Karena Kamu Pangeranku
Part 13
Oleh : Titin Akhiroh
Menjelang siang hari, Valerie
berkunjung ke rumah sakit bersama Juno. Kebetulan Ello dan Garin sedang punya
urusan dengan keluarga masing-masing. Mereka berjanji akan menyusul sore
harinya.
Juno membuka pintu kamar Endra
dengan Valerie mengikuti di belakang. Lelaki Mananta menyambut keduanya dengan
senyuman.
“Ello dan Garin mana?” tanya
Endra pada Juno.
“Ello ngantar Mommy-nya ke Depok.
Garin jemput Daddy-nya di bandara. Nanti sore, mereka baru datang ke sini.”
Juno menjawab, kemudian menghampiri Budi dan Diandra yang duduk di sofa untuk
cium tangan.
“Rie, kenapa diem di sana? Ayo,
duduk sini!”
Valerie mendekat, duduk di kursi
sebelah ranjang. Matanya sempat melirik Juno yang sedang berbincang dengan Budi
dan Diandra.
“Gimana keadaan kamu hari ini?
Udah enakan?” tanya Valerie dan Endra tersenyum sembari mengangguk.
“Lumayan, tapi mungkin butuh
waktu lama buat aku bisa jalan.”
“Kamu pasti segera sembuh dan
bisa jalan lagi.”
Kepala Endra mengangguk. “Aku
harap juga gitu. Bosan banget ada di sini. Udah nggak betah,” jawabnya disertai
desahan lelah.
Ya, memang sudah satu minggu
Endra dirawat di rumah sakit. Dalam kurun waktu itu juga Valerie selalu ada
menemani Endra. Meskipun begitu, ia masih tidak ingin bicara dengan Budi maupun
Diandra.
“Kapan mulai terapi?” tanya
Valerie sambil menggenggam tangan kiri Endra.
“Minggu depan.” Endra menatap
lekat Valerie. “Besok udah masuk sekolah lagi. Kamu pasti kesepian karena nggak
ada teman sebangku.”
Selarik senyum menghiasi bibir
Valerie. “Nggak apa-apa, yang penting kamu harus cepat sembuh. Lagian kan ada
Tiga Sekawan yang bisa nemenin aku saat istirahat.”
Endra mengangguk. Matanya menatap
lekat Valerie. Setelah berdeham pelan, ia berujar lirih, “Valerie, kita bisa
pacaran lagi, ‘kan?”
Jemari Valerie menggenggam erat
tangan Endra. “Jangan ngomongin itu sekarang, yang penting kamu sehat dulu.”
Ingin rasanya ia menerima Endra
dengan lantang. Namun, fakta perihal Budi dan Diandra mengungkungnya untuk
tetap diam. Mungkin juga memaksanya untuk mengubur rasa cinta dalam-dalam.
“Aku nggak mau jauh dari kamu.”
“Aku akan selalu berada di sini,
dekat kamu.”
“Oke,” sahut Endra singkat, usaha
mengakhiri perdebatan.
Seorang perawat masuk untuk
mengantarkan makan siang. Diandra bergerak mengambil bubur dari nampan dan
menyuapkan ke mulut Endra. Namun, sama seperti hari-hari sebelumnya, Endra
menolak.
“Kamu harus makan, Sayang. Dari
kemarin malam, kamu belum makan,” ucap Diandra terlihat sedih.
Selama seminggu terakhir, sebelas
dua belas dengan Valerie. Endra juga menghindar atau lebih tepatnya mengurangi
interaksi dengan Diandra dan Budi. Ia hanya bersikap normal saat ada Valerie,
Empat Sekawan, dan Paundra. Selebihnya, ia akan bersikap dingin dan tak
tersentuh.
Valerie yang mengamati sikap
dingin Endra pada sang mama, segera turun tangan dengan meminta mangkuk bubur
dari Diandra. Dengan mata berkaca-kaca, wanita yang masih terlihat menawan
meski mendekati usia senja menyerahkan mangkuk padanya. Endra membuka mulut
saat ia menyuapkan bubur. Detik itu juga, Diandra keluar sambil menangis
disusul Budi.
“Kamu nggak boleh bersikap kayak
gitu sama mamamu,” tutur Valerie sambil menyuapi Endra.
“Kamu juga ngehindarin ayahmu,”
jawab Endra saat mengunyah makanannya.
“Dulu, Ayah ninggalin aku, jadi
aku membencinya. Sementara, mamamu nggak pernah ninggalin kamu, jadi jangan
membencinya.”
“Inget, Rie! Kita jadi kayak gini
karena mereka.”
“Tapi, kamu tetap harus hormati
mamamu, dia sangat menyayangimu. Jadi, aku mohon, jangan membencinya. Kalo kamu
bersikap kayak gitu lagi, aku nggak akan mau datang lagi ke sini.” Valerie
bersuara dengan nada mengancam sembari menyuapkan bubur ke mulut Endra.
Endra menghela napasnya, kasar. “Ya.”
“Ya, apa?”
“Ya, aku nggak akan bersikap
berengsek lagi,” sahut Endra geram sambil mengunyah buburnya.
Melihat wajah Endra menahan
amarah, mau tak mau Valerie terkekeh. Tangan kanannya terangkat, mengacak
rambut cokelat terang milik lelaki istimewanya itu.
Juno yang sedari diam, juga ikut tertawa. "Cuma
kamu yang bisa buat si Galak jadi jinak, Rie,” celetuknya saat melihat Valerie
mengacak rambut Endra.
***
Lorong rumah sakit siang itu
tampak sedikit lengang. Kebetulan hari ini, Valerie datang sendirian tanpa Tiga
Sekawan yang sedang mendampingi adik kelas di club basket bertanding. Ia
membuka pelan pintu dan bisa melihat Endra yang sedang tidur pulas.
“Endra dan Valerie tidak
seharusnya jatuh cinta.”
Suara Diandra menghentikan
gerakan Valerie membuka pintu. Sepertinya, Budi dan Diandra tidak menyadari kehadirannya
yang sedang mendengar percakapan mereka.
“Kamu benar, mereka adalah
saudara tiri. Aku tidak pernah membayangkan kalau Endra dan Valerie akan
bertemu dan saling mencintai. Dulu, aku selalu membayangkan melihat mereka bisa
akrab satu sama lain menjadi saudara, bukan sebagai sepasang kekasih.”
Ucapan Budi membuat dada Valerie
berdenyut sakit. Jadi, memang sudah tidak ada jalan lagi baginya dan juga
Endra. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Mengapa harus Endra yang menjadi
saudaranya? Mengapa bukan orang lain? Ia menahan tangisnya agar tidak keluar,
sehingga terus dapat mencuri dengar percakapan Budi dan Diandra.
“Aku pikir kisah cinta mereka
hanya cinta monyet biasa. Tapi, melihat mereka bersama, aku tahu kalau rasa
cinta mereka sangat kuat. Papa lihat sendiri, ‘kan? Endra hanya mau mendengar
ucapan Valerie. Dan itu membuatku sakit,” ucap Diandra sambil menangis.
“Aku sangat menyayangi Endra
begitu pun Valerie. Walaupun dia masih membenciku, aku tetap sayang sejak
pertama kali melihatnya. Aku selalu membayangkan memliliki putra dan putri yang
tinggal bersamaku. Tapi sepertinya, harapanku tidak akan terwujud, aku tidak
bisa melihat mereka bersama sebagai kekasih. Mereka berdua anak kita. Mereka
berdua saudara tiri.”
Jatuh sudah air mata Valerie. Hatinya
remuk dan hancur mendengar perkataan Diandra. Selama ini, ia bisa bertahan
hidup karena Endra. Karena Endra mataharinya. Karena Endra adalah pangerannya.
“Mungkin kita perlu memisahkan
mereka untuk sementara waktu. Mereka masih sangat muda. Perasaan mereka pasti
akan berubah seiring berjalannya waktu.” Kali ini, Budi berucap dengan nada
tegas.
“Maksud Papa?”
“Kita bawa Endra ke Singapore
untuk melakukan terapi. Jadi, mereka tidak akan bertemu untuk sementara waktu.
Dengan begitu, siapa tahu perasaan mereka akan berubah.”
Valerie mulai terisak mendengar
ucapan ayahnya. Jadi, ia dan Endra benar harus berpisah dan tidak boleh bertemu
lagi. Ia tidak akan melihat Endra lagi, lalu bagaimana ia bisa bertahan jika
tidak ada Endra?
“Valerie!” seru Budi saat membuka
pintu. Rona kaget terpancar jelas di wajahnya, begitu juga dengan Diandra.
Valerie menyalahkan dirinya
karena tidak bisa menahan isakan. Raut wajah Budi dan Diandra terlihat cemas,
sepertinya mereka takut jika ia telah mendengar percakapan. Ia menghapus air
matanya, bersiap untuk pergi. Langkahnya terhenti saat seseorang memegang
tangannya.
“Maafkan kami, Valerie. Kami
tidak bermaksud—”
“Tenang saja, aku tahu posisiku.
Kalian nggak perlu cemas soal aku atau Endra. Aku tahu, aku nggak boleh jatuh
cinta padanya karena dia kakak tiriku, kan?” sela Valerie memotong ucapan
Diandra.
“Ayah minta maaf, Nak. Kami hanya
ingin kita bisa bahagia dan memulai hidup baru.” Budi berkata sambil menatap
lembut Valerie.
“Aku ngerti," balasnya
lirih. "Kapan Endra berangkat?” Valerie berusaha melepas genggaman Diandra
dari tangannya.
“Minggu depan,” jawab Diandra.
“Apa aku masih boleh menemani
Endra sampai dia pergi?” ucap Valerie di sela isakan.
“Tentu saja, Sayang. Kamu boleh
menemaninya,” balas Budi sembari mengelus kepala Valerie.
Valerie mundur. “Terima kasih.”
Dengan langkah gontai, Valerie
memasuki taman rumah sakit. Taman yang sama saat ia menumpahkan amarah dan
emosinya pada Budi dan Diandra. Kini, ia kembali lagi dengan menumpahkan semua
air matanya. Air mata kesakitan untuk Endra. Ia akan kehilangan Endra.
***
“Aku nggak mau ke Singapore,”
protes Endra saat Valerie dan Tiga Sekawan menjenguknya.
“Kenapa? Kamu pingin bisa jalan
lagi, 'kan? Dan dengan terapi di sana, kamu bisa cepet jalan,” desak Ello.
“Ya, Ndra. Dokter bilang, di sana
banyak terapis handal yang bisa bantu kamu jalan lagi dengan cepat,” sahut
Garin.
“Tetap aja aku nggak mau. Aku
akan tinggal di sana selama enam bulan. Mana mungkin aku mau jauh dari Valerie
dan kalian?” Endra masih bersikap keras kepala.
“Semua itu demi kesembuhan kamu,
Ndra,” balas Juno dengan nada gemas.
Sejak Diandra bilang akan
membawanya ke Singapore. Endra selalu marah-marah, menolak untuk terapi.
Akhirnya, Diandra meminta Valerie dan Tiga Sekawan membujuk sang putra sulung.
Valerie yang semula berdiri di
sisi ranjang, kini naik dan duduk menghadap Endra. “Aku kangen kamu main
basket. Aku juga kangen kamu boncengin naik motor. Kalo kamu nggak mau terapi,
aku nggak bisa lihat kamu main basket lagi.”
Embusan napas panjang keluar dari
hidung mancung Endra. “Bukan nggak mau terapi, tapi terapi kan nggak harus di
Singapore. Di sini juga bisa, 'kan?”
“Kamu pingin cepet sembuh,
nggak?!” Valerie menggenggam tangan Endra.
Lelaki itu tidak menjawab, hanya
mengangguk samar. Demi apa pun, ia ingin sembuh agar bisa kembali bersama
Valerie.
“Kalo gitu kamu harus pergi.”
“Tapi, aku nggak akan ketemu kamu
selama enam bulan. Kamu pasti akan sendirian?” Kini, Endra memandang lekat
Valerie.
“Siapa bilang sendirian? Ada
mereka.” Valerie menjawab sambil menunjuk Tiga Sekawan bergantian.
“Benar kata Valerie, kamu harus
pergi. Kita yang akan jaga Valerie buat kamu,” ucap Juno sambil merangkul leher
Valerie.
“My guardian angel, please!”
Valerie menatap Endra penuh harap.
Ditatap seperti itu, tentu saja
Endra tak bisa menolak. Ia mengembuskan napas panjang dan mengangguk, menyerah.
“Gitu dong! Baru teman kita.”
Ello bersorak sembari mengacak rambut Endra.
Endra tersenyum. Matanya menatap
tajam Valerie seolah menuntut sesuatu. “But
I have one condition.”
“What's a condition?” Alis Valerie terangkat sebelah, menunggu
syarat yang diajukan Endra padanya.
“When I come back from Singapore, you have to be my girlfriend again.”
“Okay,” jawab Valerie yang
langsung membuat Endra tersenyum lebar.
Mereka berlima berpelukan
bersama. Valerie bisa melihat Budi dan Diandra ikut tersenyum mendengar ucapan
Endra yang bersedia menjalani terapi di Singapura.
***
Malam ini adalah malam terakhir
Valerie bertemu Endra sebelum keberangkatan lelaki itu ke Singapore besok siang.
Ia melewati lorong rumah sakit yang sepi karena malam sudah cukup larut. Gegas
ia membuka pintu kamar Endra. Dilihatnya lelaki tampan itu yang masih terjaga
dan duduk bersandar di kepala ranjang, kini melempar senyum padanya. Ia masuk,
menoleh ke arah sofa di mana Budi dan Diandra berada.
Dengan langkah ragu-ragu, ia
menghampiri keduanya. Awalnya, Budi dan Diandra cukup kaget melihatnya
mendekati mereka. Namun setelahnya, mereka tersenyum lebar.
“Boleh aku bicara bentar?”
Valerie berucap pelan.
Budi dan Diandra mengangguk
antusias, lalu mengikuti Valerie keluar kamar. Kening Endra mengernyit bingung,
tapi Valerie melepas senyum termanisnya ke arah Endra sebelum mengajak Budi dan
Diandra berbicara di lorong.
“Ada apa, Sayang?” Budi hendak
mengusap kepala Valerie. Namun, lagi-lagi sang putri mundur menghindar.
Sejujurnya, ia sedih mendapati Valerie yang selalu menghindarinya. Sebagai
seorang ayah, ia juga merasa sakit hati karena mendapat penolakan dari putrinya
sendiri. Namun, apa daya ini semua imbas dari kesalahannya dulu. Walaupun
berat, tapi ia akan tetap bertahan dengan rasa sakitnya. Harapan untuk bisa
memeluk sang putri selalu terselip dalam doanya tanpa putus.
“Aku punya satu permintaan.”
“Apa, Sayang?” tanya Diandra
sembari tersenyum.
Secercah bahagia hadir dalam hati
Diandra karena Valerie mau bicara dengannya. Meski Valerie hanyalah anak tiri,
tapi ia begitu menyayanginya dari awal berjumpa. Saat itu, Valerie masih
berusia tiga tahun. Tatapan polos dari manik cokelat terang itu berhasil mencuri
hatinya. Sejak saat itu, harapan untuk bisa membawa pulang Valerie dan
mempertemukannya dengan Endra dalam ikatan keluarga terus dipupuknya. Namun,
sayangnya harapan Diandra pupus saat Arumi membawa pergi Valerie sebelum ia
menjelaskan alasannya menikah dengan Budi. Bagian pahitnya, Endra dan Valerie
justru dipertemukan dalam ikatan cinta.
“Aku ingin menemani Endra.
Setelah malam ini, aku akan mengubur semua kenanganku dengan Endra.”
Valerie sedikit menahan napas
saat mengatakan akan melupakan kenangan seputar Endra. Bagaimana bisa ia
melupakan Endra, jika memorinya selalu menyimpan semua tentang lelaki itu?
“Tentu saja, Sayang. Kamu boleh
di sini. Kamu juga boleh menemui kami. Setelah kami pulang dari Singapura, kami
akan mengajakmu tinggal bersama kami." Budi senang mendengar ucapan
Valerie yang bersedia melupakan perasaannya dengan Endra. Itu artinya,
harapannya dan Diandra memiliki putra dan putri terkabulkan.
“Terima kasih banyak.” Selepas
bicara, Valerie masuk ke kamar Endra. Budi dan Diandra mengikuti di belakang.
“Papa dan Mama mau pulang dulu
mempersiapkan keberangkatan kita besok. Jadi malam ini, Valerie yang akan
menjagamu di sini,” ucap Diandra dan Endra sontak tersenyum senang.
Valerie melihat punggung Budi dan
Diandra, hingga menghilang di balik pintu. Kemudian, ia menoleh menatap Endra
yang tersenyum. Ia mendekati ranjang dan naik ke atasnya.
“Jadi, kamu yang minta mereka
untuk pergi." Endra melengkungkan bibirnya yang penuh. Bahagia bisa
bersama Valerie.
Valerie mengangguk senang. “Aku
pingin nemenin kamu di malam terakhir sebelum kamu pergi.”
Tangan Endra terulur menggapai
tangan Valerie untuk digenggamnya. “Oke, aku nggak keberatan, malah aku seneng
bisa lihat kamu di sini.”
“Udah malam, lho, Ndra. Kamu
nggak tidur?” tanya Valerie.
“Nggak. Aku masih pingin ngobrol
sama kamu.”
Wajah Valerie merona, kemudian
tersenyum malu.
“Besok, aku nggak bisa ikut antar
kamu ke bandara.”
Endra mengangguk. “Nggak masalah,
lagian kamu juga harus sekolah.”
Tangan kanan Valerie terangkat
mengusap lembut pipi Endra. “Kamu harus semangat saat terapi, biar bisa cepat
jalan, bisa main basket, dan bawa motor lagi.”
“Pasti dan saat aku kembali
nanti, kamu harus nepatin janji,” balas Endra.
Valerie mengangguk. Matanya
memanas. “Aku bakalan kangen kamu.”
Endra mengeratkan genggaman
tangannya, kemudian menarik tangan Valerie, hingga tubuh mungil gadis itu
menubruk dadanya. Diusap pelan kepala Valerie yang terbenam di dadanya. “Aku
juga bakalan kangen. Enam bulan lagi, kita baru ketemu. Kalo nggak salah, aku
pulang pas acara perpisahan sekolah. Habis itu, aku bakal kuliah bareng kamu di
Bandung.”
Valerie menarik kepalanya menjauh sambil menatap
Endra. “Kamu masih mau ikutan UN?” tanyanya heran.
Endra mengangguk antusias.
“Masih, Mama udah ngomong sama pihak sekolah. Aku masih bisa ikut UN di sana.
Selain terapi, aku akan belajar agar bisa lulus. Jadi, nanti aku bisa kuliah
barengan kamu di Bandung.”
“Oke,” jawab Valerie singkat.
Kini, manik mata Endra bersirobok
dengan manik mata Valerie. Perlahan ia merengkuh kepala Valerie, memangkas
jarak di antara mereka. Embusan napas hangat keduanya mulai terasa. Ujung
hidung mereka bersentuhan, hingga akhirnya bibir mereka bertemu.
Endra tak bisa menggambarkan rasa bahagianya sekarang. Perasaannya menghangat karena Valerie. Bibirnya terus bergerak, meneguk rasa yang begitu ia rindukan untuk beberapa hari terakhir. Cukup lama ia merasakan rasa mendebarkan itu. Lalu, tubuhnya menegang saat Valerie membalas pagutan manis itu. Hatinya pun sontak berdesir bahagia.
Endra tak bisa menggambarkan rasa bahagianya sekarang. Perasaannya menghangat karena Valerie. Bibirnya terus bergerak, meneguk rasa yang begitu ia rindukan untuk beberapa hari terakhir. Cukup lama ia merasakan rasa mendebarkan itu. Lalu, tubuhnya menegang saat Valerie membalas pagutan manis itu. Hatinya pun sontak berdesir bahagia.
Rasa senang memenuhi relung hati
Valerie ketika bibir Endra bergerak lincah saat memagut bibirnya. Namun, rasa
sakit juga ia rasakan karena ini akan menjadi ciuman terakhir mereka. Sejenak,
ia berharap waktu bisa berhenti, sehingga dirinya tetap bisa seperti ini
bersama Endra.
Ciuman itu lama dan tidak ada
yang berniat mengakhiri. Air mata Valerie bergulir jatuh membasahi pipinya.
Merasakan hatinya yang berkeping-keping. Ia akan mengingat malam ini menjadi
kenangan indah yang akan disimpannya baik-baik dalam hati. Jika suatu saat nanti
ia merindukan Endra, maka ia tinggal menarik kenangan itu keluar dan mengingat
kembali Endra, cinta pertamanya.
Pati, 27
September 2019
Biodata:
Penulis lahir
dan besar di Malang, tapi sekarang menetap di Pati. Saat ini sedang sibuk
mengerjakan project antologi cagar budaya yang diadakan Kemdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.