Part 13 (Lamaran Khalid)
By: Isdamaya Seka
"Kelihatannya
bahagia sekali, Mah," kata Fatia yang baru saja sampai di sekolah. Melihat
Halimah yang tak dapat menutupi perasaannya. Lengkung tipis dari sepasang bibir
menghiasi pagi saat itu. Rona kebahagiaan juga terpancar dari sorot matanya.
"Alhamdulillah,
Fat. Bahagia seperti biasa," balas Halimah.
"Tapi
hari ini lain. Cerita, dong ...," pinta Fatia.
"Tidak
ada apa-apa, Fat."
"Hmm
... apa kamu sudah punya jawaban atas tawaranku?"
"Jawaban?"
Halimah bahkan sama sekali tidak ingat permintaan Fatia tempo hari.
... aku sampai lupa. Aku harus jawab apa pada
Fatia?' batin Halimah.
"Mah
... melamun?"
"Tidak,
Fat. Aku cuma--"
"Masih
bingung?" potong Fatia.
Halimah
mengangguk.
"Ya
sudah, aku tidak akan memaksa. Apapun itu, Mah, asal kamu bahagia, aku ikut
bahagia," ucap Fatia lembut.
"Makasih,
ya, Fat. Kamu memang sahabat terbaik."
Halimah
tidak tahu apa yang berbeda dari rona wajahnya. Dia menebak semua ini ada
hubungannya dengan Imran. Ya, lelaki itu yang membuatnya seperti remaja yang
tengah jatuh cinta.
Kedatangan Imran
serta ucapannya membekas di hati Halimah. Membuatnya sejenak melupakan janji
pada Fatia untuk memberikan jawaban. Ia baru menyadari sebuah rasa yang hinggap
di hati.
Halimah
bimbang ... haruskah ia menikah dengan Khalid, sementara hatinya lebih
cenderung kepada Imran?
***
"Assalamualaikum,
Ammah," sapa Halimah ketika sampai di rumah. Lalu mencium punggung tangan
sang bibi.
"Wa'alaikumussalam."
"Ammah,
Halimah mau cerita."
"Tentang
apa?" tanya Bu Piana seraya duduk di sofa, diikuti oleh Halimah.
"Tentang
permintaan Fatia. Halimah bingung, Ammah."
"Masih
belum bisa memutuskan?" tanya Bu Piana.
Gadis
itu mengangguk.
"Sudah
istikharah?"
"Sudah."
"Kenapa
masih bingung?"
"Tidak
tahu, Ammah. Hati kecil Halimah menolak. Tapi ...." Halimah menarik napas
sejenak. "Apa wanita yang jelek seperti Halimah pantas untuk menolak
lamaran seorang ikhwan? Sementara selama ini tidak pernah ada yang mau menikah
dengan Halimah," ucapnya parau. Butiran bening mulai menggenang di pelupuk
mata.
Bu
Piana menggenggam lembut tangannya dan berkata, "Kamu berhak memilih,
Sayang."
"Tapi--"
"Dengar
...," potong Bu Piana, "Allah menciptakan setiap makhluk berpasangan.
Kalau pun kamu tidak berjodoh dengan suami Fatia, Allah pasti telah menyiapkan
seseorang untukmu."
bergeming. Menyelami setiap kalimat yang
diucapkan sang bibi.
"Menikah
itu bukan perkara mudah, Halimah. Terlebih dalam hal poligami. Jika kamu berat
hati, maka jangan dipaksakan. Menikah tidak akan berjalan baik jika dengan
paksaan," lanjut Bu Piana.
Halimah
mengangguk pelan tanda mengerti.
"Kalau
boleh Ammah tahu, apa yang membuatmu menolak Khalid?"
Halimah
menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa hatinya belum bisa menerima. Padahal
Khalid dan Fatia begitu baik. Terlebih ... Khalid ternyata adalah murid Ustaz
Hanafi. Pamannya sendiri mengakui kebaikan dan akhlak dari lelaki itu.
"Bukan
karena kamu menjadi istri kedua, 'kan?"
"Bukan,
Ammah."
"Cinta?"
Bu Piana membuat Halimah yang tadinya
menunduk, spontan menoleh pada sang bibi.
"Cin-ta?"
Halimah mengulangi pertanyaan Bu Piana.
"Kamu
mencintai seseorang?"
Pertanyaan
Bu Piana membuat wajah Halimah merona. Ia memalingkan wajah, melemparkan
pandangan ke luar melalui kaca jendela.
"Siapa?"
tanya Bu Piana lagi.
"Bukan
siapa-siapa, Ammah."
"Imran?"
Seketika Halimah menoleh menatap sang bibi.
"Benar,
'kan, tebakan Ammah?"
"Halimah
tidak tahu apa itu disebut cinta atau bukan."
"Yakinkan
hatimu. Dan mintalah pada yang menggenggam hatinya. Ammah hanya bisa mendoakan
yang terbaik untukmu."
"Terima
kasih, Ammah."
***
Ya
Allah ... jika ini cinta, jagalah hatiku agar cintaku kepada makhluk tidak
melebihi cintaku kepada-Mu dan nabiku. Jagalah hatiku agar tidak terkotori
dengan sebuah rasa yang belum halal. Jagalah hatiku untuk satu nama yang telah
Engkau tetapkan di Lauhul Mahfuz ...." Halimah mengakhiri doanya selepas
Asar.
Ia
rebahkan tubuh sejenak di kasur. Memijit kepalanya yang akhir-akhir ini semakin
sering terasa sakit. Ada kekhawatiran dalam diri. Namun ia tak berani
mengatakan pada siapa pun. Apalagi sampai memeriksakan diri ke dokter.
***
'Tok!
Tok!' Terdengar ketukan di pintu rumah Ustaz Hanafi.
Assalamualaikum
...," sapa seseorang dari luar.
Ustaz
Hanafi yang baru saja selesai makan malam bersama keluarga segera membukakan
pintu. Sementara Halimah dan Bu Piana masih di dapur. Membersihkan bekas
peralatan makan mereka.
Tak
lama, Ustaz Hanafi kembali menemui istri dan keponakannya.
"Dek,
di depan ada tamu," kata Ustaz Hanafi kepada istrinya.
"Oh
iya, Bi. Saya buatkan minum dulu."
"Halimah,
ayo ke depan. Ada tamu untukmu."
Halimah
dan Bu Piana saling melempar pandang. Tamu untuk Halimah, siapa? Pikir kedua
wanita itu.
Gadis
itu mengikuti sang paman. Ia membelalak manakala melihat dua orang yang sedang
tersenyum manis padanya.
"Fatia?"
ucap Halimah tak percaya. Ia tak menyangka sahabatnya itu akan datang malam ini
... bersama Khalid.
"Assalamualaikum,
Mah," sapa Fatia dengan senyum yang semakin mengembang.
"Wa'alaikumussalam
...."
Halimah
duduk di dekat pamanya. Sekilas melirik ke arah Fatia dan suaminya.
'Fatia
... kenapa tidak ngasih kabar kalau mau datang malam ini? Jangan bilang kamu
menagih jawabanku saat ini,' batin Halimah. Gelisah.
"Masyaa
Allah ... saya kedatangan pengantin baru." Ustaz Hanafi membuka suara.
Senang menyambut tamunya yang baru saja menggenapkan separuh agama.
"Maaf
sebelumnya kalau kami datang tidak memberi kabar terlebih dulu, Ustaz,"
kata Khalid.
"Kamu
ini, seperti orang lain saja. Tak perlu sungkan. Kami malah senang kalian
datang ke sini," jawab Ustaz Hanafi.
Khalid
adalah murid Ustaz Hanafi yang sangat aktif dalam mengikuti dakwahnya. Paman
Halimah tersebut sangat mengenal pemuda itu. Sosok ikhwan yang sangat baik
akhlaknya. Juga bagus hafalannya. Sedikit hafalan lagi ia akan menjadi seorang
hafiz.
Tak
hanya menghafal, Khalid juga menerapkan Alquran dan Sunnah dalam kehidupannya
sehari-hari. Menjadikan pedoman hidup umat Islam itu sebagai acuan. Sungguh
pemuda yang diharapkan Ustaz Hanafi untuk menjadi suami Halimah. Namun, takdir
menyatukan dia dengan Fatia.
Setelah
sedikit bercengkrama dengan sang ustaz, akhirnya Khalid menyampaikan maksud dan
tujuan ia beserta istri datang ke sana.
"Afwan,
Ustaz, kami ke sini sebenarnya punya sebuah niat. Niat baik yang mudah-mudahan
bisa diterima dengan baik," tutur Khalid.
"Sampaikan
saja, Lid. Niat baik tidak perlu ditunda," jawab Ustaz Hanafi.
"Kalau
begitu, biar Fatia saja yang menyampaikannya, Ustaz."
Khalid
menoleh pada istrinya yang langsung merespon isyarat sang suami.
"Begini,
Ustaz," kata Fatia, "Saya sebagai istri Mas Khalid, ingin meminta
secara langsung kepada Ustaz, agar merestui Halimah menjadi istri dari suami
saya," jelas Fatia.
'Deg!'
Jantung Halimah terasa seperti mau lepas. Ia benar-benar tak menyangka dengan
semua yang dilakukan Fatia. Sahabat yang benar-benar tulus ingin berbagi
kebahagiaan padanya.
Sepasang
mata Halimah berkaca-kaca. Ia sangat terharu dan bersyukur memiliki sahabat
seperti Fatia. Tak hanya cantik di luar, tapi hatinya juga begitu mulia.
Halimah
tak tahu lagi harus berkata apa. Menolak keinginan Fatia baginya sama dengan
mengecewakan sahabat yang sudah begitu baik. Sulit menemukan sahabat seperti
dirinya.
Sementara
Ustaz Hanafi, ia tidak terlalu terkejut dengan penuturan pasangan muda itu.
Karena Bu Piana sudah menceritakan bahwa Khalid-lah yang akan melamar
keponakannya.
"Masyaa
Allah ... mulia sekali hatimu, Nak Fatia. Ustaz senang Halimah memiliki sahabat
sepertimu. Kami tidak meragukan akhlak kalian berdua. Insyaa Allah poligami
yang akan kalian lakukan akan berjalan dengan baik. Namun, tetap saja Ustaz
tidak bisa memutuskan. Semuanya kembali kepada Halimah," kata Ustaz
Hanafi.
Dua
pasang mata dari pengantin baru itu kini beralih pada sosok gadis yang menunduk
menatapi lantai keramik yang terasa semakin dingin.
"Halimah
... bagaimana jawabanmu?" tanya Ustaz Hanafi.
Halimah
bergeming. Ia masih bimbang untuk memberikan keputusan.
Terdengar
deru mobil yang menepi di halaman rumah Ustaz Hanafi. Sejenak mereka
mengalihkan pandangan keluar. Barangkali Ustaz Hanafi akan kedatangan tamu
lainnya.
"Siapa
itu, By?" tanya Bu Piana memecah keheningan.
"Tidak
tahu, Mi."
"Kita
lanjut saja yang tadi, Ustaz," pinta Fatia.
"Ah,
iya. Biarkan Halimah yang menjawab," kata Ustaz Hanafi.
"Kamu
bersedia, 'kan, Mah?" tanya Fatia.
"Saya--"
"Assalamualaikum
...." Belum sempat Halimah menjawab, ada tamu yang menyapa di luar.
"Wa'alaikumussalam
...," jawab orang-orang yang berada di dalam rumah bersamaan.
Ustaz
Hanafi keluar menyambut kedatangan tamunya.
"Masyaa
Allah ... silakan masuk, Pak, Bu," kata Ustaz Hanafi.
Tiga
orang tamu melangkah masuk ke dalam rumah. Wajah-wajah yang sudah tidak asing
lagi. Bahkan membuat degup jantung Halimah kian tak beraturan.
'Akh
Imran?'
Bersambung
....
Biodata:
Seorang
ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Memiliki harapan agar kisah yang dituliskan
bisa menjadi karya yang inspiratif dan menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.