Perjanjian
Oleh: Indah Akhmad
Nyi Roro
Kidul berdiam diri di biliknya, duduk di depan meja rias sembari menatap
kecantikan fisik. Cermin masih berkata bahwa dirinya tetaplah mengagumkan.
Syukurlah tak ada kisah serupa putri salju dalam hidupnya. Akan tetapi, apa
yang telah dilakukan Kusuma, mengingatkan dia pada kisah Rapunzel.
Entah mengapa
dongeng manusia itu berpengaruh padanya. Putri yang diculik sebab ingin
memanfaatkan kekuatannya, lalu gadis itu menentang dan kabur bersama seorang
pria, dan berakhir pada terkuaknya fakta. Itu hanya kisah fiksi-fantasi meski
logika berkata, ‘Mungkin kehidupan semacam itu ada.
Dia mendesah,
mendongak, dan menikmati gerombolan ikan yang berenang di balik jendela. Dia
suka mengamati ikan Pari. Tubuh lebar dan sayapnya yang naik turun, serta gerak
lamban hewan itu seperti pertunjukan tari di keraton.
“Yang Mulia,
ruang meditasi telah siap,” ucap dayang yang lantas undur diri.
Satu tarikan
napas panjang dia keluarkan perlahan sebelum meninggalkan meja rias. Dari
biliknya, dia berbelok ke kiri melewati tiga saka setinggi empat meter.
Tiang-tiang kokoh berdiameter satu meter itu berdekatan, jarak mereka tak lebih
dari dua depa. Berwarna keemasan dan berkilau kala diterpa cahaya. Tak ada
ukiran layaknya pintu-pintu bangunan itu. Kesederhanaan yang pas di antara
kemeriahan istana.
Sejenak,
wanita itu berhenti, menatap Narendra yang sedang duduk di gazebo. Satu kaki
selonjoran sementara yang lain tertekuk dan dijadikan sandaran lengannya.
Setelah diamati cukup lama, rupanya lelaki itu tengah terlelap. Nyi Roro
terkagum, sebab ketika tidur pun dia punya gaya sendiri tanpa merusak pesona
dan karismanya.
Seulas senyum
terlihat di bibir wanita penguasa laut selatan. Teringat akan janji yang telah
menanti, dia berpaling dan masuk ke lorong sepanjang satu kilometer. Cahaya
hanya menyinari di ujung lorong, sementara di depan, kegelapan seakan hendak
menyergap dan menenggelamkannya. Nyi Roro kembali melangkah. Satu per satu ruas
dinding memancarkan cahaya kala dia melintas. Pendar hijau yang tak terlalu
terang dan tak jua terlalu meredup, menemaninya hingga tiba di depan pintu kayu
setinggi dua meter.
Dengan
kekuatan pikiran, dia menggeser pintu ke kanan. Gelap, satu-satunya ruang tanpa
celah sehingga tak secercah cahaya alam yang dapat menembus tempat itu. Setelah
dia masuk, pintu kembali tertutup.
Kegelapan
yang menyergap tak semata-mata menelannya dalam kedamaian, tapi juga kesenangan
sebab perjumpaan yang akan dia lakukan bukanlah hal biasa. Dia duduk bersila,
menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Setelah menarik napas panjang,
matanya terpejam.
Mantra
terucap tanpa suara, hanya bibir yang sibuk meladeni kosakata yang dilafalkan.
Kalimat-kalimat yang berasal dari kitab Sangsekerta itu menghadirkan cahaya
yang begitu terang untuk sesaat, dan lenyap bersama dengan roh Nyi Roro yang
tak lagi dalam raga.
Jiwa wanita
itu mewujud di hadapan seorang pria berpakaian adat Jawa, lengkap dengan udeng
batik khas Keraton Mataram. Dia menyatukan kedua tangan di depan muka, sapa
santun untuk wanita yang duduk tegak di kursi emasnya.
҉
҉ ҉
Setelah
merasakan keberadaan wanita itu di sana, berdiri di antara saka dan menatapnya,
Narendra membuka mata. Namun, dia tak lagi di tempat yang sama. Mencari pun
percuma, sebab bukan dia yang diinginkan ada.
Mata indah
itu kembali terpejam. Bukan untuk memimpikan wanita yang kini menjauhinya. Dia
sedang menerka penyebab peristiwa hari ini, landasan kemarahan Nyi Roro Kidul
pada Kusuma. Mustika atau pria yang memilikinya? Dan mengapa wanita itu
dilarang mendekati manusia? Dia pun mulai mempertanyakan, siapa sosok Kusuma
dalam kehidupan Nyi Roro Kidul? Bahkan dalam kitab Jawa, dia tidak pernah
menemukan silsilah wanita cantik itu dan bagaimana dia mendapatkan posisi
istimewa di kerajaan.
Apa karena
kesaktiannya? Atau kecantikan mereka yang setara? pikirnya dalam hati
Bibir
Narendra melengkung ke atas kala bayang Kusuma melintas dalam imaji dan
mengerut kemudian ketika teringat betapa besar keinginannya menemukan manusia
itu. Narendra membuka mata lebar-lebar.
“Tidak!
Manusia itu harus lenyap sebelum bertemu dengan Kusuma.” Dia mencabut jam
istirahatnya, lalu menghilang dari gazebo.
҉
҉ ҉
“Kedudukan
dan takhta hanya bersifat fana. Aku tidak bisa menjaga kejayaannya sebab
kuasaku tak sebesar Dia. Aku akan tetap membantumu, tapi dengan satu syarat,
jangan pernah lagi ada dari keturunanmu yang mengingkari perjanjianku dan
leluhurmu. Jika kalian ingkar, maka bersiaplah jadi budakku. Apa kamu
bersedia?”
Pria berkumis
itu tampak ragu. Setelah kematian kakak tertuanya akibat ingkar, kebimbangan
meraja dalam pikiran. Iya atau tidak, dia tetaplah menjadi budak. Bedanya, dia
masih bisa bernapas di alam manusia dan butuh pamor yang luar biasa besar untuk
menikmati hidupnya.
“Baiklah,
Nyi. Saya terima,” ucap pria itu.
Nyi Roro
Kidul tersenyum manis. “Bolehkah aku meminjam cincinmu?”
Pria itu
mendongak, lalu mengangguk-angguk sembari melepas cincin akik dari jari manis.
“Ini, Nyi. Silakan!”
Di atas bara
arang dan kepulan asap beraroma kemenyan cincin permata hijau itu berpindah
tangan. Nyi Roro lantas menggenggam dan membawanya dalam dekap. Kelopak matanya
turun. Pandangannya menggelap untuk sesaat.
Di menit
berikutnya, benda di tangan bersinar terang layaknya neon yang tergenggam.
Pancarannya menembus sela-sela jemari. Hijau dan putih, gradasi warna yang
indah.
Pria di
hadapannya terkejut. Seumur-umur belum pernah sekali pun dia menyaksikan
fenomena itu. Cincin turun-temurun yang dianggap biasa, kini menampakkan wujud
aslinya. Kekuatan yang entah bagaimana cara menggunakannya. Mungkinkah hanya Nyi
Roro yang bisa melakukan itu? Dia bertanya-tanya.
Sementara dia
masih mengagumi, Nyi Roro Kidul berhasil mendapatkan pandangan yang diinginkan.
Dia tersenyum manis. Seiring kelopak mata yang terbuka, cahaya itu pun meredup
dan lenyap. Permata hijau itu berubah warna seperti sedia kala.
“Terima
kasih,” ucap wanita itu sembari mengembalikan cincin kepada pemiliknya.
Tak berapa
lama, Nyi Roro memudar, tergantikan cahaya hijau yang mulai menipis dan menjadi
manik-manik yang lenyap dalam hitungan detik. Dia telah kembali ke tempatnya
semula, di ruang gelap tempat semadi di istana.
Wanita itu
melepaskan karbon monoksida perlahan sembari mengangkat kelopak mata. Irisnya
berkilat. Manis senyumnya pertanda sesuatu yang menyenangkan telah tergenggam.
Biodata:
Penulis yang
suka ngehalu ini menuangkan setiap imajinasinya ke dalam cerita. Salah satunya
adalah mustika ini. Jumpai juga karyanya yang lain dalam akun wattpad
@imajindah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.