Sabtu, 16 November 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 18 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org








Karena Kamu Pangeranku Part 18
Oleh: Titin Akhiroh


Hari ini, hari terakhir Valerie di Jakarta. Hari ini pula, ia akan bertemu Endra. Endra yang selama sembilan tahun selalu hadir dalam mimpinya. Dulu, ia berpikir dengan pergi jauh akan membuatnya mudah melupakan sosok tampan itu. Namun, ternyata salah. Berada jauh justru membuat bayangan Endra semakin teringat jelas. Ia sadar bahwa tidak sepatutnya memupuk perasaan cinta pada Endra yang merupakan kakak tirinya. Seharusnya, ia bisa menghapus nama itu dari ingatan, tapi sepertinya nama, wajah, semua tentang Endra terpatri kuat di setiap inci hati.
Valerie mematut diri di depan kaca, mencoba memilih baju apa yang akan ia kenakan saat bertemu Endra. Walaupun tahu, Endra tidak akan mempermasalahkan baju yang ia pakai. Setidaknya untuk kali ini, ia ingin tampil cantik di depan Endra. Ya ... hanya untuk hari ini sebelum berpisah selamanya.
Sebenarnya, Valerie tahu apa yang dilakukan hari ini akan percuma karena Endra telah menemukan seseorang yang baru. Terlebih lagi pertemuan ini bisa berakhir dengan menyakiti hati wanita lain. Namun, untuk kali ini, ia memilih untuk menjadi egois. Ia akan tinggal untuk mengungkapkan perasaanya, lalu akan pergi jika memang Endra tidak menginginkannya lagi.
Setelah lama memilah baju hingga berserakan di ranjang hotel. Akhirnya, pilihan Valerie jatuh pada dress biru tua tanpa lengan sepanjang lutut. Bekas jahitan di lengan, ia tutup dengan cardigan hitam. Dipermanis dengan stilleto Louboutin warna hitam untuk membungkus kakinya. Ia menata rambut dengan gaya curly agar tampak bervolume. Tak lupa memakai make up warna nude sebagai sentuhan akhir.
Setelah memasukkan barang-barang seperti ponsel, dompet, tisu, dan tas make-up ke dalam tas, Valerie segera turun menuju lobby hotel. Pandangannya jatuh pada sosok bersurai cokelat yang sedang bersandar di sofa dalam lobby. Tanpa diperintah, jantungnya sudah berdebar tak keruan. Berbagai pertanyaan mengganggu pikirannya. Apakah tak masalah ia mengikuti saran Paundra untuk menemui Endra? Bagaimana jika Endra menolaknya? Bagaimana jika lelaki itu memang sudah tak menganggapnya ada? Bagaimana jika sang cinta pertama lebih memilih orang lain dalam hidupnya? Karena jujur, kini percaya dirinya mulai merosot ke mata kaki. Terlebih ia telah melihat wanita baru Endra yang cantik, hingga mereka terlihat serasi.
Valerie mendekat perlahan. Diamatinya Endra yang lebih tampan dari terakhir kali dilihat. Senyumnya terukir saat menyadari Endra memakai pakaian berwarna senada dengannya. Sungguh sebuah kebetulan yang manis.
Endra mendongakkan kepala. Dilihatnya Valerie yang berdiri dekat di hadapan. Ia mulai diserang rasa gugup.
“Maaf membuatmu menunggu,” sapa Valerie pelan.
Hati Endra menghangat mendengar suara yang begitu ia rindukan. “Tidak apa, ini tidak sebanding dengan sembilan tahun aku menunggumu kembali.” Endra bersusah payah menahan kegugupannya.
Tubuh Valerie menegang mendengar ucapan tajam Endra. Ia sedikit salah tingkah. Sepertinya, lelaki itu masih marah akan kepergiannya. Jika dengan marah membuat Endra tenang, maka ia akan menerimanya dengan lapang.
“Maaf, soal waktu itu.” Valerie menatap lembut Endra.
Jantung Endra belingsatan mendapat tatapan lembut dari Valerie. Bahkan ia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berlari memeluk wanita di depannya. “Mau bicara di mana?” tanyanya untuk mengalihkan debar di dada. Ia pun menatap tajam Valerie.
“Terserah kamu, Ndra.”
Tanpa membuang waktu, Endra membalik badan dan mulai berjalan menuju tempat parkir. Setelah bisa mengatur ritme napasnya, Valerie mulai berjalan mengekori Endra. Keduanya masuk ke mobil. Detik berikutnya, mesin beroda empat menyala dan melaju, berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
Sepuluh menit mereka lalui dengan saling diam. Tak nyaman dengan suasana canggung, Endra mulai membuka percakapan tanpa menoleh sedikit pun pada Valerie.
“Lukisannya bagus. Makasih.”
Awalnya Valerie bingung, tapi kemudian teringat hadiah yang ia berikan untuk Endra. “Ehm, samasama,” sahutnya gugup.
“Apa kamu baik-baik saja di London?”
“Ya.” Valerie menjawab singkat, lalu menelan ludahnya susah payah.
“Kenapa bisa sampai ke sana?” Endra memang sudah begitu penasaran dengan perjalanan hidup Valerie selama ini.
“Aku dapat beasiswa setelah lulus S1.”
“Kamu kuliah di mana? Setahuku beasiswamu ada di Bandung, tapi ketika aku mencarimu, nama Valerie tidak ada di semua kampus di Bandung. Pihak sekolah juga menolak memberitahuku.”
Deg!
Valerie terkejut mendengar ucapan Endra. Jadi, Endra mencarinya sampai ke Bandung. Perasaan bersalah memenuhi hatinya. Ia melirik Endra sesaat, melihat otot rahang lelaki itu yang tampak mengeras. Sepertinya, Endra marah dengannya yang pergi tanpa pamit.
“Ehmm ... aku kuliah di Jogja,” jawab Valerie takut-takut.
“Kenapa tidak pernah kasih kabar?”
“Ponselku hilang di kereta.”
Valerie memang tidak berbohong dengan itu. Pertama kali menginjakkan kaki di stasiun Tugu, ponselnya hilang. Ia menangis karena satu-satunya penghubung antara dirinya dan Endra telah raib.
“Jadi, kamu memang sengaja melupakan beasiswa di Bandung dan memutuskan ke Jogja untuk menjauhiku. Benar begitu?”
Saat itu, Valerie memang ingin menjauhi Endra. Ia sakit hati atas ucapan Budi dan Diandra yang tidak akan pernah merelakan cinta mereka. Begitu besar cintanya pada Endra, akhirnya ia memilih pergi. “Be-benar.”
“Kenapa?”


Valerie sudah mulai gemetar melihat aura tajam nan menakutkan Endra yang menuntut sebuah penjelasan. “Karena aku ... kamu--”
“Karena kita saudara tiri!” bentak Endra, hingga membuat Valerie tersentak. Endra menepikan mobil. Napasnya memburu. Emosi mulai memenuhi dirinya.
Valerie mulai dilanda takut dengan kemarahan Endra. Namun, bagaimanapun ia patut mendapatkan amarah Endra karena telah meninggalkannya tanpa kabar. “Benar, kita memang saudara tiri,” jawabnya pelan, hingga nyaris tak terdengar.
“Tapi, aku tidak pernah menganggapmu saudara tiri. Aku cinta kamu, Rie. Tapi, kamu selalu menghindar dan mencoba lari dariku. Kamu tidak pernah peduli dengan perasaan kita. Kamu hanya merasa takut dengan masa lalu. Kamu bertindak seolah menjadi satu-satunya korban. Apa kamu tidak pernah berpikir kalau aku juga sudah jadi korban? Kita berdua korban.” Endra yang frustrasi, memukul keras setirnya.
“Aku senang waktu menerima lukisan darimu karena aku pikir kamu mau nepati janji. Tapi kenyataannya, kamu malah pergi tanpa pamit. Aku bingung mencarimu ke semua tempat. Aku sudah hampir gila mencarimu!” Nada bicara Endra mulai meninggi, seolah ingin meluapkan emosi tertahannya selama ini.
Valerie bergetar karena isakan. Ia benar-benar tidak menyangka Endra akan seemosi ini. Namun, semua memang kesalahannya. “Maaf ... aku minta maaf, Ndra.” Valerie menjawab dengan isakan tertahan.
Dengkusan lolos dari hidung Endra. “Kamu pikir dengan minta maaf bisa menebus semua. Sembilan tahun, Rie. Sembilan tahun, kamu gantung hubungan ini. Sembilan tahun tanpa kejelasan. Sembilan tahun aku menunggumu, sembilan tahun, Rie.” Endra menundukkan kepala ke setir. Tubuhnya bergetar. Ia mulai menangis.
Valerie menatap tubuh Endra. Seketika hatinya perih. Ia sudah melukai Endra sedalam itu. Dua kata yang bisa menggambarkan perasaannya. Ia menyesal. Tangan kanan gemetar Valerie terangkat menyentuh pundak kiri Endra.
“Aku minta maaf. Aku memang egois. Aku pikir dengan menjauh semua akan baik-baik saja, tapi aku salah. Aku menyesal, Ndra, maaf ....” Air mata Valerie sudah membasahi wajahnya.
Kebungkaman membelit mereka dalam perasaan nelangsa. Setelah puas meluapkan emosi tertahannya, Endra menegakkan tubuh, lalu mengusap kasar wajahnya. “Sudahlah, toh sekarang kita sudah bertemu. Yang penting kamu baik-baik saja,” ujarnya pelan. Ia mengembuskan napas panjang sebelum kembali menjalankan mobilnya.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya ada isakan pelan Valerie dan deru halus mesin yang mengiringi kebersaman mereka. Sampai sebuah deringan terdengar. Endra menjawab panggilan dengan piranti handsfree, hingga tetap fokus menyetir. Meski pandangan Valerie jauh ke luar jendela, tapi ia mulai menajamkan telinga. Ia penasaran siapa yang sedang menelepon Endra. Apakah wanita yang ia lihat di hotel tempo hari?
Rasa penasaran Valerie terjawab. Ternyata panggilan itu bukan dari seorang wanita, melainkan seorang pria yang terdengar membahas masalah tekanan darah dan jantung. Jadi, Endra telah menjadi seorang dokter sesuai dengan cita-citanya dulu. Diam-diam, Valerie tersenyum bangga.
“Aku harus pergi ke rumah sakit. Apa kamu mau aku antar balik lagi ke hotel?” tanya Endra sambil menoleh ke arah Valerie.
Baru kali ini, keduanya bertatapan langsung. Cukup lama, hingga seolah-olah mampu menyelami perasaan masing-masing melalui iris cokelat mereka.
“Aku ikut denganmu." Valerie berkata dengan suara pelan, tapi cukup mengejutkan Endra.
Ia pikir setelah pertengkaran terjadi, Valerie akan enggan bersamanya. Ternyata dia justru memilih untuk ikut dengannya. Dalam hati, Endra tersenyum senang.
Valerie bisa menangkap wajah terkejut Endra. Ia tak peduli jika Endra merasa risih dekat dengannya. Sedari awal, ia memang sudah memilih bersikap egois. Untuk itu, ia ingin bersama
Endra lebih lama. Ia ingin mengumpulkan memori indah tentang Endra sebanyak mungkin. Jadi, jika lelaki itu tak memilihnya, maka ia akan membawa kenangan itu pergi sebagai temannya nanti dalam kesendirian.
Tiga puluh menit kemudian, keduanya tiba di rumah sakit. Endra memarkirkan mobil di parkir khusus dokter. Valerie turun dari mobil dan melihat sekilas penampilannya melalui spion samping. Lega semua masih tampak sempurna, kecuali matanya yang sedikit merah habis menangis.
Endra mengajak Valerie masuk dan berjalan menuju ruangannya. Semua dokter muda dan perawat melihat kebersamaannya dan Valerie. Bahkan ada yang sampai berbisik-bisik. Valerie yang canggung melirik Endra yang terlihat santai. Sesekali, Endra tersenyum tipis pada perawat yang kebetulan menyapa.
Tangan kanan Endra membuka lebar pintu sebuah ruangan untuk memberi akses masuk bagi Valerie. Tatapan Valerie jatuh pada papan nama di meja. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Endra-nya tidak hanya menjadi dokter umum, melainkan seorang dokter spesialis jantung.
“Kamu tunggu di sini! Aku pergi bentar lihat pasienku." Endra melepas blazer dan menggantinya dengan snelli.
Valerie terus memperhatikan Endra, bahkan memakai seragam dokter pun lelaki itu terlihat menawan. Pantas saja semua perawat tadi begitu memperhatikan karena Endra dengan seragam dokternya, seperti aktor dorama Jepang yang tampan dan menawan.
Valerie mengempaskan diri di kursi pasien, depan meja Endra. Matanya mengamati ruangan praktik Endra. Jadi di tempat inilah, Endra menghabiskan waktu sebagai dokter. Cinta pertamanya pasti sangat kompeten karena di usia dua puluh tujuh tahun sudah berhasil menjadi dokter spesialis jantung.
Sudah lebih dari satu jam, Valerie berada di ruangan Endra. Ia merasa haus dan memutuskan untuk keluar ruangan, berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Sampai akhirnya, ia melihat mesin minuman di depan kantor jaga perawat. Ia pun membeli minuman dan segera kembali ke ruangan Endra. Ketika ia membuka pintu dan masuk ke ruangan, Endra menarik tangannya dan mendorong tubuhnya bersandar pada pintu hingga tertutup.
“Kamu dari mana saja?!” bentak Endra dengan suara bergetar.
Kening Valerie mengernyit bingung, kenapa Endra semarah ini?
“Ehm ... aku pergi beli ini.” Valerie menjawab sambil mengangkat botol minuman.
Perlahan, Endra melepaskan tangannya. Namun, wajahnya masih berada dekat dengan wajah Valerie. Embusan napas mereka beradu.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu takut. Aku pikir kamu pergi tanpa pamit seperti dulu. Maaf, ya,” ucap Endra lembut sambil mengelus pipi kiri Valerie.
Suara Endra kembali membangunkan rasa bersalah Valerie yang telah pergi tanpa pamit, dulu. Valerie mulai merinding membayangkan emosi Endra. Saat ini saja Endra begitu kalut, apalagi dulu saat ia meninggalkannya selama sembilan tahun.
Endra menatap lekat Valerie. Tangannya masih setia menyentuh lembut pipi tirus wanita istimewanya. “I miss you so much,” bisiknya, kemudian mencium dahi Valerie.
Valerie mematung. Terkejut dengan ciuman Endra yang tiba-tiba. Ciuman itu terus turun, hingga ujung hidungnya. Manik mata cokelat lelaki itu berkilat saat menatapnya. Desiran di dada kian mengeras saat ciuman bibir terjadi.

Tbc

Pati, 15 November 2019

Biodata:

Penulis lahir di Malang. Kesibukan sehari-hari mengajar bimbel anak SMP sekaligus bekerja di penerbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.