Sabtu, 14 September 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Part 9: Pov Fatia - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org







Mutiara yang Tak Tersentuh Part 9: Pov Fatia
Karya: Isdamaya Seka


Aku bersyukur diciptakan dengan keindahan rupa. Banyak pria mengagumi dan menginginkanku. Pria yang paham agama, maupun yang hanya tercatat dalam kartu identitas. Mereka semua sama, mencintai karena cantik. Bukan cinta yang membuatnya cantik.
Kaum adam seperti itu tak akan pernah puas dengan satu wanita. Mereka akan mencari dan ingin memiliki wanita yang lebih cantik dari yang dimiliki. Tentu saja, sifat alami manusia tak akan pernah merasa puas.
Fatia Arsya ... nama yang indah, kata mereka. Seindah parasku. Namun bagiku, kecantikan bukan hanya anugerah, tapi juga ujian. Aku harus benar-benar selektif memilih lelaki yang tulus mencintai. Yang dapat melihat kecantikan dari teropong cinta dan juga iman.
Paras rupawan terkadang membuat tak nyaman. Terlebih ketika dulu aku belum mengenal hidayah. Hijab tak pernah menutupi rambut indah bergelombang. Mata lelaki pun tak pernah lepas menatap lekat padaku.
Hingga aku bertemu dengan Halimah lima tahun lalu.

۞۞۞

Flash back on:
Mengenakan celana jins ketat dan kemeja dengan bagian kerah sedikit terbuka, aku duduk di dalam bus menuju kampus. Saat itu penumpang cukup ramai. Aku memilih duduk di kursi ke dua dari belakang.
Tak lama, seorang penumpang naik dan berdiri di sampingku. Lelaki itu mencoba melakukan pelecehan diam-diam. Tangannya perlahan meraba pundak. Saat kutegur, ia hanya diam. Tak beranjak, bahkan mengulanginya kedua kali.
"Maaf, bisa tukar tempat duduk?" Seorang wanita yang duduk di kursi paling belakang tiba-tiba menawarkan untuk pindah kursi. Tentu saja aku mau. Demi menghindari pria itu.
Lelaki itu pun menatap tajam pada sang wanita. Kemudian ia pergi ke depan sambil bergumam, "Sialan si jelek!"
Aku masih bisa mendengar umpatan lelaki itu. Terlebih sang wanita yang ditujunya. Namun gadis itu malah menoleh ke arahku dan tersenyum.

۞۞۞

Flash back off.
Halimah Syafa ... begitulah aku mengenalnya. Gadis lembut nan pemberani. Menolongku dengan cara yang begitu halus. Wanita salihah yang menjaga dirinya bak mutiara di lautan terdalam.
Ia mengajarkanku bagaimana menjaga diri. Menjadi seorang muslimah yang pantas untuk dihargai. Dan menuntunku hingga merasa nyaman dan lebih dekat dengan-Nya.
Halimah sahabat terbaik yang kumiliki. Aku ingin selalu berbagi kebahagiaan dengannya. Tak hanya hal kecil, bahkan aku ingin berbagi suami dengannya.
Aku teringat tausiyah seorang ustaz ketika mengikuti kajian, beliau mengutip perkataan Hasan Al Bashri.
'Perbanyaklah berteman dengan orang-orang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.'
Seorang sahabat di surga dapat meminta kepada Allah untuk mengangkat sahabatnya di dunia dari api neraka. Tentu saja ketika di dunia mereka melakukan amal salih bersama. Rasulullah bersabda, "Agama seseorang dilihat dari agama temannya, maka perhatikanlah siapa temanmu."
Kebaikan Halimah membuatku tak ingin melepasnya sebagai sahabat. Berbagi suami pun ikhlas kulakukan. Aku yakin, poligami yang dijalani dengan iman dan ketulusan akan berjalan dengan baik.
Mas Khalid, sepupu yang sejak dulu kucinta. Kelembutan akhlaknya serta ketegasan dalam menjalankan syariat membuatku jatuh hati. Jarak rumah yang tak jauh serta sering bertemu saat kumpul keluarga membuatku begitu mengenal sosoknya.
Aku menolak semua lamaran ikhwan yang datang. Bukan hanya karena cintaku pada Mas Khalid, tapi juga sikap keberatan mereka atas syarat yang kuberikan.
Setiap kali lamaran datang, saat itu pula aku memberi syarat untuk menikahi sahabatku juga. Sebagian mereka berkata tidak ingin poligami, cukup dengan satu istri. Sebagian yang lain menerima syarat yang kuberikan, pada awalnya. Bahkan satu dua orang di antara mereka justru terlihat senang dengan syarat itu. Namun ketika kuberi tahu tentang Halimah, seketika itu pula mereka berubah pikiran.


Mereka ... para ikhwan yang menumbuhkan cinta hanya dari mata. Sejatinya, wanita salihah adalah sebaik-baik perhiasan. Mereka akan terlihat cantik ketika ketulusan cinta itu ada.
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak pula harta-harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalan kalian."
Bersyukur, tak ada satu pun dari mereka yang menerima syaratku. Sesungguhnya ada seorang ikhwan yang kutunggu-tunggu datang melamar. Mas Khalid, dia yang kini menjadi imamku.
Sosok pria dewasa, berusia lima tahun lebih tua dariku. Bertubuh tinggi, tidak kurus, tidak juga gemuk. Sorot matanya begitu teduh. Berkulit sawo matang, memiliki senyum yang begitu menawan.
Hatiku bergetar manakala lelaki salih itu datang dengan maksud khitbah. Allah mengabulkan doa di tiap sujudku. Tak lupa, syarat menikahi Halimah pun kuajukan padanya.
"Sebelumnya, aku memiliki syarat buat Mas Khalid," ucapku kala itu.
"Apa itu, Dik Fatia?" tanyanya lembut. Membuatku bergetar mengeluarkan kata-kata.
"Maukah Mas Khalid menikahi sahabatku juga?" tanyaku padanya.
"Kenapa Dik Fatia ingin Mas menikah dengan sahabatnya juga?" Tak menjawab, ia malah berbalik tanya padaku.
"Fatia ingin berbagi kebahagiaan dengannya. Ia sosok wanita salihah, bidadari surga."
"Apa menurut Dik Fatia, Mas mampu menjalani rumah tangga dengan dua istri secara adil dan bijak?" tanyanya lagi.
"Insyaa Allah ... Fatia sangat mengenal Mas Khalid. Fatia yakin Mas Khalid mampu menjadi suami yang adil."
"Kalau Dik Fatia yakin, Insyaa Allah Mas bisa menerima syaratnya."
"Alhamdulillah ...." Aku mengucap syukur. Ingin rasanya aku menangis dan bersujud saat itu juga.
"Mas tidak ingin bertanya tentang sahabatku?" tanyaku padanya. Ikhwan lainnya selalu bertanya tentang sosok Halimah, namun Mas Khalid sama sekali tidak terlihat penasaran.
"Jika dugaan Mas benar, Mas tidak perlu bertanya lagi. Karena Mas juga sudah melihatnya di sini beberapa kali."
Jawaban Mas Khalid membuat kedua mataku membulat. Ada rasa bahagia, bahkan seolah tak percaya dengan apa yang kudengar.
"Benarkah?" tanyaku.
"Halimah bukan, namanya?"
"Masyaa Allah ... benar, Mas," ucapku penuh haru.
Dan setelah kami menikah, barulah aku tahu bahwa Mas Khalid selama ini juga memendam cinta. Ia berkata sudah lama ingin mengkhitbahku. Hanya saja, ia merasa kurang percaya diri melihat lelaki muda tampan dan mapan yang datang ke rumah.
Layaknya kisah Ali dan Fatimah yang saling mencinta dalam diam. Kemudian keduanya bersatu dalam pernikahan. Begitu pula kisahku dan Mas Khalid. Bukankah mencinta dalam diam dan memohon pada Yang Menggenggam hati yang kita cintai itu begitu manis?
Kebahagiaan luar biasa kurasakan. Bagaimana tidak? Lelaki salih yang kuharap akhirnya datang, bahkan bersedia membagi cintanya dengan Halimah. Wanita salihah yang begitu baik dan taat perintah agama.
Taaruf yang berkali-kali gagal membuatku semakin iba padanya. Betapa munafiknya para ikhwan itu. Mereka tak mampu menciptakan keindahan dari iman. Bahkan tak mampu melihat kilau mutiara dari seorang wanita salihah.
Imran, lelaki terakhir yang taaruf dengannya. Sekaligus lelaki yang begitu tega menyakitinya dengan cara-cara seorang pecundang. Halimah begitu terluka dibuatnya. Aku ingin segera mengobati luka hati itu. Dan menikah dengan Mas Khalid adalah jalan terbaik, menurutku.
Namun ternyata cukup sulit bagiku meyakinkan Halimah. Ia bersikeras menolak menjadi istri kedua. Aku paham yang ia rasakan. Bagaimana pun, setiap wanita tidak ingin berada di antara sebuah ikatan. Namun poligami bukanlah hal yang buruk. Allah tidak melarangnya, jika sang suami mampu berbuat adil.
Aku akan tetap membujuk Halimah. Berdoa agar hatinya luluh. Jika pun tidak, aku tetap berdoa agar wanita salihah itu menemukan sosok lelaki yang mencintainya tanpa memandang rupa. Lelaki yang pantas memiliki mutiara berharga bidadari surga.



Biodata:

Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra yang baru terjun ke dunia literasi awal tahun 2019. Berharap dapat melahirkan banyak novel solo, baik indie maupun mayor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.