Rabu, 30 Oktober 2019

Resensi Buku A Tribute to Doctors - Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org








Persembahan untuk Dokter Idaman Perantara Kesembuhan


Judul                           :  A Tribute to Doctors: Antologi Kisah Nyata dan Inspiratif
Penulis                        :  Rohani Panjaitan, NaQi Nita, Vindy Ruslianti dkk.
Penerbit                       :  Diandra Kreatif 2019, Yogyakarta
Cetakan                       :  Pertama, Juli 2019
Tebal                           :  xiii + 211 halaman
ISBN                           :  978-602-336-987-4
Peresensi                     :  Lenni Ika Wahyudiasti


Senjata utama seorang dokter bukanlah stetoskop, obat, atau pisau bedah, melainkan hatinya … (hal. iii)

Berita kematian seorang dokter di tangan masyarakat---yang belasan tahun didampingi dan amat dicintainya---dalam kerusuhan yang meletus di Wamena baru-baru ini menggoreskan duka yang amat dalam bagi dunia medis di tanah air. Sebuah fakta yang benar-benar menorehkan luka, mengingat dokter yang dikenal berdedikasi tinggi  tersebut berpulang lantaran keberingasan orang-orang yang justru selama ini amat ia sayang. Akhir pengabdian yang ironis dan tragis, namun semoga tak melemahkan semangat juang dan pengabdian para tenaga medis. Ibu pertiwi boleh menangis, tetapi semangat untuk mempersembahkan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat tak boleh habis.

Kisah pengabdian para dokter di manapun mereka bertugas memang takkan pernah habis dikupas di atas berlembar-lembar kertas. Begitu pula narasi tentang bagaimana ketulusan pengabdian orang-orang yang memilih profesi berkelas ini membuat para pasien mereka ‘jatuh hati’. Lewat interaksi positif antara dokter dan pasiennya, para pasien dan keluarganya percaya bahwa kendati tak selalu mampu memberikan kesembuhan, ada kalanya seorang dokter adalah sosok yang dipilih Tuhan untuk menjawab doa dan asa hamba-hamba-Nya. Demikian pesan moral  yang  saya  temukan dalam buku bertajuk A Tribute to Doctors karya Rohani Panjaitan dkk yang baru saja selesai saya baca.

Belasan kisah sarat hikmah yang dituturkan oleh narasumber yang pernah menjalani interaksi dengan dokter yang membersamai mereka saat berikhtiar menggapai kesembuhan terekam manis dalam buku yang sengaja ditulis sebagai persembahan untuk memperingati Hari Dokter Nasional pada tanggal 24 Oktober ini. Selain bertutur tentang lika-liku perjuangan para penulis dalam mengupayakan kesembuhan dan melawan keputusasaan, buku ini juga berkisah tentang kehadiran dan peran penting seorang dokter di mata para pasiennya.

Harus diakui, panjangnya durasi proses kesembuhan yang wajib dijalani  memang  kerap  menimbulkan  kejenuhan  dan  berujung  keputusasaan.  Tak  heran  bila  aura  putus  asa pun sempat menguar dalam rangkaian verba di sejumlah alinea. “… Terkadang aku ingin marah meledak-ledak. Di lain waktu perasaan sedih begitu merajai diri. Bahkan rasa putus asa pun sempat menggerogoti hati. Aku pernah berharap kalau operasi yang kujalani gagal sehingga diri ini tak perlu lagi hidup di muka bumi,”  (Sisi Humanis Seorang Dokter, hal. 15).  Atau, seperti yang dirasakan Wienza Wina—salah seorang kontributor---saat mendapati kondisi terburuk sang ibunda, “Mama dinyatakan koma, tak bergerak, tak bersuara, tergolek lemah dengan selang infus di tangan kirinya. Seolah tiap cairan infus yang menetes menjadi detak yang menghitung mundur sisa waktu hidupnya,” (Perantara Tuhan, hal. 40).



Oleh karena itu, keberadaan seorang dokter tak sekadar dinanti untuk memberikan resep obat dan aneka terapi. Bagi pasien, kehadiran para dokter yang  penuh empati dan tulus melayani bagai oase bening di tengah perjuangan mereka melangitkan doa kesembuhan diri. Ada kalanya ketulusan perhatian justru lebih diharapkan dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Seperti yang ditulis oleh Reny Nopriyanti yang begitu terkesima oleh perhatian sederhana dokter yang merawatnya, “Saat bertemu pasien, beliau bukannya menanyakan keluhan, tapi justru bertanya, “Mau cerita apa?” Seketika segala keluhan hilang, bagai terhipnotis senyum khasnya”, (Dokter Pujaan Hati, hal. 71-72).   Di sisi lain, tekad sang dokter untuk memberikan ikhtiar maksimal tanpa menepikan kekuasaan Tuhan menjadi penyemangat hebat yang boleh jadi melebihi khasiat beraneka obat. “Pak, maaf, kondisi anak Bapak sangat kritis. Ia tak kuat bernapas sendiri … Tapi …  saya ingin Bapak tetap optimis dan tolong bantu saya dengan doa.  Saya  tidak  bisa  menjanjikan  dia  akan  selamat  dan  sehat.  Tapi  saya janji  akan  mengusahakan  yang  terbaik.  Kita  sama-sama berjuang,  ya,” (Peneduh  Jiwa, hal. 54)

Patut diacungi jempol, gagasan dan niat baik Rohani Panjaitan dkk. untuk memprakarsai terbitnya buku berlabel antologi kisah nyata dan inspiratif ini. Sebab, selain bertujuan untuk memberi apresiasi bagi para dokter di sejumlah daerah yang telah mengabdikan diri dengan sepenuh hati di tengah pergeseran nilai terhadap profesi yang kerap dipandang eksklusif dan berorientasi materi tersebut, penerbitan buku ini juga diakui para penulisnya sebagai  proyek sosial bernuansa nirlaba lantaran keuntungan penjualannya akan digunakan untuk menghadirkan pojok anak bagi keluarga pasien dengan perawatan kelas tiga di sejumlah fasilitas kesehatan.

Sebuah catatan mengemuka untuk buku bersampul putih dengan ilustrasi stetoskop dan gambar dua hati ini. Layaknya sebuah buku yang bertutur tentang kisah nyata yang berhubungan dengan dunia kedokteran, berbagai istilah medis pun bertebaran di sejumlah halaman. “Suasana tegang menyelimuti area resusitasi bayi. … Pipa lentur kecil—bernama pipa endotrakeal—akhirnya dimasukkan untuk mencapai paru-paru bayi, agar tindakan memompa oksigen—yang disebut ventilasi—efektif, (Peneduh Jiwa, hal. 53). Atau di lain kisah, “Dokter yang juga dosen di Universitas Pajajaran ini memaparkan kalau cairan empedu senantiasa dihasilkan oleh hati untuk membantu proses pencernaan. Artinya, fungsi ekskretorik melalui ekskresi bilirubin dan emulsifikasi lemak tetap berjalan, (20 Years, hal. 93). Untuk itu, tak ada salahnya bila pada cetakan berikutnya ditambahkan penjelasan tentang beragam istilah medis tersebut agar pembaca lebih mudah memahaminya tanpa perlu mencari-cari lagi dalam berbagai referensi. Penjelasan dimaksud dapat dicantumkan dalam catatan kaki atau diletakkan pada halaman tersendiri.
  
Over all, kendati masih ditemui penulisan ejaan yang belum pas di beberapa halaman, buku ini cukup menarik dan terlalu berharga untuk dilewatkan. Tak hanya merekam kesan positif dan sejumlah harapan tentang sosok dokter yang didambakan, beraneka kisah yang tersaji  juga menjadi bukti bahwa masih banyak dokter baik hati di negeri ini yang tak hanya profesional, namun juga berjiwa sosial dan mengedepankan prinsip humanisme yang amat kental. Usai membacanya, bisa jadi kita akan sampai pada pemahaman yang sama bahwa ‘bekerja dengan hati dan penuh empati’ menjadi kunci keberhasilan seseorang di profesi manapun ia mengabdi. Terlebih untuk profesi  dokter yang menjadi tumpuan harapan dan senantiasa digadang-gadang sebagai perantara kesembuhan dari Tuhan. “Karena memang sejatinya, kedekatan dan empati secara pribadi dari seorang dokter kepada pasiennya, merupakan obat yang sangat manjur dibanding produk-produk farmasi dengan segala rumus-rumus kimiawinya,” (Sisi Humanis Seorang Dokter, hal.21).


---oo000oo---









Biodata Peresensi

Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan 2017. Selain itu, ia juga menjadi kontributor utama di sejumlah proyek literasi  di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, twitter: @lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.

Minggu, 27 Oktober 2019

#Sabtu_Tema - Pengobat Luka - Aksara Hitam - Sastra Indonesia Org









Pengobat Luka
Oleh: Aksara Hitam

Angin bertiup sendu
Burung terbang balik ke pangkal
Air mengalir ke arah hulu
Ketika kutiup namamu syahdu

Kutulis aksara kuselipkan di boneka
Pertanda hati yang luka


Kubakar semua amarah
Tusuk, kutusuk atmamu dalam

Datanglah wahai jiwa tua
Bantu aku sembuhkan luka
Tusuk, tusuk daksanya
Buat dia rasakan duka

Tusuk, kutusuk atmamu dalam
Biar lekas terobat lara yang kelam
Jadikan dian di daksamu padam
Agar terbebaskan rasa dendam

Pojok Luka, 26 Oktober 2019



Biodata:

Hanya gadis pencinta sastra yang tak berharap dibalas cintannya, Aksara Hitam.

Sabtu, 26 Oktober 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 16 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org








Karena Kamu Pangeranku Part 16
Oleh: Titin Akhiroh


Udara dingin di akhir musim gugur sudah mulai menusuk. Valerie merapatkan mantelnya dan kembali melangkah menuju Saint James Park London yang menjadi tempat favoritnya selama lima tahun terakhir. Ia mengedarkan matanya melihat sekeliling yang ternyata cukup ramai pengunjung, dari yang hanya duduk mengobrol, membaca buku, atau bermain bersama anak-anak mereka. Pandangannya tertuju pada bangku kosong di bagian dalam taman, ia segera melangkah mendekati bangku dan mengempaskan diri di sana.
Hari ini, Valerie tak ada jadwal mengajar sehingga punya banyak waktu untuk bersantai seperti saat ini. Makan fish and chips yang dibelinya dalam perjalanan menuju taman dan duduk di tempat favorit, seakan menjadi terapi terbaik dalam kesendirian.
Setelah lulus S1 di UGM, Valerie pergi ke London untuk menempuh program pascasarjana di University College London yang merupakan universitas terbaik kedua di Inggris, dan terbaik keempat di dunia. Ia bisa berada di sini karena beasiswa yang didapat.
Sejak awal masuk kuliah, ia selalu meraih IPK terbaik dan lulus dengan meraih gelar Summa Cum Laude. Itulah yang memuluskan jalannya mendapat beasiswa untuk program pasca sarjana di UCL. Selepas menyelesaikan program pasca sarjana, ia bekerja sebagai dosen untuk mata pelajaran Matematika Fisik di UCL. Sungguh berkah luar biasa dari Tuhan untuknya bisa meraih mimpi menjadi seorang dosen.
Valerie menengadahkan kepala, melihat langit yang tampak cerah. Ibunya mungkin bisa melihatnya dari atas sana. Rasa bangga terselip dalam diri Valerie bisa sukses seperti harapan ibu. Tulus dari dalam hati, ia berharap sang ibu akan tersenyum bahagia di sana.
Kedua matanya terpejam. Sontak sosok itu muncul. Sosok yang seharusnya dilupakan, tapi justru semakin ia ingat. Sosok yang selalu ia rindukan.
Dering ponsel menarik Valerie dari memori kenangan bersama cinta pertama. Ia meraih benda pipih itu dari dalam saku mantel. Senyum merekah membaca nama yang tertera dalam layar ponsel. Seseorang yang cukup berarti baginya selama beberapa tahun terakhir.
Hello, Sweetie,” Sapa pria di seberang. Sejujurnya Valerie risih mendengar panggilan ‘sweetie' dari pria itu. Ia sudah sering memprotes, tapi lelaki itu tak peduli dan tetap memanggilnya dengan sebutan yang terdengar sangat menggelikan.
Hello, Ed. What's the matter?
“I have a great news. Can you come to college?”
“Oh, Man. I am off today,” jawab Valerie mendesah lemas.
“Oh c'mon, Sweetie. Can you come, please?” Valerie memutar bola matanya sedikit kesal dengan kelakuan pria ini yang selalu memaksa.
“Okay, I'll be right there.”
“You're the best. See ya.”
“See you too.”
Valerie memasukkan kembali ponselnya dalam mantel dan berjalan menuju tempat sampah untuk membuang bungkus fish and chips. Setelahnya, ia berjalan ke luar taman menuju London Underground Station, sebelum membawanya ke UCL.
Setibanya di kampus, langkah Valerie langsung bergerak menuju kantor. Tampak Eduard, pria yang meneleponnya tadi, sedang berbicara dengan Mr. Atkinson yang merupakan profesor Matematika hebat di UCL.
“Oh, youve come Miss Wijaya. I want to talk you about mathematic conference. Would you come to replace me?” tanya Mr. Atkinson yang meminta Valerie untuk menggantikannya di Kongres Matematika.
Kongres Matematika biasanya memang rutin diadakan setiap setahun sekali. Banyak negara yang berperan serta dalam ajang tahunan prestisius di bidang Matematika. Peserta kongres terdiri dari para ahli dan profesor Matematika. Cukup heran bagi Valerie karena dirinya yang hanya seorang dosen bisa dipercaya menghadiri event sepenting itu.
“Where is that?” tanya Valerie penasaran ke negara mana ia akan pergi.
“Your country, Indonesia.” Dada Valerie langsung berdebar gugup. Ia akan kembali ke Indonesia.
Valerie bersuara pelan. “I mean, what's the name of the city?”
“Jakarta.”
Jakarta ... Endra. Valerie langsung mengingat kembali Endra. Endra yang selama sembilan tahun ini hanya ada dalam pikirannya. Endra yang selalu hadir dalam mimpinya. Masih sulit dipercaya bahwa ia akan kembali pergi ke Jakarta.
Jujur, Valerie belum siap jika nantinya akan bertemu dengan Endra. Namun, ia juga tak bisa bohong bahwa ia sangat merindukan lelaki itu. Setiap malam yang sepi, ia selalu bertanya-tanya. Apakah Endra juga merindukannya? Apa Endra sudah melupakannya? Apakah Endra sudah punya kekasih? Apakah Endra sudah menikah? Pertanyaan itu selalu muncul di benaknya setiap saat.
Mr. Atkinson mengibaskan tangannya di depan wajah Valerie. “Miss Wijaya!” panggil Mr Atkinson, menyadarkan Valerie yang melamunkan Endra.
Valerie masih bergeming, belum juga menyanggupi permintaan atasannya itu. Ini kesempatan emas untuknya yang tak akan datang dua kali. Namun, ia takut jika nanti akan kembali bertemu Endra.
“Don't worry about anything. You won't go alone. Because Mr. Mckenna will attend too.” Valerie melirik pada Eduard yang tersenyum sambil mengangguk.
“Yes, Sir. I'll attend to there for replacing you,” sahut Valerie.
“Thank you, Miss Wijaya.”
“You're welcome, Mr. Atkinson.”
Mr. Atkinson tersenyum puas, lalu pergi meninggalkan Valerie dan Eduard. Valerie diam dengan rasa gugup yang belum juga hilang. Menyadari kegugupannya, Eduard menepuk pundak Valerie.
“We will go to Jakarta. I hope, you'll meet your first love, Endra,” ucap Eduard sambil tersenyum sebelum pergi keluar kantor.

♥♥♥

Terdengar pintu diketuk dan kemudian terbuka, menampakkan pria muda dengan setelan kemeja kerja yang rapi. Senyum tersungging di bibirnya melihat seseorang sedang berkutat di belakang meja kerja. Tanpa menunggu diperintah, pria itu duduk berhadapan dengan seseorang yang masih sibuk dengan kertas di depannya.
“Ada apa?” tanya seorang yang terlihat hebat dengan balutan snelli.
“Apa harus ada alasan jika seorang adik ingin menemui kakaknya?” Pria itu balik bertanya. Ya, pria itu adalah Paundra.
“Tidak biasanya kamu berkunjung di awal minggu,” Endra masih sibuk dengan beberapa rekam medis pasiennya tanpa mengindahkan sang adik.
“Mama sakit.”
Gerakan tangan Endra mengisi rekam medis terhenti untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, ia melanjutkan kembali pekerjaannya.
“Kak Endra, sampai kapan Kakak akan menghindari Mama? Pulanglah, Kak!”
Sudah sembilan tahun, Endra memang tidak pernah menampakkan wajahnya lagi di depan Diandra. Endra benar-benar memulai hidup baru tanpa mau bersinggungan dengan masa lalu. Pelampiasan sakit dan patah hati menjadikannya pribadi gila kerja. Ia serius meraih impian dengan masuk menjadi bagian dari Tokyo University, Harvard-nya Jepang. Universitas nomor wahid di Asia yang diakui sebagai pencetak alumnus hebat seperti Putri Masako, peraih nobel Leo Esaki, Stanford Ouzora sang penemu OGc and GGB, dan penemu tiang listrik, Wilson Tan.
Selama lima tahun, ia memperdalam ilmu kedokteran spesialis jantung. Setelah mendapat gelar MD, Endra bertolak ke Jerman untuk mengambil program kekhususan kardiologi selama dua tahun di Ruprecht Karls Universitat Hiedelberg, hingga lulus dengan tambahan gelar FESC di belakang namanya. Pengalaman praktik klinik dan gelar yang meyakinkan, membuatnya kini bekerja di rumah sakit Internasional Jakarta yang berpusat di Manhattan, New York.


Dua tahun terakhir sejak kepulangannya ke Jakarta, Endra memang lebih fokus bekerja sebagai dokter. Meski tak dipungkiri bahwa ia adalah pewaris tunggal Mananta Group. Tanggung jawab besar ada pada pundaknya, tapi panggilan sosial yang lebih ia dengar. Ia memilih memercayakan perusahaan pada orang yang ahli di bidang itu, yakni pamannya adik kembar sang papa. Mungkin anaknya kelak yang akan bisa memimpin Mananta Group, warisan Ken Yama Mananta.
Bicara tentang anak, Endra selalu tersenyum getir. Ia tidak yakin bisa mencapai harapan itu. Sembilan tahun yang lalu, ia telah merancangnya rapi. Namun sekarang, ia sudah tidak berani lagi merajut mimpi. Ia hanya akan berjalan sesuai alur tanpa repot memikirkan alur yang lain. Ia tidak lagi berharap memiliki keluarga bahagia sebagai tempat melimpahkan kasih sayang. Karena rumahnya berpulang telah pergi.
“Aku sudah nelepon mama sebulan yang lalu,” jawab Endra santai. Meski tak pernah pulang, tapi sesekali ia memberi kabar lewat telepon. Itu pun juga karena desakan dari Paundra yang berinisiatif meneleponnya.
Paundra membuang napas lelahnya. “Yang dibutuhkan mama bukan suaramu, tapi kehadiranmu, Kak.”
“Aku hanya mengabulkan keinginannya, untuk tak menampakkan wajah kutukanku padanya.”
“Mama sudah berubah. Dia tak lagi bersikap keras kepala dan egois seperti dulu. Dan yang terpenting, dia merindukanmu,” ucap Paundra sambil menatap tajam Endra yang kini bersandar di kursinya.
“Tidak ada alasan untukku pulang.”
“Ada alasan, bagaimanapun kamu adalah putra kandungnya. Dia membutuhkanmu, Kak.”
Sekuat apa pun bujukan Paundra tampaknya belum dapat mengubah pendirian Endra. Terbukti dokter tampan yang menjadi idola para staf rumah sakit menggelengkan kepala. “Dia hanya butuh kamu, An.”
“Hah ... ternyata Kak Endra sama egoisnya dengan Mama.”
Endra menatap tajam Paundra yang menundukkan wajahnya. Paundra tampak terluka.
“Kenapa tidak ada seorang pun yang memikirkan perasaanku? Aku juga bagian dari keluarga, tapi selama sembilan tahun ini tak ada yang menaruh perhatian padaku. Setiap hari, aku harus melihat papa yang meratap memandang lukisan karena memikirkan putrinya. Setiap hari, aku harus melihat mama melamun merindukan putra sulungnya. Setiap saat, aku melihat Kakak yang teringat cinta pertamanya. Apa tak pernah sekali pun kalian bertanya perasaanku? Meski aku belum pernah bertemu Kak Valerie, tapi aku juga sedih karena kehilangan kakak perempuanku. Kalian selalu memposisikan diri sebagai korban. Padahal aku juga korban dari hubungan rumit kalian. Kita semua korban.”
Paundra mengembuskan napas beratnya. “Sebenarnya aku juga marah dengan sikap mama. Tapi, dia tetaplah mama kita, Kak. Untuk kali ini saja, pulanglah! Jika tidak ada alasan untukmu pulang, maka lakukan itu demi aku. Aku mohon, Kak,” pinta Paundra dengan nada memohon.
Endra terdiam menatap adik yang disayanginya. Meski hanya sebagian darah yang mengikat mereka. Namun, tak bisa dipungkiri Endra begitu menyayangi Paundra. Oleh karena itu, selama sembilan tahun terakhir, hanya Paundra yang ingin ia lihat sebagai keluarga.
Cukup lama keduanya terdiam, hingga menciptakan keheningan yang memuakkan. Tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam suasana canggung, Endra pun bersuara.
“Aku akan menemui mama.”

♥♥♥

Endra menatap nanar bangunan di depannya. Bangunan yang menjadi tempat ia lahir sekaligus tempat singgah sebelum printilan-printilan emosi terjadi hingga membuatnya terluka. Di tempat ini juga awal berakhirnya jalinan cinta antara dirinya dan Valerie.
Lelaki tampan itu turun dari mobil, kemudian melangkah masuk ke rumah. Suasana hening langsung menyambutnya. Tak ada kesan hangat yang terpancar. Rumah yang seharusnya nyaman dan menenangkan, hanya terisi hawa dingin menyesakkan. Bisa dikatakan rumah ini hanyalah bangunan mewah tanpa ada nyawa di dalamnya. Seketika Endra merinding teringat akan ucapan Paundra kemarin. Apa benar rumah ini telah kehilangan kebahagiaan?
Langkah Endra semakin masuk ke bagian dalam rumah. Dulu, ruangan ini penuh canda dan gurau suaranya bersama Paundra. Sekarang, hanya ada perabotan mahal yang dingin tak tersentuh. Endra menaiki tangga dan mengarahkan langkahnya pada sebuah kamar. Pintu besar berbahan kayu jati berdiri angkuh di depannya. Ia mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak ada sahutan dari dalam. Perlahan ia memutar handle pintu dan membukanya.
Diandra tidur menyamping membelakanginya, sehingga tidak sadar akan kehadirannya. Ada sedikit cubitan di hati Endra melihat punggung Diandra yang tampak rapuh dengan tulang bertonjolan.
“Mama ....”
Cukup satu kata dari Endra, tapi dapat menyentak tubuh Diandra. Dengan cepat, ia berbalik menatap sosok yang paling dirindukannya selama sembilan tahun terakhir. Matanya mulai mendanau dengan air mata kerinduan dan penyesalan terbesar.
“Endra ....”
Tangis Diandra pun pecah melihat kehadiran Endra di dekatnya. Ia bangkit, memeluk erat putranya. Sementara itu, Endra hanya mematung tak membalas pelukan Diandra.
“Maafkan Mama. Maaf, Nak. Maaf.”
Diandra terus mengucapkan maaf seperti sedang merapalkan sebuah mantra. Didekapnya erat tubuh Endra. Dihirupnya aroma sang putra sulung.
Endra melepaskan diri, lalu membantu Diandra duduk di ranjang. “Paundra bilang Mama sakit. Jadi, sebaiknya Mama istirahat,” lirihnya. Ia hendak melangkah pergi, tapi Diandra menahan tangannya.
“Jangan pergi lagi, Nak! Jangan tinggalkan Mama! Mama minta maaf.” Diandra menangis seraya menahan tangan Endra. “Mama tahu, kata maaf tak akan bisa menghapus sakit hatimu pada Mama. Kata maaf tak akan bisa mengembalikan Valerie. Kata maaf tak akan bisa menyembuhkan lukamu karena Mama. Tapi, Mama mohon, Nak. Ampunilah Mamamu yang egois ini. Tuhan sudah menghukumku, Nak.”
Tuhan memang sudah menghukum Diandra. Sejak kepergian Valerie, satu per satu orang yang ia cintai mulai menjauh. Endra yang pergi tanpa berniat menampakkan wajah lagi. Budi yang tidak lagi peduli karena frustrasi memikirkan nasib sang putri. Paundra yang emosi dengan selalu menyalahkan keegosiannya. Dulu, ia telah merebut seorang suami dan ayah dari seorang putri. Sekarang, ia telah kehilangan suami, dua putra, dan satu putri dalam waktu bersamaan. Terlebih ia juga kehilangan semua kebahagiaannya.
“Tapi, bagaimana dengan wajah kutukan ini?” Endra menyahut dingin.
Jantung Diandra seakan ditikam dengan ucapan dingin Endra. “Tidak ada wajah kutukan. Jika memang kamu adalah kutukan, maka kamu adalah kutukan terindah Mama. Dan Mama terlalu buta untuk tidak melihatnya. Mama mencintaimu, Nak. Sungguh!”
Runtuh sudah tembok pertahanan Endra. Sebenci apapun ia pada Diandra. Sebesar apapun kecewanya, ia tetaplah seorang anak yang rindu akan kasih sayang orang yang telah melahirkannya. Melihat Diandra menangis memohon ampun dan mengungkapkan cinta padanya, membuat Endra tak bisa menahan air mata bahagia. Kata itulah yang ia tunggu sejak lama.
Endra berlutut dan memeluk Diandra yang langsung membalasnya. Mereka berpelukan erat tanpa berniat untuk saling melepas. Ini adalah pertama kali bagi Endra merasakan pelukan tulus Diandra. Pelukan tanpa ada terselip benci di dalamnya. Pelukan kali ini hangat dan nyaman. Pelukan penuh cinta dari seorang mama. Endra tersenyum. Senyum bahagia pertamanya setelah badai besar memorak-porandakan hatinya sembilan tahun silam.

♥♥♥

Tepat jam tiga sore, Valerie tiba di bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan yang ditempuh selama lebih dari empat belas jam membuatnya jet lag. Apalagi dua hari sebelum keberangkatan, ia selalu mengalami insomnia. Alasannya, karena ia teringat Endra.
Setelah mengambil koper dari baggage claim, Valerie bersama Eduard berjalan keluar bandara. Eduard duduk bersandar di bangku tunggu dengan kaki berselonjor. Sementara, Valerie menyalakan ponsel untuk menghubungi travel yang akan menjemputnya menuju Grand Melia Hotel, tempat kongres berlangsung.
Ketika Valerie sibuk dengan ponselnya. Dari arah belakang muncul seorang pria yang berjalan tergesa dengan iPhone yang menempel di telinga. Valerie mengangkat wajahnya mencari seorang dari agen travel perjalanan yang ternyata sudah berada di bandara. Saat berbalik, ia tidak menyadari akan keberadaan seorang pria di belakangnya. Tabrakan tubuh terjadi. Beruntung keseimbangannya bekerja baik, hingga tak membuat dirinya terjungkal malu di depan umum.
“Maaf, Nona. Aku tidak sengaja,” ujar pria itu masih memegang ponsel.
Valerie mengangkat wajah, hingga matanya beradu dengan mata cokelat pria itu. Keduanya diam mematung dengan raut wajah terkejut.
Dia?

Tbc

Pati, 25 Oktober 2019

Biodata:

Penulis kelahiran Malang, tapi saat ini menetap di Pati. Bercita-cita ingin menerbitkan novel solo suatu saat nanti.