Senin, 21 Oktober 2019

Resensi Buku Hamengku Buwono IX, Pengorbanan Sang Pembela Republik - Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org







Tahta untuk Rakyat, bukan Tahta untuk Keluarga

Judul                       :    Hamengku Buwono IX, Pengorbanan Sang Pembela Republik  

Penulis/penyunting :    Seno Joko Suyono dkk
Penerbit                  :    KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan
                                    Tempo Publishing  
Cetakan                  :    Pertama, Februari 2018
Tebal                      :    xiv + 192 halaman
ISBN                      :    978-602-424-743-0
Peresensi                :    Lenni Ika Wahyudiasti



Sebagai Raja Jawa, Hamengku Buwono IX gigih menegakkan keberadaan Republik Indonesia di masa awal kemerdekaan dan tahun-tahun pertama Orde Baru.  Sosoknya sebagai raja yang egaliter, demokratis dan membumi sejatinya terbentuk sejak ia berusia empat tahun. Kala itu, pria bernama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun ini mulai dititipkan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VIII, kepada keluarga Mulder, seorang meneer Kepala Neutrale Hollands Javaanse Jongens School agar memiliki karakter perpaduan nilai Timur dan Barat. Sultan HB VIII pernah berpesan kepada putra-putranya, “Kalau kalian terus di dalam keraton, pasti akan selalu dimanjakan ibumu. Itu nanti akan merusak karaktermu. Makanya keluar,” (hal. 34).

Setelah dinobatkan menjadi raja, Hamengku Buwono IX giat menyokong kaum republiken. Dukungannya kepada RI demikian total. Tak hanya saat bermaklumat bahwa ia bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia pada awal kemerdekaan, kesetiaannya pada Soekarno-Hatta dalam berbagai peristiwa dan ‘peran senyap’-nya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang fenomenal, Hamengku Buwono IX pun punya peran penting dalam membangun pondasi ekonomi Indonesia. Mulai dukungan finansial---yang tak pernah diberitakan media lantaran Sultan melarangnya---hingga ikhtiarnya mengisi kantong republik ini saat menjadi Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan di tengah keadaan negara yang nyaris bangkrut pasca demokrasi terpimpin menjelang peralihan rezim di tahun 60-an.  



Kehidupan Hamengku Buwono IX dan sepak terjangnya mendukung republik ini dari balik layar bisa kita baca di buku kesembilan dari Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa yang merekonstruksi kembali rekam jejak kehidupan Sri Sultan sejak kanak-kanak hingga tutup usia di tahun 1988 ini. Selain mengungkap peran Sang Raja dalam menyelamatkan bangsa, ada pula rekaman masa kecilnya di Bintaran Kidul hingga melanjutkan studi ke Leiden, cerita tentang melimpahnya pundi-pundi Ngarso Dalem yang---tanpa orang tahu---banyak disumbangkan untuk negara, romantisme Sang Sultan dengan kelima istrinya hingga polemik suksesi di Keraton Yogya.

Dari seluruh kisah, barangkali “Rebutan Klaim Penggagas Serangan” yang mengungkap fakta berbeda di balik Serangan Umum 1 Maret 1949 dan “Pentas Politik Sang Raja” adalah yang paling menarik. Kontroversi mengenai siapa penggagas Serangan Umum 1 Maret menjadi tulisan yang tak pantas dilewatkan, termasuk kisah di balik pembuatan film “Janur Kuning” yang dianggap terlalu mengkultuskan Soeharto sebagai sosok yang paling berjasa. Selain itu, cerita tentang panas-dinginnya hubungan Sultan dan Presiden Soeharto hingga berujung pada pernyataan Sang Sultan yang tak berminat memperpanjang jabatan sebagai wakil presiden pasca menjabat pada kurun waktu 1973 s.d 1978 juga merupakan salah satu bagian yang mengundang rasa penasaran. Keretakan hubungan Raja Yogya dan Sang Presiden yang memunculkan banyak dugaan ini terekam dalam episode berjudul “Diam, Lalu Berpisah di Ujung Jalan”.

Secara keseluruhan buku tentang Raja Yogyakarta yang tak banyak bicara ini amat menarik dan hampir tak ada saltik. Kendati berkisah tentang tokoh sejarah, buku ini ditulis dengan gaya reportase khas jurnalis yang renyah dan tidak berpretensi untuk menguji masa lalu dalam ketatnya metodologi sejarah. Tim penulis agaknya sadar betul bahwa mereka bukanlah sejarawan. Tentang gaya penulisan buku ini, mereka menyodorkan argumen tak terbantahkan: Dalam pendekatan jurnalistik, yang diharapkan muncul adalah pesona sejarah---meski tidak berarti fakta disajikan serampangan dan tanpa verifikasi. Tujuan jurnalisme adalah mengetengahkan fakta dengan menarik, dramatik tanpa mengabaikan presisi, (hal. xi).

Tanpa narasi yang menggurui, biografi tentang Raja Yogya ini sejatinya mengajak kita berhikmah pada sisi positif kehidupan Sang Ngarso Dalem: bagaimana ia memimpin, bagaimana ia menjadi seorang negarawan, pun bagaimana ia menjadi seorang ayah dan suami. Selain pelurusan sejarah---khususnya sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949---lewat tulisan Peter Cray, Yad Adjunct Profesor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam kolom yang tersaji di bagian akhir, kita juga akan mendapati pula sisi lain Sang Raja yang menginspirasi.  Dalam opini yang mengungkap upaya Sang Sultan mengembalikan jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo III---Adipati Maospati Madiun ke-III yang dihukum mati sebagai pemberontak melawan penjajahan Belanda---ke Giripurno dan menyatakannya sebagai ‘pejuang perintis melawan Belanda’ tersebut, Peter Cray menulis sekaligus mengkritisi: Mengapa raja dari generasi perintis begitu peka sejarah sedangkan elite politik sekarang buta? Apakah ini faktor pendidikan? Atau hal lain seperti gagasan dan ruang intelektual kaum pemimpin kini menjadi picik pikiran dan sarat kepentingan pribadi? Tahta untuk rakyat adalah pedoman Sultan IX, bukan tahta untuk keluarga. Kisah Yogyakarta dan Madiun menjadi saksi hidup bijak sang raja republiken dan demokratis yang selalu membawa “jas merah” Bung Karno---jangan sekali-kali meninggalkan sejarah---sebagai inspirasi hidup, (hal. 192).


---oo000oo---







Biodata Peresensi

Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan 2017. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, twitter: @lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.