Karena Kamu Pangeranku Part 19
Oleh: Titin Akhiroh
Valerie merasa sebagian
dirinya tenggelam, hanyut akan perasaan yang selama sembilan tahun dipendamnya.
Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Endra. Lumatan liar dari sosok
cinta pertama, membuat dirinya sesak napas karena rasa bahagia. Sapuan hangat
lidah Endra sukses melemaskan lututnya. Untuk itu, ia mencengkeram pundak
lelaki itu agar tak tersungkur memalukan.
Sampai menyentuh menit, kesadarannya seolah menguar dan terlena
dalam ciuman Endra yang memabukkan. Namun, tiba-tiba sisa akal sehatnya
berontak. Segera ia mendorong tubuh tegap itu menjauh. Bukan karena ia tidak
ingin Endra menginvasi penuh bibirnya, tapi karena mereka sedang berada di
ruangan praktik rumah sakit. Valerie tidak ingin membuat skandal heboh jika
dokter kesayangan rumah sakit ini tertangkap basah sedang berciuman dengan
wanita yang ternyata adalah adik tiri sendiri.
Endra mundur, menahan perasaan kecewa atas penolakan Valerie.
Menampik ketidaknyamanan itu, ia berbalik melepas snelli dan mengantungnya di
tempat semula. Sekuat tenaga menahan debaran di dadanya. Ia kecewa.
“Maaf, tidak seharusnya
aku cium kamu,” ucap Endra pelan. Ia merutuki kebodohannya yang bertindak
impulsif mencium ganas bibir Valerie. Tentu saja Valerie memberi penolakan
karena sudah punya tambatan hati baru.
Berbeda dengan Endra yang
merasa bersalah, maka Valerie justru merasa kecewa. Kata-kata Endra
menggambarkan penyesalan telah menciumnya. Jadi, ia memang sudah tidak berarti
lagi bagi Endra, dan itu membuat hatinya ... sakit.
“Ayo, kita pergi!” ajak Endra setelah memakai blazer biru
navy-nya.
Valerie menganggukkan kepala, berjalan mengikuti Endra pulang.
Baru saja Endra membawa mobilnya keluar dari kompleks rumah sakit menuju jalan
raya, mereka harus terjebak dalam kemacetan.
Keduanya diam dengan pikiran halai balai. Memikirkan nasib cinta
yang tidak berjalan mulus. Mencintai seseorang yang sudah memiliki orang lain.
Sungguh menyesakkan.
“Apa London juga macet seperti ini?” tanya Endra mengikis rasa
canggungnya.
Sejujurnya, Endra bingung mencari topik obrolan dengan Valerie.
Ia pikir bicara tentang kemacetan lebih baik daripada hanya duduk diam. Apalagi
sekarang ada Valerie di sampingnya. Ia butuh pengalihan perhatian agar tidak
menyerang Valerie lagi. Valerie yang sekarang terlihat lebih cantik daripada
sembilan tahun lalu. Gadis itu berubah menjadi wanita dewasa dengan dandanan
modis, make up, dan high heels. Penampilan sempurna yang benar-benar merusak
konsentrasinya, sehingga ia tidak bisa berhenti untuk terus melirik ke samping.
Ia membatin sinis, pantas saja Valerie berhasil memikat pria Inggris untuk
dijadikan pacar.
“Hanya saat jam-jam tertentu, itu pun tidak separah ini,” sahut
Valerie sambil melihat mobil-mobil di depan mereka.
“Makanya aku lebih suka bawa motor daripada mobil jika macet
parah.”
Valerie langsung menoleh. “Kamu masih suka bawa motor?” tanyanya
heran. Sementara itu, Endra hanya merespons dengan anggukan.
“Mau makan siang di mana?” tanya Endra karena waktu yang sudah
menunjukkan jam makan siang. Tangan kanannya menyalakan tape mobil. Hymn for
The Weekend milik Cold Play langsung menggema di dalam mobil.
“Terserah kamu saja, Ndra,” jawab Valerie. Ia menoleh ke
samping, memperhatikan Endra. “Ndra, apa kamu masih merokok?”
Kepala Endra menggeleng. “Aku sudah berhenti lama sejak
seseorang memintaku untuk berhenti merokok jika ingin jadi dokter.”
Valerie menoleh ke arah jendela, kemudian tersenyum tipis. Endra
masih mengingat betul saat ia memintanya untuk tidak lagi merokok. Entah kenapa
ia merasa senang.
“Bagaimana kabar Tiga sekawan?” Kini, Valerie sudah menatap
Endra lagi.
“Mereka baik dan masih berengsek seperti dulu. Sekarang, Juno
jadi arsitek. Ello jadi pengacara dan berencana akan membuka firma hukum
sendiri. Sementara, Garin jadi General Manager di perusahaan daddy-nya,” jawab
Endra sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya di kemudi. Mengikuti irama musik
yang mejadi latar kebersamaannya dengan Valerie.
“Ehmm jadi, kita berlima bekerja sesuai dengan cita-cita dulu
waktu SMA,” sahut Valerie dan Endra mengangguk setuju.
Keduanya kembali diam. Kali ini, ingatan mereka terlempar pada
momen kebersamaan melewati hari-hari di paviliun Tante Hesti. Bersama Tiga
Sekawan, mereka sering mengandai dan merancang cita-cita di masa depan.
Endra menoleh. “Kapan kamu balik ke London?” Jauh dalam lubuk
hati Endra, ia ingin Valerie tetap tinggal. Namun, apa daya ia tidak punya hak
untuk menahan Valerie lebih lama.
“Besok siang.”
“Betah di sana, ya?” Lagi-lagi Endra merutuki diri. Untuk apa ia
bertanya, sudah jelas jika Valerie betah karena telah memiliki seorang spesial
di dekatnya.
“Lumayan, tapi seenak-enaknya tinggal di negara orang, lebih
enak tinggal di negeri sendiri,” jawab Valerie sambil tersenyum.
Senyuman yang memberi efek dahsyat sekali bagi Endra, hingga
harus mati-matian menahan diri untuk tidak menarik Valerie dalam rengkuhannya.
Mengusir pikiran yang mulai tak waras, ia kembali bertanya, “Apa kekasihmu tak
marah melihatmu jalan denganku?”
Lagi-lagi kesabaran Endra diuji. Ia menahan geram. Dalam hati,
ia marah pada pria itu karena sudah menjadi kekasih Valerie.
Valerie menatap Endra dengan kening berkerut. “Kekasih?
Maksudnya?”
“Pria yang bersamamu di hotel waktu itu,” terang Endra. Jujur,
ia deg-degan menanti jawaban Valerie. Padahal bisa saja jawaban itu akan
membuatnya lebih sakit hati.
“Eduard.” Valerie berujar, sedangkan Endra mengangguk. “Kenapa
dia harus marah?” Valerie masih bingung dengan pertanyaan Endra yang seperti
sedang menginterogasinya.
“Karena membiarkan kekasihnya jalan denganku.”
Sontak tawa Valerie berderai. Kini, giliran Endra yang bingung.
“Hehe ... Eduard bukan kekasihku, dia hanya teman dekat.”
“Tapi tetap kamu suka, 'kan?” Endra kembali bertanya.
“Ya, jika saja dia tidak penganut LGBT,” sahut Valerie saat
mulai berhenti tertawa. Kemudian, ia menoleh. “Dia gay.”
Perasaan lega dirasakan Endra karena pria British itu bukan
kekasih Valerie. Itu artinya, ia masih ada harapan mengikat Valerie hanya
untuknya. Diam-diam, ia menarik napasnya pelan. “Apa ada seseorang yang kamu
sukai sekarang?” Endra tidak bisa menahan penasarannya akan perasaan Valerie.
Valerie mengangguk. “Ya.”
Jantung Endra yang tadi berdentum senang mulai terasa nyeri.
Kesempatan terakhirnya lepas. Ia sudah tidak lagi menjadi bagian dari jiwa
Valerie. Kini, semua menjadi jelas. Hubungannya dan Valerie tidak lebih dari
mantan kekasih. Lebih lawaknya hanya berstatus sebagai saudara tiri. Dengan
begini, ia mengunci bibirnya untuk tidak lagi bertanya. Cukup sudah ia tahu
kebenaran tentang perasaan Valerie. Sepertinya mulai sekarang, ia memang harus
move on.
“Lalu, apa kekasih kamu tidak marah melihatmu jalan denganku
hari ini?” Valerie harus mati-matian menahan suaranya yang bergetar cemburu.
“Aku tak punya kekasih.”
“Lalu, wanita yang bersamamu tempo hari?” Valerie bertanya
dengan menatap Endra penasaran.
Endra yang sedang menunduk menatap setir, mulai dilanda bingung.
Dalam diam, ia mencerna pertanyaan Valerie. “Oh ... Chelsea. Dia tunangan
Ello,” celetuknya setelah ingat sosok yang dimaksud Valerie.
“Apa kamu punya seseorang yang kamu cintai?” tanya Valerie
pelan.
Lama Endra tidak kunjung menjawab, hingga menimbulkan jantung
Valeirie berdentam kuat. Meski peluang untuk kembali bersama terbilang kecil,
tapi ia berharap masih ada sisa rasa di hati Endra.
Dengan harap-harap cemas, Valerie menatap Endra. Lalu tiba-tiba,
kepala lelaki itu mengangguk. Seketika kelopak harapan di hati Valerie mulai
berguguran. Demi menetralisir perasaannya, ia memalingkan wajah melihat
pemandangan ke luar jendela.
“Tapi sayangnya, dia sudah tidak punya rasa untukku. Endra
berkata santai tanpa berniat melihat lawan bicaranya. Bahkan dia sudah
meninggalkanku selama sembilan tahun.”
Bagai ada pegas, kepala Valerie langsung menoleh menatap Endra.
Endra tersenyum getir, kemudian menatap balik Valerie dalam beberapa detik
sebelum kembali menunduk.
“Tenang, Rie, aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku tahu
posisiku. Aku tidak akan menjauhkanmu dari seseorang yang kamu suka. Kamu bisa
pegang omonganku.”
“Aku cinta kamu, Ndra,” tembak Valerie langsung.
Kepala Endra menoleh. Tatapan tajamnya menembus manik cokelat
Valerie, berusaha mencari sebuah kebenaran. Valerie tidak berbohong. Binar
cinta itu ada. Sama besarnya dengan dulu.
“Don't make a fun of me,”
bisik Endra, tapi masih cukup didengar Valerie.
“I am not making fun of
you.”
“Lalu, kenapa kamu meninggalkanku waktu itu?” tanya Endra dengan
nada menuntut untuk semua detail penjelasan Valerie. Ia ingin tahu alasan apa
yang membuat gadis itu meninggalkannya hingga hampir seperti orang gila.
Mata Valerie mulai mendanau. “Karena aku takut dengan masa lalu.
Aku tidak bisa berdamai dengan masa laluku," balasnya dengan suara semakin
serak.
Sakit kembali menghunjam dadanya jika kembali mengingat alasan
ia pergi meninggalkan Endra waktu itu. Percakapan Budi dan Diandra benar-benar
menggores luka hatinya. “Aku sakit hati saat Ayah dan mamamu ingin memisahkan
kita. Aku marah saat mereka membawamu pergi jauh saat itu. Aku benci mereka
yang tidak mau mengerti perasaan kita. Untuk itu, aku memilih pergi. Dan saat
aku menyadari bahwa keputusanku sangat egois hingga melukaimu. Aku menyesal,
benar-benar menyesal. A-aku minta maaf, Ndra. Maaf ....”
Penantian panjang Endra selama sembilan tahun ternyata tak
sia-sia. Valerie masih mencintainya. Dengan cepat, ia melepas seatbelt-nya dan
milik Valerie, kemudian merengkuh tubuh gadisnya dalam dekapan. Diciuminya
puncak kepala Valerie dengan penuh syukur dan mendamba.
Tangisan Valerie bukannya berhenti, malah semakin menjadi.
Sedih, sesal, sekaligus kelegaan menjadi satu dalam hati, hingga rasanya ingin
meledak. “A-aku minta maaf, Ndra. Ma-maaf ....” Dengan tersengal-sengal,
Valerie tidak henti merapal kata maaf di dada Endra. Ia tidak tahu bagaimana
mengungkapkan perasaan yang menyiksanya selama ini di hadapan Endra. Yang bisa
ia lakukan hanya menangis keras mengingat kesalahan besar pada cinta
pertamanya.
“Aku juga minta maaf sudah meluapkan emosiku padamu.” Endra
berucap setelah mengecupi kepala Valerie. “Berjanjilah padaku! Jangan pernah
meninggalkanku lagi.”
Tidak ada jawaban. Namun, pelukan Valerie yang mengerat membuat
Endra tersenyum lega. Bahkan hatinya berdebar hebat kala kepala Valerie
mengangguk patuh dalam dekapannya.
Keduanya berpelukan lama, merasakan banyaknya cinta di antara
mereka. Cinta yang terus bersemi dalam hati mereka. Cinta yang terpatri kuat
dalam otak mereka. Cinta yang mengalir deras dalam setiap aliran darah mereka.
Cinta yang tumbuh kala remaja terpupuk mekar hingga dewasa.
Episode kesalahpahaman dan kesedihan telah berakhir. Senyum
bahagia tidak lepas dari bibir Valerie dan Endra. Rasa syukur membuncah dalam
diri keduanya bisa kembali bersama setelah terpisah dalam jarak dan waktu.
Ruangan bersekat dalam restoran Jepang menjadi pelabuhan pertama
keduanya melarung rindu. Mereka duduk berdampingan di tatami sembari menikmati
sajian sushi. Sesekali mereka saling pandang, lalu tersenyum malu seperti
remaja yang baru meneguk manisnya madu.
Endra menumpukan siku kanannya di meja. Tubuhnya sedikit miring
menghadap Valerie, sedangkan telapak tangan menompang kepala. Dipandanginya
paras ayu Valerie yang menjadi candu.
Wajah Valerie memanas. Endra tahu betul bagaimana membuatnya
salah tingkah. Dari awal mereka kenal hingga sekarang, tak ada yang berubah.
Endra selalu bisa membuatnya tersipu. “Jangan melihatku seperti itu!” seru
Valerie yang sudah tidak tahan menjadi objek tatapan Endra.
“Lalu, aku harus lihat siapa?” tanya Endra tanpa dosa. Berbeda
dengan Valerie yang sudah belingsatan. “Lagi pula, aku ingin menebus waktuku
yang terbuang. Aku ingin selalu melihatmu seperti ini.”
Bagaimana Valerie tak makin cinta dengan Endra yang selalu
berkata manis seperti ini? Valerie menatap tajam Endra. “Apa kamu juga sering
merayu pasienmu seperti ini?”
Kekehan keluar dari bibir Endra. Setelahnya, ia menggelengkan
kepala. “Aku hanya bisa bersikap manis saat bersamamu.”
“Kenapa?” Valerie sekuat tenaga menahan rasa gembiranya yang
membuncah.
“Karena kamu Peri Valentine-ku.”
Wajah dan telinga Valerie seakan terbakar mendengar rayuan
Endra. Sebentar lagi, mungkin ia akan kehilangan kinerja jantungnya. Berada
dekat Endra membuat gumpalan daging itu selalu berdentum cepat. Melelahkan,
tapi menyenangkan.
Tangan mereka saling bertautan. Sengatan hangat menjalar. Sangat
menenangkan dan menentramkan. Tatapan Valerie jatuh pada benda putih mengilap
di tangan kiri Endra yang sedang menggenggamnya.
“Kamu masih pakai gelang ini, Ndra?” Valerie memegang gelang di
tangan kiri Endra dengan tangan kirinya yang bebas.
Endra mengangguk. “Aku hanya lepas saat mau operasi.”
“Jadi memang gelang spesial, ya. Sampai kamu tidak pernah
melepasnya. Padahal sudah bertahun-tahun,” ucap Valerie sambil masih menyentuh
gelang Endra.
“Sebenarnya, gelang ini dari Ibu.”
Mata Valerie membulat tak percaya. Lalu, ia memandang lekat
Endra untuk meminta kebenaran. “Dari ibuku?”
Lagi-lagi Endra mengangguk. Kali ini, diiringi lengkung manis
yang tercetak indah di bibir penuhnya. “Waktu itu, aku main ke rumahmu
sendirian. Aku bicara sama Ibu. Kami berdua ngobrol lama. Saat itu aku bilang
suka sama kamu. Tahu respons Ibu gimana?" Ia melihat Valerie yang
menggeleng. "Ibu tersenyum, kasih izin, lalu cerita banyak tentang kamu.”
Valerie masih menatap Endra tak percaya. “Benarkah? Lalu, kenapa
kamu tidak pernah cerita? Ibu juga tidak pernah cerita padaku?”
“Ibu bilang, aku boleh cerita padamu setelah kita nikah.”
“Sekarang, kita belum menikah--”
“Sebentar lagi,” sergah Endra cepat, hingga berhasil mengubah
wajah Valerie menjadi merona. “Ibu sendiri memakaikan ini padaku. Terus bilang
untuk selalu jaga kamu. Aku terharu saat itu, Rie, karena selang beberapa hari
Ibu meninggal.”
Beberapa saat mereka terdiam. Wajah Valerie berubah sedikit
sendu. Ia merindukan ibunya. “Aku tidak pernah lihat Ibu punya gelang ini.”
“Ibu bilang, ini gelang kesayangan kakekmu.” Endra ikut menatap
gelangnya.
Kepala Valerie terangkat, memandang Endra. “Dulu, Ibu memang
suka menanyakanmu, Ndra. Aku pikir, Ibu hanya ingin tahu karena kamu pria yang
kusukai waktu itu. Tapi ternyata, Ibu beneran sayang padamu, sampai-sampai kamu
dikasih gelang kesayangan kakekku,” ucapnya dengan bibir mencebik kesal.
“Cemburu?” Sontak Valerie memukul pelan lengan Endra yang
terkekeh. Detik selanjutnya, tawa Endra berhenti. Tangannya menggenggam erat
tangan Valerie. “Makanya, aku frustrasi waktu kamu pergi. Karena aku sudah
janji pada Ibu.”
“Maaf, ya, Ndra. Aku--”
Telunjuk Endra menempel di bibir Valerie. “Mulai sekarang, kita
tidak perlu mengingat masa lalu lagi. Oke?” Valerie mengangguk setuju.
“Kamu juga masih memakai gelang ini?” Giliran Endra yang
bertanya sembari menyentuh gelang perak milik Valerie.
“Gelang ini sebagai pengingat dirimu saat aku pergi.”
Arah pandang Endra jatuh ke leher Valerie. Tangannya terangkat,
menarik keluar kalung di balik dress Valerie. “Ini dari Tiga Sekawan, bukan?”
Valerie yang berdebar karena tindakan tiba-tiba Endra menyentuh
lehernya, mengangguk samar. Ia heran dengan lelaki di depannya kini. “Kenapa
kamu bisa tahu?”
“Mereka cerita semua, bahkan saat kamu cium kening mereka di
malam sebelum perpisahan.” Endra kembali teringat momen terburuk dalam
hidupnya. Dirinya yang kalang kabut mencari keberadaan Valerie, tapi gagal
hingga menjadikannya frustrasi. Tidak hanya dirinya yang bersedih, melainkan
Tiga Sekawan yang juga berduka kehilangan teman kesayangan mereka.
“Maaf, ya, Ndra.” Valerie berucap yang terdengar bernada sedih.
“Maaf karena sudah cium kening Tiga Sekawan?” tanya Endra dan
Valerie menggeleng.
“Maaf karena waktu itu, aku tidak menepati janji. Bahkan aku
pergi tanpa pamit dan membuatmu sedih. Aku sudah melakukan kesalahan besar
padamu. Aku minta maaf." Tanpa diduga, Valerie mencium tangan kiri Endra
yang menggenggam tangannya.
Perasaan Endra menghangat. Mungkin inilah balasan dari rasa
cemas dan sedihnya selama sembilan tahun. Valerie yang ia damba kembali bisa
direngkuh. Walau ia tahu kebersamaan mereka kali ini bisa mengulang kembali
emosi antara dirinya, Diandra, dan Budi. Namun untuk kali ini, ia tidak akan
menyerah dan terus berjuang sampai akhir agar dapat menahan Valerie di sisinya.
“Berhenti minta maaf karena itu akan selalu mengingatkan kita
pada masa lalu.” Endra mengucap sembari menatap lembut kekasih hatinya itu.
“Jika kamu menyesal, maka kamu hanya perlu melakukan satu hal padaku,” imbuh
Endra.
Mata Valerie bertemu adu dengan milik Endra. “Apa?”
“Tetaplah bersamaku. Apa pun yang terjadi nanti, entah itu
penolakan ayahmu atau mamaku. Tetaplah bersamaku.”
Valerie menatap Endra dan dapat melihat keyakinan yang kuat di
manik cokelatnya. “Bagaimana jika hubungan ini akan sulit dan menyakiti semua
orang?”
“Mereka sudah lebih dulu menyakiti banyak orang. Aku dan kamu
adalah korban nyata dari mereka. Untuk itu, aku tidak membiarkanmu lepas.
Mungkin ini terkesan egois, tapi aku tidak mau lagi pura-pura terlihat bahagia
dalam sekarat.”
Valerie mengangguk mengerti mendengar makna dalam ucapan Endra.
Endra benar. Bagaimanapun, berpura-pura bahagia dalam kesakitan adalah hukuman
terbaik untuk orang yang takut mengambil keputusan. Seperti yang dilakukannya
sembilan tahun lalu. Ia terlalu takut untuk mendapatkan Endra, hingga
memutuskan lari dari kenyataan. Hasilnya bukan bahagia dan ketenangan yang ia
dapatkan, melainkan kesedihan dan kesakitan yang terus menghunjam dadanya tanpa
ampun.
“Rie, apa kamu harus kembali besok?” Pertanyaan Endra menarik
pikiran Valerie ke dunia nyata. Meski sedikit gelagapan, tak urung ia
mengangguk juga.
“Apa kepulanganmu tidak bisa ditunda? Aku masih kangen kamu,
Rie. Tidak bisakah kamu tinggal lebih lama?”
Valerie bergeming. Rasanya memang terlalu berat untuk pergi
karena baru saja berdamai dengan Endra. Jauh dalam hati, ia ingin tetap
menikmati kebersamaan dengan cinta pertamanya. Ia mengangkat kepala, memandang
wajah Endra yang penuh pengharapan. Setelah berpikir cukup lama, ia pun
membuang napas berat. “Oke, aku akan tinggal lebih lama, tapi ada syaratnya!”
Mata Endra berbinar dan mulai mengangguk setuju.
“Ajak aku ke semua tempat yang menjadi kenangan kita dulu!”
titah Valerie diiringi senyuman penuh arti.
Endra balas tersenyum. “Oke, Nona Valerie. Hari ini, aku akan
jadi special guide tour buatmu. Where do you want to go?” tanyanya
dengan intonasi yang sama seperti dulu.
Senyum Valerie merekah mengingat kebersamaannya dan Endra dulu.
“How about Anyer beach?”
“That's sound good.”
Endra lantas berdiri, menarik Valerie untuk ikut bersamanya.
Tbc
Pati,
22 November 2019
Biodata:
Penulis tinggal di Pati
dan bercita-cita memiliki novel solo suatu saat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.