Karena
Kamu Pangeranku Part 15
Oleh:
Titin Akhiroh
Rencana masa depan yang coba
dirangkai Endra sepertinya hanya akan menjadi angan belaka. Bayangan
kebahagiaan memudar seiring mendung kesedihan dalam hatinya. Di saat ia mulai
mengenal cinta, maka saat itu pula dirinya mengenal luka. Sebenarnya sejak lama
ia sudah tahu apa itu luka. Hanya saja kepergian Valerie benar-benar
meninggalkan luka dalam, hingga tak tahu kapan akan sembuhnya.
Ada yang bilang jika satu mimpi
pergi, maka bangkitlah meraih mimpi yang lain. Perkataan itu seakan mencambuk
kesadaran Endra. Ironisnya, ungkapan itu keluar dari bibir Valerie, seorang
yang selalu ia impikan untuk menjadi masa depannya yang justru memilih untuk
pergi.
Tak mau lama terlarut dalam
kesedihan yang tak berujung. Endra berusaha membangun mimpinya yang lain, yakni
mewujudkan cita-cita sebagai dokter spesialis jantung. Ia berusaha menjadi
Endra seperti sedia kala meski dirinya tak yakin akan menjadi Endra yang sama.
“Jangan pergi, Nak!” pinta
Diandra serak. Berharap permohonannya didengar Endra.
Endra tetap melanjutkan
aktivitas mengemas semua barang pribadi. Dokumen penting berupa bilyet
deposito, buku tabungan, kartu debit dan kredit atas nama dirinya yang didapat
dari wasiat sang papa kandung mulai dimasukkan ke tas bersama paspor dan
berlembar-lembar ijazah. Ia berniat pergi menjauh meraih mimpinya tanpa
mengharap satu sen pun uang dari nama Soebandono, yakni nama belakang keluarga
Diandra ataupun Wijaya. Ia hanya akan hidup sebagai seorang Mananta.
“Aku melakukan apa yang
seharusnya kulakukan sejak dulu.” Endra berujar sambil mengambil bingkai foto
Ken Yama Mananta, papa kandungnya.
“Kenapa kamu mengatakan hal
demikian?” tanya Diandra di sela tangisnya.
“Karena memang tempatku bukan di
sini,” sahut Endra seraya menutup tas ranselnya.
“Endra, kenapa kamu masih
bersikap dingin pada Mama?”
Diandra sudah bingung, tak tahu
lagi bagaimana cara membujuk Endra. Sifat dinginnya selalu susah untuk
ditembus. Apalagi setelah kepergian Valerie beberapa minggu lalu. Endra seakan
berubah menjadi sosok yang begitu asing.
“Aku pikir, Mama udah tahu semua
alasannya.” Endra menatap tajam Diandra.
“Jika ini soal Valerie, Mama
minta maaf. Tapi, bukankah seharusnya kalian tetap menjadi saudara saja? Mengertilah,
Nak. Ini hanya untuk kebahagiaan keluarga kita.” Diandra berusaha membujuk,
tetapi tatapan Endra masih menajam ke arahnya.
“Keluarga siapa yang Mama
maksud? Keluarga Mananta, Wijaya, atau Soebandono? Ingat, Mama! Ini bukan
pertama kalinya Mama menyakitiku.”
Diandra sedikit tersentak saat
menatap luka di mata Endra. “Apa maksudmu, Nak?”
“Mama tidak benar-benar
menyayangiku,” jawab Endra sambil menatap Diandra.
“Kamu adalah anak Mama. Tentu
saja Mama menyayangimu.”
“Tapi, tidak seperti Mama
menyayangi Paundra.” Endra menyahut cepat.
Diandra menggeleng tak terima.
“Kenapa kamu bisa mengatakan hal itu, Nak? Itu sama saja kamu menyakiti Mama.
Kamu adalah anak Mama. Sampai kapan pun, Mama menyayangimu.”
“Lalu, kenapa Mama
mengasingkanku sendirian di Jakarta? Karena wajah ini, ‘kan?” ucap Endra sambil
menunjuk wajahnya sendiri. Sontak wajah Diandra pucat pasi. “Aku tahu Mama
menyayangiku, tapi tidak dengan wajahku. Wajahku selalu mengingatkan Mama pada
wajah orang yang paling Mama benci. Untuk itu, Mama selalu memperlakukanku
beda. Mama lebih menyayangi Paundra daripada aku. Paundra adalah anak dari
orang yang Mama cintai, sedangkan aku ... aku adalah anak dari orang yang Mama
benci. Benar begitu, 'kan?”
Buliran bening kembali menetes
dari mata Endra mengingat luka yang sedari lama ada di hatinya. Bertahun-tahun,
ia menjadi anak yang terbuang. Ia memang putra kandung Diandra, tapi darahnya
mengalir darah Ken Yama Mananta, pria yang begitu Diandra benci. Pria yang
dianggap mamanya sebagai penghalang cinta dengan Budi. Pria yang sempat membuat
mamanya frustrasi.
Dulu saat dirinya masih sangat
kecil, Endra masih bisa mendapat penuh kasih sayang Diandra. Namun, sejak
kehadiran Paundra, fokus Diandra mulai berbalik arah. Awalnya, Endra tidak
terlalu peduli, tapi semakin ia beranjak remaja, sikap Diandra perlahan
berubah. Wajahnya yang semakin tampan seiring pertambahan usia justru memancing
kembali ingatan Diandra akan suami pertama yang ingin dilupakan.
Diandra mematung. Ia tak bisa
menyanggah apa pun karena apa yang dikatakan Endra memang sebuah kenyataan. Ia
memang mencintai Endra, tapi di saat bersamaan ia juga tak senang. Wajah Endra
memang sering kali melemparkan ingatannya pada orang yang ia benci. Orang yang
telah memisahkan cinta pertamanya. Katakanlah ia gila, ia memang gila karena
terlalu mencintai cinta pertamanya.
“Maafkan Mama, Nak. Maaf ...
meski begitu Mama menyayangimu,” ucap Diandra dengan isakan hebat.
“Berhenti mengucap maaf, karena
aku nggak punya hati seluas itu untuk bisa memaafkan Mama. Aku bisa tahan Mama
lebih menyayangi Paundra. Aku bisa tahan Mama nggak terlalu menginginkanku. Aku
bisa tahan menjadi pelampiasan rasa benci Mama pada Papa. Tapi ... aku nggak
tahan Mama memisahkanku dari Valerie. Karena hanya Valerie yang mencintaiku tulus
tanpa memandang siapa aku. Hanya Valerie yang mau menerimaku tulus tanpa
bertanya darah siapa yang mengalir dalam darahku. Hanya Valerie yang memuja
wajah kutukanku tanpa bertanya dari mana aku mendapat wajah itu.”
Diandra bersimpuh, menangis
sejadi-jadinya. Ucapan Endra bagai tamparan keras yang menyadarkannya dari
benci yang menyesatkan hati. Ia baru menyadari kesalahan terbesarnya.
Melampiaskan kebencian pada Endra yang tidak tahu apa-apa dengan masa lalunya.
“Jadi, udah saatnya aku pergi.
Tanggung jawab Mama padaku udah berakhir. Aku udah cukup dewasa untuk
menentukan hidupku sendiri. Aku akan berdiri sebagai Mananta." Endra
mengusap kasar wajahnya yang basah.
Endra berbalik mengambil ransel
dan memakainya. Selesai dengan itu, tangan kanannya menarik koper. Langkahnya
terhenti tepat di samping Diandra yang duduk terisak.
“Meski aku masih belum memaafkan
Mama. Tapi, aku ingin berterima kasih karena Mama telah melahirkan dan
membesarkanku. Dulu, Mama enggan menatap lama wajahku. Sekarang, aku ingin mengabulkan
keinginan Mama. Aku nggak akan pernah menampakkan wajah kutukanku lagi.”
Diandra tersentak bangkit dari
duduknya, mengejar Endra yang sudah melangkah keluar kamar.
“Endra!” teriaknya sambil
berlari mengejar Endra.
Endra tetap tak menggubris
panggilan Diandra. Bahkan saat Diandra tak sadarkan diri, ia tak sedikit pun
menoleh ke arah mamanya. Biarkanlah orang mengatakan dirinya tak punya hati.
Endra tidak peduli. Ia memang tak punya hati karena seluruh hatinya sudah
dibawa pergi Valerie.
***
“Kenapa Mama mengirim Endra
sekolah di IJS?” Budi kaget saat mendengar Diandra mendaftarkan Endra ke
sekolah internasional ternama di Jakarta.
“Itu sekolah bagus, Pa.”
“Tapi, itu jauh, Ma. Endra masih
terlalu dini untuk hidup berjauhan dari orang tuanya,” sahut Budi.
“Ini bisa menjadikannya pribadi
yang mandiri. Lagi pula dia tidak sendiri, ada Hesti yang akan menjaganya. Aku
sudah menyiapkan segala kebutuhan Endra di sana.”
Budi menghela napas beratnya.
“Apa ini karena dia?” tanya Budi sambil menatap Diandra.
Diandra memalingkan wajah, tapi
Budi masih bisa melihat kebencian dari sinar matanya.
“Sampai kapan kamu akan hidup
dalam kebencian? Apalagi dia sudah tiada. Kamu juga tak punya alasan dengan
melibatkan Endra dalam masa lalumu.”
“Aku punya alasan, Pa. Aku bangga
memiliki anak setampan dan sehebat Endra. Tapi, aku juga tak kuat harus menatap
wajah Endra yang makin hari makin sama persis dengannya. Aku mencintai putraku,
tapi aku juga tak senang dia mirip dengan Ken. Ken itu jahat dan licik. Karena
dia hubungan kita terpisah untuk beberapa waktu. Andai saja dia tidak
meninggalkan wasiat padaku untuk menjaga putra kesayangannya. Aku pasti akan
mengirim Endra ke Tokyo untuk kembali pada keluarganya.”
“Jangan bicara seperti itu!
Bagaimana jika Endra mendengarnya? Dia bisa terluka!” hardik Budi hingga
membuat Diandra kaget. Baru kali ini, Budi berbicara keras padanya.
“Kamu harus ingat, bagaimanapun
Endra adalah anak kandungmu, darah dagingmu. Dia memiliki darah yang sama
denganmu. Jangan terlalu kejam! Semua bukan kesalahan Endra jika mirip dengan
papa kandungnya. Jadi, jangan pernah berkata hal demikian lagi!” bentak Budi
yang mulai marah dengan Diandra. Meski Endra bukanlah anak kandungnya, tapi ia
sangat menyayangi Endra sama dengan Paundra dan ... putrinya.
Hal yang tak Diandra dan Budi
sadari bahwa ada sepasang telinga yang mencuri dengar semua percakapan di balik
pintu kamar.
***
Endra menatap nanar hamparan
awan putih melalui jendela kecil pesawat. Pasti akan sangat menyenangkan bisa
menjadi awan yang bebas beterbangan tanpa takut harus terempas ke bumi. Tak
seperti dirinya yang mencoba bermimpi, tapi terempas sampai ke dasar bumi.
Sejak berumur dua belas tahun,
dunia indah Endra berubah. Kenyataan yang didengarnya menggores luka permanen
yang tidak akan pernah ia lupa. Tak disangka wajah sempurna yang sering dipuja
banyak orang justru paling dihindari mama kandungnya sendiri. Hanya karena
alasan ia mirip dengan papa kandungnya. Endra mulai menarik benang merah,
mencoba menghubungkan peristiwa yang dialaminya. Akhirnya, ia mengerti bahwa
dirinya tidak begitu berarti.
Kesakitan itu membawa dampak
bagi Endra. Pribadi Endra menjadi dingin dan tidak peduli dengan sekitar. Ia
mulai benci dengan orang yang mengagungkan wajahnya. Terlebih lagi dengan gadis
yang tidak hanya mengagumi wajah, tetapi juga karena latar belakangnya sebagai
pewaris tunggal keluarga Mananta yang kaya raya.
Sampai akhirnya, ia bertemu
Valerie yang menumbuhkan harapan baru di celah hatinya yang retak. Valerie
berbeda. Gadis cantik polos itu yang selalu menatap malu-malu setiap beradu
pandang dengannya. Ia terjerat pesona Valerie yang lembut dan tulus tanpa
topeng di wajah. Perlahan hatinya yang beku menghangat saat bersama Valerie.
Hanya Valerie yang mampu membuatnya menjadi sangat istimewa setelah bertahun-tahun
tak dianggap berharga dan terbuang dari keluarga.
Endra merasa menjadi lelaki
paling bahagia di dunia saat Valerie juga membalas perasaannya. Kebersamaan
dengan Valerie menjadi momen indah yang tidak akan pernah ia lupa. Untuk itu,
ia berani merajut asa untuk menjadikan Valerie sebagai bagian dari masa
depannya kelak. Tidak ada yang lebih pantas dari Valerie untuk mendapat tempat
terhormat itu. Karena Valerie adalah Peri Valentine yang membawa cinta dan
harapan baru padanya. Namun sayang, Peri Valentine itu terbang entah ke mana.
Semilir angin berembus menerpa
wajah Endra sesaat setelah ia keluar dari Narita Airport. Endra menatap langit
biru cerah dengan riak awan yang mengambang. Di sinilah, awal hidup barunya
akan dimulai.
***
Satu tahun sudah Endra tinggal
dan belajar di negeri sakura. Selama itu pula, ia begitu betah dengan suasana
di sana karena sedari dulu dirinya memang begitu menyukai segala sesuatu berbau
Jepang. Mungkin semua itu terpengaruh dari darah kental sang papa.
Awalnya, ia ragu saat
menginjakkan kaki pertama kali di rumah kakek moyangnya. Namun, keraguan itu
mencair oleh sikap hangat dan bersahabat dari Kento Fujisawa, adik kembar
papanya. Dari sang paman itulah, ia dapat mendengar detail cerita tentang
papanya yang tak banyak diketahui, baik dirinya maupun Diandra.
Sejak dulu, Ken Yama terkenal
serius dan pekerja keras. Sebagai anak sulung dari keluarga Fujisawa,
membentuknya menjadi sosok penuh tanggung jawab. Terlebih saat Natsuki--kakek
Endra--mulai sakit-sakitan karena penyakit komplikasi, Ken Yama semakin gila
kerja. Padahal saat itu, ia belum resmi menjadi sarjana di Tokyo University.
Berkat tangan dinginnya, perusahaan keluarga berkembang pesat. Sampai
mendirikan banyak cabang, salah satunya di Jakarta.
Dari sanalah, Ken Yama sering
berkunjung ke Jakarta. Betah dan suka dengan kebudayaan Indonesia, membuat
lelaki tampan itu memutuskan untuk menetap dan mendirikan perusahaan sendiri.
Bahkan ia juga sampai berpindah keyakinan, hingga mengubah nama keluarga dari
Fujisawa menjadi Mananta. Saat Kento bertanya alasannya mengubah nama, Ken Yama
hanya menjawab agar lebih terdengar Indonesia. Meski begitu ia tetap
berhubungan baik dengan Kento dan semua keluarga Fujisawa di Tokyo.
Berstatus lajang yang tampan dan
kaya raya, jelas membuat Ken Yama sering menjadi bahan perbincangan banyak
orang. Tidak sedikit pengusaha yang mencoba menjodohkannya dengan putri mereka.
Namun, ia tetaplah lelaki dingin yang tak mudah jatuh hati.
Sampai suatu hari, ia bertemu
dengan Diandra Soebandono di sebuah acara pembukaan hotel bintang lima. Tanpa
disangka, wanita itu merupakan putri tunggal dari kliennya sendiri. Celah
itulah yang digunakan Ken Yama untuk mendekati Diandra, dan itu berhasil. Tidak
lama sejak pertemuan pertama, ia pun menjadikan wanita cantik itu sebagai
istri.
Endra mendengarkan semua cerita
tentang papanya dengan saksama. Lelaki bermanik cokelat pekat itu bahkan
tercengang saat mendengar wasiat papanya dari sang paman. Sejak divonis
penyakit jantung, Ken Yama yang penuh perhitungan mulai menulis wasiat
untuknya. Ia tidak menyangka jika sang papa meninggalkannya banyak warisan.
Ketika sedang menjalani terapi
berjalan pasca kecelakaan dulu, Diandra sudah bercerita tentang wasiat dari
sang papa untuknya. Namun, ia pikir hanya berupa tabungan dan deposito. Ia sama
sekali tidak menduga bahwa papanya juga mewariskan Mananta Group yang selama
ini dikelola sang paman. Setiap tahun, keuntungan perusahaan akan masuk ke
rekening giro yang masih atas nama Ken Yama Mananta. Tinggal menunggu waktu saja
untuk dialihkan padanya.
Endra dihadapkan pada dilema
untuk memilih antara passion dan tanggung jawab. Namun, dirinya yang sudah
telanjur ingin mewujudkan mimpi menjadi dokter spesialis, jelas menolak untuk
menjalankan perusahaan. Untuk itulah, ia meminta sang paman untuk tetap
mengurus perusahaan.
Untungnya, Kento mengerti.
Lelaki berwajah mirip Ken Yama itu menyanggupi hingga batas waktu tak pasti.
Lelaki menjelang paruh baya itu bahkan menggoda Endra untuk segera menikah dan
melahirkan anak lelaki. Dengan begitu, ia bisa mengajari cucu keponakannya
dalam berbisnis.
Godaan dari pamannya hanya Endra
tanggapi dengan senyuman getir. Pikirannya kembali mengingat Valerie.
Seandainya saja gadisnya itu tak pergi, mungkin ia akan menikahi Valerie
sekarang juga tanpa membiarkan sesuatu menghalangi.
***
Endra merapatkan jaketnya saat
berjalan keluar dari Todai, nama fakultas kedokteran di Tokyo University.
Langkahnya terhenti saat melihat pohon-pohon ginko yang menghampar di sepanjang
jalan kampus, mulai menggugurkan daun. Sekarang, jalanan sudah tertutup
dedaunan berwarna kuning. Ia membungkuk, meraih satu daun. Tangan kanannya
meraih ponsel dari dalam saku dan mulai memotretnya. Hasil jepretan itu ia
kirim kepada tiga sahabat laknatnya sepanjang masa. Meski tinggal di tiga benua
berbeda, tapi ia masih berkomunikasi dengan Tiga Sekawan.
[Tarendra Yama Mananta]
Ini daun ginko. Sekarang udah
masuk musim gugur. Apa kalian nggak pingin main ke sini saat liburan musim
dingin nanti?
[Garindra Handy Pradana]
Lebih asyik main sama bule
Amrik :D
[Tarendra Yama Mananta]
Dasar playboy mesum!
[Rafello Dimitri]
Hahaha kamu aja yang main ke
sini. Aku bakal ajak kamu main ke Brooklyn Bridge Park. Sekalian ajak @Herjuno
Oetomo
[Herjuno Oetomo]
Aku nggak bisa ke mana-mana.
Kalo bisa liburan, mendingan ke tempat Endra aja. Kayaknya lebih romantis buat
main sama pacar hehehe
[Tarendra Yama Mananta]
Busyet, napa temanku omes semua?
[Garindra Handy Pradana]
Menikmati masa muda, Bro. Kamu
aja cowok aneh yang masih gagal move on.
[Herjuno Oetomo]
Cinta Endra udah mentok, Rin.
Kagak bisa ke mana-mana.
[Garindra Handy Pradana]
Yaelah, Ndra. Valerie udah
pergi. Sampai kapan kamu inget dia terus?
[Tarendra Yama Mananta]
Entahlah
Endra menyudahi obrolan.
Membahas Valerie selalu membangkitkan sentimentil. Ia menggeser jarinya ke menu
galeri. Wajah cantik Valerie yang tersenyum langsung terpampang indah.
"Kamu ada di mana
sekarang?" Endra bergumam seraya mengusap potret gadisnya.
Tbc
Pati, 18 Oktober 2019
Biodata:
Penulis kelahiran Malang dan
bercita-cita dapat menerbitkan novel solo suatu hari nanti. Saat ini sedang
disibukkan dengan proyek antologi ke-12 bersama Kemdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.