Pertemuan
Terakhir
Karya: Kamalia
Nurrizki
Langit tampak
gelap gulita. Gumpalan awan hitam berarak-arak. Seolah-olah beri tanda bahwa
bumi sebentar lagi diguyur hujan. Suara petir menggelegar memekikkan telinga.
Gundukan tanah
merah masih basah. Terlihat jelas baru ada pemakamannya. Di samping nisan ada
sosok perempuan menangis. Lalu di sebelahnya ada perempuan muda. Sama
kondisinya wajah duka terukir.
Peristiwa
lampau berputar kembali di netranya.
“Gimana, Nak?
Ibu berharap kamu pulang. Hampir tiga tahun kamu belum pernah pulang.”
Perempuan muda
itu menghela napas. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya. Seperti khawatir
kehabisan.
Syafira,
namanya. Ia tinggal di kota metropolitan. Sejak pergi dari kampung halaman,
baru sekali ia berkunjung ke rumah ibunya. Itu pun kunjungan pertama sekaligus
terakhir ketika peristiwa tersebut.
Waktu itu ia pulang
karena permintaan sang ibu. Ternyata ia mau dijodohkan dengan anak kepala desa.
Jujur ia marah dan kecewa sekali. Perjodohan itu disebabkan balas budi. Ya, ia
baru tahu biaya kuliahnya dibantu oleh Pak Warto, kepala desa.
Berbagai cara ia lakukan untuk menolak perjodohan itu. Salah satu caranya ia memutuskan tidak pulang ke desanya. Walaupun berat, ini lebih baik baginya. Fokus bekerja, mengumpulkan pundi-pundi emas demi bayar hutang serta gagalkan rencana tersebut.
Berbagai cara ia lakukan untuk menolak perjodohan itu. Salah satu caranya ia memutuskan tidak pulang ke desanya. Walaupun berat, ini lebih baik baginya. Fokus bekerja, mengumpulkan pundi-pundi emas demi bayar hutang serta gagalkan rencana tersebut.
Kini sang ibu
memohon agar ia pulang tahun ini. Lebaran di kampung. Apalagi ibu juga
menjelaskan perjodohan telah dibatalkan. Sedikit berkurang beban di pundak.
“Baik, Bu. Fira
usahakan, tapi baru bisa pulang mungkin menjelang lebaran.”
“Ya, nggak apa-apa.
Yang penting ibu kangen sekali.”
Percakapan
lewat seluler berakhir sudah.
***
Ini Ramadhan terakhir, ia pun sudah siap mau
pulang. Sengaja ia pilih naik bus, karena lebih dekat arah ke rumah.
Terminal
Kampung Rambutan ramai. Terakhir Ramadhan
ternyata masih banyak orang berduyun-duyun pulang berkumpul dengan sanak
saudaranya.
Bus melaju
cukup cepat. Beberapa kali ada penumpang protes. Ia sendiri tidak terlalu
peduli. Kesempatan yang baik untuk pejamkan mata sejenak.
***
Rumah bercat
hijau itu masih terlihat seperti dulu. Beberapa warna cat mengelupas tanda
kalau cat tidak berganti.
Tampak ramai
rumahnya. Banyak orang berdatangan. Namun ada yang aneh menurutnya. Lebaran kan
masih besok kenapa rumahnya ramai dikunjungi banyak orang.
Sudut matanya
menangkap kilatan warna kuning. Cuaca yang agak dingin, ditambah langit gelap
warna kuning jelas cukup menyolok. Tiba-tiba rasa takut bergelayut di hatinya.
Dadanya sesak sekali.
Ia berlari
sangat cepat. Terengah-engah dirinya. Ia tarik napas yang dalam. Di ruangan itu
tampak sesosok jenazah. Rapi sudah terbungkus kain kafan. Dirinya kaget sekali.
"Ibuuu
.... "
Hancur hatinya
berkeping-keping. Dipeluk jenazah ibunya. Sakit sekali.
Perih hatinya. Jiwanya hancur.
Sayup-sayup
terdengar tangisan seseorang. Suara itu sangat dihafalnya. Ia mendongak,
penasaran. Matanya membulat sempurna. Bingung bercampur
gembira dirinya. Ibu tercintanya masih hidup. Sehat bugar. Walaupun garis
keriputan terukir di wajah beliau, tapi dirinya bahagia.
"Ibu,
alhamdulillah. Fira pikir ... ah sudahlah."
Ia gembira,
dihampirinya lalu dipeluk. Namun ... kok nggak bisa. Sungguh ia bingung.
Diulangi terus.
Lagi-lagi gagal.
"Fira, ibu
sedih sekali. Kamu bilang mau pulang temui ibu. Ternyata kamu pulang
selamanya."
Dirinya
terkejut atas ucapan ibunya. Kalau bukan ibunya yang meninggal lalu itu jenazah
siapa? Apa maksud ucapan perempuan paruh baya itu.
Penasaran,
dilihat kembali jenazah itu. Wajahnya cantik. Ada tahi lalat di pipinya, bulu
mata lentik dan hidung mancung.
Itu kan
dirinya. Mana mungkin.
Tiba-tiba
dadanya nyeri luar biasa. Kilatan peristiwa teringat kembali.
Bus itu melaju
cepat sekali. Sampai pada tikungan tajam. Akhirnya terjadilah sesuatu yang tidak
diinginkan.
Bus terjun
bebas ke jurang. Seluruh penumpang beserta supir meninggal di tempat.
Sering kali
manusia menganggap jatah hidupnya masih panjang. Ternyata ketika maut sudah
menjemput, penyesalan pun selalu datang belakangan.
Sekarang
Syafira tahu dirinya telah berbeda alam. Ada rasa penyesalan yang tidak mungkin
hilang sampai kapanpun. Dirinya kini harus berpisah dengan ibunya. Jika dulu
urusan pekerjaan, sekarang karena ajal telah tiba.
Jakarta,
5 September 2019
Biodata:
Perempuan
sederhana yang masih belajar dunia literasi. Tinggal di kota metropolitan.
Mulai berani bergabung di grup kepenulisan awal tahun 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.