Jumat, 20 September 2019

#Kamis_Cerpen - Cahaya Abang untukku - Sari Esthernawati - Sastra Indonesia Org





Cahaya Abang untukku
Oleh: Sari Esthernawati


Iyeng itu panggilan kesayangan ibu pada abangku semata wayang. Mungkin karena warna kulitnya yang gelap, ditambah hobinya yang gila bola, makin kloplah abangku dijuluki Iyeng. Padahal nama aslinya keren lho. Zaenudin Akbar Putra dan biasa disapa teman-temannya Zaen.
Sebutan Iyeng, kata ibu paslah dengan bentuk rambut abang yang legam semi keriting.
"Untung hidung abang lumayan nongol jadi nggak mirip tampangnya si Kajol," gelakku sambil mencubit ujung hidungnya.
Abangku suka gemes dan pura-pura marah jika kuledek sebagai Kajol.
"Apa ... Kajol? Kamu tu yang Kajol, kan kamu cewek. Masak bintang lapangan keren begini dikatai Kajol, sembarangan. Ini tu calon penerus Messy, Neng, juaranya negeri."
"Aku sih maunya mirip Bang Messy. Dia tokoh idolaku, inspirasiku." Abang menyahut lagi.
Kamipun tergelak bersama.
Di benakku Kajol itu identik dengan hal yang lucu dan konyol. Bukan Kajol Ichesnya India, lho, yaa.
Di sekolah abang selalu jadi wakil untuk maju ajang POPDA dan selalu mendapat hasil yang membanggakan. Pun dikegiatan OSIS menjadi seksi yang membidangi olah raga. Sekarang saja abang lepas kegiatan demi persiapan masuk pendidikan Perguruan Tinggi yang diimpikannya.
"Abang sudah punya pacar belum?" tanyaku saat kami makan bakso bareng di alun-alun kota di suatu malam Minggu.
“Hei, kenapa, Neng. Kalau punya, Abang nggak bakalan pergi sama kamu dong," Diusapnya kepalaku dengan lembut sambil tertawa.
"Mending Abang jagain satu-satunya adik Abang, biar nggak kecolongan," Lagi-lagi Abang tertawa.
Duh, ya Tuhan, semoga kelak aku dipertemukan dengan orang sebaik Abang. Di matanya aku adik kesayangan. Beruntung punya Abang berhati penyayang.
Aku jarang main keluar, kecuali jika sesekali diajak malam mingguan Abang. Staminaku harus ekstra dijaga, semakin hari mataku semakin berkurang daya lihatnya.
Sejak umur dua bulan, aku diketahui menderita kelainan penglihatan yang disebabkan virus toxoplasma saat ibu mengandungku.
Satu-satunya cara untuk sembuh, aku harus mendapatkan donor mata untuk tindakan transplantasi kornea. Jika tak dioperasi, aku akan mengalami kebutaan permanen.


Sampai kini aku duduk di kelas delapan SMP, bisa menjalani masa sekolah dengan mulus. Meski penglihatanku terbatas. Bahkan selalu mendapat peringkat sepuluh besar di kelas.
Kadang-kadang ada sebersit ragu, mungkinkah bisa terus melaju mewujudkan impian itu.
Bisakah terus bersekolah di tempat biasa bersama teman-teman yang normal.
Usiaku dengan Abang terpaut 3 tahun. Abang sangat sayang padaku, tak pernah iri jika ibu memberi perhatian lebih untuk adiknya.
Pagi itu seperti biasa, aku dibonceng Abang ke sekolah.
"Neng, ayo buruan, sudah siang!" Setengah teriak Abang mengajak.
"Iya, Bang. Tunggu sebentar, Eneng ambil botol minum dulu."
Kulihat wajah Abang sangat cerah, memantulkan kebahagiaan yang tak biasa. Ya, kemarin Abang dapat kabar gembira. Sekolah mengabarkan namanya tercantum dan diterima di salah satu PTN di kota Pelajar, untuk Fakultas Non Pendidikan Olah Raga, jurusan kepelatihan, jalur undangan.
"Bu, Eneng sekolah, ya." Kucium punggung tangan Ibu. Abang sudah menunggu di halaman.
Motor melaju nyaman. Entah kenapa perasaanku tetiba sedih. Terbayang jika Abang kuliah di luar kota pasti akan sangat sepi hari-hariku.
Di perempatan jalan dekat sekolah lampu merah menyala. Saat motor berhenti, Abang menasihatiku.
"Neng, pinter-pinter jaga diri ya. Kamu cerdas, jangan putus semangat. Suatu saat Abang akan berusaha keras untuk sembuhin mata kamu. Biar kamu bisa bebas menatap dunia."
Belum sempat kujawab kata-kata Abang, dari belakang ada benda yang menyerempet dari arah samping motor kami.
"Astaghfirullah, Eneeeng!
"Ya Allah. Abaaang!"
Motor roboh dan terseret roda truk beberapa meter. Sayup terdengar jerit pengguna jalan sekitar. Aku masih merasakan gesekan aspal yang merobek dagingku. Selebihnya aku tak ingat apapun.
Ketika tersadar aku sudah berada di ruang berdinding serba putih dan dingin. Hidungku mencium bau obat dan sedikit anyir dari sisa darah yang mengering. Rasa mual kutahan. Pelan-pelan aku mulai ingat kejadian naas yang menimpa kami. Spontan aku teriak memanggil Abang.
"Bang. Abang nggak apa-apa kan, Bu. Abang di mana?"
Aku panik, tangisku pecah.
"Nak, sabar. Tenang, kamu baru saja melewati masa kritis. Dua hari kamu kehilangan kesadaran."
Berikutnya hatiku terasa terbelah, manakala tahu Abang tercinta telah berpulang. Dunia murung seakan tahu dukaku.
Abang mengalami luka dalam. Limpanya hancur. Namun, masih sempat tersadar saat ditolong di rumah sakit. Sekuat dan seprima apapun fisik Abang, pada akhirnya harus menyerah dijemput takdir.
Abang memang tak lagi bisa kutemui, kucandai, dan mengajakku jalan-jalan lagi. Namun, ia tetap ada bersamaku, menjadi cahaya untuk kedua mata.
Sesaat sebelum menutup usia, ia memberiku ungkapan sayang seorang Abang. Sepasang korneanya akan ditranspalasi untukku.
Aku tak boleh membuang sia-sia air mata kesedihan. Sebab, persembahan mata Abang adalah cahaya kebahagiaan.
Selamat jalan, Abang sayang, Abang Iyeng. Eneng akan selalu mendoakan dari sini. Dan tak akan melupakan semua nasihat Abang tentang masa depan.

Tegal, 19 September 2019

Biodata:


Perempuan biasa yang menyukai mozaik kata. Berharap agar dapat merangkainya menjadi cerita yang candu, berhikmah, dan manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.