Cahaya Abang untukku
Oleh: Sari Esthernawati
Oleh: Sari Esthernawati
Iyeng
itu panggilan kesayangan ibu pada abangku semata wayang. Mungkin karena warna
kulitnya yang gelap, ditambah hobinya yang gila bola, makin kloplah abangku
dijuluki Iyeng. Padahal nama aslinya keren lho. Zaenudin Akbar Putra dan biasa
disapa teman-temannya Zaen.
Sebutan
Iyeng, kata ibu paslah dengan bentuk rambut abang yang legam semi keriting.
"Untung
hidung abang lumayan nongol jadi nggak mirip tampangnya si Kajol," gelakku
sambil mencubit ujung hidungnya.
Abangku
suka gemes dan pura-pura marah jika kuledek sebagai Kajol.
"Apa
... Kajol? Kamu tu yang Kajol, kan kamu cewek. Masak bintang lapangan keren
begini dikatai Kajol, sembarangan. Ini tu calon penerus Messy, Neng, juaranya
negeri."
"Aku
sih maunya mirip Bang Messy. Dia tokoh idolaku, inspirasiku." Abang
menyahut lagi.
Kamipun
tergelak bersama.
Di benakku
Kajol itu identik dengan hal yang lucu dan konyol. Bukan Kajol Ichesnya India,
lho, yaa.
Di
sekolah abang selalu jadi wakil untuk maju ajang POPDA dan selalu mendapat
hasil yang membanggakan. Pun dikegiatan OSIS menjadi seksi yang membidangi olah
raga. Sekarang saja abang lepas kegiatan demi persiapan masuk pendidikan
Perguruan Tinggi yang diimpikannya.
"Abang
sudah punya pacar belum?" tanyaku saat kami makan bakso bareng di
alun-alun kota di suatu malam Minggu.
“Hei,
kenapa, Neng. Kalau punya, Abang nggak bakalan pergi sama kamu dong," Diusapnya
kepalaku dengan lembut sambil tertawa.
"Mending
Abang jagain satu-satunya adik Abang, biar nggak kecolongan," Lagi-lagi Abang
tertawa.
Duh,
ya Tuhan, semoga kelak aku dipertemukan dengan orang sebaik Abang. Di matanya aku
adik kesayangan. Beruntung punya Abang berhati penyayang.
Aku
jarang main keluar, kecuali jika sesekali diajak malam mingguan Abang.
Staminaku harus ekstra dijaga, semakin hari mataku semakin berkurang daya
lihatnya.
Sejak
umur dua bulan, aku diketahui menderita kelainan penglihatan yang disebabkan
virus toxoplasma saat ibu
mengandungku.
Satu-satunya
cara untuk sembuh, aku harus mendapatkan donor mata untuk tindakan
transplantasi kornea. Jika tak dioperasi, aku akan mengalami kebutaan permanen.
Sampai
kini aku duduk di kelas delapan SMP, bisa menjalani masa sekolah dengan mulus.
Meski penglihatanku terbatas. Bahkan selalu mendapat peringkat sepuluh besar di
kelas.
Kadang-kadang
ada sebersit ragu, mungkinkah bisa terus melaju mewujudkan impian itu.
Bisakah terus bersekolah di tempat biasa bersama teman-teman yang normal.
Bisakah terus bersekolah di tempat biasa bersama teman-teman yang normal.
Usiaku
dengan Abang terpaut 3 tahun. Abang sangat sayang padaku, tak pernah iri jika
ibu memberi perhatian lebih untuk adiknya.
Pagi
itu seperti biasa, aku dibonceng Abang ke sekolah.
"Neng,
ayo buruan, sudah siang!" Setengah teriak Abang mengajak.
"Iya,
Bang. Tunggu sebentar, Eneng ambil botol minum dulu."
Kulihat
wajah Abang sangat cerah, memantulkan kebahagiaan yang tak biasa. Ya, kemarin Abang
dapat kabar gembira. Sekolah mengabarkan namanya tercantum dan diterima di
salah satu PTN di kota Pelajar, untuk Fakultas Non Pendidikan Olah Raga,
jurusan kepelatihan, jalur undangan.
"Bu,
Eneng sekolah, ya." Kucium punggung tangan Ibu. Abang sudah menunggu di
halaman.
Motor
melaju nyaman. Entah kenapa perasaanku tetiba sedih. Terbayang jika Abang
kuliah di luar kota pasti akan sangat sepi hari-hariku.
Di
perempatan jalan dekat sekolah lampu merah menyala. Saat motor berhenti, Abang menasihatiku.
"Neng,
pinter-pinter jaga diri ya. Kamu cerdas, jangan putus semangat. Suatu saat
Abang akan berusaha keras untuk sembuhin mata kamu. Biar kamu bisa bebas
menatap dunia."
Belum
sempat kujawab kata-kata Abang, dari belakang ada benda yang menyerempet dari
arah samping motor kami.
"Astaghfirullah, Eneeeng!
"Ya
Allah. Abaaang!"
Motor
roboh dan terseret roda truk beberapa meter. Sayup terdengar jerit pengguna
jalan sekitar. Aku masih merasakan gesekan aspal yang merobek dagingku.
Selebihnya aku tak ingat apapun.
Ketika
tersadar aku sudah berada di ruang berdinding serba putih dan dingin. Hidungku
mencium bau obat dan sedikit anyir dari sisa darah yang mengering. Rasa mual
kutahan. Pelan-pelan aku mulai ingat kejadian naas yang menimpa kami. Spontan
aku teriak memanggil Abang.
"Bang.
Abang nggak apa-apa kan, Bu. Abang di mana?"
Aku
panik, tangisku pecah.
"Nak,
sabar. Tenang, kamu baru saja melewati masa kritis. Dua hari kamu kehilangan kesadaran."
Berikutnya
hatiku terasa terbelah, manakala tahu Abang tercinta telah berpulang. Dunia murung seakan tahu dukaku.
Abang
mengalami luka dalam. Limpanya hancur. Namun, masih sempat tersadar saat ditolong
di rumah sakit. Sekuat dan seprima apapun fisik Abang, pada akhirnya harus
menyerah dijemput takdir.
Abang
memang tak lagi bisa kutemui, kucandai, dan mengajakku jalan-jalan lagi. Namun,
ia tetap ada bersamaku, menjadi cahaya untuk kedua mata.
Sesaat
sebelum menutup usia, ia memberiku ungkapan sayang seorang Abang. Sepasang
korneanya akan ditranspalasi untukku.
Aku
tak boleh membuang sia-sia air mata kesedihan. Sebab, persembahan mata Abang
adalah cahaya kebahagiaan.
Selamat
jalan, Abang sayang, Abang Iyeng. Eneng akan selalu mendoakan dari sini. Dan
tak akan melupakan semua nasihat Abang tentang masa depan.
Tegal, 19 September 2019
Biodata:
Perempuan
biasa yang menyukai mozaik kata. Berharap agar dapat merangkainya menjadi
cerita yang candu, berhikmah, dan manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.