halimah tidak yakin, Ammah ...."


"Kamu harus yakin pada perasaanmu sendiri. Ammah tidak tahu tujuan Imran dan keluarganya datang ke sini. Tapi satu hal yang ingin Ammah katakan padamu, jangan menikah dengan Khalid jika ada rasa terpaksa meski sebesar kuku. Poligami itu berat, Halimah."
Halimah bergeming. Kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibir sang bibi seolah menari-nari di kepala. Ia berusaha keras menetralisir hati untuk mencerna semua nasihat Bu Piana.
"Mau terus berdiri di situ sampai kapan?" tanya Bu Piana yang geli melihat sikap keponakannya.
"Eh, sebentar, Ammah." Halimah bergegas membantu bibinya membawa minuman.
Bu Piana menghidangkan minum di meja. Halimah kembali duduk ke tempatnya semula.
"Khalid, maaf, untuk urusan yang tadi ...." Ustaz Hanafi menghentikan kalimatnya. Berharap Khalid dan Fatia memahami situasi.
"Afwan, Ustaz. Saya paham. Mungkin bukan saatnya," potong Khalid.
"Kami--" Kalimat yang akan keluar dari bibir mungil Fatia terhenti karena genggaman lembut sang suami di tangannya.
Khalid memberi isyarat mata kepada Fatia untuk tidak mengatakan apapun.
"Kalau begitu kami permisi dulu, Ustaz," pamit Khalid.
"Baiklah, terima kasih, Khalid, Fatia," ucap Ustaz Hanafi. Sepasang suami istri itu mengangguk.
"Loh, kok sudah mau pulang?" tanya Pak Rudi basa-basi.
"Iya, Pak. Kami sudah datang sejak tadi. Fatia juga sepertinya sudah mengantuk," jawab Khalid. Fatia mengernyit dan menyenggol lengan sang suami. Khalid hanya tersenyum melihat ekspresi sang istri yang begitu menggemaskan di matanya.
"Assalamualaikum ...," lanjut Khalid, diikuti Fatia.
"Wa'alaikumussalam ...."
Ustaz Hanafi mengantar mereka hingga ke halaman rumah.
"Khalid, maaf karena niat baik kalian malam ini tidak berjalan dengan baik," kata Ustaz Hanafi pelan di dekat muridnya.
"Tidak apa-apa, Ustaz. Kami paham," jawab Khalid.
"Terima kasih." Ustaz Hanafi menepuk pundak Khalid.
"Fatia ...," panggil Khalid pelan pada istrinya seraya tetap fokus di balik kemudi. Melajukan mobil keluar dari halaman rumah Ustaz Hanafi.
"Iya, Mas."
"Kamu tidak melihat?"
"Melihat ... apa?"
"Halimah dan Imran."
Fatia menggeleng.
"Benar tidak paham?" tanya Khalid lagi.
"Fatia tidak mengerti apa yang mau Mas bicarakan. Tapi Fatia curiga akan kedatangan Imran dan keluarganya," jawab Fatia.
"Beruntung mereka datang tepat waktu sebelum kita melanjutkannya," kata Khalid.
"Tapi--"
"Sayang ... kamu tidak lihat mereka? Halimah dan Imran ... mereka saling mencintai."
"Saling mencintai?"
"Begitulah yang Mas pikirkan setelah melihat Imran. Dan perubahan ekspresi Halimah saat lelaki itu tiba."
"Benarkah, Mas?" tanya Fatia meyakinkan sang suami.
Khalid mengangguk dan berkata, "Sebagai sesama lelaki, itu yang dapat Mas nilai dari sorot mata Imran."
"Masyaa Allah ... Fatia senang kalau memang seperti itu, Mas. Alhamdulillah," ucap Fatia.
"Semoga mereka berjodoh," kata Khalid.
"Aamiin. Jadi ... menurut Mas, mereka datang untuk--?"
"Melamar," potong Khalid.
"Dari mana Mas tahu?" selidik Fatia pada sang suami.
"Menurut kamu, untuk apa Imran yang pernah menolak Halimah kini datang lagi bersama kedua orang tuanya?"
Sepasang manik hitam Fatia berbinar setelah mendengar penjelasan sang suami. Ia berharap Halimah dan Imran kali ini benar-benar saling menerima. Berjodoh dan membina rumah tangga yang bahagia.
"Insyaa Allah Mas akan menemui Ustaz Hanafi secepatnya. Jika dugaan kita benar, maka kita harus batalkan lamaran," kata Khalid.
Fatia mengangguk dan berkata dalam hati, 'Halimah, kamu berhak bahagia.'
Halimah merasa sedikit lega setelah kepulangan Fatia dan Khalid. Mereka sangat dewasa dalam bersikap. Mampu memahami situasi. Halimah bersyukur berteman dengan orang-orang seperti mereka.
Kini pikirannya beralih pada tiga orang yang datang bersamaan. Membuatnya kembali teringat pada kejadian tempo hari. Saat ia harus menerima hinaan Pak Rudi karena menolak lamaran mereka. Dan itu semua karena Imran.
Sosok pemuda tampan itu masih terpaku di tempatnya. Ia mencoba menerka maksud dari percakapan terakhir antara Ustaz Hanafi dan Khalid. Firasatnya mengatakan mereka datang dengan niat yang sama.
Imran semakin bimbang akan niatnya. Jika dugaannya benar, pantaskah ia mengkhitbah gadis itu?
"Maaf, Ustaz Hanafi, kalau boleh tahu, apa benar Halimah akan segera menikah?" tanya Bu Yani yang sedari tadi hanya diam. Memberanikan diri untuk bertanya terus terang pada Ustaz Hanafi.
"Menikah? Masyaa Allah ... itu harapan kami, Bu Yani," jawab Ustaz Hanafi.
"Oh, saya dengar kabar kalau Halimah akan segera menikah," kata Bu Yani.
"Saya tidak tahu dari mana asal kabar itu, Bu. Hanya saja, Halimah saat ini sudah dilamar seseorang."
'Duar!' Seperti suara petir yang menyambar tepat di dada Imran. Sakit ... kepingan harapan itu berhamburan diterpa badai.
"Di-la-mar?" ucap pemuda itu parau. Wajahnya yang ceria saat berangkat dari rumah, kini berganti dengan sorot mata sendu penuh penyesalan. Dia terlambat ....
Halimah ... gadis itu menunduk. Kedua matanya menghangat. Cairan bening mulai berdesakan di pelupuk. Ada rasa yang sampai detik ini tak mampu ia artikan.
Bu Yani hendak bertanya pada Ustaz Hanafi, namun Imran lebih dulu mengeluarkan suara.
"Semoga Halimah mendapatkan yang terbaik," kata Imran. Melirik sekilas pada seorang gadis yang tengah dirundung pilu. "Kami permisi dulu, Ustaz," lanjutnya.
Pemuda itu berjalan dengan langkah gontai. Memandang langit hitam tanpa bintang. Gelap ... sunyi ... seolah memahami situasi hatinya kini.
Jalanan ramai ibukota terasa bagai kota mati. Mobil melaju kencang tanpa suara. Imran bersandar di jok belakang. Memejamkan mata, menikmati sakitnya cinta yang menyisakan harap.
Halimah bersimpuh di sajadah. Menumpahkan segala keluh kesah pada Yang Kuasa. Cinta ... baru ia menyadari akan hadirnya. Namun, sang pria kini menyerah. Tanpa berusaha meminta hatinya ....

Biodata:


Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Memiliki harapan agar kisah yang dituliskan bisa menjadi karya yang inspiratif dan menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.