Karena Kamu Pangeranku
Part 17
Oleh: Titin Akhiroh
Tidak ada
sebuah kebetulan di dunia ini. Hanya ada momen garis takdir yang memang sudah
selayaknya terjadi. Seperti yang Valerie alami hari ini. Tidak pernah
terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan bertemu lagi dengan seseorang yang pernah
bersinggungan dengan masa lalu.
Valerie belum bisa menutupi rasa keterkejutannya. Sementara,
pria itu perlahan tersenyum ke arahnya.
“Kak Valerie.” Paundra tak percaya mendapati kakak perempuannya
yang telah menghilang bertahun-tahun, kini berada tepat di hadapan.
Meski belum bertemu secara langsung, tapi Paundra pernah melihat
wajah Valerie dari galeri foto dalam ponsel Endra. Ia yakin sekali orang di
hadapan sekarang adalah kakak seayah dengannya. Walau penampilan wanita itu
jauh berbeda dengan Valerie yang ia lihat dulu.
“Pa-Paundra .” Valerie sedikit gagap, tak percaya bertemu dengan
adik Endra atau bisa dikatakan adiknya juga. Tidak sulit baginya mengingat
Paundra dari mata cokelat yang sama dengan Endra. Itulah bagian tubuh yang
membuat mereka mirip sebagai saudara. Apalagi ia pernah melihat potret lelaki
itu sebelumnya.
“Kak Valerie ngapain di sini?” tanya Paundra menatap Valerie
bahagia.
“Ehm, aku menghadiri kongres.”
“Kongres?” Paundra tampak heran. Sementara, Valerie mengangguk
membenarkan.
“Selama ini, Kak Valerie tinggal di mana?” Paundra bertanya
dengan begitu antusias.
“Maaf, apakah Anda yang bernama Valerie Wijaya?” Seseorang
menginterupsi perbincangan dua orang saudara yang baru bertemu. Valerie
menoleh, lalu mengangguk pada petugas travel yang menjemputnya.
Valerie kembali menatap Paundra. “Maaf, aku harus pergi,”
pamitnya, lalu berbalik.
Langkah Valerie terhenti saat Paundra memegang pergelangan
tangan kirinya.
“Kak Valerie belum jawab pertanyaanku,” ucap Paundra dengan nada
menuntut.
“C'mon, Sweetie. We must go to the hotel.”
Paundra mengalihkan pandangan ke arah pria bule yang berdiri
tepat di belakang Valerie. 'Sweetie'? Hotel? Apa maksudnya? Apakah itu artinya
.
“Maaf, aku harus pergi.” Valerie berusaha melepas tangan Paundra
dari tangannya. Ia tahu ekspresi yang tersirat di wajah Paundra saat melihat
Eduard. Namun, ia tak perlu menjelaskan seperti apa hubungannya dengan Eduard.
Saat berniat untuk mengubur masa lalu, maka ia harus memutus mata rantai yang
mampu membelenggunya.
Pegangan Paundra mengendur dan perlahan terlepas. Ia bahagia
bisa bertemu Valerie, tapi juga sedih karena sang kakak telah bersama pria
lain. Pikirannya langsung membayangkan Endra. Apa yang akan dirasakan Endra
saat tahu sang cinta pertama telah memiliki cinta yang lain? Karena ia tahu,
Endra masih begitu mencintai Valerie sampai detik ini.
Valerie berbalik mengikuti Eduard dan sopir travel menuju
parkiran, meninggalkan Paundra yang masih terdiam di tempat. Ia mulai
sentimentil. Tangan kanannya menyentuh pergelangan tangan kiri, bekas genggaman
tangan Paundra. Bibir mulai tersenyum, tapi matanya sudah basah dengan air
mata. Ada rasa senang bisa bertemu dengan saudara yang belum pernah ia temui.
Namun, ada juga rasa sedih karena saudaranya itu lahir dari dua orang tua yang
ia benci.
Tersadar akan sesuatu, Paundra segera berlari ke luar bandara.
Berharap bisa mengejar Valerie. Sudah sembilan tahun Valerie meninggalkan semua
orang. Kini, sudah saatnya sang kakak perempuan kembali pulang.
Paundra mengamati mobil yang berjejer di parkiran. Dalam hati,
ia berharap bisa menemukan travel atau mobil jemputan yang ditumpangi Valerie.
Namun, tampaknya ia menemukan kesulitan akibat banyak sekali mobil travel dan
jemputan hotel yang ada di sana. Ia mulai mengamati berbagai logo hotel, hingga
sebuah mobil travel melintas menjauhi area bandara.
“Grand Melia Hotel,” gumam Paundra melihat logo tertempel pada
kaca belakang mobil.
"Kamu ngapain di sini?”
Suara maskulin membelai membran timpani Paundra, hingga
terkesiap. Ia berbalik dan mendapati Endra tengah menatapnya bingung, sedangkan
sebelah tangan memegang iphone. Paundra mulai dilema. Apakah ia harus
mengatakan pertemuannya dengan Valerie? Namun, ia juga tidak ingin melukai
perasaan Endra jika tahu Valerie sudah bersama orang lain.
“Hei, ada apa?” Endra heran pada Paundra yang belum juga
memjawab, terlebih wajah sang adik tampak pucat.
“Tadi aku cari kamu di dalam. Kenapa tidak bilang kalau sudah
ada di parkiran? Kamu sudah membuang waktuku,” omel Endra sedikit kesal.
“Maaf.”
Mungkin memang Paundra harus mengucap maaf karena telah
menyembunyikan keberadaan Valerie dari Endra. Bukan ia tidak ingin melihat
Endra bahagia bertemu dengan cinta pertama yang sudah lama dinanti. Hanya saja,
ia ingin menjaga hati Endra agar tidak terluka lagi. Valerie memang telah
kembali, tapi sudah tak sama lagi. Ada orang lain selain Endra. Sudah ia
putuskan, akan mencari tahu terlebih dahulu perasaan Valerie pada Endra sebelum
kembali mempertermukan mereka.
***
Riuh tepuk tangan bergemuruh dalam ball room hotel Grand Melia.
Ucapan selamat turut meramaikan. Tak terkecuali Endra yang langsung memberi
pelukan hangat untuk pertunangan sahabatnya, Ello.
“Selamat atas pertunanganmu. Semoga semua lancar sampai hari
pernikahan.” Doa Endra tulus untuk salah satu sahabatnya itu.
“Makasih, Ndra. Dan aku harap kamu juga bisa menemukan
kebahagiaanmu suatu saat nanti.”
Endra hanya merespons dengan seulas senyum tipis. Bahagia? Kata
yang saat ini terlalu sensitif baginya. Mendengar kata bahagia sama artinya
dengan mengingat kembali Valerie. Itu karena banyak hal indah membahagiakan
yang ia lalui bersama gadis itu.
Acara pertunangan berlangsung lancar. Tidak ada kendala berarti
dalam acara tersebut. Dari awal hingga akhir semua berjalan sempurna.
Satu per satu tamu mulai meninggalkan hotel saat acara telah
usai. Hanya ada Endra, Ello, Juno, Garin, dan tambahan personel yang terdiri
dari para wanita pendamping masa depan Tiga Sekawan. Ada Chelsea, tunangan
Ello. Karin, calon istri Juno. Katrina, wanita spesial Garin. Mereka semua
duduk melingkari meja bundar yang ada di tengah ball room hotel.
“Ndra, sampai kapan kamu akan menunggunya?” Pertanyaan pertama
yang diutarakan Juno dalam obrolan kali ini. Sementara itu, sang objek
pertanyaan hanya menggelengkan kepala.
“Sudah saatnya kamu membuka diri untuk yang lain, Ndra. Jangan
terlalu lama berdiam diri menunggu sesuatu yang tak pasti.” Kini, giliran Ello
yang berusaha memengaruhi Endra.
Selama beberapa tahun terakhir, Tiga Sekawan mencoba mendoktrin
Endra agar tidak berkubang dalam ingatan cinta pertama. Alasannya, mereka tidak
ingin melihat sahabat mereka itu terus meratapi diri akan kepergian Valerie.
“Tidak semudah itu.” Endra memainkan gelas di depannya.
“Kamu hanya perlu membuka diri dan hati.” Garin menyahut sambil
mengembuskan asap rokoknya.
Sudah banyak nama wanita hebat dari berbagai profesi yang coba
disodorkan Tiga Sekawan untuk menambal luka hati Endra. Namun, semua selalu
berakhir dengan penolakan kejam dari Endra.
Masih dengan ketenangan luar biasa, Endra bersandar pada kursi.
Kedua tangannya terkulai santai di meja. “Tidak mudah untuk mengalihkan hati.”
Chelsea menatap takjub ke arah Endra. “Mengapa kamu bisa sekeren
ini, Ndra?” tanyanya dengan kedua tangan menopang dagu.
“Kamu punya segalanya dan cinta yang luar biasa. Beruntung
sekali jadi Valerie.” Katrina ikut bersuara sembari menatap Endra.
Endra memang punya segalanya. Wajah tampan, profesi elegan, dan
pastinya mapan. Sebuah paket komplit yang bisa mengalihkan pandangan kaum hawa
padanya. Namun, Endra tetaplah Endra. Seorang pria yang hanya melihat Valerie
sebagai pusat dunianya.
Terlalu berlebihan? Tentu saja tidak. Karena apa pun tentang
Valerie, bukan sesuatu hal yang Endra anggap remeh. Pertemuan dengan Valerie
bukan hanya sebatas masalah hati yang pernah saling jatuh. Namun, lebih dari
itu. Ia menganggap gadis itu sebagai harapan baru yang mewarnai kekosongan hati
setelah terluka parah akibat perlakuan Diandra. Gadis mungil itu yang mampu
mengubur pesimisnya dalam memandang hidup.
Dulu atau lebih tepatnya sebelum mengenal Valerie, Endra
melewati setiap detik waktu tanpa tujuan jelas, selain berharap secepat mungkin
napas terlepas dari raga agar tak terus berkubang pada kecewa. Namun, setelah
gadis itu hadir dalam hidupnya, sedikit demi sedikit luka dalam hati mengering.
Pikirannya lebih terbuka dalam memaknai hidup. Paling dramatis, ia mulai berani
merangkai masa depan dengan melibatkan Valerie di dalamnya. Bahagia karena
untuk kali pertama dicintai dengan begitu tulus. Singat kata, Valerie serupa
peri yang membawa keajaiban dalam hidupnya.
“Seandainya hati mudah dialihkan. Aku mau hatiku beralih padamu,
Ndra,” celetuk Karin sembari tersenyum menggoda Endra.
Sudah bukan pemandangan aneh lagi jika Karin, Chelsea, dan
Katrina sering menggoda Endra. Bahkan Tiga Sekawan sering dibuat kesal oleh
mereka. Sepertinya Tiga Sekawan tengah menikmati karma karena dahulu sering
menggoda Valerie hingga membuat Endra murka.
Juno seketika menatap tajam ke arah Karin. “Hei, kita akan
segera menikah. Kenapa kamu masih punya niat mendekati Endra?”
Wanita berdarah Korea itu memutar bola mata. “Astaga, lebay
sekali kamu. Aku tadi hanya bilang seandainya. Kalaupun aku mengejar Endra.
Belum tentu juga dia mau melihatku karena pandangan Endra hanya untuk Valerie.
Please, deh! Jangan jadi pencemburu, Pak!” ucap Karin panjang lebar. Di antara
kekasih Tiga Sekawan, memang Karin yang paling banyak bicara.
Endra mencebik, lalu bangkit dari kursi. Melihat perseteruan
Juno dan Karin membuatnya kesal.
“Hei, mau ke mana?” tanya Ello sambil menatap Endra.
“Pulang. Obrolan kalian membuat perutku mual,” jawab Endra
santai, kemudian berlalu pergi.
“Tunggu, Ndra. Kita juga mau pulang!” seru Garin. Semua orang
kini mulai berjalan mengikuti Endra keluar dari ball room.
“Tapi, Ndra, apa kamu beneran yakin masih mau menunggu Valerie?”
tanya Chelsea sembari menoleh ke arah Endra yang berjalan di samping kanannya.
Endra mengangguk mantap.
“Tak ingin mencoba melihat yang lain?” Lagi-lagi pertanyaan
Chelsea hanya direspons anggukan oleh Endra.
Tangan Chelsea melingkar di lengan kiri Endra. “Aku punya teman
yang sepertinya cocok denganmu. Apa kamu tak tertarik mencoba ....”
Celotehan Chelsea mulai tak tertangkap indra pendengaran Endra.
Sekeliling tampak berwujud bayangan samar. Hanya ada satu titik yang menjadi
fokus Endra. Seorang wanita yang berada di lobby. Kedua matanya terpaku pada
rambut brunette sepanjang punggung dengan ujung sedikit bergelombang. Wanita
itu memakai blus dengan potongan turtle neck warna putih dipadu rok pensil
selutut dari bahan spandek berwarna hitam. Stiilleto hitam tampak kontras
dengan kulit kaki yang putih mulus. Wanita itu berjongkok membelakanginya untuk
membantu anak kecil yang tidak sengaja terjatuh. Tangan mungil tampak mengelus
kepala anak itu. Elusan sama yang pernah ia lihat sembilan tahun lalu. Tidak
salah lagi, wanita itu adalah ....
“Valerie,” panggil Endra dengan suara bergetar. Hatinya dipenuhi
perasaan lega sekaligus bahagia melihat cinta yang lama dinanti telah kembali.
Tubuh wanita itu tersentak mendengar suara yang begitu
dirindukannya selama sembilan tahun terakhir. Perlahan Valerie menoleh dengan
dada yang berdebar kencang. Ia sudah ingin menangis melihat Endra yang berdiri
hanya beberapa langkah darinya. Dipandanginya wajah Endra dalam diam. Dia masih
tampan seperti dulu. Bahkan usia dewasa membuatnya bertambah rupawan dan
menggoda. Rambut lelaki itu tidak sepanjang dulu, tapi juga tidak pendek.
Setelan jas mahal melekat sempurna di tubuh tegap nan jangkung. Penampilan yang
sungguh berbeda dengan penampilan casual dulu. Pandangannya bergeser. Ia dapat
melihat Juno, Ello, dan Garin yang juga tampak memesona dengan balutan jas.
Sampai akhirnya, tatapannya terhenti pada tangan putih mulus yang melingkar di
lengan kiri Endra. Seorang wanita cantik dengan dandanan sempurna.
“Kamu beneran Valerie?!” pekik Ello membuyarkan pikiran Endra
dan Valerie yang melayang-layang.
“Ya Tuhan, kamu cantik sekali sampai kita hampir tidak
mengenalimu,” sahut Juno yang juga tampak terkejut.
“Sedang apa di sini?” Garin berjalan mendekati Valerie.
Valerie masih bergeming. Mendadak lidahnya kaku untuk mengucap
sesuatu. Ia terlalu bahagia bertemu Endra, tapi hatinya perih luluh lantak
melihat wanita menggandeng mesra lengan Endra.
“Aku”
“Hei, Sweetie. Sorry you waited along.”
Pandangan Endra berpaling pada seorang pria asing yang tiba-tiba
muncul dan berdiri dekat Valerie. Pria bermata biru dengan rambut cokelat
keemasan. Namun, bukan penampilan pria itu yang menjadi perhatiannya, melainkan
panggilan 'sweetie' yang diucapkan pada Valerie. Apa maksudnya? Jangan-jangan
pria itu ....
“Who are they?” tanya Eduard pada Valerie. Mendengar aksen
bicaranya, Endra bisa menebak jika pria itu adalah British.
“They are my schoolmates in Highschool. They are Endra, Juno,
Garin, and Ello.” Valerie menunjuk ke arah Empat Sekawan bergantian.
Schoolmate? Dada Endra berdenyut sakit. Valerie menganggapnya
hanya sebagai seorang teman.
Valerie melihat Eduard yang sedang menjabat tangan Empat Sekawan
dan tiga wanita dengan sapaan ramah. Matanya lagi-lagi terpaku dengan manik
cokelat Endra. Sepertinya Endra telah menemukan belahan jiwanya.
“I'm sorry for interrupting you. But we must revert to the
conference now,” bisik Eduard dan Valerie mengangguk.
Valerie memaksakan seulas pada semua orang. “Senang bertemu lagi
dengan kalian. Tapi, maaf aku harus segera pergi. Selamat tinggal,” ucapnya
dengan suara bergetar, kemudian berlalu tanpa berniat menoleh lagi.
Dada Endra bergemuruh seiring impiannya yang mulai berguguran.
Beberapa detik lalu, hatinya gembira. Harapan yang sempat terkubur dalam,
kembali melayang. Namun, hanya sesaat ia merasakan euforia karena detik
berikutnya harapan itu kembali terempas ke tanah. Sungguh menyakitkan.
Endra menarik lengannya dari tangan Chelsea. Tanpa menghiraukan
tatapan iba dan panggilan Tiga Sekawan, ia berjalan cepat menuju mobilnya.
Sebulir air mata menetes. Mungkin ini memang batas waktunya untuk menyerah.
Karena tampaknya Valerie sudah menemukan cinta yang lain.
***
Tubuh Valerie merosot bertepatan dengan lift yang tertutup.
Tangannya meremas kuat dada yang berdenyut nyeri. Genangan air tumpah dari
matanya. Beginikah rasanya patah hati?
“You must to be honest, Sweetie. Don't fool your heart again,”
tukas Eduard sambil bersandar di dinding lift. Dalam hatinya, ia sedih melihat
Valerie yang masih saja mengingat Endra, tapi berusaha menutupi.
“No need anymore. I didn't have mean anything for him.”
Valerie sadar sudah terlambat untuk memperbaiki hubungan
cintanya dengan Endra. Ia bukan lagi bagian yang berarti untuk Endra. Karena
tampaknya, lelaki itu sudah menemukan belahan jiwa yang lain.
***
Kepulan asap menjadi sekat antara dua saudara yang tak pernah
dekat. Valerie dan Paundra duduk berhadapan di sebuah meja dalam restoran
hotel. Paundra sengaja mengikuti instingnya untuk mencari Valerie di hotel ini,
dan ia berhasil.
Suasana canggung tercipta di antara mereka. Buktinya sudah lima
belas menit berlalu, tapi mereka masih belum membuka mulut untuk berbicara.
“Sebenarnya kamu mau bicara apa?” tanya Valerie memecah
keheningan.
Paundra menatap lekat wajah kakak perempuannya, mencari bagian
yang bisa menunjukkan bahwa mereka bersaudara, dan ia menemukannya. Bentuk
hidung Valerie sama dengan dirinya. Bentuk hidung yang juga dimiliki oleh Budi
Wijaya.
“Aku ingin mengenalmu dan ngobrol soal banyak hal.”
“Kamu tak perlu melakukan itu. Aku tidak ingin lagi mengingat
semua yang berhubungan dengan masa lalu,” jawab Valerie tanpa berniat menatap
wajah Paundra. Terlebih manik mata yang sama dengan Endra.
“Tapi, aku adikmu. Dan, kamu kakakku. Apa aku salah jika ingin
dekat dengan kakakku?” Paundra bertanya dengan nada sedih.
“Bukankah kamu sudah punya ... kakak." Suara Valerie
sedikit bergetar. Lagi-lagi ia teringat Endra. Sepertinya nama Endra memang
sudah terpatri kuat dalam otak dan hati, hingga sulit untuk mendepaknya.
“Ya, tapi aku juga punya dirimu untuk kupanggil kakak. Aku
adalah bagian darimu dan juga Kak Endra. Aku punya darah yang sama dengan Kak
Endra. Aku juga punya darah yang sama denganmu. Jika aku bisa dekat dengan Kak
Endra, lalu kenapa aku tidak bisa dekat denganmu?”
Valerie tetap menunduk dan mengembuskan napas berat. Sebegitu
rumit hubungannya dengan Endra.
“Kenapa kamu tidak mau lihat wajahku, Kak? Apa kamu juga
membenciku sama seperti kamu membenci Mama?”
Valerie menggelengkan kepala. Meski ia membenci Diandra, tapi
bukan itu alasannya menghindari tatapan Paundra. Ia hanya tidak kuat harus
melihat mata Paundra tanpa teringat Endra.
“Aku tidak membencimu,” jawab Valerie jujur. Walaupun Paundra
adalah anak dari Diandra dan ayahnya. Namun, ia cukup senang telah memiliki
adik semengagumkan Paundra. “Aku hanya belum terbiasa denganmu.” Ia berbicara
lirih dan masih belum mau mengangkat wajahnya.
“Apa karena aku mirip Kak Endra?” tebak Paundra.
Begitu kuatnya terjerat akan pesona Endra. Hanya dengan
mendengar nama itu, ia sudah berdebar. Valerie mengangkat wajahnya, memandang
Paundra dengan mata berkaca-kaca.
Paundra tersenyum. “Aku senang bisa bertemu denganmu. Meski aku
belum pernah bertemu denganmu sebelumnya, tapi aku merindukanmu. Untuk itu
pulanglah, Kak. Kembalilah pada Kak Endra. Dia telah menunggumu.” Paundra
menggenggam tangan Valerie yang berada di meja.
Valerie menatap Paundra sejenak, lalu menggeleng. Kening Paundra
berkerut bingung.
“Hubungan kami berakhir sejak lama dan aku sudah bukan lagi
menjadi bagian darinya,” balasnya sembari tersenyum getir.
“Dia masih mencintaimu, Kak,” sanggah Paundra.
Valerie menggeleng. “Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Dia
sudah menemukan belahan jiwanya yang lain. Aku sudah tak punya arti apa pun
baginya.”
Mata Paundra membulat. Jadi, ia sudah terlambat satu langkah
untuk bisa mempertemukan Endra dan Valerie. Ia berpikir keras meresapi ucapan
Valerie tentang belahan jiwa Endra yang lain. Belahan jiwa yang mana? Bukankah
dalam hati Endra hanya ada Valerie? Lalu, bagaimana bisa Endra tidak cerita
padanya jika sudah bertemu Valerie? Paundra membatin, sepertinya ada yang salah
dengan kedua kakaknya.
“Apa kamu masih mencintai Kak Endra?” tanya Paundra sembari
menatap tajam Valerie.
Lama Paundra menunggu jawaban Valerie dan merasa lega saat
kepala kakak perempuannya mengangguk. “Selalu.”
“Kalau begitu tetaplah di sini,” bujuk Paundra.
Valerie menggeleng. “Sudah terlambat. Lagi pula aku tidak yakin
Endra mau menerimaku lagi, setelah aku meninggalkannya.”
Suara Valerie yang lirih sudah menunjukkan pada Paundra, betapa
kakak perempuannya juga menyimpan perasaan sama besar untuk Endra.
“Kalau begitu yakinkan dia.” Paundra menggenggam tangan Valerie,
sedangkan bibirnya tersenyum penuh arti.
***
Matahari mulai menyingsing, memancarkan sinar menyilaukan. Bau
embun menguar dari dedaunan seiring embusan angin. Suasana pagi begitu cerah
dan menyenangkan, sayangnya sangat kontradiktif dengan suasana hati Endra yang
mendung dan menyedihkan.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Endra duduk ditemani secangkir
kopi di balkon rumahnya. Bukan rumah yang ia tempati bersama Diandra, melainkan
rumah pribadi yang ia bangun dari hasil jerih payahnya menjadi dokter.
Pikiran Endra terlempar kembali pada momen dua hari lalu di mana
ia bertemu Valerie. Bayangan wajah Valerie yang semakin cantik terus menari dan
berputar di benaknya. Namun sayang, Valerie sudah tidak memegang cinta untuknya
lagi. Endra mengembuskan napas lelah. Jadi, hanya seperti ini akhir cintanya
dengan Valerie.
Derap langkah terdengar dari arah belakang. Tanpa menoleh, Endra
sudah bisa menebak siapa mereka. Senin pagi dan Tiga Sekawan adalah kombinasi
yang selalu menemaninya dua tahun ini.
“Kali ini, kita sarapan di mana?” tanya Ello setelah
mengempaskan diri di salah satu kursi balkon.
“Di rumah saja, aku malas keluar rumah.” Endra menjawab sembari
mengangkat cangkir kopinya.
“Apa kamu nggak ke rumah sakit?” Juno bertanya sambil menyalakan
rokoknya.
“Libur,” jawab Endra singkat.
Garin bersandar di pagar balkon sambil menyalakan rokok.
Pandangannya tertuju pada wajah sendu Endra. “Harapanmu terkabul, Ndra. Kamu
bisa bertemu lagi dengan Valerie.”
Endra mengangguk. “Tapi sepertinya, aku terlambat untuk
mendapatkan cintanya lagi.” Suaranya terdengar begitu pasrah.
“Maksudmu bule Inggris yang bersama Valerie kemarin?” tanya
Juno. Lagi-lagi Endra hanya mengangguk.
“Jadi, kamu menunggunya sembilan tahun cuma buat menyerah
seperti ini, ckckckck menyedihkan!” cibir Garin tak tahu kondisi. Ia kembali
mengisap rokok. Tak memedulikan raut wajah Endra yang berubah sendu.
Endra tahu dirinya memang menyedihkan. Ia telah menjaga hati dan
cintanya untuk Valerie. Namun, justru orang lain yang malah memenangkan hati
Valerie di tikungan akhir. Ibarat kata, ia susah payah menanam bunga dan
merawatnya agar tetap mekar indah, tapi malah orang lain yang bisa memetik
bunganya.
“Aku hanya melihat kenyataan. Aku sudah tak mau lagi bermimpi
dan berharap terlalu banyak. Terakhir aku melakukannya, malah berpisah dengan
Valerie,” balas Endra dengan nada pelan.
“Kamu masih belum tahu jelas tentang hubungan sebenarnya antara
Valerie dengan pria itu.” Kali ini, Ello berusaha menengahi suasana melankolis
Endra.
“Bagaimana jika hati Valerie memang sudah berpaling?” sahut
Endra cepat.
“Tapi, bagaimana kalau ternyata Valerie masih mencintaimu?”
timpal Juno tak mau kalah.
Ello mendekatkan kursinya dengan Endra. “Kamu dan Valerie harus
bicara dari hati ke hati. Carilah solusi! Selama ini, kalian sudah
menggantungkan perasaan kalian masing-masing. Jadi sekarang, saatnya kamu
bertindak tegas, mau menggenggamnya atau melepasnya. Aku sih berharap kalian
bisa kembali karena aku senang lihat kalian. A perfect couple.” Ello berbicara
sambil menepuk pundak kanan Endra. Bertepatan dengan itu notifikasi chat masuk
ke ponsel Endra.
[Paundra Wijaya]
Tolong antar aku ke bandara. Tapi sebelumnya temui aku di Grand
Melia Hotel.
[Tarendra Yama Mananta]
Naik travel sana. Dasar manja!
[Paundra Wijaya]
Dasar kakak tega! Aku ingin bicara penting denganmu.
[Tarendra
Yama Mananta]
Telepon aku.
[Paundra
Wijaya]
Ada hal penting tentang Kak Valerie. Yakin tak mau menemuiku?
[Tarendra
Yama Mananta]
Aku sudah bertemu dengannya. Everything is over!!!
[Paundra
Wijaya]
Kurangi egomu dan cepat kemari! Besok, dia sudah kembali ke
London. Jangan sampai menyesal nantinya!
“Pergilah! Bawa Valerie kembali.” Tiba-tiba Juno berceletuk
dengan tersenyum penuh arti.
“Lagi pula, bukankah kamu pernah berjanji tidak akan membiarkan
dia lepas?” Garin menimpali.
Tbc
Pati, 8 November 2019
Biodata:
Penulis lahir di Malang. Bercita-cita bisa menerbitkan movel
solo suatu saat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.