Karena
Kamu Pangeranku Part 16
Oleh:
Titin Akhiroh
Udara dingin di
akhir musim gugur sudah mulai menusuk. Valerie merapatkan mantelnya dan kembali
melangkah menuju Saint James Park London yang menjadi tempat favoritnya selama
lima tahun terakhir. Ia mengedarkan matanya melihat sekeliling yang ternyata cukup
ramai pengunjung, dari yang hanya duduk mengobrol, membaca buku, atau bermain
bersama anak-anak mereka. Pandangannya tertuju pada bangku kosong di bagian
dalam taman, ia segera melangkah mendekati bangku dan mengempaskan diri di
sana.
Hari ini,
Valerie tak ada jadwal mengajar sehingga punya banyak waktu untuk bersantai
seperti saat ini. Makan fish and chips
yang dibelinya dalam perjalanan menuju taman dan duduk di tempat favorit,
seakan menjadi terapi terbaik dalam kesendirian.
Setelah lulus
S1 di UGM, Valerie pergi ke London untuk menempuh program pascasarjana di
University College London yang merupakan universitas terbaik kedua di Inggris,
dan terbaik keempat di dunia. Ia bisa berada di sini karena beasiswa yang
didapat.
Sejak awal
masuk kuliah, ia selalu meraih IPK terbaik dan lulus dengan meraih gelar Summa
Cum Laude. Itulah yang memuluskan jalannya mendapat beasiswa untuk program
pasca sarjana di UCL. Selepas menyelesaikan program pasca sarjana, ia bekerja
sebagai dosen untuk mata pelajaran Matematika Fisik di UCL. Sungguh berkah luar
biasa dari Tuhan untuknya bisa meraih mimpi menjadi seorang dosen.
Valerie
menengadahkan kepala, melihat langit yang tampak cerah. Ibunya mungkin bisa
melihatnya dari atas sana. Rasa bangga terselip dalam diri Valerie bisa sukses
seperti harapan ibu. Tulus dari dalam hati, ia berharap sang ibu akan tersenyum
bahagia di sana.
Kedua matanya
terpejam. Sontak sosok itu muncul. Sosok yang seharusnya dilupakan, tapi justru
semakin ia ingat. Sosok yang selalu ia rindukan.
Dering ponsel
menarik Valerie dari memori kenangan bersama cinta pertama. Ia meraih benda
pipih itu dari dalam saku mantel. Senyum merekah membaca nama yang tertera
dalam layar ponsel. Seseorang yang cukup berarti baginya selama beberapa tahun
terakhir.
“Hello, Sweetie,” Sapa pria di seberang.
Sejujurnya Valerie risih mendengar panggilan ‘sweetie' dari pria itu. Ia sudah sering memprotes, tapi lelaki itu
tak peduli dan tetap memanggilnya dengan sebutan yang terdengar sangat
menggelikan.
“Hello, Ed. What's the matter?”
“I have a great news. Can you come to college?”
“Oh, Man. I am off today,” jawab Valerie mendesah lemas.
“Oh c'mon, Sweetie. Can you come, please?” Valerie memutar bola matanya sedikit kesal dengan kelakuan
pria ini yang selalu memaksa.
“Okay, I'll be right there.”
“You're the best. See ya.”
“See you too.”
Valerie
memasukkan kembali ponselnya dalam mantel dan berjalan menuju tempat sampah
untuk membuang bungkus fish and chips.
Setelahnya, ia berjalan ke luar taman menuju London Underground Station,
sebelum membawanya ke UCL.
Setibanya di
kampus, langkah Valerie langsung bergerak menuju kantor. Tampak Eduard, pria
yang meneleponnya tadi, sedang berbicara dengan Mr. Atkinson yang merupakan
profesor Matematika hebat di UCL.
“Oh, youve come Miss Wijaya. I want to talk
you about mathematic conference. Would you come to replace me?” tanya Mr.
Atkinson yang meminta Valerie untuk menggantikannya di Kongres Matematika.
Kongres Matematika
biasanya memang rutin diadakan setiap setahun sekali. Banyak negara yang
berperan serta dalam ajang tahunan prestisius di bidang Matematika. Peserta
kongres terdiri dari para ahli dan profesor Matematika. Cukup heran bagi
Valerie karena dirinya yang hanya seorang dosen bisa dipercaya menghadiri event sepenting itu.
“Where is that?” tanya Valerie penasaran ke negara mana ia akan pergi.
“Your country, Indonesia.”
Dada Valerie langsung berdebar gugup. Ia akan kembali ke Indonesia.
Valerie
bersuara pelan. “I mean, what's the name
of the city?”
“Jakarta.”
Jakarta ...
Endra. Valerie langsung mengingat kembali Endra. Endra yang selama sembilan
tahun ini hanya ada dalam pikirannya. Endra yang selalu hadir dalam mimpinya.
Masih sulit dipercaya bahwa ia akan kembali pergi ke Jakarta.
Jujur, Valerie
belum siap jika nantinya akan bertemu dengan Endra. Namun, ia juga tak bisa
bohong bahwa ia sangat merindukan lelaki itu. Setiap malam yang sepi, ia selalu
bertanya-tanya. Apakah Endra juga merindukannya? Apa Endra sudah melupakannya?
Apakah Endra sudah punya kekasih? Apakah Endra sudah menikah? Pertanyaan itu
selalu muncul di benaknya setiap saat.
Mr. Atkinson
mengibaskan tangannya di depan wajah Valerie. “Miss Wijaya!” panggil Mr Atkinson, menyadarkan Valerie yang
melamunkan Endra.
Valerie masih
bergeming, belum juga menyanggupi permintaan atasannya itu. Ini kesempatan emas
untuknya yang tak akan datang dua kali. Namun, ia takut jika nanti akan kembali
bertemu Endra.
“Don't worry about anything. You won't go alone. Because Mr. Mckenna will attend too.” Valerie melirik pada
Eduard yang tersenyum sambil mengangguk.
“Yes, Sir. I'll attend to there for replacing you,” sahut Valerie.
“Thank you, Miss Wijaya.”
“You're welcome, Mr. Atkinson.”
Mr. Atkinson
tersenyum puas, lalu pergi meninggalkan Valerie dan Eduard. Valerie diam dengan
rasa gugup yang belum juga hilang. Menyadari kegugupannya, Eduard menepuk
pundak Valerie.
“We will go to Jakarta. I hope, you'll meet your first love, Endra,”
ucap Eduard sambil tersenyum sebelum pergi keluar kantor.
♥♥♥
Terdengar pintu
diketuk dan kemudian terbuka, menampakkan pria muda dengan setelan kemeja kerja
yang rapi. Senyum tersungging di bibirnya melihat seseorang sedang berkutat di
belakang meja kerja. Tanpa menunggu diperintah, pria itu duduk berhadapan
dengan seseorang yang masih sibuk dengan kertas di depannya.
“Ada apa?”
tanya seorang yang terlihat hebat dengan balutan snelli.
“Apa harus ada
alasan jika seorang adik ingin menemui kakaknya?” Pria itu balik bertanya. Ya,
pria itu adalah Paundra.
“Tidak biasanya
kamu berkunjung di awal minggu,” Endra masih sibuk dengan beberapa rekam medis
pasiennya tanpa mengindahkan sang adik.
“Mama sakit.”
Gerakan tangan
Endra mengisi rekam medis terhenti untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, ia
melanjutkan kembali pekerjaannya.
“Kak Endra,
sampai kapan Kakak akan menghindari Mama? Pulanglah, Kak!”
Sudah sembilan
tahun, Endra memang tidak pernah menampakkan wajahnya lagi di depan Diandra.
Endra benar-benar memulai hidup baru tanpa mau bersinggungan dengan masa lalu.
Pelampiasan sakit dan patah hati menjadikannya pribadi gila kerja. Ia serius
meraih impian dengan masuk menjadi bagian dari Tokyo University, Harvard-nya
Jepang. Universitas nomor wahid di Asia yang diakui sebagai pencetak alumnus
hebat seperti Putri Masako, peraih nobel Leo Esaki, Stanford Ouzora sang penemu
OGc and GGB, dan penemu tiang listrik, Wilson Tan.
Selama lima
tahun, ia memperdalam ilmu kedokteran spesialis jantung. Setelah mendapat gelar
MD, Endra bertolak ke Jerman untuk mengambil program kekhususan kardiologi
selama dua tahun di Ruprecht Karls Universitat Hiedelberg, hingga lulus dengan
tambahan gelar FESC di belakang namanya. Pengalaman praktik klinik dan gelar
yang meyakinkan, membuatnya kini bekerja di rumah sakit Internasional Jakarta
yang berpusat di Manhattan, New York.
Dua tahun
terakhir sejak kepulangannya ke Jakarta, Endra memang lebih fokus bekerja
sebagai dokter. Meski tak dipungkiri bahwa ia adalah pewaris tunggal Mananta
Group. Tanggung jawab besar ada pada pundaknya, tapi panggilan sosial yang
lebih ia dengar. Ia memilih memercayakan perusahaan pada orang yang ahli di
bidang itu, yakni pamannya adik kembar sang papa. Mungkin anaknya kelak yang
akan bisa memimpin Mananta Group, warisan Ken Yama Mananta.
Bicara tentang
anak, Endra selalu tersenyum getir. Ia tidak yakin bisa mencapai harapan itu.
Sembilan tahun yang lalu, ia telah merancangnya rapi. Namun sekarang, ia sudah
tidak berani lagi merajut mimpi. Ia hanya akan berjalan sesuai alur tanpa repot
memikirkan alur yang lain. Ia tidak lagi berharap memiliki keluarga bahagia
sebagai tempat melimpahkan kasih sayang. Karena rumahnya berpulang telah pergi.
“Aku sudah
nelepon mama sebulan yang lalu,” jawab Endra santai. Meski tak pernah pulang,
tapi sesekali ia memberi kabar lewat telepon. Itu pun juga karena desakan dari
Paundra yang berinisiatif meneleponnya.
Paundra
membuang napas lelahnya. “Yang dibutuhkan mama bukan suaramu, tapi kehadiranmu,
Kak.”
“Aku hanya
mengabulkan keinginannya, untuk tak menampakkan wajah kutukanku padanya.”
“Mama sudah
berubah. Dia tak lagi bersikap keras kepala dan egois seperti dulu. Dan yang
terpenting, dia merindukanmu,” ucap Paundra sambil menatap tajam Endra yang
kini bersandar di kursinya.
“Tidak ada
alasan untukku pulang.”
“Ada alasan, bagaimanapun
kamu adalah putra kandungnya. Dia membutuhkanmu, Kak.”
Sekuat apa pun
bujukan Paundra tampaknya belum dapat mengubah pendirian Endra. Terbukti dokter
tampan yang menjadi idola para staf rumah sakit menggelengkan kepala. “Dia
hanya butuh kamu, An.”
“Hah ...
ternyata Kak Endra sama egoisnya dengan Mama.”
Endra menatap
tajam Paundra yang menundukkan wajahnya. Paundra tampak terluka.
“Kenapa tidak
ada seorang pun yang memikirkan perasaanku? Aku juga bagian dari keluarga, tapi
selama sembilan tahun ini tak ada yang menaruh perhatian padaku. Setiap hari,
aku harus melihat papa yang meratap memandang lukisan karena memikirkan
putrinya. Setiap hari, aku harus melihat mama melamun merindukan putra
sulungnya. Setiap saat, aku melihat Kakak yang teringat cinta pertamanya. Apa
tak pernah sekali pun kalian bertanya perasaanku? Meski aku belum pernah
bertemu Kak Valerie, tapi aku juga sedih karena kehilangan kakak perempuanku.
Kalian selalu memposisikan diri sebagai korban. Padahal aku juga korban dari
hubungan rumit kalian. Kita semua korban.”
Paundra
mengembuskan napas beratnya. “Sebenarnya aku juga marah dengan sikap mama.
Tapi, dia tetaplah mama kita, Kak. Untuk kali ini saja, pulanglah! Jika tidak
ada alasan untukmu pulang, maka lakukan itu demi aku. Aku mohon, Kak,” pinta
Paundra dengan nada memohon.
Endra terdiam
menatap adik yang disayanginya. Meski hanya sebagian darah yang mengikat
mereka. Namun, tak bisa dipungkiri Endra begitu menyayangi Paundra. Oleh karena
itu, selama sembilan tahun terakhir, hanya Paundra yang ingin ia lihat sebagai
keluarga.
Cukup lama
keduanya terdiam, hingga menciptakan keheningan yang memuakkan. Tidak ingin
berlama-lama tenggelam dalam suasana canggung, Endra pun bersuara.
“Aku akan
menemui mama.”
♥♥♥
Endra menatap
nanar bangunan di depannya. Bangunan yang menjadi tempat ia lahir sekaligus
tempat singgah sebelum printilan-printilan emosi terjadi hingga membuatnya
terluka. Di tempat ini juga awal berakhirnya jalinan cinta antara dirinya dan
Valerie.
Lelaki tampan
itu turun dari mobil, kemudian melangkah masuk ke rumah. Suasana hening
langsung menyambutnya. Tak ada kesan hangat yang terpancar. Rumah yang
seharusnya nyaman dan menenangkan, hanya terisi hawa dingin menyesakkan. Bisa
dikatakan rumah ini hanyalah bangunan mewah tanpa ada nyawa di dalamnya.
Seketika Endra merinding teringat akan ucapan Paundra kemarin. Apa benar rumah
ini telah kehilangan kebahagiaan?
Langkah Endra
semakin masuk ke bagian dalam rumah. Dulu, ruangan ini penuh canda dan gurau
suaranya bersama Paundra. Sekarang, hanya ada perabotan mahal yang dingin tak
tersentuh. Endra menaiki tangga dan mengarahkan langkahnya pada sebuah kamar.
Pintu besar berbahan kayu jati berdiri angkuh di depannya. Ia mengetuk pintu
beberapa kali, tapi tak ada sahutan dari dalam. Perlahan ia memutar handle pintu dan membukanya.
Diandra tidur
menyamping membelakanginya, sehingga tidak sadar akan kehadirannya. Ada sedikit
cubitan di hati Endra melihat punggung Diandra yang tampak rapuh dengan tulang
bertonjolan.
“Mama ....”
Cukup satu kata
dari Endra, tapi dapat menyentak tubuh Diandra. Dengan cepat, ia berbalik
menatap sosok yang paling dirindukannya selama sembilan tahun terakhir. Matanya
mulai mendanau dengan air mata kerinduan dan penyesalan terbesar.
“Endra ....”
Tangis Diandra
pun pecah melihat kehadiran Endra di dekatnya. Ia bangkit, memeluk erat
putranya. Sementara itu, Endra hanya mematung tak membalas pelukan Diandra.
“Maafkan Mama.
Maaf, Nak. Maaf.”
Diandra terus
mengucapkan maaf seperti sedang merapalkan sebuah mantra. Didekapnya erat tubuh
Endra. Dihirupnya aroma sang putra sulung.
Endra
melepaskan diri, lalu membantu Diandra duduk di ranjang. “Paundra bilang Mama
sakit. Jadi, sebaiknya Mama istirahat,” lirihnya. Ia hendak melangkah pergi,
tapi Diandra menahan tangannya.
“Jangan pergi
lagi, Nak! Jangan tinggalkan Mama! Mama minta maaf.” Diandra menangis seraya
menahan tangan Endra. “Mama tahu, kata maaf tak akan bisa menghapus sakit
hatimu pada Mama. Kata maaf tak akan bisa mengembalikan Valerie. Kata maaf tak akan
bisa menyembuhkan lukamu karena Mama. Tapi, Mama mohon, Nak. Ampunilah Mamamu
yang egois ini. Tuhan sudah menghukumku, Nak.”
Tuhan memang
sudah menghukum Diandra. Sejak kepergian Valerie, satu per satu orang yang ia
cintai mulai menjauh. Endra yang pergi tanpa berniat menampakkan wajah lagi.
Budi yang tidak lagi peduli karena frustrasi memikirkan nasib sang putri.
Paundra yang emosi dengan selalu menyalahkan keegosiannya. Dulu, ia telah
merebut seorang suami dan ayah dari seorang putri. Sekarang, ia telah
kehilangan suami, dua putra, dan satu putri dalam waktu bersamaan. Terlebih ia
juga kehilangan semua kebahagiaannya.
“Tapi,
bagaimana dengan wajah kutukan ini?” Endra menyahut dingin.
Jantung Diandra
seakan ditikam dengan ucapan dingin Endra. “Tidak ada wajah kutukan. Jika
memang kamu adalah kutukan, maka kamu adalah kutukan terindah Mama. Dan Mama
terlalu buta untuk tidak melihatnya. Mama mencintaimu, Nak. Sungguh!”
Runtuh sudah
tembok pertahanan Endra. Sebenci apapun ia pada Diandra. Sebesar apapun
kecewanya, ia tetaplah seorang anak yang rindu akan kasih sayang orang yang
telah melahirkannya. Melihat Diandra menangis memohon ampun dan mengungkapkan
cinta padanya, membuat Endra tak bisa menahan air mata bahagia. Kata itulah
yang ia tunggu sejak lama.
Endra berlutut
dan memeluk Diandra yang langsung membalasnya. Mereka berpelukan erat tanpa
berniat untuk saling melepas. Ini adalah pertama kali bagi Endra merasakan pelukan
tulus Diandra. Pelukan tanpa ada terselip benci di dalamnya. Pelukan kali ini
hangat dan nyaman. Pelukan penuh cinta dari seorang mama. Endra tersenyum.
Senyum bahagia pertamanya setelah badai besar memorak-porandakan hatinya
sembilan tahun silam.
♥♥♥
Tepat jam tiga
sore, Valerie tiba di bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan yang ditempuh selama
lebih dari empat belas jam membuatnya jet
lag. Apalagi dua hari sebelum keberangkatan, ia selalu mengalami insomnia.
Alasannya, karena ia teringat Endra.
Setelah
mengambil koper dari baggage claim,
Valerie bersama Eduard berjalan keluar bandara. Eduard duduk bersandar di
bangku tunggu dengan kaki berselonjor. Sementara, Valerie menyalakan ponsel
untuk menghubungi travel yang akan menjemputnya menuju Grand Melia Hotel,
tempat kongres berlangsung.
Ketika Valerie
sibuk dengan ponselnya. Dari arah belakang muncul seorang pria yang berjalan
tergesa dengan iPhone yang menempel di telinga. Valerie mengangkat wajahnya
mencari seorang dari agen travel perjalanan yang ternyata sudah berada di
bandara. Saat berbalik, ia tidak menyadari akan keberadaan seorang pria di
belakangnya. Tabrakan tubuh terjadi. Beruntung keseimbangannya bekerja baik,
hingga tak membuat dirinya terjungkal malu di depan umum.
“Maaf, Nona.
Aku tidak sengaja,” ujar pria itu masih memegang ponsel.
Valerie
mengangkat wajah, hingga matanya beradu dengan mata cokelat pria itu. Keduanya
diam mematung dengan raut wajah terkejut.
Dia?
Tbc
Pati, 25 Oktober 2019
Biodata:
Penulis
kelahiran Malang, tapi saat ini menetap di Pati. Bercita-cita ingin menerbitkan
novel solo suatu saat nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.