Persembahan untuk Dokter Idaman
Perantara
Kesembuhan
Judul : A
Tribute to Doctors: Antologi Kisah Nyata dan Inspiratif
Penulis : Rohani Panjaitan,
NaQi Nita, Vindy Ruslianti dkk.
Penerbit : Diandra Kreatif 2019, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2019
Tebal : xiii + 211 halaman
ISBN : 978-602-336-987-4
Peresensi : Lenni Ika Wahyudiasti
Senjata
utama seorang dokter bukanlah stetoskop, obat, atau pisau bedah, melainkan
hatinya … (hal. iii)
Berita kematian seorang dokter di tangan
masyarakat---yang belasan tahun didampingi dan amat dicintainya---dalam
kerusuhan yang meletus di Wamena baru-baru ini menggoreskan duka yang amat
dalam bagi dunia medis di
tanah air. Sebuah fakta yang benar-benar menorehkan luka, mengingat dokter yang dikenal berdedikasi tinggi tersebut berpulang
lantaran keberingasan orang-orang yang justru selama ini amat ia sayang. Akhir
pengabdian yang ironis dan tragis, namun semoga tak melemahkan semangat juang dan
pengabdian para tenaga medis. Ibu pertiwi boleh menangis, tetapi semangat
untuk mempersembahkan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat tak boleh
habis.
Kisah pengabdian para dokter di manapun mereka
bertugas memang takkan pernah habis dikupas di atas berlembar-lembar kertas. Begitu
pula narasi tentang bagaimana ketulusan pengabdian orang-orang yang memilih profesi berkelas ini membuat para pasien mereka ‘jatuh hati’.
Lewat interaksi positif antara dokter dan pasiennya, para pasien dan
keluarganya percaya bahwa kendati tak selalu mampu memberikan kesembuhan,
ada kalanya seorang dokter adalah sosok yang dipilih Tuhan untuk menjawab doa
dan asa hamba-hamba-Nya. Demikian pesan moral yang
saya temukan dalam buku bertajuk A Tribute to Doctors karya Rohani Panjaitan dkk yang baru saja selesai saya baca.
Belasan kisah sarat hikmah yang dituturkan oleh
narasumber yang pernah menjalani interaksi dengan dokter yang membersamai
mereka saat berikhtiar menggapai kesembuhan terekam manis dalam buku yang
sengaja ditulis sebagai persembahan untuk memperingati Hari Dokter Nasional
pada tanggal 24 Oktober ini. Selain bertutur tentang lika-liku perjuangan para
penulis dalam mengupayakan kesembuhan dan
melawan keputusasaan, buku ini juga berkisah tentang kehadiran dan peran
penting seorang dokter di mata para pasiennya.
Harus diakui, panjangnya durasi proses kesembuhan yang wajib dijalani memang kerap
menimbulkan
kejenuhan
dan
berujung
keputusasaan.
Tak
heran
bila aura putus asa
pun sempat menguar dalam rangkaian verba di sejumlah alinea. “… Terkadang aku ingin marah meledak-ledak.
Di lain waktu perasaan sedih begitu merajai diri. Bahkan rasa putus asa pun
sempat menggerogoti hati. Aku pernah berharap kalau operasi yang kujalani gagal
sehingga diri ini tak perlu lagi hidup di muka bumi,” (Sisi Humanis Seorang Dokter, hal. 15). Atau, seperti yang dirasakan Wienza
Wina—salah seorang kontributor---saat mendapati kondisi terburuk sang ibunda, “Mama dinyatakan koma, tak
bergerak, tak bersuara, tergolek lemah dengan selang infus di tangan kirinya.
Seolah tiap cairan infus yang menetes menjadi detak yang menghitung mundur sisa
waktu hidupnya,” (Perantara Tuhan, hal. 40).
Oleh karena itu, keberadaan seorang dokter tak
sekadar dinanti untuk memberikan resep obat dan aneka terapi. Bagi pasien, kehadiran para dokter yang penuh empati dan tulus melayani bagai oase
bening di tengah perjuangan mereka melangitkan doa kesembuhan diri. Ada kalanya ketulusan
perhatian justru lebih diharapkan dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan.
Seperti yang ditulis oleh Reny Nopriyanti yang begitu terkesima oleh perhatian sederhana
dokter yang merawatnya, “Saat bertemu
pasien, beliau bukannya menanyakan keluhan, tapi justru bertanya, “Mau cerita
apa?” Seketika segala keluhan hilang, bagai terhipnotis senyum khasnya”,
(Dokter Pujaan Hati, hal. 71-72). Di sisi lain, tekad sang dokter untuk memberikan ikhtiar maksimal tanpa menepikan kekuasaan Tuhan menjadi penyemangat
hebat yang boleh jadi melebihi khasiat beraneka obat. “Pak, maaf, kondisi anak Bapak sangat
kritis. Ia tak kuat bernapas sendiri … Tapi … saya ingin Bapak tetap optimis dan tolong
bantu saya dengan doa. Saya tidak bisa
menjanjikan dia akan
selamat dan sehat.
Tapi saya janji akan mengusahakan
yang terbaik. Kita sama-sama
berjuang, ya,” (Peneduh Jiwa, hal. 54)
Patut diacungi jempol, gagasan dan niat baik Rohani
Panjaitan dkk. untuk memprakarsai terbitnya buku
berlabel antologi kisah nyata dan inspiratif ini. Sebab, selain bertujuan untuk
memberi apresiasi bagi para dokter di sejumlah daerah yang telah
mengabdikan diri dengan sepenuh hati di tengah pergeseran nilai terhadap
profesi yang kerap dipandang eksklusif
dan berorientasi materi tersebut, penerbitan buku ini juga diakui para penulisnya sebagai proyek sosial bernuansa nirlaba lantaran
keuntungan penjualannya akan digunakan untuk menghadirkan pojok anak bagi
keluarga pasien dengan perawatan kelas tiga di sejumlah fasilitas kesehatan.
Sebuah catatan mengemuka untuk buku bersampul putih dengan ilustrasi stetoskop
dan gambar dua hati ini. Layaknya sebuah buku yang bertutur tentang kisah nyata yang berhubungan
dengan dunia kedokteran, berbagai istilah medis pun bertebaran di sejumlah
halaman. “Suasana tegang menyelimuti area
resusitasi bayi. … Pipa lentur
kecil—bernama pipa endotrakeal—akhirnya
dimasukkan untuk mencapai paru-paru bayi, agar tindakan memompa oksigen—yang
disebut ventilasi—efektif, (Peneduh Jiwa, hal. 53). Atau di lain kisah, “Dokter yang juga dosen di Universitas
Pajajaran ini memaparkan kalau cairan empedu senantiasa dihasilkan oleh hati
untuk membantu proses pencernaan. Artinya, fungsi ekskretorik melalui ekskresi
bilirubin dan emulsifikasi lemak
tetap berjalan, (20 Years, hal. 93). Untuk itu, tak ada
salahnya bila pada cetakan
berikutnya ditambahkan penjelasan tentang beragam istilah medis tersebut agar pembaca
lebih mudah memahaminya tanpa perlu mencari-cari lagi dalam berbagai referensi.
Penjelasan dimaksud dapat dicantumkan dalam catatan kaki
atau diletakkan pada halaman tersendiri.
Over
all, kendati masih ditemui
penulisan ejaan yang belum pas di beberapa halaman, buku ini cukup menarik dan
terlalu berharga untuk dilewatkan. Tak hanya merekam kesan positif dan sejumlah
harapan tentang sosok dokter yang didambakan, beraneka kisah yang tersaji juga menjadi bukti bahwa masih banyak dokter baik
hati di negeri ini yang tak hanya profesional, namun juga berjiwa
sosial dan mengedepankan prinsip humanisme yang amat kental. Usai membacanya, bisa jadi kita akan sampai pada
pemahaman yang sama bahwa ‘bekerja dengan hati dan penuh empati’
menjadi kunci keberhasilan seseorang di profesi manapun ia mengabdi. Terlebih
untuk profesi dokter yang menjadi
tumpuan harapan dan senantiasa digadang-gadang sebagai perantara kesembuhan dari Tuhan. “Karena
memang sejatinya, kedekatan dan empati secara pribadi dari seorang dokter
kepada pasiennya, merupakan obat yang sangat manjur dibanding produk-produk
farmasi dengan segala rumus-rumus kimiawinya,” (Sisi Humanis Seorang Dokter,
hal.21).
---oo000oo---
Biodata Peresensi
Lenni Ika Wahyudiasti, seorang
ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah
tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi
yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di
antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua
tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif
dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan
2017. Selain itu, ia juga menjadi kontributor utama di sejumlah proyek literasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah
Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah
berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan
energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis
novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram:
lenni.ika, twitter:
@lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.