Mutiara
yang Tak Tersentuh Part 9: Pov Fatia
Karya:
Isdamaya Seka
Aku bersyukur diciptakan dengan keindahan rupa.
Banyak pria mengagumi dan menginginkanku. Pria yang paham agama, maupun yang
hanya tercatat dalam kartu identitas. Mereka semua sama, mencintai karena
cantik. Bukan cinta yang membuatnya cantik.
Kaum adam seperti itu tak akan pernah puas dengan
satu wanita. Mereka akan mencari dan ingin memiliki wanita yang lebih cantik
dari yang dimiliki. Tentu saja, sifat alami manusia tak akan pernah merasa puas.
Fatia Arsya ... nama yang indah, kata mereka.
Seindah parasku. Namun bagiku, kecantikan bukan hanya anugerah, tapi juga
ujian. Aku harus benar-benar selektif memilih lelaki yang tulus mencintai. Yang
dapat melihat kecantikan dari teropong cinta dan juga iman.
Paras rupawan terkadang membuat tak nyaman. Terlebih
ketika dulu aku belum mengenal hidayah. Hijab tak pernah menutupi rambut indah
bergelombang. Mata lelaki pun tak pernah lepas menatap lekat padaku.
Hingga aku bertemu dengan Halimah lima tahun lalu.
۞۞۞
Flash
back on:
Mengenakan celana jins ketat dan kemeja dengan
bagian kerah sedikit terbuka, aku duduk di dalam bus menuju kampus. Saat itu
penumpang cukup ramai. Aku memilih duduk di kursi ke dua dari belakang.
Tak lama, seorang penumpang naik dan berdiri di
sampingku. Lelaki itu mencoba melakukan pelecehan diam-diam. Tangannya perlahan
meraba pundak. Saat kutegur, ia hanya diam. Tak beranjak, bahkan mengulanginya
kedua kali.
"Maaf, bisa tukar tempat duduk?" Seorang
wanita yang duduk di kursi paling belakang tiba-tiba menawarkan untuk pindah
kursi. Tentu saja aku mau. Demi menghindari pria itu.
Lelaki itu pun menatap tajam pada sang wanita.
Kemudian ia pergi ke depan sambil bergumam, "Sialan si jelek!"
Aku masih bisa mendengar umpatan lelaki itu.
Terlebih sang wanita yang ditujunya. Namun gadis itu malah menoleh ke arahku
dan tersenyum.
۞۞۞
Flash
back off.
Halimah Syafa ... begitulah aku mengenalnya. Gadis
lembut nan pemberani. Menolongku dengan cara yang begitu halus. Wanita salihah
yang menjaga dirinya bak mutiara di lautan terdalam.
Ia mengajarkanku bagaimana menjaga diri. Menjadi
seorang muslimah yang pantas untuk dihargai. Dan menuntunku hingga merasa
nyaman dan lebih dekat dengan-Nya.
Halimah sahabat terbaik yang kumiliki. Aku ingin
selalu berbagi kebahagiaan dengannya. Tak hanya hal kecil, bahkan aku ingin
berbagi suami dengannya.
Aku teringat tausiyah seorang ustaz ketika mengikuti
kajian, beliau mengutip perkataan Hasan Al Bashri.
'Perbanyaklah berteman dengan orang-orang beriman.
Karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.'
Seorang sahabat di surga dapat meminta kepada Allah
untuk mengangkat sahabatnya di dunia dari api neraka. Tentu saja ketika di
dunia mereka melakukan amal salih bersama. Rasulullah bersabda, "Agama
seseorang dilihat dari agama temannya, maka perhatikanlah siapa temanmu."
Kebaikan Halimah membuatku tak ingin melepasnya
sebagai sahabat. Berbagi suami pun ikhlas kulakukan. Aku yakin, poligami yang
dijalani dengan iman dan ketulusan akan berjalan dengan baik.
Mas Khalid, sepupu yang sejak dulu kucinta.
Kelembutan akhlaknya serta ketegasan dalam menjalankan syariat membuatku jatuh
hati. Jarak rumah yang tak jauh serta sering bertemu saat kumpul keluarga
membuatku begitu mengenal sosoknya.
Aku menolak semua lamaran ikhwan yang datang. Bukan
hanya karena cintaku pada Mas Khalid, tapi juga sikap keberatan mereka atas
syarat yang kuberikan.
Setiap kali lamaran datang, saat itu pula aku
memberi syarat untuk menikahi sahabatku juga. Sebagian mereka berkata tidak
ingin poligami, cukup dengan satu istri. Sebagian yang lain menerima syarat
yang kuberikan, pada awalnya. Bahkan satu dua orang di antara mereka justru
terlihat senang dengan syarat itu. Namun ketika kuberi tahu tentang Halimah,
seketika itu pula mereka berubah pikiran.
Mereka ... para ikhwan yang menumbuhkan cinta hanya
dari mata. Sejatinya, wanita salihah adalah sebaik-baik perhiasan. Mereka akan
terlihat cantik ketika ketulusan cinta itu ada.
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak pula harta-harta kalian, akan
tetapi Dia melihat kepada hati dan amalan kalian."
Bersyukur, tak ada satu pun dari mereka yang
menerima syaratku. Sesungguhnya ada seorang ikhwan yang kutunggu-tunggu datang
melamar. Mas Khalid, dia yang kini menjadi imamku.
Sosok pria dewasa, berusia lima tahun lebih tua
dariku. Bertubuh tinggi, tidak kurus, tidak juga gemuk. Sorot matanya begitu
teduh. Berkulit sawo matang, memiliki senyum yang begitu menawan.
Hatiku bergetar manakala lelaki salih itu datang
dengan maksud khitbah. Allah mengabulkan doa di tiap sujudku. Tak lupa, syarat
menikahi Halimah pun kuajukan padanya.
"Sebelumnya, aku memiliki syarat buat Mas
Khalid," ucapku kala itu.
"Apa itu, Dik Fatia?" tanyanya lembut.
Membuatku bergetar mengeluarkan kata-kata.
"Maukah Mas Khalid menikahi sahabatku
juga?" tanyaku padanya.
"Kenapa Dik Fatia ingin Mas menikah dengan
sahabatnya juga?" Tak menjawab, ia malah berbalik tanya padaku.
"Fatia ingin berbagi kebahagiaan dengannya. Ia
sosok wanita salihah, bidadari surga."
"Apa menurut Dik Fatia, Mas mampu menjalani
rumah tangga dengan dua istri secara adil dan bijak?" tanyanya lagi.
"Insyaa Allah ... Fatia sangat mengenal Mas
Khalid. Fatia yakin Mas Khalid mampu menjadi suami yang adil."
"Kalau Dik Fatia yakin, Insyaa Allah Mas bisa
menerima syaratnya."
"Alhamdulillah ...." Aku mengucap syukur.
Ingin rasanya aku menangis dan bersujud saat itu juga.
"Mas tidak ingin bertanya tentang sahabatku?"
tanyaku padanya. Ikhwan lainnya selalu bertanya tentang sosok Halimah, namun
Mas Khalid sama sekali tidak terlihat penasaran.
"Jika dugaan Mas benar, Mas tidak perlu
bertanya lagi. Karena Mas juga sudah melihatnya di sini beberapa kali."
Jawaban Mas Khalid membuat kedua mataku membulat.
Ada rasa bahagia, bahkan seolah tak percaya dengan apa yang kudengar.
"Benarkah?" tanyaku.
"Halimah bukan, namanya?"
"Masyaa Allah ... benar, Mas," ucapku
penuh haru.
Dan setelah kami menikah, barulah aku tahu bahwa Mas
Khalid selama ini juga memendam cinta. Ia berkata sudah lama ingin
mengkhitbahku. Hanya saja, ia merasa kurang percaya diri melihat lelaki muda
tampan dan mapan yang datang ke rumah.
Layaknya kisah Ali dan Fatimah yang saling mencinta
dalam diam. Kemudian keduanya bersatu dalam pernikahan. Begitu pula kisahku dan
Mas Khalid. Bukankah mencinta dalam diam dan memohon pada Yang Menggenggam hati
yang kita cintai itu begitu manis?
Kebahagiaan luar biasa kurasakan. Bagaimana tidak?
Lelaki salih yang kuharap akhirnya datang, bahkan bersedia membagi cintanya
dengan Halimah. Wanita salihah yang begitu baik dan taat perintah agama.
Taaruf yang berkali-kali gagal membuatku semakin iba
padanya. Betapa munafiknya para ikhwan itu. Mereka tak mampu menciptakan
keindahan dari iman. Bahkan tak mampu melihat kilau mutiara dari seorang wanita
salihah.
Imran, lelaki terakhir yang taaruf dengannya.
Sekaligus lelaki yang begitu tega menyakitinya dengan cara-cara seorang
pecundang. Halimah begitu terluka dibuatnya. Aku ingin segera mengobati luka
hati itu. Dan menikah dengan Mas Khalid adalah jalan terbaik, menurutku.
Namun ternyata cukup sulit bagiku meyakinkan
Halimah. Ia bersikeras menolak menjadi istri kedua. Aku paham yang ia rasakan.
Bagaimana pun, setiap wanita tidak ingin berada di antara sebuah ikatan. Namun
poligami bukanlah hal yang buruk. Allah tidak melarangnya, jika sang suami
mampu berbuat adil.
Aku akan tetap membujuk Halimah. Berdoa agar hatinya
luluh. Jika pun tidak, aku tetap berdoa agar wanita salihah itu menemukan sosok
lelaki yang mencintainya tanpa memandang rupa. Lelaki yang pantas memiliki
mutiara berharga bidadari surga.
Biodata:
Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra yang
baru terjun ke dunia literasi awal tahun 2019. Berharap dapat melahirkan banyak
novel solo, baik indie maupun mayor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.