Sabtu, 19 Oktober 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 15 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org








Karena Kamu Pangeranku Part 15
Oleh: Titin Akhiroh

Rencana masa depan yang coba dirangkai Endra sepertinya hanya akan menjadi angan belaka. Bayangan kebahagiaan memudar seiring mendung kesedihan dalam hatinya. Di saat ia mulai mengenal cinta, maka saat itu pula dirinya mengenal luka. Sebenarnya sejak lama ia sudah tahu apa itu luka. Hanya saja kepergian Valerie benar-benar meninggalkan luka dalam, hingga tak tahu kapan akan sembuhnya.
Ada yang bilang jika satu mimpi pergi, maka bangkitlah meraih mimpi yang lain. Perkataan itu seakan mencambuk kesadaran Endra. Ironisnya, ungkapan itu keluar dari bibir Valerie, seorang yang selalu ia impikan untuk menjadi masa depannya yang justru memilih untuk pergi.
Tak mau lama terlarut dalam kesedihan yang tak berujung. Endra berusaha membangun mimpinya yang lain, yakni mewujudkan cita-cita sebagai dokter spesialis jantung. Ia berusaha menjadi Endra seperti sedia kala meski dirinya tak yakin akan menjadi Endra yang sama.
“Jangan pergi, Nak!” pinta Diandra serak. Berharap permohonannya didengar Endra.
Endra tetap melanjutkan aktivitas mengemas semua barang pribadi. Dokumen penting berupa bilyet deposito, buku tabungan, kartu debit dan kredit atas nama dirinya yang didapat dari wasiat sang papa kandung mulai dimasukkan ke tas bersama paspor dan berlembar-lembar ijazah. Ia berniat pergi menjauh meraih mimpinya tanpa mengharap satu sen pun uang dari nama Soebandono, yakni nama belakang keluarga Diandra ataupun Wijaya. Ia hanya akan hidup sebagai seorang Mananta.
“Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.” Endra berujar sambil mengambil bingkai foto Ken Yama Mananta, papa kandungnya.
“Kenapa kamu mengatakan hal demikian?” tanya Diandra di sela tangisnya.
“Karena memang tempatku bukan di sini,” sahut Endra seraya menutup tas ranselnya.
“Endra, kenapa kamu masih bersikap dingin pada Mama?”
Diandra sudah bingung, tak tahu lagi bagaimana cara membujuk Endra. Sifat dinginnya selalu susah untuk ditembus. Apalagi setelah kepergian Valerie beberapa minggu lalu. Endra seakan berubah menjadi sosok yang begitu asing.
“Aku pikir, Mama udah tahu semua alasannya.” Endra menatap tajam Diandra.
“Jika ini soal Valerie, Mama minta maaf. Tapi, bukankah seharusnya kalian tetap menjadi saudara saja? Mengertilah, Nak. Ini hanya untuk kebahagiaan keluarga kita.” Diandra berusaha membujuk, tetapi tatapan Endra masih menajam ke arahnya.
“Keluarga siapa yang Mama maksud? Keluarga Mananta, Wijaya, atau Soebandono? Ingat, Mama! Ini bukan pertama kalinya Mama menyakitiku.”
Diandra sedikit tersentak saat menatap luka di mata Endra. “Apa maksudmu, Nak?”
“Mama tidak benar-benar menyayangiku,” jawab Endra sambil menatap Diandra.
“Kamu adalah anak Mama. Tentu saja Mama menyayangimu.”
“Tapi, tidak seperti Mama menyayangi Paundra.” Endra menyahut cepat.
Diandra menggeleng tak terima. “Kenapa kamu bisa mengatakan hal itu, Nak? Itu sama saja kamu menyakiti Mama. Kamu adalah anak Mama. Sampai kapan pun, Mama menyayangimu.”
“Lalu, kenapa Mama mengasingkanku sendirian di Jakarta? Karena wajah ini, ‘kan?” ucap Endra sambil menunjuk wajahnya sendiri. Sontak wajah Diandra pucat pasi. “Aku tahu Mama menyayangiku, tapi tidak dengan wajahku. Wajahku selalu mengingatkan Mama pada wajah orang yang paling Mama benci. Untuk itu, Mama selalu memperlakukanku beda. Mama lebih menyayangi Paundra daripada aku. Paundra adalah anak dari orang yang Mama cintai, sedangkan aku ... aku adalah anak dari orang yang Mama benci. Benar begitu, 'kan?”
Buliran bening kembali menetes dari mata Endra mengingat luka yang sedari lama ada di hatinya. Bertahun-tahun, ia menjadi anak yang terbuang. Ia memang putra kandung Diandra, tapi darahnya mengalir darah Ken Yama Mananta, pria yang begitu Diandra benci. Pria yang dianggap mamanya sebagai penghalang cinta dengan Budi. Pria yang sempat membuat mamanya frustrasi.
Dulu saat dirinya masih sangat kecil, Endra masih bisa mendapat penuh kasih sayang Diandra. Namun, sejak kehadiran Paundra, fokus Diandra mulai berbalik arah. Awalnya, Endra tidak terlalu peduli, tapi semakin ia beranjak remaja, sikap Diandra perlahan berubah. Wajahnya yang semakin tampan seiring pertambahan usia justru memancing kembali ingatan Diandra akan suami pertama yang ingin dilupakan.
Diandra mematung. Ia tak bisa menyanggah apa pun karena apa yang dikatakan Endra memang sebuah kenyataan. Ia memang mencintai Endra, tapi di saat bersamaan ia juga tak senang. Wajah Endra memang sering kali melemparkan ingatannya pada orang yang ia benci. Orang yang telah memisahkan cinta pertamanya. Katakanlah ia gila, ia memang gila karena terlalu mencintai cinta pertamanya.
“Maafkan Mama, Nak. Maaf ... meski begitu Mama menyayangimu,” ucap Diandra dengan isakan hebat.
“Berhenti mengucap maaf, karena aku nggak punya hati seluas itu untuk bisa memaafkan Mama. Aku bisa tahan Mama lebih menyayangi Paundra. Aku bisa tahan Mama nggak terlalu menginginkanku. Aku bisa tahan menjadi pelampiasan rasa benci Mama pada Papa. Tapi ... aku nggak tahan Mama memisahkanku dari Valerie. Karena hanya Valerie yang mencintaiku tulus tanpa memandang siapa aku. Hanya Valerie yang mau menerimaku tulus tanpa bertanya darah siapa yang mengalir dalam darahku. Hanya Valerie yang memuja wajah kutukanku tanpa bertanya dari mana aku mendapat wajah itu.”
Diandra bersimpuh, menangis sejadi-jadinya. Ucapan Endra bagai tamparan keras yang menyadarkannya dari benci yang menyesatkan hati. Ia baru menyadari kesalahan terbesarnya. Melampiaskan kebencian pada Endra yang tidak tahu apa-apa dengan masa lalunya.
“Jadi, udah saatnya aku pergi. Tanggung jawab Mama padaku udah berakhir. Aku udah cukup dewasa untuk menentukan hidupku sendiri. Aku akan berdiri sebagai Mananta." Endra mengusap kasar wajahnya yang basah.
Endra berbalik mengambil ransel dan memakainya. Selesai dengan itu, tangan kanannya menarik koper. Langkahnya terhenti tepat di samping Diandra yang duduk terisak.
“Meski aku masih belum memaafkan Mama. Tapi, aku ingin berterima kasih karena Mama telah melahirkan dan membesarkanku. Dulu, Mama enggan menatap lama wajahku. Sekarang, aku ingin mengabulkan keinginan Mama. Aku nggak akan pernah menampakkan wajah kutukanku lagi.”
Diandra tersentak bangkit dari duduknya, mengejar Endra yang sudah melangkah keluar kamar.
“Endra!” teriaknya sambil berlari mengejar Endra.
Endra tetap tak menggubris panggilan Diandra. Bahkan saat Diandra tak sadarkan diri, ia tak sedikit pun menoleh ke arah mamanya. Biarkanlah orang mengatakan dirinya tak punya hati. Endra tidak peduli. Ia memang tak punya hati karena seluruh hatinya sudah dibawa pergi Valerie.

***

“Kenapa Mama mengirim Endra sekolah di IJS?” Budi kaget saat mendengar Diandra mendaftarkan Endra ke sekolah internasional ternama di Jakarta.
“Itu sekolah bagus, Pa.”
“Tapi, itu jauh, Ma. Endra masih terlalu dini untuk hidup berjauhan dari orang tuanya,” sahut Budi.
“Ini bisa menjadikannya pribadi yang mandiri. Lagi pula dia tidak sendiri, ada Hesti yang akan menjaganya. Aku sudah menyiapkan segala kebutuhan Endra di sana.”
Budi menghela napas beratnya. “Apa ini karena dia?” tanya Budi sambil menatap Diandra.
Diandra memalingkan wajah, tapi Budi masih bisa melihat kebencian dari sinar matanya.
“Sampai kapan kamu akan hidup dalam kebencian? Apalagi dia sudah tiada. Kamu juga tak punya alasan dengan melibatkan Endra dalam masa lalumu.”
“Aku punya alasan, Pa. Aku bangga memiliki anak setampan dan sehebat Endra. Tapi, aku juga tak kuat harus menatap wajah Endra yang makin hari makin sama persis dengannya. Aku mencintai putraku, tapi aku juga tak senang dia mirip dengan Ken. Ken itu jahat dan licik. Karena dia hubungan kita terpisah untuk beberapa waktu. Andai saja dia tidak meninggalkan wasiat padaku untuk menjaga putra kesayangannya. Aku pasti akan mengirim Endra ke Tokyo untuk kembali pada keluarganya.”
“Jangan bicara seperti itu! Bagaimana jika Endra mendengarnya? Dia bisa terluka!” hardik Budi hingga membuat Diandra kaget. Baru kali ini, Budi berbicara keras padanya.
“Kamu harus ingat, bagaimanapun Endra adalah anak kandungmu, darah dagingmu. Dia memiliki darah yang sama denganmu. Jangan terlalu kejam! Semua bukan kesalahan Endra jika mirip dengan papa kandungnya. Jadi, jangan pernah berkata hal demikian lagi!” bentak Budi yang mulai marah dengan Diandra. Meski Endra bukanlah anak kandungnya, tapi ia sangat menyayangi Endra sama dengan Paundra dan ... putrinya.
Hal yang tak Diandra dan Budi sadari bahwa ada sepasang telinga yang mencuri dengar semua percakapan di balik pintu kamar.

***



Endra menatap nanar hamparan awan putih melalui jendela kecil pesawat. Pasti akan sangat menyenangkan bisa menjadi awan yang bebas beterbangan tanpa takut harus terempas ke bumi. Tak seperti dirinya yang mencoba bermimpi, tapi terempas sampai ke dasar bumi.
Sejak berumur dua belas tahun, dunia indah Endra berubah. Kenyataan yang didengarnya menggores luka permanen yang tidak akan pernah ia lupa. Tak disangka wajah sempurna yang sering dipuja banyak orang justru paling dihindari mama kandungnya sendiri. Hanya karena alasan ia mirip dengan papa kandungnya. Endra mulai menarik benang merah, mencoba menghubungkan peristiwa yang dialaminya. Akhirnya, ia mengerti bahwa dirinya tidak begitu berarti.
Kesakitan itu membawa dampak bagi Endra. Pribadi Endra menjadi dingin dan tidak peduli dengan sekitar. Ia mulai benci dengan orang yang mengagungkan wajahnya. Terlebih lagi dengan gadis yang tidak hanya mengagumi wajah, tetapi juga karena latar belakangnya sebagai pewaris tunggal keluarga Mananta yang kaya raya.
Sampai akhirnya, ia bertemu Valerie yang menumbuhkan harapan baru di celah hatinya yang retak. Valerie berbeda. Gadis cantik polos itu yang selalu menatap malu-malu setiap beradu pandang dengannya. Ia terjerat pesona Valerie yang lembut dan tulus tanpa topeng di wajah. Perlahan hatinya yang beku menghangat saat bersama Valerie. Hanya Valerie yang mampu membuatnya menjadi sangat istimewa setelah bertahun-tahun tak dianggap berharga dan terbuang dari keluarga.
Endra merasa menjadi lelaki paling bahagia di dunia saat Valerie juga membalas perasaannya. Kebersamaan dengan Valerie menjadi momen indah yang tidak akan pernah ia lupa. Untuk itu, ia berani merajut asa untuk menjadikan Valerie sebagai bagian dari masa depannya kelak. Tidak ada yang lebih pantas dari Valerie untuk mendapat tempat terhormat itu. Karena Valerie adalah Peri Valentine yang membawa cinta dan harapan baru padanya. Namun sayang, Peri Valentine itu terbang entah ke mana.
Semilir angin berembus menerpa wajah Endra sesaat setelah ia keluar dari Narita Airport. Endra menatap langit biru cerah dengan riak awan yang mengambang. Di sinilah, awal hidup barunya akan dimulai.

***

Satu tahun sudah Endra tinggal dan belajar di negeri sakura. Selama itu pula, ia begitu betah dengan suasana di sana karena sedari dulu dirinya memang begitu menyukai segala sesuatu berbau Jepang. Mungkin semua itu terpengaruh dari darah kental sang papa.
Awalnya, ia ragu saat menginjakkan kaki pertama kali di rumah kakek moyangnya. Namun, keraguan itu mencair oleh sikap hangat dan bersahabat dari Kento Fujisawa, adik kembar papanya. Dari sang paman itulah, ia dapat mendengar detail cerita tentang papanya yang tak banyak diketahui, baik dirinya maupun Diandra.
Sejak dulu, Ken Yama terkenal serius dan pekerja keras. Sebagai anak sulung dari keluarga Fujisawa, membentuknya menjadi sosok penuh tanggung jawab. Terlebih saat Natsuki--kakek Endra--mulai sakit-sakitan karena penyakit komplikasi, Ken Yama semakin gila kerja. Padahal saat itu, ia belum resmi menjadi sarjana di Tokyo University. Berkat tangan dinginnya, perusahaan keluarga berkembang pesat. Sampai mendirikan banyak cabang, salah satunya di Jakarta.
Dari sanalah, Ken Yama sering berkunjung ke Jakarta. Betah dan suka dengan kebudayaan Indonesia, membuat lelaki tampan itu memutuskan untuk menetap dan mendirikan perusahaan sendiri. Bahkan ia juga sampai berpindah keyakinan, hingga mengubah nama keluarga dari Fujisawa menjadi Mananta. Saat Kento bertanya alasannya mengubah nama, Ken Yama hanya menjawab agar lebih terdengar Indonesia. Meski begitu ia tetap berhubungan baik dengan Kento dan semua keluarga Fujisawa di Tokyo.
Berstatus lajang yang tampan dan kaya raya, jelas membuat Ken Yama sering menjadi bahan perbincangan banyak orang. Tidak sedikit pengusaha yang mencoba menjodohkannya dengan putri mereka. Namun, ia tetaplah lelaki dingin yang tak mudah jatuh hati.
Sampai suatu hari, ia bertemu dengan Diandra Soebandono di sebuah acara pembukaan hotel bintang lima. Tanpa disangka, wanita itu merupakan putri tunggal dari kliennya sendiri. Celah itulah yang digunakan Ken Yama untuk mendekati Diandra, dan itu berhasil. Tidak lama sejak pertemuan pertama, ia pun menjadikan wanita cantik itu sebagai istri.
Endra mendengarkan semua cerita tentang papanya dengan saksama. Lelaki bermanik cokelat pekat itu bahkan tercengang saat mendengar wasiat papanya dari sang paman. Sejak divonis penyakit jantung, Ken Yama yang penuh perhitungan mulai menulis wasiat untuknya. Ia tidak menyangka jika sang papa meninggalkannya banyak warisan.
Ketika sedang menjalani terapi berjalan pasca kecelakaan dulu, Diandra sudah bercerita tentang wasiat dari sang papa untuknya. Namun, ia pikir hanya berupa tabungan dan deposito. Ia sama sekali tidak menduga bahwa papanya juga mewariskan Mananta Group yang selama ini dikelola sang paman. Setiap tahun, keuntungan perusahaan akan masuk ke rekening giro yang masih atas nama Ken Yama Mananta. Tinggal menunggu waktu saja untuk dialihkan padanya.
Endra dihadapkan pada dilema untuk memilih antara passion dan tanggung jawab. Namun, dirinya yang sudah telanjur ingin mewujudkan mimpi menjadi dokter spesialis, jelas menolak untuk menjalankan perusahaan. Untuk itulah, ia meminta sang paman untuk tetap mengurus perusahaan.
Untungnya, Kento mengerti. Lelaki berwajah mirip Ken Yama itu menyanggupi hingga batas waktu tak pasti. Lelaki menjelang paruh baya itu bahkan menggoda Endra untuk segera menikah dan melahirkan anak lelaki. Dengan begitu, ia bisa mengajari cucu keponakannya dalam berbisnis.
Godaan dari pamannya hanya Endra tanggapi dengan senyuman getir. Pikirannya kembali mengingat Valerie. Seandainya saja gadisnya itu tak pergi, mungkin ia akan menikahi Valerie sekarang juga tanpa membiarkan sesuatu menghalangi.

***

Endra merapatkan jaketnya saat berjalan keluar dari Todai, nama fakultas kedokteran di Tokyo University. Langkahnya terhenti saat melihat pohon-pohon ginko yang menghampar di sepanjang jalan kampus, mulai menggugurkan daun. Sekarang, jalanan sudah tertutup dedaunan berwarna kuning. Ia membungkuk, meraih satu daun. Tangan kanannya meraih ponsel dari dalam saku dan mulai memotretnya. Hasil jepretan itu ia kirim kepada tiga sahabat laknatnya sepanjang masa. Meski tinggal di tiga benua berbeda, tapi ia masih berkomunikasi dengan Tiga Sekawan.
[Tarendra Yama Mananta]
Ini daun ginko. Sekarang udah masuk musim gugur. Apa kalian nggak pingin main ke sini saat liburan musim dingin nanti?
[Garindra Handy Pradana]
Lebih asyik main sama bule Amrik https://www.facebook.com/images/emoji.php/v9/t51/1/16/1f603.png?_nc_eui2=AeH27VMMa-jjx4bD2WyP7ek2NibQAcBUwiM1rKd62kh4y5vPbRi2vuAT3G6JEzrEi-6gs5KG2yFbLYWzyCe6GflDH6NgBebyvFiuG-oGc3g5Mg:D
[Tarendra Yama Mananta]
Dasar playboy mesum!
[Rafello Dimitri]
Hahaha kamu aja yang main ke sini. Aku bakal ajak kamu main ke Brooklyn Bridge Park. Sekalian ajak @Herjuno Oetomo
[Herjuno Oetomo]
Aku nggak bisa ke mana-mana. Kalo bisa liburan, mendingan ke tempat Endra aja. Kayaknya lebih romantis buat main sama pacar hehehe
[Tarendra Yama Mananta]
Busyet, napa temanku omes semua?
[Garindra Handy Pradana]
Menikmati masa muda, Bro. Kamu aja cowok aneh yang masih gagal move on.
[Herjuno Oetomo]
Cinta Endra udah mentok, Rin. Kagak bisa ke mana-mana.
[Garindra Handy Pradana]
Yaelah, Ndra. Valerie udah pergi. Sampai kapan kamu inget dia terus?
[Tarendra Yama Mananta]
Entahlah
Endra menyudahi obrolan. Membahas Valerie selalu membangkitkan sentimentil. Ia menggeser jarinya ke menu galeri. Wajah cantik Valerie yang tersenyum langsung terpampang indah.
"Kamu ada di mana sekarang?" Endra bergumam seraya mengusap potret gadisnya.

Tbc

Pati, 18 Oktober 2019

Biodata:

Penulis kelahiran Malang dan bercita-cita dapat menerbitkan novel solo suatu hari nanti. Saat ini sedang disibukkan dengan proyek antologi ke-12 bersama Kemdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.