Jumat, 06 September 2019

#Kamis_Cerpen - Pertemuan Terakhir - Karya Kamalia Nurrizki - Sastra Indonesia Org





Pertemuan Terakhir
Karya: Kamalia Nurrizki

Langit tampak gelap gulita. Gumpalan awan hitam berarak-arak. Seolah-olah beri tanda bahwa bumi sebentar lagi diguyur hujan. Suara petir menggelegar memekikkan telinga.
Gundukan tanah merah masih basah. Terlihat jelas baru ada pemakamannya. Di samping nisan ada sosok perempuan menangis. Lalu di sebelahnya ada perempuan muda. Sama kondisinya wajah duka terukir.
Peristiwa lampau berputar kembali di netranya.
“Gimana, Nak? Ibu berharap kamu pulang. Hampir tiga tahun kamu belum pernah pulang.”
Perempuan muda itu menghela napas. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya. Seperti khawatir kehabisan.
Syafira, namanya. Ia tinggal di kota metropolitan. Sejak pergi dari kampung halaman, baru sekali ia berkunjung ke rumah ibunya. Itu pun kunjungan pertama sekaligus terakhir ketika peristiwa tersebut.
Waktu itu ia pulang karena permintaan sang ibu. Ternyata ia mau dijodohkan dengan anak kepala desa. Jujur ia marah dan kecewa sekali. Perjodohan itu disebabkan balas budi. Ya, ia baru tahu biaya kuliahnya dibantu oleh Pak Warto, kepala desa.
Berbagai cara ia lakukan untuk menolak perjodohan itu. Salah satu caranya ia memutuskan tidak pulang ke desanya. Walaupun berat, ini lebih baik baginya. Fokus bekerja, mengumpulkan pundi-pundi emas demi bayar hutang serta gagalkan rencana tersebut.
Kini sang ibu memohon agar ia pulang tahun ini. Lebaran di kampung. Apalagi ibu juga menjelaskan perjodohan telah dibatalkan. Sedikit berkurang beban di pundak.
Baik, Bu. Fira usahakan, tapi baru bisa pulang mungkin menjelang lebaran.”
Ya, nggak apa-apa. Yang penting ibu kangen sekali.”
Percakapan lewat seluler berakhir sudah.

***

Ini Ramadhan terakhir, ia pun sudah siap mau pulang. Sengaja ia pilih naik bus, karena lebih dekat arah ke rumah.
Terminal Kampung Rambutan ramai. Terakhir Ramadhan ternyata masih banyak orang berduyun-duyun pulang berkumpul dengan sanak saudaranya.
Bus melaju cukup cepat. Beberapa kali ada penumpang protes. Ia sendiri tidak terlalu peduli. Kesempatan yang baik untuk pejamkan mata sejenak.

***



Rumah bercat hijau itu masih terlihat seperti dulu. Beberapa warna cat mengelupas tanda kalau cat tidak berganti.
Tampak ramai rumahnya. Banyak orang berdatangan. Namun ada yang aneh menurutnya. Lebaran kan masih besok kenapa rumahnya ramai dikunjungi banyak orang.
Sudut matanya menangkap kilatan warna kuning. Cuaca yang agak dingin, ditambah langit gelap warna kuning jelas cukup menyolok. Tiba-tiba rasa takut bergelayut di hatinya. Dadanya sesak sekali.
Ia berlari sangat cepat. Terengah-engah dirinya. Ia tarik napas yang dalam. Di ruangan itu tampak sesosok jenazah. Rapi sudah terbungkus kain kafan. Dirinya kaget sekali.
"Ibuuu .... "
Hancur hatinya berkeping-keping. Dipeluk jenazah ibunya. Sakit sekali.
Perih hatinya. Jiwanya hancur.
Sayup-sayup terdengar tangisan seseorang. Suara itu sangat dihafalnya. Ia mendongak, penasaran. Matanya membulat sempurna. Bingung bercampur gembira dirinya. Ibu tercintanya masih hidup. Sehat bugar. Walaupun garis keriputan terukir di wajah beliau, tapi dirinya bahagia.
"Ibu, alhamdulillah. Fira pikir ... ah sudahlah."
Ia gembira, dihampirinya lalu dipeluk. Namun ... kok nggak bisa. Sungguh ia bingung.
Diulangi terus. Lagi-lagi gagal.
"Fira, ibu sedih sekali. Kamu bilang mau pulang temui ibu. Ternyata kamu pulang selamanya."
Dirinya terkejut atas ucapan ibunya. Kalau bukan ibunya yang meninggal lalu itu jenazah siapa? Apa maksud ucapan perempuan paruh baya itu.
Penasaran, dilihat kembali jenazah itu. Wajahnya cantik. Ada tahi lalat di pipinya, bulu mata lentik dan hidung mancung.
Itu kan dirinya. Mana mungkin.
Tiba-tiba dadanya nyeri luar biasa. Kilatan peristiwa teringat kembali.
Bus itu melaju cepat sekali. Sampai pada tikungan tajam. Akhirnya terjadilah sesuatu yang tidak diinginkan.
Bus terjun bebas ke jurang. Seluruh penumpang beserta supir meninggal di tempat.
Sering kali manusia menganggap jatah hidupnya masih panjang. Ternyata ketika maut sudah menjemput, penyesalan pun selalu datang belakangan.
Sekarang Syafira tahu dirinya telah berbeda alam. Ada rasa penyesalan yang tidak mungkin hilang sampai kapanpun. Dirinya kini harus berpisah dengan ibunya. Jika dulu urusan pekerjaan, sekarang karena ajal telah tiba.

Jakarta, 5 September 2019

Biodata:

Perempuan sederhana yang masih belajar dunia literasi. Tinggal di kota metropolitan. Mulai berani bergabung di grup kepenulisan awal tahun 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.