Sabtu, 23 November 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 19 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org








Karena Kamu Pangeranku Part 19
Oleh: Titin Akhiroh


Valerie merasa sebagian dirinya tenggelam, hanyut akan perasaan yang selama sembilan tahun dipendamnya. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Endra. Lumatan liar dari sosok cinta pertama, membuat dirinya sesak napas karena rasa bahagia. Sapuan hangat lidah Endra sukses melemaskan lututnya. Untuk itu, ia mencengkeram pundak lelaki itu agar tak tersungkur memalukan.
Sampai menyentuh menit, kesadarannya seolah menguar dan terlena dalam ciuman Endra yang memabukkan. Namun, tiba-tiba sisa akal sehatnya berontak. Segera ia mendorong tubuh tegap itu menjauh. Bukan karena ia tidak ingin Endra menginvasi penuh bibirnya, tapi karena mereka sedang berada di ruangan praktik rumah sakit. Valerie tidak ingin membuat skandal heboh jika dokter kesayangan rumah sakit ini tertangkap basah sedang berciuman dengan wanita yang ternyata adalah adik tiri sendiri.
Endra mundur, menahan perasaan kecewa atas penolakan Valerie. Menampik ketidaknyamanan itu, ia berbalik melepas snelli dan mengantungnya di tempat semula. Sekuat tenaga menahan debaran di dadanya. Ia kecewa.
“Maaf, tidak seharusnya aku cium kamu,” ucap Endra pelan. Ia merutuki kebodohannya yang bertindak impulsif mencium ganas bibir Valerie. Tentu saja Valerie memberi penolakan karena sudah punya tambatan hati baru.
Berbeda dengan Endra yang merasa bersalah, maka Valerie justru merasa kecewa. Kata-kata Endra menggambarkan penyesalan telah menciumnya. Jadi, ia memang sudah tidak berarti lagi bagi Endra, dan itu membuat hatinya ... sakit.
“Ayo, kita pergi!” ajak Endra setelah memakai blazer biru navy-nya.
Valerie menganggukkan kepala, berjalan mengikuti Endra pulang. Baru saja Endra membawa mobilnya keluar dari kompleks rumah sakit menuju jalan raya, mereka harus terjebak dalam kemacetan.
Keduanya diam dengan pikiran halai balai. Memikirkan nasib cinta yang tidak berjalan mulus. Mencintai seseorang yang sudah memiliki orang lain. Sungguh menyesakkan.
“Apa London juga macet seperti ini?” tanya Endra mengikis rasa canggungnya.
Sejujurnya, Endra bingung mencari topik obrolan dengan Valerie. Ia pikir bicara tentang kemacetan lebih baik daripada hanya duduk diam. Apalagi sekarang ada Valerie di sampingnya. Ia butuh pengalihan perhatian agar tidak menyerang Valerie lagi. Valerie yang sekarang terlihat lebih cantik daripada sembilan tahun lalu. Gadis itu berubah menjadi wanita dewasa dengan dandanan modis, make up, dan high heels. Penampilan sempurna yang benar-benar merusak konsentrasinya, sehingga ia tidak bisa berhenti untuk terus melirik ke samping. Ia membatin sinis, pantas saja Valerie berhasil memikat pria Inggris untuk dijadikan pacar.
“Hanya saat jam-jam tertentu, itu pun tidak separah ini,” sahut Valerie sambil melihat mobil-mobil di depan mereka.
“Makanya aku lebih suka bawa motor daripada mobil jika macet parah.”
Valerie langsung menoleh. “Kamu masih suka bawa motor?” tanyanya heran. Sementara itu, Endra hanya merespons dengan anggukan.
“Mau makan siang di mana?” tanya Endra karena waktu yang sudah menunjukkan jam makan siang. Tangan kanannya menyalakan tape mobil. Hymn for The Weekend milik Cold Play langsung menggema di dalam mobil.
“Terserah kamu saja, Ndra,” jawab Valerie. Ia menoleh ke samping, memperhatikan Endra. “Ndra, apa kamu masih merokok?”
Kepala Endra menggeleng. “Aku sudah berhenti lama sejak seseorang memintaku untuk berhenti merokok jika ingin jadi dokter.”
Valerie menoleh ke arah jendela, kemudian tersenyum tipis. Endra masih mengingat betul saat ia memintanya untuk tidak lagi merokok. Entah kenapa ia merasa senang.
“Bagaimana kabar Tiga sekawan?” Kini, Valerie sudah menatap Endra lagi.
“Mereka baik dan masih berengsek seperti dulu. Sekarang, Juno jadi arsitek. Ello jadi pengacara dan berencana akan membuka firma hukum sendiri. Sementara, Garin jadi General Manager di perusahaan daddy-nya,” jawab Endra sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya di kemudi. Mengikuti irama musik yang mejadi latar kebersamaannya dengan Valerie.
“Ehmm jadi, kita berlima bekerja sesuai dengan cita-cita dulu waktu SMA,” sahut Valerie dan Endra mengangguk setuju.
Keduanya kembali diam. Kali ini, ingatan mereka terlempar pada momen kebersamaan melewati hari-hari di paviliun Tante Hesti. Bersama Tiga Sekawan, mereka sering mengandai dan merancang cita-cita di masa depan.
Endra menoleh. “Kapan kamu balik ke London?” Jauh dalam lubuk hati Endra, ia ingin Valerie tetap tinggal. Namun, apa daya ia tidak punya hak untuk menahan Valerie lebih lama.
“Besok siang.”
“Betah di sana, ya?” Lagi-lagi Endra merutuki diri. Untuk apa ia bertanya, sudah jelas jika Valerie betah karena telah memiliki seorang spesial di dekatnya.
“Lumayan, tapi seenak-enaknya tinggal di negara orang, lebih enak tinggal di negeri sendiri,” jawab Valerie sambil tersenyum.
Senyuman yang memberi efek dahsyat sekali bagi Endra, hingga harus mati-matian menahan diri untuk tidak menarik Valerie dalam rengkuhannya. Mengusir pikiran yang mulai tak waras, ia kembali bertanya, “Apa kekasihmu tak marah melihatmu jalan denganku?”
Lagi-lagi kesabaran Endra diuji. Ia menahan geram. Dalam hati, ia marah pada pria itu karena sudah menjadi kekasih Valerie.
Valerie menatap Endra dengan kening berkerut. “Kekasih? Maksudnya?”
“Pria yang bersamamu di hotel waktu itu,” terang Endra. Jujur, ia deg-degan menanti jawaban Valerie. Padahal bisa saja jawaban itu akan membuatnya lebih sakit hati.
“Eduard.” Valerie berujar, sedangkan Endra mengangguk. “Kenapa dia harus marah?” Valerie masih bingung dengan pertanyaan Endra yang seperti sedang menginterogasinya.
“Karena membiarkan kekasihnya jalan denganku.”
Sontak tawa Valerie berderai. Kini, giliran Endra yang bingung. “Hehe ... Eduard bukan kekasihku, dia hanya teman dekat.”
“Tapi tetap kamu suka, 'kan?” Endra kembali bertanya.
“Ya, jika saja dia tidak penganut LGBT,” sahut Valerie saat mulai berhenti tertawa. Kemudian, ia menoleh. “Dia gay.”
Perasaan lega dirasakan Endra karena pria British itu bukan kekasih Valerie. Itu artinya, ia masih ada harapan mengikat Valerie hanya untuknya. Diam-diam, ia menarik napasnya pelan. “Apa ada seseorang yang kamu sukai sekarang?” Endra tidak bisa menahan penasarannya akan perasaan Valerie.
Valerie mengangguk. “Ya.”
Jantung Endra yang tadi berdentum senang mulai terasa nyeri. Kesempatan terakhirnya lepas. Ia sudah tidak lagi menjadi bagian dari jiwa Valerie. Kini, semua menjadi jelas. Hubungannya dan Valerie tidak lebih dari mantan kekasih. Lebih lawaknya hanya berstatus sebagai saudara tiri. Dengan begini, ia mengunci bibirnya untuk tidak lagi bertanya. Cukup sudah ia tahu kebenaran tentang perasaan Valerie. Sepertinya mulai sekarang, ia memang harus move on.
“Lalu, apa kekasih kamu tidak marah melihatmu jalan denganku hari ini?” Valerie harus mati-matian menahan suaranya yang bergetar cemburu.
“Aku tak punya kekasih.”
“Lalu, wanita yang bersamamu tempo hari?” Valerie bertanya dengan menatap Endra penasaran.
Endra yang sedang menunduk menatap setir, mulai dilanda bingung. Dalam diam, ia mencerna pertanyaan Valerie. “Oh ... Chelsea. Dia tunangan Ello,” celetuknya setelah ingat sosok yang dimaksud Valerie.
“Apa kamu punya seseorang yang kamu cintai?” tanya Valerie pelan.
Lama Endra tidak kunjung menjawab, hingga menimbulkan jantung Valeirie berdentam kuat. Meski peluang untuk kembali bersama terbilang kecil, tapi ia berharap masih ada sisa rasa di hati Endra.
Dengan harap-harap cemas, Valerie menatap Endra. Lalu tiba-tiba, kepala lelaki itu mengangguk. Seketika kelopak harapan di hati Valerie mulai berguguran. Demi menetralisir perasaannya, ia memalingkan wajah melihat pemandangan ke luar jendela.
“Tapi sayangnya, dia sudah tidak punya rasa untukku. Endra berkata santai tanpa berniat melihat lawan bicaranya. Bahkan dia sudah meninggalkanku selama sembilan tahun.”
Bagai ada pegas, kepala Valerie langsung menoleh menatap Endra. Endra tersenyum getir, kemudian menatap balik Valerie dalam beberapa detik sebelum kembali menunduk.
“Tenang, Rie, aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku tahu posisiku. Aku tidak akan menjauhkanmu dari seseorang yang kamu suka. Kamu bisa pegang omonganku.”
“Aku cinta kamu, Ndra,” tembak Valerie langsung.
Kepala Endra menoleh. Tatapan tajamnya menembus manik cokelat Valerie, berusaha mencari sebuah kebenaran. Valerie tidak berbohong. Binar cinta itu ada. Sama besarnya dengan dulu.
Don't make a fun of me,” bisik Endra, tapi masih cukup didengar Valerie.
I am not making fun of you.”
“Lalu, kenapa kamu meninggalkanku waktu itu?” tanya Endra dengan nada menuntut untuk semua detail penjelasan Valerie. Ia ingin tahu alasan apa yang membuat gadis itu meninggalkannya hingga hampir seperti orang gila.


Mata Valerie mulai mendanau. “Karena aku takut dengan masa lalu. Aku tidak bisa berdamai dengan masa laluku," balasnya dengan suara semakin serak.
Sakit kembali menghunjam dadanya jika kembali mengingat alasan ia pergi meninggalkan Endra waktu itu. Percakapan Budi dan Diandra benar-benar menggores luka hatinya. “Aku sakit hati saat Ayah dan mamamu ingin memisahkan kita. Aku marah saat mereka membawamu pergi jauh saat itu. Aku benci mereka yang tidak mau mengerti perasaan kita. Untuk itu, aku memilih pergi. Dan saat aku menyadari bahwa keputusanku sangat egois hingga melukaimu. Aku menyesal, benar-benar menyesal. A-aku minta maaf, Ndra. Maaf ....”
Penantian panjang Endra selama sembilan tahun ternyata tak sia-sia. Valerie masih mencintainya. Dengan cepat, ia melepas seatbelt-nya dan milik Valerie, kemudian merengkuh tubuh gadisnya dalam dekapan. Diciuminya puncak kepala Valerie dengan penuh syukur dan mendamba.
Tangisan Valerie bukannya berhenti, malah semakin menjadi. Sedih, sesal, sekaligus kelegaan menjadi satu dalam hati, hingga rasanya ingin meledak. “A-aku minta maaf, Ndra. Ma-maaf ....” Dengan tersengal-sengal, Valerie tidak henti merapal kata maaf di dada Endra. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan yang menyiksanya selama ini di hadapan Endra. Yang bisa ia lakukan hanya menangis keras mengingat kesalahan besar pada cinta pertamanya.
“Aku juga minta maaf sudah meluapkan emosiku padamu.” Endra berucap setelah mengecupi kepala Valerie. “Berjanjilah padaku! Jangan pernah meninggalkanku lagi.”
Tidak ada jawaban. Namun, pelukan Valerie yang mengerat membuat Endra tersenyum lega. Bahkan hatinya berdebar hebat kala kepala Valerie mengangguk patuh dalam dekapannya.
Keduanya berpelukan lama, merasakan banyaknya cinta di antara mereka. Cinta yang terus bersemi dalam hati mereka. Cinta yang terpatri kuat dalam otak mereka. Cinta yang mengalir deras dalam setiap aliran darah mereka. Cinta yang tumbuh kala remaja terpupuk mekar hingga dewasa.
Episode kesalahpahaman dan kesedihan telah berakhir. Senyum bahagia tidak lepas dari bibir Valerie dan Endra. Rasa syukur membuncah dalam diri keduanya bisa kembali bersama setelah terpisah dalam jarak dan waktu.
Ruangan bersekat dalam restoran Jepang menjadi pelabuhan pertama keduanya melarung rindu. Mereka duduk berdampingan di tatami sembari menikmati sajian sushi. Sesekali mereka saling pandang, lalu tersenyum malu seperti remaja yang baru meneguk manisnya madu.
Endra menumpukan siku kanannya di meja. Tubuhnya sedikit miring menghadap Valerie, sedangkan telapak tangan menompang kepala. Dipandanginya paras ayu Valerie yang menjadi candu.
Wajah Valerie memanas. Endra tahu betul bagaimana membuatnya salah tingkah. Dari awal mereka kenal hingga sekarang, tak ada yang berubah. Endra selalu bisa membuatnya tersipu. “Jangan melihatku seperti itu!” seru Valerie yang sudah tidak tahan menjadi objek tatapan Endra.
“Lalu, aku harus lihat siapa?” tanya Endra tanpa dosa. Berbeda dengan Valerie yang sudah belingsatan. “Lagi pula, aku ingin menebus waktuku yang terbuang. Aku ingin selalu melihatmu seperti ini.”
Bagaimana Valerie tak makin cinta dengan Endra yang selalu berkata manis seperti ini? Valerie menatap tajam Endra. “Apa kamu juga sering merayu pasienmu seperti ini?”
Kekehan keluar dari bibir Endra. Setelahnya, ia menggelengkan kepala. “Aku hanya bisa bersikap manis saat bersamamu.”
“Kenapa?” Valerie sekuat tenaga menahan rasa gembiranya yang membuncah.
“Karena kamu Peri Valentine-ku.”
Wajah dan telinga Valerie seakan terbakar mendengar rayuan Endra. Sebentar lagi, mungkin ia akan kehilangan kinerja jantungnya. Berada dekat Endra membuat gumpalan daging itu selalu berdentum cepat. Melelahkan, tapi menyenangkan.
Tangan mereka saling bertautan. Sengatan hangat menjalar. Sangat menenangkan dan menentramkan. Tatapan Valerie jatuh pada benda putih mengilap di tangan kiri Endra yang sedang menggenggamnya.
“Kamu masih pakai gelang ini, Ndra?” Valerie memegang gelang di tangan kiri Endra dengan tangan kirinya yang bebas.
Endra mengangguk. “Aku hanya lepas saat mau operasi.”
“Jadi memang gelang spesial, ya. Sampai kamu tidak pernah melepasnya. Padahal sudah bertahun-tahun,” ucap Valerie sambil masih menyentuh gelang Endra.
“Sebenarnya, gelang ini dari Ibu.”
Mata Valerie membulat tak percaya. Lalu, ia memandang lekat Endra untuk meminta kebenaran. “Dari ibuku?”
Lagi-lagi Endra mengangguk. Kali ini, diiringi lengkung manis yang tercetak indah di bibir penuhnya. “Waktu itu, aku main ke rumahmu sendirian. Aku bicara sama Ibu. Kami berdua ngobrol lama. Saat itu aku bilang suka sama kamu. Tahu respons Ibu gimana?" Ia melihat Valerie yang menggeleng. "Ibu tersenyum, kasih izin, lalu cerita banyak tentang kamu.”
Valerie masih menatap Endra tak percaya. “Benarkah? Lalu, kenapa kamu tidak pernah cerita? Ibu juga tidak pernah cerita padaku?”
“Ibu bilang, aku boleh cerita padamu setelah kita nikah.”
“Sekarang, kita belum menikah--”
“Sebentar lagi,” sergah Endra cepat, hingga berhasil mengubah wajah Valerie menjadi merona. “Ibu sendiri memakaikan ini padaku. Terus bilang untuk selalu jaga kamu. Aku terharu saat itu, Rie, karena selang beberapa hari Ibu meninggal.”
Beberapa saat mereka terdiam. Wajah Valerie berubah sedikit sendu. Ia merindukan ibunya. “Aku tidak pernah lihat Ibu punya gelang ini.”
“Ibu bilang, ini gelang kesayangan kakekmu.” Endra ikut menatap gelangnya.
Kepala Valerie terangkat, memandang Endra. “Dulu, Ibu memang suka menanyakanmu, Ndra. Aku pikir, Ibu hanya ingin tahu karena kamu pria yang kusukai waktu itu. Tapi ternyata, Ibu beneran sayang padamu, sampai-sampai kamu dikasih gelang kesayangan kakekku,” ucapnya dengan bibir mencebik kesal.
“Cemburu?” Sontak Valerie memukul pelan lengan Endra yang terkekeh. Detik selanjutnya, tawa Endra berhenti. Tangannya menggenggam erat tangan Valerie. “Makanya, aku frustrasi waktu kamu pergi. Karena aku sudah janji pada Ibu.”
“Maaf, ya, Ndra. Aku--”
Telunjuk Endra menempel di bibir Valerie. “Mulai sekarang, kita tidak perlu mengingat masa lalu lagi. Oke?” Valerie mengangguk setuju.
“Kamu juga masih memakai gelang ini?” Giliran Endra yang bertanya sembari menyentuh gelang perak milik Valerie.
“Gelang ini sebagai pengingat dirimu saat aku pergi.”
Arah pandang Endra jatuh ke leher Valerie. Tangannya terangkat, menarik keluar kalung di balik dress Valerie. “Ini dari Tiga Sekawan, bukan?”
Valerie yang berdebar karena tindakan tiba-tiba Endra menyentuh lehernya, mengangguk samar. Ia heran dengan lelaki di depannya kini. “Kenapa kamu bisa tahu?”
“Mereka cerita semua, bahkan saat kamu cium kening mereka di malam sebelum perpisahan.” Endra kembali teringat momen terburuk dalam hidupnya. Dirinya yang kalang kabut mencari keberadaan Valerie, tapi gagal hingga menjadikannya frustrasi. Tidak hanya dirinya yang bersedih, melainkan Tiga Sekawan yang juga berduka kehilangan teman kesayangan mereka.
“Maaf, ya, Ndra.” Valerie berucap yang terdengar bernada sedih.
“Maaf karena sudah cium kening Tiga Sekawan?” tanya Endra dan Valerie menggeleng.
“Maaf karena waktu itu, aku tidak menepati janji. Bahkan aku pergi tanpa pamit dan membuatmu sedih. Aku sudah melakukan kesalahan besar padamu. Aku minta maaf." Tanpa diduga, Valerie mencium tangan kiri Endra yang menggenggam tangannya.
Perasaan Endra menghangat. Mungkin inilah balasan dari rasa cemas dan sedihnya selama sembilan tahun. Valerie yang ia damba kembali bisa direngkuh. Walau ia tahu kebersamaan mereka kali ini bisa mengulang kembali emosi antara dirinya, Diandra, dan Budi. Namun untuk kali ini, ia tidak akan menyerah dan terus berjuang sampai akhir agar dapat menahan Valerie di sisinya.
“Berhenti minta maaf karena itu akan selalu mengingatkan kita pada masa lalu.” Endra mengucap sembari menatap lembut kekasih hatinya itu. “Jika kamu menyesal, maka kamu hanya perlu melakukan satu hal padaku,” imbuh Endra.
Mata Valerie bertemu adu dengan milik Endra. “Apa?”
“Tetaplah bersamaku. Apa pun yang terjadi nanti, entah itu penolakan ayahmu atau mamaku. Tetaplah bersamaku.”
Valerie menatap Endra dan dapat melihat keyakinan yang kuat di manik cokelatnya. “Bagaimana jika hubungan ini akan sulit dan menyakiti semua orang?”
“Mereka sudah lebih dulu menyakiti banyak orang. Aku dan kamu adalah korban nyata dari mereka. Untuk itu, aku tidak membiarkanmu lepas. Mungkin ini terkesan egois, tapi aku tidak mau lagi pura-pura terlihat bahagia dalam sekarat.”
Valerie mengangguk mengerti mendengar makna dalam ucapan Endra. Endra benar. Bagaimanapun, berpura-pura bahagia dalam kesakitan adalah hukuman terbaik untuk orang yang takut mengambil keputusan. Seperti yang dilakukannya sembilan tahun lalu. Ia terlalu takut untuk mendapatkan Endra, hingga memutuskan lari dari kenyataan. Hasilnya bukan bahagia dan ketenangan yang ia dapatkan, melainkan kesedihan dan kesakitan yang terus menghunjam dadanya tanpa ampun.
“Rie, apa kamu harus kembali besok?” Pertanyaan Endra menarik pikiran Valerie ke dunia nyata. Meski sedikit gelagapan, tak urung ia mengangguk juga.
“Apa kepulanganmu tidak bisa ditunda? Aku masih kangen kamu, Rie. Tidak bisakah kamu tinggal lebih lama?”
Valerie bergeming. Rasanya memang terlalu berat untuk pergi karena baru saja berdamai dengan Endra. Jauh dalam hati, ia ingin tetap menikmati kebersamaan dengan cinta pertamanya. Ia mengangkat kepala, memandang wajah Endra yang penuh pengharapan. Setelah berpikir cukup lama, ia pun membuang napas berat. “Oke, aku akan tinggal lebih lama, tapi ada syaratnya!”
Mata Endra berbinar dan mulai mengangguk setuju.
“Ajak aku ke semua tempat yang menjadi kenangan kita dulu!” titah Valerie diiringi senyuman penuh arti.
Endra balas tersenyum. “Oke, Nona Valerie. Hari ini, aku akan jadi special guide tour buatmu. Where do you want to go?” tanyanya dengan intonasi yang sama seperti dulu.
Senyum Valerie merekah mengingat kebersamaannya dan Endra dulu.
How about Anyer beach?
That's sound good.” Endra lantas berdiri, menarik Valerie untuk ikut bersamanya.

Tbc

Pati, 22 November 2019

Biodata:

Penulis tinggal di Pati dan bercita-cita memiliki novel solo suatu saat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.