Sabtu, 09 November 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 17 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org








Karena Kamu Pangeranku Part 17
Oleh: Titin Akhiroh


Tidak ada sebuah kebetulan di dunia ini. Hanya ada momen garis takdir yang memang sudah selayaknya terjadi. Seperti yang Valerie alami hari ini. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan bertemu lagi dengan seseorang yang pernah bersinggungan dengan masa lalu.
Valerie belum bisa menutupi rasa keterkejutannya. Sementara, pria itu perlahan tersenyum ke arahnya.
“Kak Valerie.” Paundra tak percaya mendapati kakak perempuannya yang telah menghilang bertahun-tahun, kini berada tepat di hadapan.
Meski belum bertemu secara langsung, tapi Paundra pernah melihat wajah Valerie dari galeri foto dalam ponsel Endra. Ia yakin sekali orang di hadapan sekarang adalah kakak seayah dengannya. Walau penampilan wanita itu jauh berbeda dengan Valerie yang ia lihat dulu.
“Pa-Paundra .” Valerie sedikit gagap, tak percaya bertemu dengan adik Endra atau bisa dikatakan adiknya juga. Tidak sulit baginya mengingat Paundra dari mata cokelat yang sama dengan Endra. Itulah bagian tubuh yang membuat mereka mirip sebagai saudara. Apalagi ia pernah melihat potret lelaki itu sebelumnya.
“Kak Valerie ngapain di sini?” tanya Paundra menatap Valerie bahagia.
“Ehm, aku menghadiri kongres.”
“Kongres?” Paundra tampak heran. Sementara, Valerie mengangguk membenarkan.
“Selama ini, Kak Valerie tinggal di mana?” Paundra bertanya dengan begitu antusias.
“Maaf, apakah Anda yang bernama Valerie Wijaya?” Seseorang menginterupsi perbincangan dua orang saudara yang baru bertemu. Valerie menoleh, lalu mengangguk pada petugas travel yang menjemputnya.
Valerie kembali menatap Paundra. “Maaf, aku harus pergi,” pamitnya, lalu berbalik.
Langkah Valerie terhenti saat Paundra memegang pergelangan tangan kirinya.
“Kak Valerie belum jawab pertanyaanku,” ucap Paundra dengan nada menuntut.
“C'mon, Sweetie. We must go to the hotel.”
Paundra mengalihkan pandangan ke arah pria bule yang berdiri tepat di belakang Valerie. 'Sweetie'? Hotel? Apa maksudnya? Apakah itu artinya .
“Maaf, aku harus pergi.” Valerie berusaha melepas tangan Paundra dari tangannya. Ia tahu ekspresi yang tersirat di wajah Paundra saat melihat Eduard. Namun, ia tak perlu menjelaskan seperti apa hubungannya dengan Eduard. Saat berniat untuk mengubur masa lalu, maka ia harus memutus mata rantai yang mampu membelenggunya.
Pegangan Paundra mengendur dan perlahan terlepas. Ia bahagia bisa bertemu Valerie, tapi juga sedih karena sang kakak telah bersama pria lain. Pikirannya langsung membayangkan Endra. Apa yang akan dirasakan Endra saat tahu sang cinta pertama telah memiliki cinta yang lain? Karena ia tahu, Endra masih begitu mencintai Valerie sampai detik ini.
Valerie berbalik mengikuti Eduard dan sopir travel menuju parkiran, meninggalkan Paundra yang masih terdiam di tempat. Ia mulai sentimentil. Tangan kanannya menyentuh pergelangan tangan kiri, bekas genggaman tangan Paundra. Bibir mulai tersenyum, tapi matanya sudah basah dengan air mata. Ada rasa senang bisa bertemu dengan saudara yang belum pernah ia temui. Namun, ada juga rasa sedih karena saudaranya itu lahir dari dua orang tua yang ia benci.
Tersadar akan sesuatu, Paundra segera berlari ke luar bandara. Berharap bisa mengejar Valerie. Sudah sembilan tahun Valerie meninggalkan semua orang. Kini, sudah saatnya sang kakak perempuan kembali pulang.
Paundra mengamati mobil yang berjejer di parkiran. Dalam hati, ia berharap bisa menemukan travel atau mobil jemputan yang ditumpangi Valerie. Namun, tampaknya ia menemukan kesulitan akibat banyak sekali mobil travel dan jemputan hotel yang ada di sana. Ia mulai mengamati berbagai logo hotel, hingga sebuah mobil travel melintas menjauhi area bandara.
“Grand Melia Hotel,” gumam Paundra melihat logo tertempel pada kaca belakang mobil.
"Kamu ngapain di sini?”
Suara maskulin membelai membran timpani Paundra, hingga terkesiap. Ia berbalik dan mendapati Endra tengah menatapnya bingung, sedangkan sebelah tangan memegang iphone. Paundra mulai dilema. Apakah ia harus mengatakan pertemuannya dengan Valerie? Namun, ia juga tidak ingin melukai perasaan Endra jika tahu Valerie sudah bersama orang lain.
“Hei, ada apa?” Endra heran pada Paundra yang belum juga memjawab, terlebih wajah sang adik tampak pucat.
“Tadi aku cari kamu di dalam. Kenapa tidak bilang kalau sudah ada di parkiran? Kamu sudah membuang waktuku,” omel Endra sedikit kesal.
“Maaf.”
Mungkin memang Paundra harus mengucap maaf karena telah menyembunyikan keberadaan Valerie dari Endra. Bukan ia tidak ingin melihat Endra bahagia bertemu dengan cinta pertama yang sudah lama dinanti. Hanya saja, ia ingin menjaga hati Endra agar tidak terluka lagi. Valerie memang telah kembali, tapi sudah tak sama lagi. Ada orang lain selain Endra. Sudah ia putuskan, akan mencari tahu terlebih dahulu perasaan Valerie pada Endra sebelum kembali mempertermukan mereka.

***

Riuh tepuk tangan bergemuruh dalam ball room hotel Grand Melia. Ucapan selamat turut meramaikan. Tak terkecuali Endra yang langsung memberi pelukan hangat untuk pertunangan sahabatnya, Ello.
“Selamat atas pertunanganmu. Semoga semua lancar sampai hari pernikahan.” Doa Endra tulus untuk salah satu sahabatnya itu.
“Makasih, Ndra. Dan aku harap kamu juga bisa menemukan kebahagiaanmu suatu saat nanti.”
Endra hanya merespons dengan seulas senyum tipis. Bahagia? Kata yang saat ini terlalu sensitif baginya. Mendengar kata bahagia sama artinya dengan mengingat kembali Valerie. Itu karena banyak hal indah membahagiakan yang ia lalui bersama gadis itu.
Acara pertunangan berlangsung lancar. Tidak ada kendala berarti dalam acara tersebut. Dari awal hingga akhir semua berjalan sempurna.
Satu per satu tamu mulai meninggalkan hotel saat acara telah usai. Hanya ada Endra, Ello, Juno, Garin, dan tambahan personel yang terdiri dari para wanita pendamping masa depan Tiga Sekawan. Ada Chelsea, tunangan Ello. Karin, calon istri Juno. Katrina, wanita spesial Garin. Mereka semua duduk melingkari meja bundar yang ada di tengah ball room hotel.
“Ndra, sampai kapan kamu akan menunggunya?” Pertanyaan pertama yang diutarakan Juno dalam obrolan kali ini. Sementara itu, sang objek pertanyaan hanya menggelengkan kepala.
“Sudah saatnya kamu membuka diri untuk yang lain, Ndra. Jangan terlalu lama berdiam diri menunggu sesuatu yang tak pasti.” Kini, giliran Ello yang berusaha memengaruhi Endra.
Selama beberapa tahun terakhir, Tiga Sekawan mencoba mendoktrin Endra agar tidak berkubang dalam ingatan cinta pertama. Alasannya, mereka tidak ingin melihat sahabat mereka itu terus meratapi diri akan kepergian Valerie.
“Tidak semudah itu.” Endra memainkan gelas di depannya.
“Kamu hanya perlu membuka diri dan hati.” Garin menyahut sambil mengembuskan asap rokoknya.
Sudah banyak nama wanita hebat dari berbagai profesi yang coba disodorkan Tiga Sekawan untuk menambal luka hati Endra. Namun, semua selalu berakhir dengan penolakan kejam dari Endra.
Masih dengan ketenangan luar biasa, Endra bersandar pada kursi. Kedua tangannya terkulai santai di meja. “Tidak mudah untuk mengalihkan hati.”
Chelsea menatap takjub ke arah Endra. “Mengapa kamu bisa sekeren ini, Ndra?” tanyanya dengan kedua tangan menopang dagu.
“Kamu punya segalanya dan cinta yang luar biasa. Beruntung sekali jadi Valerie.” Katrina ikut bersuara sembari menatap Endra.
Endra memang punya segalanya. Wajah tampan, profesi elegan, dan pastinya mapan. Sebuah paket komplit yang bisa mengalihkan pandangan kaum hawa padanya. Namun, Endra tetaplah Endra. Seorang pria yang hanya melihat Valerie sebagai pusat dunianya.
Terlalu berlebihan? Tentu saja tidak. Karena apa pun tentang Valerie, bukan sesuatu hal yang Endra anggap remeh. Pertemuan dengan Valerie bukan hanya sebatas masalah hati yang pernah saling jatuh. Namun, lebih dari itu. Ia menganggap gadis itu sebagai harapan baru yang mewarnai kekosongan hati setelah terluka parah akibat perlakuan Diandra. Gadis mungil itu yang mampu mengubur pesimisnya dalam memandang hidup.
Dulu atau lebih tepatnya sebelum mengenal Valerie, Endra melewati setiap detik waktu tanpa tujuan jelas, selain berharap secepat mungkin napas terlepas dari raga agar tak terus berkubang pada kecewa. Namun, setelah gadis itu hadir dalam hidupnya, sedikit demi sedikit luka dalam hati mengering. Pikirannya lebih terbuka dalam memaknai hidup. Paling dramatis, ia mulai berani merangkai masa depan dengan melibatkan Valerie di dalamnya. Bahagia karena untuk kali pertama dicintai dengan begitu tulus. Singat kata, Valerie serupa peri yang membawa keajaiban dalam hidupnya.
“Seandainya hati mudah dialihkan. Aku mau hatiku beralih padamu, Ndra,” celetuk Karin sembari tersenyum menggoda Endra.
Sudah bukan pemandangan aneh lagi jika Karin, Chelsea, dan Katrina sering menggoda Endra. Bahkan Tiga Sekawan sering dibuat kesal oleh mereka. Sepertinya Tiga Sekawan tengah menikmati karma karena dahulu sering menggoda Valerie hingga membuat Endra murka.
Juno seketika menatap tajam ke arah Karin. “Hei, kita akan segera menikah. Kenapa kamu masih punya niat mendekati Endra?”
Wanita berdarah Korea itu memutar bola mata. “Astaga, lebay sekali kamu. Aku tadi hanya bilang seandainya. Kalaupun aku mengejar Endra. Belum tentu juga dia mau melihatku karena pandangan Endra hanya untuk Valerie. Please, deh! Jangan jadi pencemburu, Pak!” ucap Karin panjang lebar. Di antara kekasih Tiga Sekawan, memang Karin yang paling banyak bicara.
Endra mencebik, lalu bangkit dari kursi. Melihat perseteruan Juno dan Karin membuatnya kesal.
“Hei, mau ke mana?” tanya Ello sambil menatap Endra.
“Pulang. Obrolan kalian membuat perutku mual,” jawab Endra santai, kemudian berlalu pergi.
“Tunggu, Ndra. Kita juga mau pulang!” seru Garin. Semua orang kini mulai berjalan mengikuti Endra keluar dari ball room.
“Tapi, Ndra, apa kamu beneran yakin masih mau menunggu Valerie?” tanya Chelsea sembari menoleh ke arah Endra yang berjalan di samping kanannya. Endra mengangguk mantap.
“Tak ingin mencoba melihat yang lain?” Lagi-lagi pertanyaan Chelsea hanya direspons anggukan oleh Endra.
Tangan Chelsea melingkar di lengan kiri Endra. “Aku punya teman yang sepertinya cocok denganmu. Apa kamu tak tertarik mencoba ....”
Celotehan Chelsea mulai tak tertangkap indra pendengaran Endra. Sekeliling tampak berwujud bayangan samar. Hanya ada satu titik yang menjadi fokus Endra. Seorang wanita yang berada di lobby. Kedua matanya terpaku pada rambut brunette sepanjang punggung dengan ujung sedikit bergelombang. Wanita itu memakai blus dengan potongan turtle neck warna putih dipadu rok pensil selutut dari bahan spandek berwarna hitam. Stiilleto hitam tampak kontras dengan kulit kaki yang putih mulus. Wanita itu berjongkok membelakanginya untuk membantu anak kecil yang tidak sengaja terjatuh. Tangan mungil tampak mengelus kepala anak itu. Elusan sama yang pernah ia lihat sembilan tahun lalu. Tidak salah lagi, wanita itu adalah ....
“Valerie,” panggil Endra dengan suara bergetar. Hatinya dipenuhi perasaan lega sekaligus bahagia melihat cinta yang lama dinanti telah kembali.
Tubuh wanita itu tersentak mendengar suara yang begitu dirindukannya selama sembilan tahun terakhir. Perlahan Valerie menoleh dengan dada yang berdebar kencang. Ia sudah ingin menangis melihat Endra yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Dipandanginya wajah Endra dalam diam. Dia masih tampan seperti dulu. Bahkan usia dewasa membuatnya bertambah rupawan dan menggoda. Rambut lelaki itu tidak sepanjang dulu, tapi juga tidak pendek. Setelan jas mahal melekat sempurna di tubuh tegap nan jangkung. Penampilan yang sungguh berbeda dengan penampilan casual dulu. Pandangannya bergeser. Ia dapat melihat Juno, Ello, dan Garin yang juga tampak memesona dengan balutan jas. Sampai akhirnya, tatapannya terhenti pada tangan putih mulus yang melingkar di lengan kiri Endra. Seorang wanita cantik dengan dandanan sempurna.
“Kamu beneran Valerie?!” pekik Ello membuyarkan pikiran Endra dan Valerie yang melayang-layang.
“Ya Tuhan, kamu cantik sekali sampai kita hampir tidak mengenalimu,” sahut Juno yang juga tampak terkejut.
“Sedang apa di sini?” Garin berjalan mendekati Valerie.
Valerie masih bergeming. Mendadak lidahnya kaku untuk mengucap sesuatu. Ia terlalu bahagia bertemu Endra, tapi hatinya perih luluh lantak melihat wanita menggandeng mesra lengan Endra.


“Aku”
“Hei, Sweetie. Sorry you waited along.”
Pandangan Endra berpaling pada seorang pria asing yang tiba-tiba muncul dan berdiri dekat Valerie. Pria bermata biru dengan rambut cokelat keemasan. Namun, bukan penampilan pria itu yang menjadi perhatiannya, melainkan panggilan 'sweetie' yang diucapkan pada Valerie. Apa maksudnya? Jangan-jangan pria itu ....
“Who are they?” tanya Eduard pada Valerie. Mendengar aksen bicaranya, Endra bisa menebak jika pria itu adalah British.
“They are my schoolmates in Highschool. They are Endra, Juno, Garin, and Ello.” Valerie menunjuk ke arah Empat Sekawan bergantian.
Schoolmate? Dada Endra berdenyut sakit. Valerie menganggapnya hanya sebagai seorang teman.
Valerie melihat Eduard yang sedang menjabat tangan Empat Sekawan dan tiga wanita dengan sapaan ramah. Matanya lagi-lagi terpaku dengan manik cokelat Endra. Sepertinya Endra telah menemukan belahan jiwanya.
“I'm sorry for interrupting you. But we must revert to the conference now,” bisik Eduard dan Valerie mengangguk.
Valerie memaksakan seulas pada semua orang. “Senang bertemu lagi dengan kalian. Tapi, maaf aku harus segera pergi. Selamat tinggal,” ucapnya dengan suara bergetar, kemudian berlalu tanpa berniat menoleh lagi.
Dada Endra bergemuruh seiring impiannya yang mulai berguguran. Beberapa detik lalu, hatinya gembira. Harapan yang sempat terkubur dalam, kembali melayang. Namun, hanya sesaat ia merasakan euforia karena detik berikutnya harapan itu kembali terempas ke tanah. Sungguh menyakitkan.
Endra menarik lengannya dari tangan Chelsea. Tanpa menghiraukan tatapan iba dan panggilan Tiga Sekawan, ia berjalan cepat menuju mobilnya. Sebulir air mata menetes. Mungkin ini memang batas waktunya untuk menyerah. Karena tampaknya Valerie sudah menemukan cinta yang lain.

***

Tubuh Valerie merosot bertepatan dengan lift yang tertutup. Tangannya meremas kuat dada yang berdenyut nyeri. Genangan air tumpah dari matanya. Beginikah rasanya patah hati?
“You must to be honest, Sweetie. Don't fool your heart again,” tukas Eduard sambil bersandar di dinding lift. Dalam hatinya, ia sedih melihat Valerie yang masih saja mengingat Endra, tapi berusaha menutupi.
“No need anymore. I didn't have mean anything for him.”
Valerie sadar sudah terlambat untuk memperbaiki hubungan cintanya dengan Endra. Ia bukan lagi bagian yang berarti untuk Endra. Karena tampaknya, lelaki itu sudah menemukan belahan jiwa yang lain.

***

Kepulan asap menjadi sekat antara dua saudara yang tak pernah dekat. Valerie dan Paundra duduk berhadapan di sebuah meja dalam restoran hotel. Paundra sengaja mengikuti instingnya untuk mencari Valerie di hotel ini, dan ia berhasil.
Suasana canggung tercipta di antara mereka. Buktinya sudah lima belas menit berlalu, tapi mereka masih belum membuka mulut untuk berbicara.
“Sebenarnya kamu mau bicara apa?” tanya Valerie memecah keheningan.
Paundra menatap lekat wajah kakak perempuannya, mencari bagian yang bisa menunjukkan bahwa mereka bersaudara, dan ia menemukannya. Bentuk hidung Valerie sama dengan dirinya. Bentuk hidung yang juga dimiliki oleh Budi Wijaya.
“Aku ingin mengenalmu dan ngobrol soal banyak hal.”
“Kamu tak perlu melakukan itu. Aku tidak ingin lagi mengingat semua yang berhubungan dengan masa lalu,” jawab Valerie tanpa berniat menatap wajah Paundra. Terlebih manik mata yang sama dengan Endra.
“Tapi, aku adikmu. Dan, kamu kakakku. Apa aku salah jika ingin dekat dengan kakakku?” Paundra bertanya dengan nada sedih.
“Bukankah kamu sudah punya ... kakak." Suara Valerie sedikit bergetar. Lagi-lagi ia teringat Endra. Sepertinya nama Endra memang sudah terpatri kuat dalam otak dan hati, hingga sulit untuk mendepaknya.
“Ya, tapi aku juga punya dirimu untuk kupanggil kakak. Aku adalah bagian darimu dan juga Kak Endra. Aku punya darah yang sama dengan Kak Endra. Aku juga punya darah yang sama denganmu. Jika aku bisa dekat dengan Kak Endra, lalu kenapa aku tidak bisa dekat denganmu?”
Valerie tetap menunduk dan mengembuskan napas berat. Sebegitu rumit hubungannya dengan Endra.
“Kenapa kamu tidak mau lihat wajahku, Kak? Apa kamu juga membenciku sama seperti kamu membenci Mama?”
Valerie menggelengkan kepala. Meski ia membenci Diandra, tapi bukan itu alasannya menghindari tatapan Paundra. Ia hanya tidak kuat harus melihat mata Paundra tanpa teringat Endra.
“Aku tidak membencimu,” jawab Valerie jujur. Walaupun Paundra adalah anak dari Diandra dan ayahnya. Namun, ia cukup senang telah memiliki adik semengagumkan Paundra. “Aku hanya belum terbiasa denganmu.” Ia berbicara lirih dan masih belum mau mengangkat wajahnya.
“Apa karena aku mirip Kak Endra?” tebak Paundra.
Begitu kuatnya terjerat akan pesona Endra. Hanya dengan mendengar nama itu, ia sudah berdebar. Valerie mengangkat wajahnya, memandang Paundra dengan mata berkaca-kaca.
Paundra tersenyum. “Aku senang bisa bertemu denganmu. Meski aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya, tapi aku merindukanmu. Untuk itu pulanglah, Kak. Kembalilah pada Kak Endra. Dia telah menunggumu.” Paundra menggenggam tangan Valerie yang berada di meja.
Valerie menatap Paundra sejenak, lalu menggeleng. Kening Paundra berkerut bingung.
“Hubungan kami berakhir sejak lama dan aku sudah bukan lagi menjadi bagian darinya,” balasnya sembari tersenyum getir.
“Dia masih mencintaimu, Kak,” sanggah Paundra.
Valerie menggeleng. “Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Dia sudah menemukan belahan jiwanya yang lain. Aku sudah tak punya arti apa pun baginya.”
Mata Paundra membulat. Jadi, ia sudah terlambat satu langkah untuk bisa mempertemukan Endra dan Valerie. Ia berpikir keras meresapi ucapan Valerie tentang belahan jiwa Endra yang lain. Belahan jiwa yang mana? Bukankah dalam hati Endra hanya ada Valerie? Lalu, bagaimana bisa Endra tidak cerita padanya jika sudah bertemu Valerie? Paundra membatin, sepertinya ada yang salah dengan kedua kakaknya.
“Apa kamu masih mencintai Kak Endra?” tanya Paundra sembari menatap tajam Valerie.
Lama Paundra menunggu jawaban Valerie dan merasa lega saat kepala kakak perempuannya mengangguk. “Selalu.”
“Kalau begitu tetaplah di sini,” bujuk Paundra.
Valerie menggeleng. “Sudah terlambat. Lagi pula aku tidak yakin Endra mau menerimaku lagi, setelah aku meninggalkannya.”
Suara Valerie yang lirih sudah menunjukkan pada Paundra, betapa kakak perempuannya juga menyimpan perasaan sama besar untuk Endra.
“Kalau begitu yakinkan dia.” Paundra menggenggam tangan Valerie, sedangkan bibirnya tersenyum penuh arti.

***

Matahari mulai menyingsing, memancarkan sinar menyilaukan. Bau embun menguar dari dedaunan seiring embusan angin. Suasana pagi begitu cerah dan menyenangkan, sayangnya sangat kontradiktif dengan suasana hati Endra yang mendung dan menyedihkan.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Endra duduk ditemani secangkir kopi di balkon rumahnya. Bukan rumah yang ia tempati bersama Diandra, melainkan rumah pribadi yang ia bangun dari hasil jerih payahnya menjadi dokter.
Pikiran Endra terlempar kembali pada momen dua hari lalu di mana ia bertemu Valerie. Bayangan wajah Valerie yang semakin cantik terus menari dan berputar di benaknya. Namun sayang, Valerie sudah tidak memegang cinta untuknya lagi. Endra mengembuskan napas lelah. Jadi, hanya seperti ini akhir cintanya dengan Valerie.
Derap langkah terdengar dari arah belakang. Tanpa menoleh, Endra sudah bisa menebak siapa mereka. Senin pagi dan Tiga Sekawan adalah kombinasi yang selalu menemaninya dua tahun ini.
“Kali ini, kita sarapan di mana?” tanya Ello setelah mengempaskan diri di salah satu kursi balkon.
“Di rumah saja, aku malas keluar rumah.” Endra menjawab sembari mengangkat cangkir kopinya.
“Apa kamu nggak ke rumah sakit?” Juno bertanya sambil menyalakan rokoknya.
“Libur,” jawab Endra singkat.
Garin bersandar di pagar balkon sambil menyalakan rokok. Pandangannya tertuju pada wajah sendu Endra. “Harapanmu terkabul, Ndra. Kamu bisa bertemu lagi dengan Valerie.”
Endra mengangguk. “Tapi sepertinya, aku terlambat untuk mendapatkan cintanya lagi.” Suaranya terdengar begitu pasrah.
“Maksudmu bule Inggris yang bersama Valerie kemarin?” tanya Juno. Lagi-lagi Endra hanya mengangguk.
“Jadi, kamu menunggunya sembilan tahun cuma buat menyerah seperti ini, ckckckck menyedihkan!” cibir Garin tak tahu kondisi. Ia kembali mengisap rokok. Tak memedulikan raut wajah Endra yang berubah sendu.
Endra tahu dirinya memang menyedihkan. Ia telah menjaga hati dan cintanya untuk Valerie. Namun, justru orang lain yang malah memenangkan hati Valerie di tikungan akhir. Ibarat kata, ia susah payah menanam bunga dan merawatnya agar tetap mekar indah, tapi malah orang lain yang bisa memetik bunganya.
“Aku hanya melihat kenyataan. Aku sudah tak mau lagi bermimpi dan berharap terlalu banyak. Terakhir aku melakukannya, malah berpisah dengan Valerie,” balas Endra dengan nada pelan.
“Kamu masih belum tahu jelas tentang hubungan sebenarnya antara Valerie dengan pria itu.” Kali ini, Ello berusaha menengahi suasana melankolis Endra.
“Bagaimana jika hati Valerie memang sudah berpaling?” sahut Endra cepat.
“Tapi, bagaimana kalau ternyata Valerie masih mencintaimu?” timpal Juno tak mau kalah.
Ello mendekatkan kursinya dengan Endra. “Kamu dan Valerie harus bicara dari hati ke hati. Carilah solusi! Selama ini, kalian sudah menggantungkan perasaan kalian masing-masing. Jadi sekarang, saatnya kamu bertindak tegas, mau menggenggamnya atau melepasnya. Aku sih berharap kalian bisa kembali karena aku senang lihat kalian. A perfect couple.” Ello berbicara sambil menepuk pundak kanan Endra. Bertepatan dengan itu notifikasi chat masuk ke ponsel Endra.
[Paundra Wijaya]
Tolong antar aku ke bandara. Tapi sebelumnya temui aku di Grand Melia Hotel.
[Tarendra Yama Mananta]
Naik travel sana. Dasar manja!
[Paundra Wijaya]
Dasar kakak tega! Aku ingin bicara penting denganmu.
[Tarendra Yama Mananta]
Telepon aku.
[Paundra Wijaya]
Ada hal penting tentang Kak Valerie. Yakin tak mau menemuiku?
[Tarendra Yama Mananta]
Aku sudah bertemu dengannya. Everything is over!!!
[Paundra Wijaya]
Kurangi egomu dan cepat kemari! Besok, dia sudah kembali ke London. Jangan sampai menyesal nantinya!
“Pergilah! Bawa Valerie kembali.” Tiba-tiba Juno berceletuk dengan tersenyum penuh arti.
“Lagi pula, bukankah kamu pernah berjanji tidak akan membiarkan dia lepas?” Garin menimpali.

Tbc

Pati, 8 November 2019

Biodata:

Penulis lahir di Malang. Bercita-cita bisa menerbitkan movel solo suatu saat nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.