Rabu, 30 Oktober 2019

Resensi Buku A Tribute to Doctors - Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org








Persembahan untuk Dokter Idaman Perantara Kesembuhan


Judul                           :  A Tribute to Doctors: Antologi Kisah Nyata dan Inspiratif
Penulis                        :  Rohani Panjaitan, NaQi Nita, Vindy Ruslianti dkk.
Penerbit                       :  Diandra Kreatif 2019, Yogyakarta
Cetakan                       :  Pertama, Juli 2019
Tebal                           :  xiii + 211 halaman
ISBN                           :  978-602-336-987-4
Peresensi                     :  Lenni Ika Wahyudiasti


Senjata utama seorang dokter bukanlah stetoskop, obat, atau pisau bedah, melainkan hatinya … (hal. iii)

Berita kematian seorang dokter di tangan masyarakat---yang belasan tahun didampingi dan amat dicintainya---dalam kerusuhan yang meletus di Wamena baru-baru ini menggoreskan duka yang amat dalam bagi dunia medis di tanah air. Sebuah fakta yang benar-benar menorehkan luka, mengingat dokter yang dikenal berdedikasi tinggi  tersebut berpulang lantaran keberingasan orang-orang yang justru selama ini amat ia sayang. Akhir pengabdian yang ironis dan tragis, namun semoga tak melemahkan semangat juang dan pengabdian para tenaga medis. Ibu pertiwi boleh menangis, tetapi semangat untuk mempersembahkan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat tak boleh habis.

Kisah pengabdian para dokter di manapun mereka bertugas memang takkan pernah habis dikupas di atas berlembar-lembar kertas. Begitu pula narasi tentang bagaimana ketulusan pengabdian orang-orang yang memilih profesi berkelas ini membuat para pasien mereka ‘jatuh hati’. Lewat interaksi positif antara dokter dan pasiennya, para pasien dan keluarganya percaya bahwa kendati tak selalu mampu memberikan kesembuhan, ada kalanya seorang dokter adalah sosok yang dipilih Tuhan untuk menjawab doa dan asa hamba-hamba-Nya. Demikian pesan moral  yang  saya  temukan dalam buku bertajuk A Tribute to Doctors karya Rohani Panjaitan dkk yang baru saja selesai saya baca.

Belasan kisah sarat hikmah yang dituturkan oleh narasumber yang pernah menjalani interaksi dengan dokter yang membersamai mereka saat berikhtiar menggapai kesembuhan terekam manis dalam buku yang sengaja ditulis sebagai persembahan untuk memperingati Hari Dokter Nasional pada tanggal 24 Oktober ini. Selain bertutur tentang lika-liku perjuangan para penulis dalam mengupayakan kesembuhan dan melawan keputusasaan, buku ini juga berkisah tentang kehadiran dan peran penting seorang dokter di mata para pasiennya.

Harus diakui, panjangnya durasi proses kesembuhan yang wajib dijalani  memang  kerap  menimbulkan  kejenuhan  dan  berujung  keputusasaan.  Tak  heran  bila  aura  putus  asa pun sempat menguar dalam rangkaian verba di sejumlah alinea. “… Terkadang aku ingin marah meledak-ledak. Di lain waktu perasaan sedih begitu merajai diri. Bahkan rasa putus asa pun sempat menggerogoti hati. Aku pernah berharap kalau operasi yang kujalani gagal sehingga diri ini tak perlu lagi hidup di muka bumi,”  (Sisi Humanis Seorang Dokter, hal. 15).  Atau, seperti yang dirasakan Wienza Wina—salah seorang kontributor---saat mendapati kondisi terburuk sang ibunda, “Mama dinyatakan koma, tak bergerak, tak bersuara, tergolek lemah dengan selang infus di tangan kirinya. Seolah tiap cairan infus yang menetes menjadi detak yang menghitung mundur sisa waktu hidupnya,” (Perantara Tuhan, hal. 40).



Oleh karena itu, keberadaan seorang dokter tak sekadar dinanti untuk memberikan resep obat dan aneka terapi. Bagi pasien, kehadiran para dokter yang  penuh empati dan tulus melayani bagai oase bening di tengah perjuangan mereka melangitkan doa kesembuhan diri. Ada kalanya ketulusan perhatian justru lebih diharapkan dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Seperti yang ditulis oleh Reny Nopriyanti yang begitu terkesima oleh perhatian sederhana dokter yang merawatnya, “Saat bertemu pasien, beliau bukannya menanyakan keluhan, tapi justru bertanya, “Mau cerita apa?” Seketika segala keluhan hilang, bagai terhipnotis senyum khasnya”, (Dokter Pujaan Hati, hal. 71-72).   Di sisi lain, tekad sang dokter untuk memberikan ikhtiar maksimal tanpa menepikan kekuasaan Tuhan menjadi penyemangat hebat yang boleh jadi melebihi khasiat beraneka obat. “Pak, maaf, kondisi anak Bapak sangat kritis. Ia tak kuat bernapas sendiri … Tapi …  saya ingin Bapak tetap optimis dan tolong bantu saya dengan doa.  Saya  tidak  bisa  menjanjikan  dia  akan  selamat  dan  sehat.  Tapi  saya janji  akan  mengusahakan  yang  terbaik.  Kita  sama-sama berjuang,  ya,” (Peneduh  Jiwa, hal. 54)

Patut diacungi jempol, gagasan dan niat baik Rohani Panjaitan dkk. untuk memprakarsai terbitnya buku berlabel antologi kisah nyata dan inspiratif ini. Sebab, selain bertujuan untuk memberi apresiasi bagi para dokter di sejumlah daerah yang telah mengabdikan diri dengan sepenuh hati di tengah pergeseran nilai terhadap profesi yang kerap dipandang eksklusif dan berorientasi materi tersebut, penerbitan buku ini juga diakui para penulisnya sebagai  proyek sosial bernuansa nirlaba lantaran keuntungan penjualannya akan digunakan untuk menghadirkan pojok anak bagi keluarga pasien dengan perawatan kelas tiga di sejumlah fasilitas kesehatan.

Sebuah catatan mengemuka untuk buku bersampul putih dengan ilustrasi stetoskop dan gambar dua hati ini. Layaknya sebuah buku yang bertutur tentang kisah nyata yang berhubungan dengan dunia kedokteran, berbagai istilah medis pun bertebaran di sejumlah halaman. “Suasana tegang menyelimuti area resusitasi bayi. … Pipa lentur kecil—bernama pipa endotrakeal—akhirnya dimasukkan untuk mencapai paru-paru bayi, agar tindakan memompa oksigen—yang disebut ventilasi—efektif, (Peneduh Jiwa, hal. 53). Atau di lain kisah, “Dokter yang juga dosen di Universitas Pajajaran ini memaparkan kalau cairan empedu senantiasa dihasilkan oleh hati untuk membantu proses pencernaan. Artinya, fungsi ekskretorik melalui ekskresi bilirubin dan emulsifikasi lemak tetap berjalan, (20 Years, hal. 93). Untuk itu, tak ada salahnya bila pada cetakan berikutnya ditambahkan penjelasan tentang beragam istilah medis tersebut agar pembaca lebih mudah memahaminya tanpa perlu mencari-cari lagi dalam berbagai referensi. Penjelasan dimaksud dapat dicantumkan dalam catatan kaki atau diletakkan pada halaman tersendiri.
  
Over all, kendati masih ditemui penulisan ejaan yang belum pas di beberapa halaman, buku ini cukup menarik dan terlalu berharga untuk dilewatkan. Tak hanya merekam kesan positif dan sejumlah harapan tentang sosok dokter yang didambakan, beraneka kisah yang tersaji  juga menjadi bukti bahwa masih banyak dokter baik hati di negeri ini yang tak hanya profesional, namun juga berjiwa sosial dan mengedepankan prinsip humanisme yang amat kental. Usai membacanya, bisa jadi kita akan sampai pada pemahaman yang sama bahwa ‘bekerja dengan hati dan penuh empati’ menjadi kunci keberhasilan seseorang di profesi manapun ia mengabdi. Terlebih untuk profesi  dokter yang menjadi tumpuan harapan dan senantiasa digadang-gadang sebagai perantara kesembuhan dari Tuhan. “Karena memang sejatinya, kedekatan dan empati secara pribadi dari seorang dokter kepada pasiennya, merupakan obat yang sangat manjur dibanding produk-produk farmasi dengan segala rumus-rumus kimiawinya,” (Sisi Humanis Seorang Dokter, hal.21).


---oo000oo---









Biodata Peresensi

Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan 2017. Selain itu, ia juga menjadi kontributor utama di sejumlah proyek literasi  di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, twitter: @lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.