Part 12
Benih Cinta
Karya: Isdamaya Seka
"Kamu yakin mau ke rumah Ustaz Hanafi sendiri?" tanya
Bu Yani melihat Imran yang terlihat sangat rapi. Hendak keluar dengan di antar
oleh sopir.
"Yakin, Mi. Imran akan meminta maaf terlebih dahulu. Jadi
cukup Imran saja yang ke sana."
Dokter muda itu merasa harus segera meminta maaf langsung kepada
keluarga Ustaz Hanafi. Malam ini juga. Entah apa yang mendorongnya untuk
melakukan itu. Padahal sebelumnya ia sudah meminta maaf. Dan keluarga Ustaz
Hanafi, termasuk Halimah juga sudah memaafkannya.
Berhari-hari hatinya gelisah. Suara Halimah yang lembut terus
saja terngiang di telinga. Ia bahkan nyaris tidak bisa tidur karenanya.
Selama itu pula Imran terus meminta petunjuk pada Allah. Ia tak
ingin berlama-lama terperangkap dalam sebuah perasaan yang tidak pasti. Dan
hari ini, ia benar-benar telah memantapkan hatinya untuk sebuah nama ...
Halimah Syafa.
"Langsung lamar juga tak masalah. Umi dan Abi siap untuk
meminta Halimah kembali untukmu," kata Bu Yani.
"Apa Halimah masih bisa menerima Imran, Umi?" Imran
ragu gadis itu mau menerimanya setelah apa yang telah ia lakukan.
"Diterima atau tidak, yang penting kamu sudah menyampaikan
niatmu. Kamu bersungguh-sungguh, kan, Nak?"
Imran mengangguk pelan.
"Alhamdulillah ... jangan pernah mempermainkan perasaan
wanita. Dan cintailah ia karena Allah. Maka segala apa yang ada pada dirinya
akan selalu nampak indah di matamu," nasihat Bu Yani.
"Imran bersungguh-sungguh, Umi. Imran baru menyadari,
betapa Halimah sangat berarti. Sosoknya yang lembut selalu terbayang di benak
Imran. Wanita salihah sebaik-baik perhiasan. Imran mencintainya karena
Allah," aku Imran.
"Masyaa Allah ... Allah telah membuka hatimu," ucap Bu
Yani terharu. "Pergilah, Nak. Semoga Allah mudahkan segalanya."
"Imran berangkat dulu, Umi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam ...."
Pemuda itu berangkat dengan hati penuh harap. Harapan untuk
diterima maaf. Dan harapan untuk terbuka kembali pintu hati Halimah.
***
Imran mengetuk pintu rumah bercat cokelat tua
"Assalamualaikum ...," sapanya dari depan pintu. Tidak
ada sahutan sama sekali dari dalam. Rumah Ustaz Hanafi terlihat sepi.
"Assalamualaikum ...." Imran mencoba kembali, namun
hasilnya sama.
"Assalamualaikum ...!" Ia lebih mengeraskan sedikit
suara. Berharap siapa pun yang berada di rumah mendengar panggilannya. Imran
kemudian membelakangi pintu sambil menunggu seseorang keluar.
'Cklek!' Tak lama pintu rumah dibuka setengah dari dalam.
"Wa'alaikumussalam ...." Sebuah suara lembut menjawab
panggilan Imran. Lelaki itu memutar tubuh menghadap sang tuan rumah.
"Akh Imran?" Halimah terkejut melihat seorang dokter
muda tampan itu berdiri di serambi. Ada desiran halus yang menjalari hatinya.
"Halimah ...." Imran sedikit gugup. Ia tak menyangka
Halimah yang akan menyambutnya di pintu. Jantungnya kini memacu lebih cepat.
"Afwan, ada apa, Akh? Ustaz dan Ammah sedang keluar,"
kata Halimah dengan menatap lantai keramik berwarna putih. Berusaha
menetralisir hatinya yang mendadak berdebar.
"Sa-sa-ya ...." Imran bingung harus berkata apa.
Haruskah ia meminta maaf kepada Halimah seorang dengan kondisi seperti ini?
Kondisi yang membuat ia tak mampu berkata-kata.
"Kalau tidak ada pesan yang mau disampaikan kepada Ustaz
Hanafi, sebaiknya saya masuk." Halimah hendak menutup kembali pintu rumah.
"Tunggu!"
Gadis itu berhenti menarik handle pintu. Menunggu kalimat yang
akan diucapkan lelaki di hadapan.
"Saya ... minta maaf," ucapnya.
"Sudah saya maafkan," balas Halimah singkat.
"Masih adakah kesempatan kedua untuk saya, Halimah?"
Pertanyaan yang tak pernah ia rencanakan itu keluar begitu saja dari bibirnya.
"Kesempatan?" Halimah menerka-nerka arah pembicaraan
Imran. Rasa dingin menjalar pada jari-jemarinya yang tak lentik.
"Masih bisakah saya mengkhitbahmu?" tanya Imran lirih,
namun indera pendengaran Halimah masih mampu menangkapnya dengan jelas.
Jemari di tangan kiri Halimah meremas gamis. Sementara tangan
kanannya menggenggam handle pintu semakin erat. Mendadak ada bahagia yang
menari di dalam dada. Namun ia tak mampu untuk berkata "Ya".
Udara terasa sangat dingin, tak seperti biasa. Lutut Halimah
bergetar. Ingin rasanya ia lari secepat mungkin dari sana. Dari suasana yang
teramat canggung dan hening. Bahkan ia dapat mendengar tarikan berat napas
Imran. Ia berharap Ustaz Hanafi dan Bu Piana mendadak muncul di sana agar ia
bisa melarikan diri dari jerat hati sang dokter.
"Halimah ...," tegur Imran melihat Halimah yang terus
bergeming.
"Maaf. Hal seperti itu apa patut dikatakan saat ini? Ada
banyak setan di mana-mana," kata Halimah spontan.
Imran tersenyum kecil mendengar ucapan gadis itu. Melihat
kegugupan Halimah yang terpancar jelas dari tiap hembusan napasnya. Debaran tak
menentu di hati Imran perlahan menghilang. Berganti dengan kelegaan dan
secercah harapan.
"Kalau begitu saya permisi dulu. Mungkin malam ini bukan
waktu yang tepat."
'Deg!' Seperti ada sesuatu yang memukul pelan jantung Halimah.
'Ha? Bukan waktu yang Tepat? Berarti akan datang lagi?'
batinnya. Ia merasa tidak siap dengan sikap Imran.
"Sampaikan salam saya kepada Ustaz Hanafi," lanjut
Imran tanpa menunggu respon dari Halimah.
Halimah mengangguk.
"Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikumussalam ...."
Halimah segerah menutup rapat pintu. Besandar di belakangnya
seraya menempelkan kedua telapak tangan di dada. Degup jantung masih terasa.
Hal baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Perasaan bahagia, harapan, dan impian seolah menyatu. Juga rasa
dicintai. Cinta? Satu kata yang belum pernah Halimah rasakan pada seorang pria.
Sepasang lengkung merah muda itu tak berhenti menciptakan sebuah
senyum. Senyum seorang gadis yang tengah jatuh cinta.
"Astaghfirullah ... ini tidak betul!" gumamnya. Rasa
cinta itu hanya untuk seseorang yang halal baginya.
Ia berlari ke dalam kamar. Mengambil mushaf dan segera
membacanya. Berharap debaran di dada segera hilang. Juga bisikan setan yang
ingin melemahkan iman manusia atas nama cinta.
***
Imran pulang dengan perasaan yang berbeda dengan saat ia pergi
ke rumah Ustaz Hanafi. Ada secercah harapan untuk mendapatkan hati Halimah.
Juga perasaan yang kian hari kian mantap bertengger di hatinya.
"Kelihatannya bahagia sekali. Bagaimana pertemuannyabtadi,
Nak?" tanya Bu Yani ketika Imran tiba di rumah.
"Ustaz Hanafi dan istrinya tidak di rumah, Umi."
"Terus? Kamu bertemu Halimah?"
"Iya."
"Hanya berdua?"
"Imran di teras, Umi. Sedangkan Halimah di balik pintu.
Hanya di buka setengah," jelas Imran.
"Ooh ... kirain. Jangan berduaan, yang ketiganya
setan."
"Imran paham, Umi. Halimah juga pasti paham."
"Terus, apa yang membuat kamu sebahagia ini?" tanya Bu
Yani penasaran.
"Sepertinya Halimah masih membuka hati untuk Imran,
Umi," jawab Imran dengan senyum yang semakin lebar.
"Benarkah? Alhamdulillah ... jadi kapan kita ke sana?"
tanya Bu Yani antusias.
"Secepatnya, Umi. Imran tak ingin niat baik itu ditunda
berlama-lama."
"Tunggu! Bukankah Halimah mau menikah?" Bu Yani
tiba-tiba teringat akan kabar yang dikatakan oleh Fatia.
Imran tampak berpikir.
"Apa kabar itu benar, Umi?"
"Umi juga tidak tahu."
"Kalau benar ... kenapa tadi Halimah tidak langsung
mengatakan saja kalau dia akan segera menikah?" Imran kembali ragu akan
niatnya. Namun, ia juga semakin meragukan kabar dari Fatia.
'Kalau itu benar, kenapa sikapnya tadi seperti tidak ada
apa-apa?' batin Imran bertanya-tanya. 'Halimah ... dirimu benar-benar membuatku
terperangkap dalam sebuah teka-teki tentangmu.'
Bersambung ....
Biodata:
Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Memiliki
harapan agar kisah yang dituliskan bisa menjadi karya yang inspiratif dan
menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.