Sabtu, 19 Oktober 2019

#Jumat_Cerbung - Muara Cinta Sang Bidadari Part 13 Lamaran Khalid - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org











Part 13 (Lamaran Khalid)
By: Isdamaya Seka


"Kelihatannya bahagia sekali, Mah," kata Fatia yang baru saja sampai di sekolah. Melihat Halimah yang tak dapat menutupi perasaannya. Lengkung tipis dari sepasang bibir menghiasi pagi saat itu. Rona kebahagiaan juga terpancar dari sorot matanya.
"Alhamdulillah, Fat. Bahagia seperti biasa," balas Halimah.
"Tapi hari ini lain. Cerita, dong ...," pinta Fatia.
"Tidak ada apa-apa, Fat."
"Hmm ... apa kamu sudah punya jawaban atas tawaranku?"
"Jawaban?" Halimah bahkan sama sekali tidak ingat permintaan Fatia tempo hari.
 ... aku sampai lupa. Aku harus jawab apa pada Fatia?' batin Halimah.
"Mah ... melamun?"
"Tidak, Fat. Aku cuma--"
"Masih bingung?" potong Fatia.
Halimah mengangguk.
"Ya sudah, aku tidak akan memaksa. Apapun itu, Mah, asal kamu bahagia, aku ikut bahagia," ucap Fatia lembut.
"Makasih, ya, Fat. Kamu memang sahabat terbaik."
Halimah tidak tahu apa yang berbeda dari rona wajahnya. Dia menebak semua ini ada hubungannya dengan Imran. Ya, lelaki itu yang membuatnya seperti remaja yang tengah jatuh cinta.
Kedatangan Imran serta ucapannya membekas di hati Halimah. Membuatnya sejenak melupakan janji pada Fatia untuk memberikan jawaban. Ia baru menyadari sebuah rasa yang hinggap di hati.
Halimah bimbang ... haruskah ia menikah dengan Khalid, sementara hatinya lebih cenderung kepada Imran?

***

"Assalamualaikum, Ammah," sapa Halimah ketika sampai di rumah. Lalu mencium punggung tangan sang bibi.
"Wa'alaikumussalam."
"Ammah, Halimah mau cerita."
"Tentang apa?" tanya Bu Piana seraya duduk di sofa, diikuti oleh Halimah.
"Tentang permintaan Fatia. Halimah bingung, Ammah."
"Masih belum bisa memutuskan?" tanya Bu Piana.
Gadis itu mengangguk.
"Sudah istikharah?"
"Sudah."
"Kenapa masih bingung?"
"Tidak tahu, Ammah. Hati kecil Halimah menolak. Tapi ...." Halimah menarik napas sejenak. "Apa wanita yang jelek seperti Halimah pantas untuk menolak lamaran seorang ikhwan? Sementara selama ini tidak pernah ada yang mau menikah dengan Halimah," ucapnya parau. Butiran bening mulai menggenang di pelupuk mata.
Bu Piana menggenggam lembut tangannya dan berkata, "Kamu berhak memilih, Sayang."
"Tapi--"
"Dengar ...," potong Bu Piana, "Allah menciptakan setiap makhluk berpasangan. Kalau pun kamu tidak berjodoh dengan suami Fatia, Allah pasti telah menyiapkan seseorang untukmu."
 bergeming. Menyelami setiap kalimat yang diucapkan sang bibi.
"Menikah itu bukan perkara mudah, Halimah. Terlebih dalam hal poligami. Jika kamu berat hati, maka jangan dipaksakan. Menikah tidak akan berjalan baik jika dengan paksaan," lanjut Bu Piana.
Halimah mengangguk pelan tanda mengerti.
"Kalau boleh Ammah tahu, apa yang membuatmu menolak Khalid?"
Halimah menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa hatinya belum bisa menerima. Padahal Khalid dan Fatia begitu baik. Terlebih ... Khalid ternyata adalah murid Ustaz Hanafi. Pamannya sendiri mengakui kebaikan dan akhlak dari lelaki itu.
"Bukan karena kamu menjadi istri kedua, 'kan?"
"Bukan, Ammah."
"Cinta?"
 Bu Piana membuat Halimah yang tadinya menunduk, spontan menoleh pada sang bibi.
"Cin-ta?" Halimah mengulangi pertanyaan Bu Piana.
"Kamu mencintai seseorang?"
Pertanyaan Bu Piana membuat wajah Halimah merona. Ia memalingkan wajah, melemparkan pandangan ke luar melalui kaca jendela.
"Siapa?" tanya Bu Piana lagi.
"Bukan siapa-siapa, Ammah."
"Imran?" Seketika Halimah menoleh menatap sang bibi.
"Benar, 'kan, tebakan Ammah?"
"Halimah tidak tahu apa itu disebut cinta atau bukan."


"Yakinkan hatimu. Dan mintalah pada yang menggenggam hatinya. Ammah hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu."
"Terima kasih, Ammah."

***

Ya Allah ... jika ini cinta, jagalah hatiku agar cintaku kepada makhluk tidak melebihi cintaku kepada-Mu dan nabiku. Jagalah hatiku agar tidak terkotori dengan sebuah rasa yang belum halal. Jagalah hatiku untuk satu nama yang telah Engkau tetapkan di Lauhul Mahfuz ...." Halimah mengakhiri doanya selepas Asar.
Ia rebahkan tubuh sejenak di kasur. Memijit kepalanya yang akhir-akhir ini semakin sering terasa sakit. Ada kekhawatiran dalam diri. Namun ia tak berani mengatakan pada siapa pun. Apalagi sampai memeriksakan diri ke dokter.

***

'Tok! Tok!' Terdengar ketukan di pintu rumah Ustaz Hanafi.
Assalamualaikum ...," sapa seseorang dari luar.
Ustaz Hanafi yang baru saja selesai makan malam bersama keluarga segera membukakan pintu. Sementara Halimah dan Bu Piana masih di dapur. Membersihkan bekas peralatan makan mereka.
Tak lama, Ustaz Hanafi kembali menemui istri dan keponakannya.
"Dek, di depan ada tamu," kata Ustaz Hanafi kepada istrinya.
"Oh iya, Bi. Saya buatkan minum dulu."
"Halimah, ayo ke depan. Ada tamu untukmu."
Halimah dan Bu Piana saling melempar pandang. Tamu untuk Halimah, siapa? Pikir kedua wanita itu.
Gadis itu mengikuti sang paman. Ia membelalak manakala melihat dua orang yang sedang tersenyum manis padanya.
"Fatia?" ucap Halimah tak percaya. Ia tak menyangka sahabatnya itu akan datang malam ini ... bersama Khalid.
"Assalamualaikum, Mah," sapa Fatia dengan senyum yang semakin mengembang.
"Wa'alaikumussalam ...."
Halimah duduk di dekat pamanya. Sekilas melirik ke arah Fatia dan suaminya.
'Fatia ... kenapa tidak ngasih kabar kalau mau datang malam ini? Jangan bilang kamu menagih jawabanku saat ini,' batin Halimah. Gelisah.
"Masyaa Allah ... saya kedatangan pengantin baru." Ustaz Hanafi membuka suara. Senang menyambut tamunya yang baru saja menggenapkan separuh agama.
"Maaf sebelumnya kalau kami datang tidak memberi kabar terlebih dulu, Ustaz," kata Khalid.
"Kamu ini, seperti orang lain saja. Tak perlu sungkan. Kami malah senang kalian datang ke sini," jawab Ustaz Hanafi.
Khalid adalah murid Ustaz Hanafi yang sangat aktif dalam mengikuti dakwahnya. Paman Halimah tersebut sangat mengenal pemuda itu. Sosok ikhwan yang sangat baik akhlaknya. Juga bagus hafalannya. Sedikit hafalan lagi ia akan menjadi seorang hafiz.
Tak hanya menghafal, Khalid juga menerapkan Alquran dan Sunnah dalam kehidupannya sehari-hari. Menjadikan pedoman hidup umat Islam itu sebagai acuan. Sungguh pemuda yang diharapkan Ustaz Hanafi untuk menjadi suami Halimah. Namun, takdir menyatukan dia dengan Fatia.
Setelah sedikit bercengkrama dengan sang ustaz, akhirnya Khalid menyampaikan maksud dan tujuan ia beserta istri datang ke sana.
"Afwan, Ustaz, kami ke sini sebenarnya punya sebuah niat. Niat baik yang mudah-mudahan bisa diterima dengan baik," tutur Khalid.
"Sampaikan saja, Lid. Niat baik tidak perlu ditunda," jawab Ustaz Hanafi.
"Kalau begitu, biar Fatia saja yang menyampaikannya, Ustaz."
Khalid menoleh pada istrinya yang langsung merespon isyarat sang suami.
"Begini, Ustaz," kata Fatia, "Saya sebagai istri Mas Khalid, ingin meminta secara langsung kepada Ustaz, agar merestui Halimah menjadi istri dari suami saya," jelas Fatia.
'Deg!' Jantung Halimah terasa seperti mau lepas. Ia benar-benar tak menyangka dengan semua yang dilakukan Fatia. Sahabat yang benar-benar tulus ingin berbagi kebahagiaan padanya.
Sepasang mata Halimah berkaca-kaca. Ia sangat terharu dan bersyukur memiliki sahabat seperti Fatia. Tak hanya cantik di luar, tapi hatinya juga begitu mulia.
Halimah tak tahu lagi harus berkata apa. Menolak keinginan Fatia baginya sama dengan mengecewakan sahabat yang sudah begitu baik. Sulit menemukan sahabat seperti dirinya.
Sementara Ustaz Hanafi, ia tidak terlalu terkejut dengan penuturan pasangan muda itu. Karena Bu Piana sudah menceritakan bahwa Khalid-lah yang akan melamar keponakannya.
"Masyaa Allah ... mulia sekali hatimu, Nak Fatia. Ustaz senang Halimah memiliki sahabat sepertimu. Kami tidak meragukan akhlak kalian berdua. Insyaa Allah poligami yang akan kalian lakukan akan berjalan dengan baik. Namun, tetap saja Ustaz tidak bisa memutuskan. Semuanya kembali kepada Halimah," kata Ustaz Hanafi.
Dua pasang mata dari pengantin baru itu kini beralih pada sosok gadis yang menunduk menatapi lantai keramik yang terasa semakin dingin.
"Halimah ... bagaimana jawabanmu?" tanya Ustaz Hanafi.
Halimah bergeming. Ia masih bimbang untuk memberikan keputusan.
Terdengar deru mobil yang menepi di halaman rumah Ustaz Hanafi. Sejenak mereka mengalihkan pandangan keluar. Barangkali Ustaz Hanafi akan kedatangan tamu lainnya.
"Siapa itu, By?" tanya Bu Piana memecah keheningan.
"Tidak tahu, Mi."
"Kita lanjut saja yang tadi, Ustaz," pinta Fatia.
"Ah, iya. Biarkan Halimah yang menjawab," kata Ustaz Hanafi.
"Kamu bersedia, 'kan, Mah?" tanya Fatia.
"Saya--"
"Assalamualaikum ...." Belum sempat Halimah menjawab, ada tamu yang menyapa di luar.
"Wa'alaikumussalam ...," jawab orang-orang yang berada di dalam rumah bersamaan.
Ustaz Hanafi keluar menyambut kedatangan tamunya.
"Masyaa Allah ... silakan masuk, Pak, Bu," kata Ustaz Hanafi.
Tiga orang tamu melangkah masuk ke dalam rumah. Wajah-wajah yang sudah tidak asing lagi. Bahkan membuat degup jantung Halimah kian tak beraturan.
'Akh Imran?'

Bersambung ....

Biodata:

Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Memiliki harapan agar kisah yang dituliskan bisa menjadi karya yang inspiratif dan menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.