Selasa, 01 Oktober 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku - Part 13 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org











Karena Kamu Pangeranku
Part 13
Oleh : Titin Akhiroh



Menjelang siang hari, Valerie berkunjung ke rumah sakit bersama Juno. Kebetulan Ello dan Garin sedang punya urusan dengan keluarga masing-masing. Mereka berjanji akan menyusul sore harinya.
Juno membuka pintu kamar Endra dengan Valerie mengikuti di belakang. Lelaki Mananta menyambut keduanya dengan senyuman.
“Ello dan Garin mana?” tanya Endra pada Juno.
“Ello ngantar Mommy-nya ke Depok. Garin jemput Daddy-nya di bandara. Nanti sore, mereka baru datang ke sini.” Juno menjawab, kemudian menghampiri Budi dan Diandra yang duduk di sofa untuk cium tangan.
“Rie, kenapa diem di sana? Ayo, duduk sini!”
Valerie mendekat, duduk di kursi sebelah ranjang. Matanya sempat melirik Juno yang sedang berbincang dengan Budi dan Diandra.
“Gimana keadaan kamu hari ini? Udah enakan?” tanya Valerie dan Endra tersenyum sembari mengangguk.
“Lumayan, tapi mungkin butuh waktu lama buat aku bisa jalan.”
“Kamu pasti segera sembuh dan bisa jalan lagi.”
Kepala Endra mengangguk. “Aku harap juga gitu. Bosan banget ada di sini. Udah nggak betah,” jawabnya disertai desahan lelah.
Ya, memang sudah satu minggu Endra dirawat di rumah sakit. Dalam kurun waktu itu juga Valerie selalu ada menemani Endra. Meskipun begitu, ia masih tidak ingin bicara dengan Budi maupun Diandra.
“Kapan mulai terapi?” tanya Valerie sambil menggenggam tangan kiri Endra.
“Minggu depan.” Endra menatap lekat Valerie. “Besok udah masuk sekolah lagi. Kamu pasti kesepian karena nggak ada teman sebangku.”
Selarik senyum menghiasi bibir Valerie. “Nggak apa-apa, yang penting kamu harus cepat sembuh. Lagian kan ada Tiga Sekawan yang bisa nemenin aku saat istirahat.”
Endra mengangguk. Matanya menatap lekat Valerie. Setelah berdeham pelan, ia berujar lirih, “Valerie, kita bisa pacaran lagi, ‘kan?”
Jemari Valerie menggenggam erat tangan Endra. “Jangan ngomongin itu sekarang, yang penting kamu sehat dulu.”
Ingin rasanya ia menerima Endra dengan lantang. Namun, fakta perihal Budi dan Diandra mengungkungnya untuk tetap diam. Mungkin juga memaksanya untuk mengubur rasa cinta dalam-dalam.
“Aku nggak mau jauh dari kamu.”
“Aku akan selalu berada di sini, dekat kamu.”
“Oke,” sahut Endra singkat, usaha mengakhiri perdebatan.
Seorang perawat masuk untuk mengantarkan makan siang. Diandra bergerak mengambil bubur dari nampan dan menyuapkan ke mulut Endra. Namun, sama seperti hari-hari sebelumnya, Endra menolak.
“Kamu harus makan, Sayang. Dari kemarin malam, kamu belum makan,” ucap Diandra terlihat sedih.
Selama seminggu terakhir, sebelas dua belas dengan Valerie. Endra juga menghindar atau lebih tepatnya mengurangi interaksi dengan Diandra dan Budi. Ia hanya bersikap normal saat ada Valerie, Empat Sekawan, dan Paundra. Selebihnya, ia akan bersikap dingin dan tak tersentuh.
Valerie yang mengamati sikap dingin Endra pada sang mama, segera turun tangan dengan meminta mangkuk bubur dari Diandra. Dengan mata berkaca-kaca, wanita yang masih terlihat menawan meski mendekati usia senja menyerahkan mangkuk padanya. Endra membuka mulut saat ia menyuapkan bubur. Detik itu juga, Diandra keluar sambil menangis disusul Budi.
“Kamu nggak boleh bersikap kayak gitu sama mamamu,” tutur Valerie sambil menyuapi Endra.
“Kamu juga ngehindarin ayahmu,” jawab Endra saat mengunyah makanannya.
“Dulu, Ayah ninggalin aku, jadi aku membencinya. Sementara, mamamu nggak pernah ninggalin kamu, jadi jangan membencinya.”
“Inget, Rie! Kita jadi kayak gini karena mereka.”
“Tapi, kamu tetap harus hormati mamamu, dia sangat menyayangimu. Jadi, aku mohon, jangan membencinya. Kalo kamu bersikap kayak gitu lagi, aku nggak akan mau datang lagi ke sini.” Valerie bersuara dengan nada mengancam sembari menyuapkan bubur ke mulut Endra.
Endra menghela napasnya, kasar. “Ya.”
“Ya, apa?”
“Ya, aku nggak akan bersikap berengsek lagi,” sahut Endra geram sambil mengunyah buburnya.
Melihat wajah Endra menahan amarah, mau tak mau Valerie terkekeh. Tangan kanannya terangkat, mengacak rambut cokelat terang milik lelaki istimewanya itu.
Juno yang sedari diam, juga ikut tertawa. "Cuma kamu yang bisa buat si Galak jadi jinak, Rie,” celetuknya saat melihat Valerie mengacak rambut Endra.

***

Lorong rumah sakit siang itu tampak sedikit lengang. Kebetulan hari ini, Valerie datang sendirian tanpa Tiga Sekawan yang sedang mendampingi adik kelas di club basket bertanding. Ia membuka pelan pintu dan bisa melihat Endra yang sedang tidur pulas.
“Endra dan Valerie tidak seharusnya jatuh cinta.”
Suara Diandra menghentikan gerakan Valerie membuka pintu. Sepertinya, Budi dan Diandra tidak menyadari kehadirannya yang sedang mendengar percakapan mereka.
“Kamu benar, mereka adalah saudara tiri. Aku tidak pernah membayangkan kalau Endra dan Valerie akan bertemu dan saling mencintai. Dulu, aku selalu membayangkan melihat mereka bisa akrab satu sama lain menjadi saudara, bukan sebagai sepasang kekasih.”
Ucapan Budi membuat dada Valerie berdenyut sakit. Jadi, memang sudah tidak ada jalan lagi baginya dan juga Endra. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Mengapa harus Endra yang menjadi saudaranya? Mengapa bukan orang lain? Ia menahan tangisnya agar tidak keluar, sehingga terus dapat mencuri dengar percakapan Budi dan Diandra.
“Aku pikir kisah cinta mereka hanya cinta monyet biasa. Tapi, melihat mereka bersama, aku tahu kalau rasa cinta mereka sangat kuat. Papa lihat sendiri, ‘kan? Endra hanya mau mendengar ucapan Valerie. Dan itu membuatku sakit,” ucap Diandra sambil menangis.
“Aku sangat menyayangi Endra begitu pun Valerie. Walaupun dia masih membenciku, aku tetap sayang sejak pertama kali melihatnya. Aku selalu membayangkan memliliki putra dan putri yang tinggal bersamaku. Tapi sepertinya, harapanku tidak akan terwujud, aku tidak bisa melihat mereka bersama sebagai kekasih. Mereka berdua anak kita. Mereka berdua saudara tiri.”
Jatuh sudah air mata Valerie. Hatinya remuk dan hancur mendengar perkataan Diandra. Selama ini, ia bisa bertahan hidup karena Endra. Karena Endra mataharinya. Karena Endra adalah pangerannya.
“Mungkin kita perlu memisahkan mereka untuk sementara waktu. Mereka masih sangat muda. Perasaan mereka pasti akan berubah seiring berjalannya waktu.” Kali ini, Budi berucap dengan nada tegas.
“Maksud Papa?”
“Kita bawa Endra ke Singapore untuk melakukan terapi. Jadi, mereka tidak akan bertemu untuk sementara waktu. Dengan begitu, siapa tahu perasaan mereka akan berubah.”
Valerie mulai terisak mendengar ucapan ayahnya. Jadi, ia dan Endra benar harus berpisah dan tidak boleh bertemu lagi. Ia tidak akan melihat Endra lagi, lalu bagaimana ia bisa bertahan jika tidak ada Endra?
“Valerie!” seru Budi saat membuka pintu. Rona kaget terpancar jelas di wajahnya, begitu juga dengan Diandra.
Valerie menyalahkan dirinya karena tidak bisa menahan isakan. Raut wajah Budi dan Diandra terlihat cemas, sepertinya mereka takut jika ia telah mendengar percakapan. Ia menghapus air matanya, bersiap untuk pergi. Langkahnya terhenti saat seseorang memegang tangannya.
“Maafkan kami, Valerie. Kami tidak bermaksud—”
“Tenang saja, aku tahu posisiku. Kalian nggak perlu cemas soal aku atau Endra. Aku tahu, aku nggak boleh jatuh cinta padanya karena dia kakak tiriku, kan?” sela Valerie memotong ucapan Diandra.
“Ayah minta maaf, Nak. Kami hanya ingin kita bisa bahagia dan memulai hidup baru.” Budi berkata sambil menatap lembut Valerie.


“Aku ngerti," balasnya lirih. "Kapan Endra berangkat?” Valerie berusaha melepas genggaman Diandra dari tangannya.
“Minggu depan,” jawab Diandra.
“Apa aku masih boleh menemani Endra sampai dia pergi?” ucap Valerie di sela isakan.
“Tentu saja, Sayang. Kamu boleh menemaninya,” balas Budi sembari mengelus kepala Valerie.
Valerie mundur. “Terima kasih.”
Dengan langkah gontai, Valerie memasuki taman rumah sakit. Taman yang sama saat ia menumpahkan amarah dan emosinya pada Budi dan Diandra. Kini, ia kembali lagi dengan menumpahkan semua air matanya. Air mata kesakitan untuk Endra. Ia akan kehilangan Endra.

***

“Aku nggak mau ke Singapore,” protes Endra saat Valerie dan Tiga Sekawan menjenguknya.
“Kenapa? Kamu pingin bisa jalan lagi, 'kan? Dan dengan terapi di sana, kamu bisa cepet jalan,” desak Ello.
“Ya, Ndra. Dokter bilang, di sana banyak terapis handal yang bisa bantu kamu jalan lagi dengan cepat,” sahut Garin.
“Tetap aja aku nggak mau. Aku akan tinggal di sana selama enam bulan. Mana mungkin aku mau jauh dari Valerie dan kalian?” Endra masih bersikap keras kepala.
“Semua itu demi kesembuhan kamu, Ndra,” balas Juno dengan nada gemas.
Sejak Diandra bilang akan membawanya ke Singapore. Endra selalu marah-marah, menolak untuk terapi. Akhirnya, Diandra meminta Valerie dan Tiga Sekawan membujuk sang putra sulung.
Valerie yang semula berdiri di sisi ranjang, kini naik dan duduk menghadap Endra. “Aku kangen kamu main basket. Aku juga kangen kamu boncengin naik motor. Kalo kamu nggak mau terapi, aku nggak bisa lihat kamu main basket lagi.”
Embusan napas panjang keluar dari hidung mancung Endra. “Bukan nggak mau terapi, tapi terapi kan nggak harus di Singapore. Di sini juga bisa, 'kan?”
“Kamu pingin cepet sembuh, nggak?!” Valerie menggenggam tangan Endra.
Lelaki itu tidak menjawab, hanya mengangguk samar. Demi apa pun, ia ingin sembuh agar bisa kembali bersama Valerie.
“Kalo gitu kamu harus pergi.”
“Tapi, aku nggak akan ketemu kamu selama enam bulan. Kamu pasti akan sendirian?” Kini, Endra memandang lekat Valerie.
“Siapa bilang sendirian? Ada mereka.” Valerie menjawab sambil menunjuk Tiga Sekawan bergantian.
“Benar kata Valerie, kamu harus pergi. Kita yang akan jaga Valerie buat kamu,” ucap Juno sambil merangkul leher Valerie.
“My guardian angel, please!” Valerie menatap Endra penuh harap.
Ditatap seperti itu, tentu saja Endra tak bisa menolak. Ia mengembuskan napas panjang dan mengangguk, menyerah.
“Gitu dong! Baru teman kita.” Ello bersorak sembari mengacak rambut Endra.
Endra tersenyum. Matanya menatap tajam Valerie seolah menuntut sesuatu. “But I have one condition.
What's a condition?” Alis Valerie terangkat sebelah, menunggu syarat yang diajukan Endra padanya.
When I come back from Singapore, you have to be my girlfriend again.”
“Okay,” jawab Valerie yang langsung membuat Endra tersenyum lebar.
Mereka berlima berpelukan bersama. Valerie bisa melihat Budi dan Diandra ikut tersenyum mendengar ucapan Endra yang bersedia menjalani terapi di Singapura.

***

Malam ini adalah malam terakhir Valerie bertemu Endra sebelum keberangkatan lelaki itu ke Singapore besok siang. Ia melewati lorong rumah sakit yang sepi karena malam sudah cukup larut. Gegas ia membuka pintu kamar Endra. Dilihatnya lelaki tampan itu yang masih terjaga dan duduk bersandar di kepala ranjang, kini melempar senyum padanya. Ia masuk, menoleh ke arah sofa di mana Budi dan Diandra berada.
Dengan langkah ragu-ragu, ia menghampiri keduanya. Awalnya, Budi dan Diandra cukup kaget melihatnya mendekati mereka. Namun setelahnya, mereka tersenyum lebar.
“Boleh aku bicara bentar?” Valerie berucap pelan.
Budi dan Diandra mengangguk antusias, lalu mengikuti Valerie keluar kamar. Kening Endra mengernyit bingung, tapi Valerie melepas senyum termanisnya ke arah Endra sebelum mengajak Budi dan Diandra berbicara di lorong.
“Ada apa, Sayang?” Budi hendak mengusap kepala Valerie. Namun, lagi-lagi sang putri mundur menghindar. Sejujurnya, ia sedih mendapati Valerie yang selalu menghindarinya. Sebagai seorang ayah, ia juga merasa sakit hati karena mendapat penolakan dari putrinya sendiri. Namun, apa daya ini semua imbas dari kesalahannya dulu. Walaupun berat, tapi ia akan tetap bertahan dengan rasa sakitnya. Harapan untuk bisa memeluk sang putri selalu terselip dalam doanya tanpa putus.
“Aku punya satu permintaan.”
“Apa, Sayang?” tanya Diandra sembari tersenyum.
Secercah bahagia hadir dalam hati Diandra karena Valerie mau bicara dengannya. Meski Valerie hanyalah anak tiri, tapi ia begitu menyayanginya dari awal berjumpa. Saat itu, Valerie masih berusia tiga tahun. Tatapan polos dari manik cokelat terang itu berhasil mencuri hatinya. Sejak saat itu, harapan untuk bisa membawa pulang Valerie dan mempertemukannya dengan Endra dalam ikatan keluarga terus dipupuknya. Namun, sayangnya harapan Diandra pupus saat Arumi membawa pergi Valerie sebelum ia menjelaskan alasannya menikah dengan Budi. Bagian pahitnya, Endra dan Valerie justru dipertemukan dalam ikatan cinta.
“Aku ingin menemani Endra. Setelah malam ini, aku akan mengubur semua kenanganku dengan Endra.”
Valerie sedikit menahan napas saat mengatakan akan melupakan kenangan seputar Endra. Bagaimana bisa ia melupakan Endra, jika memorinya selalu menyimpan semua tentang lelaki itu?
“Tentu saja, Sayang. Kamu boleh di sini. Kamu juga boleh menemui kami. Setelah kami pulang dari Singapura, kami akan mengajakmu tinggal bersama kami." Budi senang mendengar ucapan Valerie yang bersedia melupakan perasaannya dengan Endra. Itu artinya, harapannya dan Diandra memiliki putra dan putri terkabulkan.
“Terima kasih banyak.” Selepas bicara, Valerie masuk ke kamar Endra. Budi dan Diandra mengikuti di belakang.
“Papa dan Mama mau pulang dulu mempersiapkan keberangkatan kita besok. Jadi malam ini, Valerie yang akan menjagamu di sini,” ucap Diandra dan Endra sontak tersenyum senang.
Valerie melihat punggung Budi dan Diandra, hingga menghilang di balik pintu. Kemudian, ia menoleh menatap Endra yang tersenyum. Ia mendekati ranjang dan naik ke atasnya.
“Jadi, kamu yang minta mereka untuk pergi." Endra melengkungkan bibirnya yang penuh. Bahagia bisa bersama Valerie.
Valerie mengangguk senang. “Aku pingin nemenin kamu di malam terakhir sebelum kamu pergi.”
Tangan Endra terulur menggapai tangan Valerie untuk digenggamnya. “Oke, aku nggak keberatan, malah aku seneng bisa lihat kamu di sini.”
“Udah malam, lho, Ndra. Kamu nggak tidur?” tanya Valerie.
“Nggak. Aku masih pingin ngobrol sama kamu.”
Wajah Valerie merona, kemudian tersenyum malu.
“Besok, aku nggak bisa ikut antar kamu ke bandara.”
Endra mengangguk. “Nggak masalah, lagian kamu juga harus sekolah.”
Tangan kanan Valerie terangkat mengusap lembut pipi Endra. “Kamu harus semangat saat terapi, biar bisa cepat jalan, bisa main basket, dan bawa motor lagi.”
“Pasti dan saat aku kembali nanti, kamu harus nepatin janji,” balas Endra.
Valerie mengangguk. Matanya memanas. “Aku bakalan kangen kamu.”
Endra mengeratkan genggaman tangannya, kemudian menarik tangan Valerie, hingga tubuh mungil gadis itu menubruk dadanya. Diusap pelan kepala Valerie yang terbenam di dadanya. “Aku juga bakalan kangen. Enam bulan lagi, kita baru ketemu. Kalo nggak salah, aku pulang pas acara perpisahan sekolah. Habis itu, aku bakal kuliah bareng kamu di Bandung.”
Valerie menarik kepalanya menjauh sambil menatap Endra. “Kamu masih mau ikutan UN?” tanyanya heran.
Endra mengangguk antusias. “Masih, Mama udah ngomong sama pihak sekolah. Aku masih bisa ikut UN di sana. Selain terapi, aku akan belajar agar bisa lulus. Jadi, nanti aku bisa kuliah barengan kamu di Bandung.”
“Oke,” jawab Valerie singkat.
Kini, manik mata Endra bersirobok dengan manik mata Valerie. Perlahan ia merengkuh kepala Valerie, memangkas jarak di antara mereka. Embusan napas hangat keduanya mulai terasa. Ujung hidung mereka bersentuhan, hingga akhirnya bibir mereka bertemu.
Endra tak bisa menggambarkan rasa bahagianya sekarang. Perasaannya menghangat karena Valerie. Bibirnya terus bergerak, meneguk rasa yang begitu ia rindukan untuk beberapa hari terakhir. Cukup lama ia merasakan rasa mendebarkan itu. Lalu, tubuhnya menegang saat Valerie membalas pagutan manis itu. Hatinya pun sontak berdesir bahagia.
Rasa senang memenuhi relung hati Valerie ketika bibir Endra bergerak lincah saat memagut bibirnya. Namun, rasa sakit juga ia rasakan karena ini akan menjadi ciuman terakhir mereka. Sejenak, ia berharap waktu bisa berhenti, sehingga dirinya tetap bisa seperti ini bersama Endra.
Ciuman itu lama dan tidak ada yang berniat mengakhiri. Air mata Valerie bergulir jatuh membasahi pipinya. Merasakan hatinya yang berkeping-keping. Ia akan mengingat malam ini menjadi kenangan indah yang akan disimpannya baik-baik dalam hati. Jika suatu saat nanti ia merindukan Endra, maka ia tinggal menarik kenangan itu keluar dan mengingat kembali Endra, cinta pertamanya.


Pati, 27 September 2019


Biodata:


Penulis lahir dan besar di Malang, tapi sekarang menetap di Pati. Saat ini sedang sibuk mengerjakan project antologi cagar budaya yang diadakan Kemdikbud.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.