Sabtu, 30 November 2019

Materi - Keunikan Karakter Tokoh dalam Dialog - Sastra Indonesia Org









Keunikan Karakter Tokoh dalam Dialog


Sore, guys. Di sini ada yang suka buat novel dengan asal tokoh dari berbagai daerah atau provinsi, gak? Misalnya di pesantren atau kampus kan biasanya mereka berasal dari berbagai macam daerah dengan berbagai macam bahasa dan logat bicaranya. Nah, teman-teman bisa tuh dalam dialog membuat obrolan mereka dengan bahasa dan logat dari masing-masing asal daerah mereka, dan harus konsisten.



Berbagai macam bahasa dan logat/ gaya bicara setiap tokohnya itu bisa menjadi keunikan sendiri dalam sebuah cerita, lho. Misalnya saja, ada 5 sahabat yang asalnya berbeda-beda. Ada yang dari Jawa, Madura, Sunda, Medan, dan, Batak. Nah, pasti dari ke lima tokoh tersebut karakter, bahasa, dan logatnya berbeda-beda, kan. Jadi, teman-teman bisa membuat keunikan itu dalam dialog cerita yang sedang teman-teman buat.


Ketika membuat dialog dengan bahasa dan logat berbeda-beda sesuai asal masing-masing tokoh, usahakan harus konsisten. Tidak perlu menjelaskan asal mereka dari mana. Karena dari percakapan para pembaca pasti tahu asal para tokohnya. Biarkan para tokoh menebak, hehe. Kecuali penjelasan asal mereka memang benar-benar diperlukan pada narasi.

Bagaimana? Apa ada yang masih kurang jelas?

Oke, cukup sampai di sini ya materi hari ini. Semoga bermanfaat dan mudah dipahami, hehe. J

Jumat, 29 November 2019

Materi - Dampak Negatif Menulis Kata yang Disingkat-singkat - Sastra Indonesia Org









Dampak Negatif Menulis Kata yang Disingkat-singkat


Sore, guys. Kali sharing-sharing saja, ya. Namun, tetap ada pelajaran yang bisa diambil, lho, hehe.



Teman-teman pernah atau sampai saat kalau chat menulisnya disingkat-singkat, gak? Hayooo, jujur, hehe.

Gini, ya, teman-teman. Saran saya, sebagai penulis meskipun hanya chat-chat-an biasa tetap gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan pula disingkat-singkat. Biasakan chat-chat-an menulisnya pakai aturan bahasa Indonesia yang benar, KBBI, atau PUEBI. Karena dengan begitu, ketika menulis sebuah cerita, apapun jenisnya, kalian jadi lebih mudah dan lancar menulisnya. Gak ada lagi singkat-singkatan dalam karya tulis kalian.

Saya amati, mungkin karena sudah terbiasa chat-chat-an pakai bahasa yang disingkat-singkat, ya. Ada beberapa penulis yang karya tulisnya itu banyak sekali kata yang disingkat-singkat. Bukan menjadi bkn, yang menjadi yg, dan menjadi dn, tidak menjadi tdk, dan sebagainya. Cara penulisan seperti itu jelas salah. Apalagi bahasa Indonesia melarang adanya penulisan seperti itu. Di KBBI juga gak ada kata yang disingkat-singkat. Kecuali kalau memang itu ada kepanjangannya, seperti TNI, PHK, STNK, dan sebagainya.


Gak setiap orang atau pembaca juga mengerti apa maksud kata yang disingkat-singkat itu. Nantinya juga bisa menimbulkan kesalahpahaman.

So, buat kalian. Mulai sekarang biasakan menulisnya jangan disingkat-singkat dan pakailah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yakin, deh. Pasti berdampak juga ke karya tulis kalian. Terus semangat belajar dan berlatih. J

Kamis, 28 November 2019

Materi - Macam-macam Konflik - Sastra Indonesia Org








Macam-macam Konflik


Setiap kehidupan pasti ada saja konflik. Sama dengan sebuah cerita. Agar terkesan nyata dan menarik, wajib dikasih bumbu-bumbu biar sedap. Apalagi novel, tentu lebih dari satu konflik yang disajikan di setiap tokohnya, terutama pada tokoh utama.

Konflik sendiri dibedakan menjadi 2. Konflik internal dan eksternal. Seperti namanya, konflik internal berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan konflik eksternal berasal dari luar diri seseorang itu sendiri.

Kalau konflik internal itu seperti terkena penyakit yang mematikan, masalah yang terjadi dalam hati seperti iri hati, dengki, sedih, marah, malu, kecewa, dan patah hati/ sakit hati.




Sedangkan konflik eksternal bisa dengan lingkungan alam atau bisa juga dengan lingkungan manusia. Nah, dari sini konflik eksternal dibagi menjadi 2, konflik fisik dan konflik sosial. Konflik fisik disebabkan adanya pertumbukan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya, masalah yang dialami tokoh disebabkan terjadinya banjir bandang, kebakaran, kemarau yang berkepanjangan, longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya.

Sebaliknya, konflik sosial disebabkan terjadinya masalah-masalah antarmanusia. Seperti peperangan, pertengkaran/ perselisihan, pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, perundungan, dan sebagainya.

Bagaimana? Sampai sini sudah paham? Kalau belum boleh bertanya, ya. J

Terima kasih sudah setia menyimak dan semoga bermanfaat. J

Selasa, 26 November 2019

Materi - Contoh Penggunaan Konjungsi namun dan tetapi yang Benar - Sastra Indonesia Org








Contoh Penggunaan Konjungsi namun dan tetapi yang Benar




Sekarang saya beri contoh. Perhatikan di bawah ini, ya! J

1. Adit itu sebenarnya pintar. Namun, ia sangat malas. (Benar)
2. Adit itu sebenarnya pintar, namun ia sangat malas. (Salah)

1. Sebenarnya Nita tipe orang yang suka kerapian, tetapi dia pemalas. (Benar)
2. Sebenarnya Nita tipe orang yang suka kerapian. Tetapi dia pemalas. (Salah)
Biar lebih mudah dipahami, polanya gini:

1. Namun, + kalimat.
2. Kalimat, + tetapi.

Bagaimana? Sudah paham, kan? Kalau belum paham bisa colek mimin untuk bertanya, ya. J

Puisi - Kelopak Rindu - Ainia Praba - Sastra Indonesia Org







KELOPAK RINDU
Oleh: Ainia Praba

Sesekali aku ingin menatap 
riuh halaman
Mengamati kelopak mimpi
memekarkan kerinduan

Untuk kemudian kupetik
setangkai angan
Tentang pertemuan yang
entah kapan

Saat mentari gugur
di padang senja
Maka kulahirkan doa-doa
dari waktu yang mengucur



Kemudian ....

Selepas petang kuayunkan
Agar menjelang pagi
engkau datang
Menyeka mendung yang
nyaris kuhujankan

Selatan Jakarta, 09-06-17

03:40 PM







Tentang Penulis:

Ainia Praba lahir di Kota Ukir. Suka nonton film dan minum kopi. Hobi menulis dan membaca fiksi sejak SMP. Cerpen dan puisinya telah ada yang dimuat di beberapa majalah dan buku antologi.

Resensi Buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org







Surabaya dan Jejak Kepahlawanan di Tiap Sudutnya



Judul               : Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?     

Penulis             : Ady Setyawan (Co-Writer: Marjolein van Pagee)
Penerbit           : Matapadi Presindo   
Cetakan           : Pertama, 2018  
Tebal               : xxiv + 212 halaman
ISBN               : 978-602-1634-31-8  
Peresensi         : Lenni Ika Wahyudiasti




Bagi Belanda, segala sesuatu yang terkait dengan masa lalu kolonialisme adalah tentang menakar dan menyeimbangkan, bahkan kadang mengatakan bahwa kolonialisme juga memiliki sisi positif. … Itulah mengapa hukum Belanda yang mengakui 27 Desember 1949 sebagai hari di mana Indonesia diberikan kemerdekaan tidak pernah dicabut. (hal. 206-207)
   
Penggalan paragraf di bagian akhir buku bersampul potret Tugu Pahlawan ini seolah  menguak rahasia tentang bagaimana Pemerintah Belanda memandang kemerdekaan bangsa Indonesia. Fakta ini menyadarkan kita bahwa sejatinya Belanda tak pernah rela mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.  Bagi negeri kincir angin ini, menyesali tidak sama dengan pengakuan resmi bahwa aksi penjajahan wilayah milik negara lain adalah kesalahan hakiki, baik secara moral maupun dari kacamata hukum di lain sisi.      



Berbeda dengan buku tentang sejarah kepahlawanan arek-arek Suroboyo lainnya, buku yang ditulis oleh Ady dan Marjolein---generasi ketiga dari dua pihak yang bertikai dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, seorang berdarah Pejuang Kemerdekaan dan seorang lainnya berdarah Marinir Belanda---ini bercerita tentang kepingan kisah demi kisah kepahlawanan dari setiap jengkal kota Surabaya plus tulisan mengenai bagaimana Pemerintah Belanda memandang sejarah kolonialismenya di Indonesia. Terbagi atas dua bagian, bagian pertama bertutur tentang Surabaya dengan beragam kisah yang melegenda dan menjadi saksi sejarah di tiap sudutnya: Gedung Domei, Lapangan Tambaksari, Tunjungan, Kawasan Industri Ngagel, Kampung Dinoyo, Balai Pemuda, Tugu Pahlawan hingga kuburan massal di area Rumah Sakit Simpang yang saat ini tinggal kenangan. Tak ketinggalan kisah menarik tentang satu-satunya radio bekupon yang masih  tersisa di kawasan Jalan M. Duryat yang penuh makna. Tentang ini Ady menulis, “Dalam arus turbulensi masa Revolusi 45 di Surabaya, radio ini memberi peranan sangat penting dan menentukan. Sektor komunikasi dalam sebuah pertempuran adalah hal yang sangat krusial, sehingga media komunikasi seperti radio bekupon ini memiliki peran yang sangat penting dalam konstelasi Pertempuran Surabaya,” (hal.65).

Bagian kedua berjudul “Sisi Lain” yang ditulis oleh Marjolein. Sisi paling memukau di sini adalah “1945 atau 1949? Sisi Finansial dan Pengakuan Tanah Jajahan”. Rangkaian verba di dalamnya mengungkap fakta yang boleh jadi tak banyak diketahui: sejarah kolonialisme Belanda yang hanya serupa catatan kaki atau usaha paradoksal yang dirayakan dengan ketakziman ganjil di Belanda setiap tanggal 4 Mei.

Salut juga untuk kecerdikan penulis dalam memilih judul buku yang unik dan menggelitik. Sebab, tak hanya memoar kisah heroik, buku keren ini juga monyodorkan sejumlah fakta yang mengundang penasaran:  bagaimana kedatangan pasukan Inggris di bulan Oktober 1945 dihadapi oleh barisan kuli tinta, pun teka-teki siapa pelaku perobekan bendera Belanda di atas Hotel Orange yang selama ini tak pernah terpublikasikan dengan jelas dan nyata. Selain beragam memoar narasumber---salah satunya adalah alm. Hario Kecik, pelaku sejarah yang sempat ditemui penulis buku ini---tentang dahsyatnya pertempuran di Surabaya pada kurun 1945-1949, “Peluru-peluru meriam lewat di atas kepala kami dengan suara khas yang mengerikan. … Di jalan kami berpapasan dengan dua wanita dan pria berusia lanjut. Semula saya kira pria itu menggendong bayi, ternyata yang digendong adalah ususnya yang terburai keluar dari perut. … Tak jauh dari situ saya melihat orang merangkak dengan susah payah. Saya mendekat, orang itu memandang saya, tangannya mengepal dan diangkat. Dengan suara masih keras ia memekik,”Merdeka… merdeka… Pak!” Lututnya hancur, tulang keringnya juga hancur kelihatan menonjol,” (hal. 138), buku ini juga berani mengungkap pengakuan tentang pembunuhan brutal atas masyarakat berdarah campuran sebagai ungkapan rasa marah rakyat Surabaya atas upaya angkuh Belanda yang berniat kembali menjajah. Sisi kelam sejarah heroik Kota Pahlawan ini terekam dalam “Everald, Darah Campuran di Simpang Jalan”.  

Harus diakui, meski masih ditemui saltik dan kalimat menggantung di beberapa titik, buku ini tetap menarik. Kehadirannya mampu menggugah kembali memori warga Surabaya tentang nyali kepahlawanan para pendahulunya tanpa menampik sisi kelam yang mengemuka. Soal sejarah kelam ini plus kontroversi pernyataan Belanda tentang sisi positif kolonialisme, Ady mencatat, “… betapa diskriminasi berdasarkan ras yang diterapkan oleh sistem kolonialisme kelak menimbulkan resistensi yang begitu mengerikan, melenyapkan sisi-sisi kemanusiaan. Tertindas, direndahkan hingga titik nadir, dicampakkan, dan itu berlangsung menahun mampu membutakan nurani, menghilangkan akal dan budi sebagai manusia yang beradab,” (hal. 107).  
                                                                                         
---oo000oo---






Biodata Peresensi

Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi yang digelar Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba dan  event literasi lainnya di tahun 2016 s.d 2018. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, atau email: lenniika@yahoo.co.id.

Puisi-puisi Rudi Santoso - Sastra Indonesia Org









PUISI-PUISI RUDI SANTOSO


KECEMASAN

Tak usah cemas       
Aku datang membawa madu
Yang akan dituangkan kepada bibirmu
Tak usah belah dadaku
Untuk meyakini kesetiaan yang sebenarnya
Sebab cintaku bukan peramal
Yang akan membawamu pada tempat paling kau inginkan
Cintaku adalah harap memilikimu dengan gagah dan gigih

JOGJA 2019



KENANGAN YANG BERCECERAN

Di sudut kota ada bekas kenangan
Milik orang-orang yang terhanyut dalam buaian asmara
Ia meninggalkan kenangan dalam catatan air mata cinta
Bahagia dengan luka sendiri yang sudah lama ditinggal kekasih

Hati-hati dengan sebuah rayuan
Agar kenanganmu tidak bercecaran di mana-mana
Atau kau memang lebih suka memelihara kenangan
Untuk diceritakan kepada sanak saudara

JOGJA 2019



PUISI CINTAKU

Bila sering kukirimkan puisi untukmu
Bertanda mencintaimu bukanlah perkara yang mudah
Aku harus melawan sunyi rindu
Yang bertempurung di otakku

Puisiku adalah cara memberikan kabar kepadamu
Tentang kasih sayang dan rindu
Yang telah kupilih untuk menjalani kehidupan selanjutnya

Jangan terusik dengan bahasa puitis
Dan jangan kau anggap sebagai rayuan untuk mendapatkan kecup bibir merahmu
Puisi hanya berusaha untuk mempercayaimu dalam perihal mencintai untuk memiliki



JOGJA 2019



ENGKAU
Oleh:Tari

Ingin kubaktikan segala cinta untukmu
Dalam mengarungi kehidupan dengan penuh keindahan
Yang kau taruh di balik matamu yang tajam

Dunia terlalu luas untuk  kusinggahi keindahannya
Maka pada detak waktu
Aku membisikkan cinta kepada segenap tubuhmu
Yang telah dipenuhi kenangan orang lain
Dan aku ingin menjadi muara dari ingatanmu
Untuk menulis cerita baru
Sebagai catatan hidup selanjutnya

JOGJA 2019



ROTASI

Yang berlalu
bukan lagi tentang perasaan saat ini
perasaan juga membutuhkan arah
yang lebih puitis
hari ini kita mencintai
untuk yang lebih romantis
sekali pun masa lalu lebih indah
arah ke depan adalah kehidupan
yang sebenarnya untuk dicintai

JOGJA 2019






Biodata:

Rudi Santoso lahir di Sumenep, Madura. Menempuh S1 di Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nomine 30 puisi terbaik tingkat Asia Tinggara UNS 2017. Beberapa puisi telah tersiar di berbagai media cetak lokal dan nasional. Buku puisi pertama “Kecamuk Kota” yang diterbitkan oleh Halaman Indonesia.