Tahta untuk Rakyat, bukan Tahta untuk Keluarga
Judul : Hamengku Buwono IX,
Pengorbanan Sang Pembela Republik
Penulis/penyunting : Seno Joko Suyono dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan
Tempo Publishing
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : xiv + 192 halaman
ISBN : 978-602-424-743-0
Peresensi : Lenni Ika Wahyudiasti
Sebagai Raja Jawa, Hamengku Buwono IX
gigih menegakkan keberadaan Republik Indonesia di masa awal kemerdekaan dan
tahun-tahun pertama Orde Baru. Sosoknya
sebagai raja yang egaliter, demokratis dan membumi sejatinya terbentuk sejak ia
berusia empat tahun. Kala itu, pria bernama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun
ini mulai dititipkan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VIII, kepada keluarga
Mulder, seorang meneer Kepala Neutrale Hollands Javaanse
Jongens School agar memiliki karakter perpaduan nilai Timur dan Barat. Sultan HB VIII pernah berpesan kepada
putra-putranya, “Kalau kalian terus di dalam keraton, pasti akan selalu
dimanjakan ibumu. Itu nanti akan merusak karaktermu. Makanya keluar,” (hal. 34).
Setelah dinobatkan menjadi raja, Hamengku
Buwono IX giat menyokong kaum republiken. Dukungannya kepada RI demikian total. Tak hanya saat bermaklumat bahwa ia bertanggung jawab
langsung kepada Presiden Republik Indonesia pada awal kemerdekaan, kesetiaannya pada Soekarno-Hatta dalam berbagai
peristiwa dan ‘peran senyap’-nya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang
fenomenal, Hamengku Buwono IX pun punya peran penting dalam membangun pondasi
ekonomi Indonesia. Mulai dukungan finansial---yang tak pernah diberitakan media lantaran Sultan melarangnya---hingga ikhtiarnya mengisi kantong
republik ini saat menjadi Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan di tengah
keadaan negara yang nyaris bangkrut pasca demokrasi
terpimpin menjelang peralihan rezim di tahun 60-an.
Kehidupan Hamengku Buwono IX dan sepak terjangnya mendukung republik ini dari balik layar
bisa kita baca di buku kesembilan dari Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa yang merekonstruksi kembali rekam jejak kehidupan Sri Sultan sejak kanak-kanak hingga tutup usia di tahun 1988 ini. Selain mengungkap peran Sang Raja dalam
menyelamatkan bangsa, ada pula rekaman
masa kecilnya di Bintaran
Kidul hingga melanjutkan studi ke Leiden, cerita tentang melimpahnya
pundi-pundi Ngarso Dalem yang---tanpa
orang tahu---banyak
disumbangkan untuk negara, romantisme Sang Sultan dengan kelima istrinya hingga
polemik suksesi di Keraton Yogya.
Dari seluruh kisah, barangkali “Rebutan
Klaim Penggagas Serangan” yang mengungkap fakta berbeda di balik Serangan Umum 1 Maret 1949 dan “Pentas Politik Sang Raja”
adalah yang paling menarik. Kontroversi mengenai siapa
penggagas Serangan Umum 1 Maret menjadi
tulisan yang tak pantas dilewatkan, termasuk kisah di balik pembuatan film
“Janur Kuning” yang dianggap terlalu mengkultuskan Soeharto sebagai sosok yang
paling berjasa. Selain itu, cerita tentang panas-dinginnya hubungan Sultan dan Presiden Soeharto hingga berujung pada pernyataan Sang Sultan yang tak berminat memperpanjang jabatan sebagai wakil presiden
pasca menjabat pada kurun waktu 1973 s.d 1978 juga merupakan salah satu bagian
yang mengundang rasa penasaran. Keretakan hubungan Raja Yogya dan Sang
Presiden yang memunculkan banyak dugaan ini terekam dalam episode berjudul “Diam, Lalu Berpisah di Ujung Jalan”.
Secara keseluruhan buku tentang Raja Yogyakarta yang tak banyak bicara ini amat
menarik dan hampir tak ada saltik. Kendati berkisah tentang
tokoh sejarah, buku ini ditulis dengan gaya reportase khas jurnalis yang renyah
dan tidak berpretensi untuk menguji masa lalu dalam ketatnya metodologi
sejarah. Tim penulis agaknya sadar betul bahwa mereka
bukanlah sejarawan. Tentang gaya
penulisan buku ini, mereka
menyodorkan argumen tak terbantahkan:
Dalam pendekatan jurnalistik, yang diharapkan muncul adalah pesona
sejarah---meski tidak berarti fakta disajikan serampangan dan tanpa verifikasi.
Tujuan jurnalisme adalah mengetengahkan fakta dengan menarik, dramatik tanpa
mengabaikan presisi, (hal. xi).
Tanpa narasi yang menggurui, biografi tentang
Raja Yogya ini sejatinya mengajak kita berhikmah
pada sisi positif kehidupan Sang
Ngarso Dalem: bagaimana ia memimpin, bagaimana ia
menjadi seorang negarawan, pun bagaimana ia menjadi seorang ayah dan suami. Selain
pelurusan sejarah---khususnya sejarah
tentang Serangan Umum 1 Maret
1949---lewat tulisan Peter Cray, Yad Adjunct Profesor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia dalam kolom yang tersaji
di bagian akhir, kita juga akan mendapati pula sisi lain Sang Raja yang menginspirasi. Dalam opini yang mengungkap upaya Sang Sultan mengembalikan jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo
III---Adipati Maospati Madiun ke-III yang dihukum mati sebagai pemberontak
melawan penjajahan Belanda---ke Giripurno dan menyatakannya sebagai ‘pejuang
perintis melawan Belanda’ tersebut, Peter Cray menulis sekaligus mengkritisi: Mengapa raja dari generasi
perintis begitu peka sejarah sedangkan elite politik sekarang buta? Apakah ini
faktor pendidikan? Atau hal lain seperti gagasan dan ruang intelektual kaum
pemimpin kini menjadi picik pikiran dan sarat kepentingan pribadi? Tahta untuk rakyat adalah pedoman Sultan
IX, bukan tahta untuk keluarga. Kisah Yogyakarta dan Madiun menjadi saksi
hidup bijak sang raja republiken dan demokratis yang selalu membawa “jas
merah” Bung Karno---jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah---sebagai inspirasi hidup, (hal. 192).
---oo000oo---
Biodata Peresensi
Lenni Ika
Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah
bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua
puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi
yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di
antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua
tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif
dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan
2017. Selain itu, ia juga berkali-kali terpilih menjadi kontributor di sejumlah proyek literasi di
lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di
Nusantara.
Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena
Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia
literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis
novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram:
lenni.ika, twitter:
@lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.