Sabtu, 28 September 2019

#Jumat_Cerbung - Muara Cinta Sang Bidadari - Part 11 Panti Asuhan - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





Part 11 Panti Asuhan
Oleh: Isdamaya Seka


Halimah mengerjapkan mata. Berusaha untuk dapat melihat dengan jelas. Sakit kepala berangsur hilang, meski masih terasa berat.
"Halimah, kamu sudah sadar? Alhamdulillah ...."
Sayup-sayup ia mendengar suara sahabatnya.
"Fatia ... ini di Rumah Sakit?" tanyanya ketika kesadaran telah kembali seluruhnya.
"Iya, Mah."
Halimah diperbolehkan keluar dari rumah sakit karena ia berkata tidak ada keluhan apapun dalam dirinya. Gadia itu menolak untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
"Mah, kamu sebenarnya sakit apa? Kenapa sering sekali sakit kepala?" tanya Fatia selagi mereka menunggu bus tiba.
"Cuma sakit kepala biasa, Fat. Mungkin kurang tidur."
"Tapi itu terlalu sering, Mah. Sebaiknya kamu periksa lebih lanjut agar tahu sebab dari sakit kepala yang hampir tiap hari datang."
"Jangan khawatir, Fat. Ini cuma sakit kepala biasa."
Tak seperti biasa, kali ini kedua sahabat itu saling diam. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hingga bus yang mereka tunggu akhirnya datang.

***


"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, baru pulang, Mah?"
"Iya, Ammah." Halimah mencium punggung tangan Bu Piana.
"Wajahmu pucat sekali? Kamu sakit?" tanya Bu Piana panik. Menempelkan Telapak tangannya di kening Halimah.
"Tidak, Ammah. Halimah sehat-sehat. Mungkin kurang tidur saja, jadi agak pucat."
"Ya sudah, sana istirahat."
"Ammah bikin kue untuk anak panti?" tanya Halimah yang mencium aroma kue dari dapur.

"Iya. Kamu di rumah saja, istirahat. Jangan ikut ke panti."
"Halimat sehat, Ammah. Halimah rindu sama anak-anak."
"Ya sudah, tidur dulu. Nanti pukul lima ammah bangunkan."
Halimah menuju kamarnya. Tempat ia melepas lelah. Tempat ternyaman untuk mengadu pada Yang Kuasa.
Ia merebahkan tubuh di kasur. Memijit-mijit pelan kening hingga kepala. Sakit yang biasa menyerang, namun nyaris tak pernah ia hiraukan.
Ia tak pernah ambil pusing dengan sakit kepala yang sering ia rasakan. Baginya itu hanya sakit biasa. Cukup dengan istirahat maka akan pulih kembali. Namun siang tadi, ia merasakan sakit yang teramat sangat.
'Semoga segera pulih. Jangan ada penyakit apapun. Berilah hamba kesembuhan dengan kesembuhan yang baik, Ya Rabb ....' Doa Halimah dalam hati sebelum akhirnya terlelap.


***


Riuh tawa anak-anak panti menyatu dengan kicau burung yang terbang kembali ke sarang. Suasana ceria yang tak pernah ingin ia lewatkan. Memandang wajah-wajah lugu anak-anak tak berdosa. Yang tak dapat memilih takdir hidup tanpa orang tua.
Halimah bersyukur atas segala yang Dia berikan padanya. Orang tua yang begitu menyayangi tanpa celah. Meski kini telah tiada, namun ada dua orang yang mampu memberikan kasih sayang layaknya orang tua. Ustaz Hanafi dan Bu Piana, betapa ia menyayangi mereka.
Tiap akhir pekan Halimah menyempatkan datang ke panti bersama Bu Piana, ataupun Fatia. Menceritakan berbagai kisah para sahabat Rasulullah, juga memberi beberapa makanan untuk mereka. Tawa anak-anak malang itu adalah suplemen bagi hatinya. Agar ia selalu merasa bersyukur atas apa yang Allah berikan.
"Kak, hari ini mau cerita tentang siapa?" tanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun.
"Kakak mau cerita tentang tamu istimewa Rasulullah. Ada yang tahu?" tanya Halimah pada anak-anak.
Anak-anak itu saling berpandangan, kemudian menggeleng.
"Nah, dengarkan, ya ...." Halimah mulai bercerita. "Suatu hari, ketika Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, datanglah seorang lelaki dengan pakaian yang sangat bagus. Kemudian lelaki itu meminta izin untuk menghadap Rasulullah. Kemudian ia bertanya pada Rasulullah tentang Islam. Nah ... siapa yang bisa menjelaskan apa itu Islam?" tanya Halimah pada anak-anak.


Beberapa anak dari mereka berebut untuk menjawab. Halimah memilih satu di antaranya. Seorang gadis kecil berusia lima tahun, dengan jilbab merah muda.
"Islam itu mengucap syahadat, salat, puasa, zakat, dan naik haji, Kak," jawabnya dengan semangat.
"Pintar kamu, Sayang." Halimah membelai lembut kepala anak itu. Kemudian mengeluarkan sebuah buku tulis baru dari dalam tasnya, dan memberikan kepada sang anak.
Ia selalu menyiapkan hadiah-hadiah kecil bagi anak-anak panti. Sebuah hadiah yang tak bernilai bagi sebagian orang. Namun sangat berarti dan dapat menciptakan senyuman di wajah anak-anak yatim tersebut
"Kemudian tamu lelaki itu bertanya lagi pada Rasulullah tentang iman," Halimah melanjutkan ceritanya, "siapa yang tahu apa itu iman?"
Anak-anak kembali mengangkat tangan. Halimah menunjuk seorang di antaranya.
"Iman itu percaya pada Allah, malaikat, kitab, Rasul, kiamat, takdir."
"Yeeiy ... kamu pintar!" puji Halimah seraya memberikan sebuah buku tulis baru.
"Setelah itu, sang tamu bertanya untuk yang terakhir kali pada Rasulullah. Ia bertanya tentang ihsan. Siapa yang tahu apa itu ihsan?"
Tak banyak anak yang mengangkat tangannya. Halimah memilih yang tercepat.
"Ihsan itu ... kita beribadah seolah kita melihat Allah, Kak, meskipun kita tidak melihat-Nya. Sesungguhnya Allah melihat kita," jawabnya.
"Masyaa Allah ... barakallah, Dik."
Anak itu pun menerima hadiah dengan senang hati.
"Setelah bertanya pada Rasulullah tentang Islam, iman, juga ihsan, tamu itu pergi. Lalu Rasulullah bertanya pada para sahabatnya, siapakah tamu laki-laki tadi?" Halimah bertanya pada anak-anak. Mereka saling berbisik, namun tidak ada yang menjawab dengan keras.
"Tidak ada yang tahu?" tanya Halimah. Semua menggeleng.
"Nah, tamu yang datang tadi adalah malaikat Jibril. Yang diutus oleh Allah untuk mengajarkan agama," jelas Halimah.
Tanpa terasa, matahari mulai kembali ke peraduannya. Halimah dan Bu Piana meminta izin pada anak-anak dan pengurus panti untuk pulang. Meninggalkan anak-anak yang selalu menyambutnya dengan suka cita.


***

'Ting!' Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Halimah sebelum ia memejamkan mata. Memeriksa sebentar pesan yang masuk melalui sebuah aplikasi.
[Assalamualaikum ... Halimah, sudah tidur? Aku minta maaf kalau siang tadi membuat suasana jadi kaku. Aku cuma mengkhawatirkanmu.]
Sebuah pesan dari Fatia.
[Wa'alaikumussalam, tidak apa, Fat. Aku tidak marah sama sekali. Maaf juga jadi membuatmu merasa bersalah.]
Balasan dari Halimah terkirim. Bertanda centang dua berwarna biru.
[Makasih, Mah. Syafakillah. Oh ya, belum tidur?]
[Belum. Kamu belum tidur, Fat?]
[Belum. Ini lagi duduk sama Mas Khalid.]
Membaca nama 'Mas Khalid', Halimah langsung teringat tawaran sahabatnya untuk menikah dengan lelaki itu. Ia menghela.
[Oh. Ya sudah, aku tidur duluan, Fat. Assalamualaikum.]
[Wa'alaikumussalam.]
Rasa kantuk yang mendera Halimah mendadak hilang. Ia mengambil mukena dan melakukan salat istikharah. Kembali meminta petunjuk pada Allah.

***

Seorang pemuda tampan beriris cokelat berdiri di balkon. Menatap bintang yang bertaburan menghiasi pekatnya langit malam. Ia menadaburkan penciptaan langit dari surah
 Al Mulk yang baru saja dibaca.
"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala." Lirih Imran melafalkan arti dari surah Al Mulk ayat 5.
"Ternyata, bintang yang indah itu memiliki fungsi lain selain menghiasi langit," gumamnya.
"Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia."
Halimah ... entah kenapa nama itu tiba-tiba melintas di benaknya. Ia sedang mentadaburi ciptaan Allah. Namun malah gadis itu lagi yang ia bayangkan.
'Ah, bukankah Halimah juga ciptaan Allah?' batinnya.
"Kenapa Halimah lagi yang terus muncul, Ya Allah?"
Imran frustasi atas perasaannya sendiri. Ia merasa harus segera yakin dan memantapkan hatinya. Haruskah ia kembali melamar Halimah?


Biodata

Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Memiliki harapan agar kisah yang dituliskan bisa menjadi karya yang inspiratif dan menarik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.